Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 12 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi adalah penghambat utama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, terutama di negara-negara berkembang seperti Afghanistan. Artikel ini mengulas dampak langsung korupsi terhadap kinerja komunitas bisnis, khususnya pada sektor konstruksi di Kabul. Penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan etika, tetapi juga hambatan serius terhadap kelangsungan dan produktivitas sektor swasta.
Metodologi Penelitian
Penelitian menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 52 kuesioner dibagikan kepada perusahaan konstruksi besar dan menengah di Kabul, dengan 40 kuesioner valid digunakan untuk analisis. Pengolahan data dilakukan menggunakan model Fractional Logistic Regression melalui perangkat lunak Stata.
Temuan Utama
1. Dampak Korupsi terhadap Kinerja Bisnis
2. Penyebab Korupsi
Faktor penyebab utama korupsi yang teridentifikasi meliputi:
3. Biaya Sosial & Ekonomi Korupsi
4. Upaya dan Tindakan Pencegahan
Penulis merekomendasikan beberapa langkah mitigatif:
Studi Kasus: Sektor Konstruksi Kabul
Dari 40 responden yang valid:
Analisis dan Opini
Artikel ini menunjukkan bagaimana korupsi menjadi penghambat sistemik bagi sektor privat, khususnya perusahaan konstruksi yang sangat bergantung pada interaksi dengan lembaga pemerintah. Peneliti juga berhasil menempatkan konteks lokal (Afghanistan) ke dalam narasi global melalui kutipan data dari UNODC, World Bank, dan Transparency International.
Namun, artikel ini masih bisa diperkaya dengan membandingkan pengalaman negara lain yang berhasil mengatasi korupsi di sektor yang sama, seperti Rwanda atau Estonia. Kekuatan artikel terletak pada kombinasi statistik yang solid dan penguatan argumen berbasis studi lapangan, meskipun pemetaan aktor (aktor bisnis vs pejabat publik) masih dapat didalami lebih lanjut.
Kesimpulan
Korupsi berdampak luas terhadap kinerja komunitas bisnis, terutama sektor konstruksi yang padat interaksi dengan otoritas publik. Solusi tidak cukup dari reformasi hukum semata, tetapi harus melibatkan:
Sumber Asli : Mansoor, M. R. (2019). The Impact of Corruption on Business Community Performance (A Case Study of Construction Businesses in Kabul). Master’s Thesis, American University of Afghanistan.
Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 12 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam era globalisasi dan intensitas perdagangan internasional yang terus meningkat, pemberantasan suap lintas negara menjadi salah satu fokus utama komunitas internasional. Laporan “Implementing the OECD Anti-Bribery Convention in Italy: Phase 4 Report” (OECD, 2022) menyoroti secara mendalam bagaimana Italia menghadapi tantangan dan meraih kemajuan dalam implementasi Konvensi OECD Anti-Suap. Artikel ini akan mengulas secara menyeluruh laporan tersebut, lengkap dengan data, studi kasus, dan analisis kritis.
Latar Belakang Evaluasi
Sejak bergabung dengan Konvensi OECD Anti-Suap pada 1997, Italia telah menjalani serangkaian evaluasi oleh Working Group on Bribery (WGB). Phase 4 dari evaluasi ini, yang diadopsi pada 13 Oktober 2022, menekankan pada aspek penegakan hukum, deteksi, dan tanggung jawab korporasi.
Temuan Utama dan Prestasi Italia
Laporan ini mencatat beberapa pencapaian penting yang menjadi dasar optimisme:
Tantangan dan Kelemahan
Meski demikian, laporan OECD menyoroti berbagai tantangan serius yang masih dihadapi Italia, antara lain:
Contoh nyata dari kelemahan ini terlihat dari 7 kasus yang disidangkan pasca-2013: hanya 1 vonis berhasil, sedangkan 5 kasus sepenuhnya dibatalkan dan 1 kasus sebagian dibatalkan (OECD, 2022, hlm. 7).
Upaya Perbaikan dan Rekomendasi
OECD memberikan sejumlah rekomendasi kunci yang menjadi prioritas pembenahan Italia:
Studi Kasus Penting: Italia vs Suap Asing
Laporan Phase 4 ini menyertakan ringkasan kasus-kasus yang dituntaskan sejak evaluasi Phase 3. Salah satunya, kasus yang melibatkan perusahaan Italia besar dengan skema suap pejabat asing melalui perantara, yang akhirnya diselesaikan lewat patteggiamento—dengan hukuman yang dinilai terlalu ringan (OECD, 2022, hlm. 93–97).
Selain itu, laporan memaparkan bagaimana deteksi kasus suap asing di Italia sebagian besar bukan hasil inisiatif domestik, melainkan informasi dari luar (28% dari otoritas asing, 10% dari media) (OECD, 2022, hlm. 12). Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan monitoring oleh otoritas Italia sendiri.
Kritik dan Komentar Tambahan
Secara kritis, laporan ini menilai bahwa Italia perlu mengubah paradigma: dari sekadar merespons tuduhan suap asing menjadi proaktif mendeteksi dan menuntaskan. Italia sudah memiliki infrastruktur hukum yang kuat, tetapi belum optimal dijalankan.
Misalnya, UU Pelindungan Pelapor sudah ada, namun belum menyentuh sektor swasta secara komprehensif (OECD, 2022, hlm. 15). Hal ini ironis, mengingat sektor swasta sering menjadi pintu masuk praktik suap lintas negara.
Hubungan dengan Tren Global
Artikel ini juga menyoroti relevansi laporan OECD ini dengan tren global:
Kesimpulan dan Implikasi
Italia telah menunjukkan komitmen signifikan dalam melaksanakan Konvensi OECD Anti-Suap, tetapi harus segera memperkuat beberapa celah kritis agar mampu menuntaskan suap lintas negara secara efektif.
Evaluasi ini bukan hanya soal “tugas rumah” Italia, tetapi juga cermin bagi negara lain: bahwa keseriusan menuntaskan suap asing menjadi parameter integritas global, sekaligus daya saing ekonomi jangka panjang.
Bagi para pelaku bisnis, laporan ini menjadi peringatan sekaligus peta jalan: kepatuhan bukan lagi opsi, tapi syarat bertahan di pasar global. Bagi pemerintah dan penegak hukum, laporan ini menegaskan bahwa sinergi, pelaporan sukarela, dan edukasi publik menjadi kunci menekan angka suap lintas negara.
Sumber : OECD. (2022). Implementing the OECD Anti-Bribery Convention in Italy: Phase 4 Report. Organisation for Economic Co-operation and Development.
Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 12 Juni 2025
Pendahuluan
Pertumbuhan kota-kota besar di Afrika membawa peluang dan tantangan bagi sektor konstruksi, terutama di negara seperti Uganda. Studi Cultural Aspects of Construction Project Management Practices – a Ugandan Perspective oleh Erik Nikkanen Almén dan Sahand Kohnechian (2014) menjadi jendela penting untuk memahami bagaimana praktik manajemen proyek di Uganda dipengaruhi oleh aspek budaya, sejarah, dan dinamika sosial. Artikel ini bukan hanya merangkum temuan dari lapangan, tetapi juga menghubungkannya dengan teori manajemen proyek Barat, peran budaya lokal, dan potensi adaptasi untuk masa depan.
Latar Belakang dan Konteks
Uganda adalah salah satu negara Afrika yang mengalami urbanisasi cepat. Pada 2009, hampir 40% dari populasi satu miliar orang tinggal di kawasan urban. Diproyeksikan, pada 2050, 60% dari dua miliar penduduk Afrika akan tinggal di kota-kota. Kampala, ibu kota Uganda, menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di Afrika. Hal ini membuka peluang besar bagi sektor konstruksi, yang kini menjadi pemberi kerja terbesar kedua di Uganda setelah pertanian.
Namun, industri konstruksi di Uganda masih muda dan menghadapi tantangan signifikan, termasuk kualitas pekerjaan yang bervariasi, kurangnya kompetensi teknis, dan tingginya korupsi. Penelitian ini dilakukan melalui studi lapangan selama dua bulan di Kampala, melibatkan wawancara mendalam dengan kontraktor, konsultan, dan pejabat pemerintah.
Metodologi dan Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif eksploratif dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara dan data sekunder dari literatur. Kerangka teori utama yang digunakan meliputi:
Temuan lapangan kemudian dibandingkan dengan standar manajemen proyek Barat (PMBOK, IPMA, dll.) untuk melihat kesenjangan dan potensi adaptasi.
Temuan Utama
1. Peran Budaya Kolektivisme dan Patronase
Budaya kolektivisme yang kuat di Uganda menciptakan dinamika berbeda dalam manajemen proyek. Hubungan personal, clan, dan komunitas sering lebih diutamakan daripada kinerja teknis. Misalnya, keputusan staf atau kontraktor sering dipengaruhi oleh hubungan sosial daripada kompetensi profesional. Hal ini berdampak pada kualitas proyek dan efisiensi waktu.
2. Manajemen Proyek: Adaptasi dan Tantangan
3. Korupsi dan Konflik Kepentingan
Korupsi menjadi hambatan utama, bahkan diakui oleh para manajer proyek. Biaya proyek sering membengkak di tahap perencanaan karena suap, menyisakan anggaran minim untuk konstruksi. Hal ini juga terkait dengan kepemimpinan negara yang masih rapuh.
4. Kelemahan Keterampilan Teknis
Kurangnya pelatihan formal di sektor konstruksi menyebabkan manajemen proyek di Uganda sering mengandalkan pengalaman individu, bukan standar profesional. Hal ini diperparah oleh keengganan klien untuk membayar mahal demi kualitas.
Analisis Kritis dan Studi Angka
Perbandingan dengan Standar Barat
Penelitian ini menegaskan bahwa standar manajemen proyek Barat—yang mengandalkan komunikasi terbuka, dokumentasi kuat, dan perencanaan detail—tidak sepenuhnya cocok di Uganda. Budaya kolektivisme, peran patronase, dan realitas ekonomi (misalnya tekanan profit cepat) membutuhkan adaptasi lebih besar.
Namun, beberapa pendekatan Barat terbukti bermanfaat:
Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi
Penelitian ini menyarankan beberapa langkah konkret:
Kritik dan Implikasi Lebih Luas
Penelitian ini memang terbatas pada Kampala dan beberapa perusahaan saja. Namun, temuan ini penting karena menunjukkan bagaimana budaya lokal bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi membangun loyalitas, di sisi lain menghambat inovasi. Hal ini menjadi pembelajaran penting bagi negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, dalam merancang standar manajemen proyek yang lebih inklusif dan realistis.
Kesimpulan
Artikel ini menunjukkan bahwa manajemen proyek konstruksi di Uganda berkembang pesat, tetapi masih sangat dipengaruhi oleh budaya kolektivisme, tekanan biaya, dan korupsi. Adaptasi teori manajemen proyek Barat harus dilakukan secara kontekstual, bukan copy-paste. Peningkatan pendidikan dan kolaborasi lintas budaya menjadi kunci untuk memperbaiki mutu proyek dan mendorong inovasi di sektor konstruksi Uganda.
Sumber : Almén, E. N., & Kohnechian, S. (2014). Cultural aspects of Construction Project Management practices – a Ugandan perspective. Master’s thesis, Department of Real Estate and Construction Management, Royal Institute of Technology, Stockholm.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.
Studi Kasus dan Temuan Kunci
Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:
Angka dan Data Penting
Analisis Mekanisme Maladaptasi
Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:
Opini dan Kritik
Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.
Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.
Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?
Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.
Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi
Kapasitas Adaptif Organisasi
Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:
Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.
Hambatan Adaptasi
Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:
Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.
Studi Kasus dan Temuan Empiris
Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:
Strategi Adaptasi yang Diterapkan
Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:
Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary
Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:
Kritik dan Opini Tambahan
Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:
Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:
Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim
Ketahanan atau resilience kini menjadi salah satu tema sentral dalam diskusi tata kelola sumber daya air. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan pada ekosistem, pengelolaan air yang tahan guncangan dan mampu beradaptasi menjadi kebutuhan mendesak. Artikel “Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia” karya A. Fallon, R.W. Jones, dan M. Keskinen (2022) menawarkan perspektif baru dengan mengintegrasikan pemikiran ketahanan ke dalam tata kelola air, serta mengujinya lewat dua studi kasus nyata: Danau Tonle Sap di Kamboja dan sub-DAS Limpopo di Afrika Selatan.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana isu krisis air dan keadilan akses air semakin sering menjadi sorotan. Dengan mengangkat contoh konkret dari dua benua berbeda, penulis menyoroti bahwa ketahanan bukan sekadar soal bertahan dari bencana, tetapi juga kemampuan sistem sosial-ekologis untuk beradaptasi dan bahkan bertransformasi menuju tata kelola air yang lebih adil dan berkelanjutan.
Menyatukan Sistem Sosial-Ekologis, Ketahanan, dan Tata Kelola
Sistem Sosial-Ekologis (SES): Kompleksitas dan Keterhubungan
Penulis mengawali dengan konsep sistem sosial-ekologis, yaitu sistem yang terdiri dari komponen manusia (sosial) dan lingkungan (ekologis) yang saling terhubung. Dalam konteks air, ini berarti pengelolaan air tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sistem ini bersifat dinamis, adaptif, dan rentan terhadap perubahan mendadak.
Ketahanan: Lebih dari Sekadar Bertahan
Ketahanan dalam artikel ini dipahami sebagai kemampuan sistem untuk:
Ketahanan juga dipandang sebagai properti (ciri khas sistem), proses (cara sistem berubah), dan hasil (tingkat keberhasilan bertahan/adaptasi).
Tata Kelola Interaktif: Keadilan dan Dinamika Kekuasaan
Tata kelola air tidak hanya soal aturan formal, tetapi juga soal siapa yang punya suara, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana keputusan diambil. Penulis menekankan pentingnya memperhatikan dinamika kekuasaan, keadilan, dan partisipasi dalam tata kelola air.
Kerangka Resilience-Governance
Dari ketiga teori di atas, penulis membangun kerangka “resilience–governance” yang menekankan pentingnya:
Kerangka ini menjadi alat analisis untuk memahami dan memperbaiki tata kelola air di berbagai konteks.
Studi Kasus 1: Danau Tonle Sap, Kamboja
Latar Belakang
Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan siklus air unik: air mengalir masuk dan keluar danau mengikuti musim, menyebabkan banjir musiman yang sangat penting bagi ekosistem dan ekonomi lokal. Lebih dari 1,2 juta orang bergantung pada danau ini, terutama dari sektor perikanan dan pertanian.
Tantangan Tata Kelola
Penurunan volume air akibat pembangunan bendungan di hulu, perubahan iklim, dan konversi lahan basah menjadi ancaman utama. Selain itu, persaingan antar pengguna air dan eksploitasi berlebihan memperparah tekanan pada sistem. Tata kelola air di kawasan ini sangat kompleks, melibatkan banyak lembaga dan sering kali tumpang tindih kewenangan.
Analisis Ketahanan
Data dan Fakta
Pelajaran dari Tonle Sap
Ketahanan komunitas sangat bergantung pada fleksibilitas sosial dan jaringan informal. Namun, intervensi eksternal seperti pembangunan bendungan di hulu dapat mengganggu keseimbangan sistem dan memperburuk kerentanan masyarakat lokal. Keadilan dalam distribusi manfaat dan beban menjadi isu sentral yang belum terselesaikan.
Studi Kasus 2: Sub-DAS Limpopo, Afrika Selatan
Latar Belakang
Doringlaagte, salah satu sub-catchment di DAS Limpopo, menghadapi masalah penurunan air tanah akibat irigasi intensif dan perubahan iklim. Sistem tata kelola di sini merupakan campuran antara aturan formal yang lemah dan mekanisme informal berbasis komunitas.
Tantangan Tata Kelola
Kekurangan air menjadi masalah utama, dengan penurunan air tanah hingga 2 meter dalam satu dekade terakhir. Konflik antar pengguna air, khususnya antara petani besar dan kecil, makin sering terjadi. Pemerintah daerah kurang efektif, sehingga komunitas mengembangkan mekanisme swakelola.
Analisis Ketahanan
Data dan Fakta
Pelajaran dari Limpopo
Ketahanan sistem sangat dipengaruhi oleh interaksi antara tata kelola formal dan informal. Ketidaksetaraan dalam akses air memperparah kerentanan kelompok kecil. Transformasi tata kelola membutuhkan perubahan struktur kekuasaan dan insentif yang lebih adil.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Artikel ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan dimensi kekuasaan dan keadilan ke dalam diskusi ketahanan air, aspek yang sering diabaikan dalam penelitian sebelumnya. Banyak studi masih terfokus pada aspek teknis atau ekologi, sementara aspek sosial-politik dan distribusi manfaat/beban kurang diperhatikan.
Dibandingkan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) yang lebih normatif dan struktural, kerangka resilience–governance lebih menekankan dinamika proses, pembelajaran, dan kemungkinan transformasi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi: bagaimana memastikan partisipasi yang bermakna, mengatasi ketimpangan kekuasaan, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam tata kelola formal.
Relevansi dengan Tren Global dan Industri
Opini dan Rekomendasi
Kerangka resilience–governance yang dikembangkan penulis sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana tata kelola air juga menghadapi tantangan kompleks, mulai dari konflik antar pengguna, perubahan iklim, hingga ketimpangan akses. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk memperkuat ketahanan sistem air di DAS kritis seperti Citarum atau Brantas.
Namun, perlu diingat bahwa transformasi tata kelola tidak cukup hanya dengan perubahan struktur formal. Diperlukan upaya membangun kepercayaan, memperkuat kapasitas lokal, dan mengatasi hambatan politik yang seringkali menjadi akar masalah.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif
Artikel ini berhasil menunjukkan bahwa ketahanan dalam tata kelola air bukan sekadar soal bertahan dari gangguan, tetapi juga tentang kemampuan beradaptasi dan bertransformasi menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan teori sistem sosial-ekologis, ketahanan, dan tata kelola interaktif, penulis menawarkan kerangka analisis yang komprehensif dan aplikatif.
Studi kasus dari Kamboja dan Afrika Selatan mempertegas bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada dinamika sosial-politik, keadilan, dan kekuasaan. Transformasi tata kelola air membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan “command and control” menuju tata kelola yang lebih partisipatif, inklusif, dan adaptif.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, kerangka resilience–governance ini dapat menjadi referensi penting dalam merancang intervensi yang tidak hanya tahan terhadap gangguan, tetapi juga mampu menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan.
Sumber artikel asli:
Fallon, A., Jones, R.W., & Keskinen, M. (2022). Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia. Global Environmental Change, 75, 102542.