Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi

Korupsi Menghambat Kinerja Bisnis Konstruksi di Kabul

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 12 Juni 2025


Pendahuluan

Korupsi adalah penghambat utama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, terutama di negara-negara berkembang seperti Afghanistan. Artikel ini mengulas dampak langsung korupsi terhadap kinerja komunitas bisnis, khususnya pada sektor konstruksi di Kabul. Penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan etika, tetapi juga hambatan serius terhadap kelangsungan dan produktivitas sektor swasta.

Metodologi Penelitian

Penelitian menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 52 kuesioner dibagikan kepada perusahaan konstruksi besar dan menengah di Kabul, dengan 40 kuesioner valid digunakan untuk analisis. Pengolahan data dilakukan menggunakan model Fractional Logistic Regression melalui perangkat lunak Stata.

Temuan Utama

1. Dampak Korupsi terhadap Kinerja Bisnis

  • 67 dari 144 negara menyebut korupsi sebagai salah satu dari tiga tantangan utama dalam menjalankan bisnis (WEF).
  • SMEs (Usaha Kecil dan Menengah) membayar suap hingga 5% dari pendapatan tahunan, sementara perusahaan besar hanya sekitar 3%.
  • Korupsi mengurangi produktivitas, inovasi, dan menghambat pertumbuhan perusahaan baru.
  • Korupsi berkontribusi langsung terhadap penurunan GDP per kapita dan menurunnya investasi asing langsung (FDI) sekitar 3% (Barassi & Zhou, 2012).

2. Penyebab Korupsi

Faktor penyebab utama korupsi yang teridentifikasi meliputi:

  • Regulasi yang rumit dan birokratis
  • Lemahnya sistem hukum dan pengawasan
  • Gaji rendah pegawai negeri
  • Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum
  • Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
    Data dari Transparency International menunjukkan Afghanistan hanya mencetak 16/100 dalam indeks korupsi 2018, menempati posisi 172 dari 180 negara.

3. Biaya Sosial & Ekonomi Korupsi

  • Estimasi biaya suap global mencapai $1,5 hingga $2 triliun (Gupta, 2016).
  • Afghanistan membayar sekitar $3 miliar dalam bentuk suap pada 2016.
  • Korupsi menciptakan ekonomi informal, menurunkan investasi, dan memperluas ketimpangan sosial.

4. Upaya dan Tindakan Pencegahan

Penulis merekomendasikan beberapa langkah mitigatif:

  • Peningkatan gaji pegawai publik
  • Implementasi hukum antikorupsi yang kuat
  • Perlindungan pelapor (whistleblowers)
  • Edukasi sektor bisnis tentang dampak jangka panjang korupsi
  • Penyederhanaan prosedur dan regulasi bisnis
    Penelitian menunjukkan bahwa langkah preventif adalah variabel paling signifikan dalam model statistik, dengan nilai P = 0.000, dibandingkan penyebab korupsi (P = 0.001) dan dampak langsung (P = 0.058).

Studi Kasus: Sektor Konstruksi Kabul

Dari 40 responden yang valid:

  • 35% memiliki pengalaman lebih dari 11 tahun, memberikan bobot validitas yang tinggi terhadap persepsi dampak korupsi.
  • Mayoritas (63%) adalah perusahaan menengah, yang paling rentan terhadap beban biaya informal seperti suap dan birokrasi tambahan.
  • Korupsi menjadi alasan utama pengusaha enggan berinvestasi lebih besar dan memperluas operasi mereka.

Analisis dan Opini

Artikel ini menunjukkan bagaimana korupsi menjadi penghambat sistemik bagi sektor privat, khususnya perusahaan konstruksi yang sangat bergantung pada interaksi dengan lembaga pemerintah. Peneliti juga berhasil menempatkan konteks lokal (Afghanistan) ke dalam narasi global melalui kutipan data dari UNODC, World Bank, dan Transparency International.

Namun, artikel ini masih bisa diperkaya dengan membandingkan pengalaman negara lain yang berhasil mengatasi korupsi di sektor yang sama, seperti Rwanda atau Estonia. Kekuatan artikel terletak pada kombinasi statistik yang solid dan penguatan argumen berbasis studi lapangan, meskipun pemetaan aktor (aktor bisnis vs pejabat publik) masih dapat didalami lebih lanjut.

Kesimpulan

Korupsi berdampak luas terhadap kinerja komunitas bisnis, terutama sektor konstruksi yang padat interaksi dengan otoritas publik. Solusi tidak cukup dari reformasi hukum semata, tetapi harus melibatkan:

  • Edukasi sektor swasta,
  • Keadilan hukum,
  • dan keseriusan pemerintah dalam menindak pelanggaran.

Sumber Asli : Mansoor, M. R. (2019). The Impact of Corruption on Business Community Performance (A Case Study of Construction Businesses in Kabul). Master’s Thesis, American University of Afghanistan.

Selengkapnya
Korupsi Menghambat Kinerja Bisnis Konstruksi di Kabul

Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi

Evaluasi Implementasi Konvensi Anti-Suap OECD di Italia: Studi Kasus, Tantangan, dan Peluang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 12 Juni 2025


Pendahuluan
Dalam era globalisasi dan intensitas perdagangan internasional yang terus meningkat, pemberantasan suap lintas negara menjadi salah satu fokus utama komunitas internasional. Laporan “Implementing the OECD Anti-Bribery Convention in Italy: Phase 4 Report” (OECD, 2022) menyoroti secara mendalam bagaimana Italia menghadapi tantangan dan meraih kemajuan dalam implementasi Konvensi OECD Anti-Suap. Artikel ini akan mengulas secara menyeluruh laporan tersebut, lengkap dengan data, studi kasus, dan analisis kritis.

Latar Belakang Evaluasi
Sejak bergabung dengan Konvensi OECD Anti-Suap pada 1997, Italia telah menjalani serangkaian evaluasi oleh Working Group on Bribery (WGB). Phase 4 dari evaluasi ini, yang diadopsi pada 13 Oktober 2022, menekankan pada aspek penegakan hukum, deteksi, dan tanggung jawab korporasi.

Temuan Utama dan Prestasi Italia
Laporan ini mencatat beberapa pencapaian penting yang menjadi dasar optimisme:

  • Sejak 2011 (Phase 3), terjadi 90 investigasi dan 72 proses hukum atas kasus suap asing, menghasilkan 14 vonis terhadap individu dan 8 terhadap badan hukum (OECD, 2022, hlm. 86).
  • Pendirian Departemen Ketiga Kejaksaan Milan khusus untuk kejahatan transnasional, termasuk suap asing, memperlihatkan dedikasi Italia.
  • Hari Integritas Bisnis Italia (IBID), yang diadakan setiap 9 Desember, menjadi ajang promosi praktik integritas oleh perusahaan Italia di kancah global.

Tantangan dan Kelemahan
Meski demikian, laporan OECD menyoroti berbagai tantangan serius yang masih dihadapi Italia, antara lain:

  1. Rendahnya denda korporasi yang tidak memadai sebagai efek jera.
  2. Standar pembuktian yang terlalu tinggi dan pendekatan bukti yang terpisah menghambat keberhasilan penuntutan.
  3. Kedaluwarsa kasus korporasi yang lebih singkat dibanding individu, menurunkan efektivitas penegakan hukum.
  4. Ketergantungan pada patteggiamento (penyelesaian non-sidang), yang mendominasi putusan vonis suap asing di Italia.

Contoh nyata dari kelemahan ini terlihat dari 7 kasus yang disidangkan pasca-2013: hanya 1 vonis berhasil, sedangkan 5 kasus sepenuhnya dibatalkan dan 1 kasus sebagian dibatalkan (OECD, 2022, hlm. 7).

Upaya Perbaikan dan Rekomendasi
OECD memberikan sejumlah rekomendasi kunci yang menjadi prioritas pembenahan Italia:

  • Mengembangkan strategi nasional untuk memerangi suap asing, termasuk pencegahan, deteksi, dan penegakan hukum (OECD, 2022, hlm. 89).
  • Meningkatkan kesadaran bagi pejabat publik dan perusahaan Italia, khususnya di negara dan sektor berisiko tinggi.
  • Mendorong pelaporan sukarela (self-reporting) dan proteksi bagi pelapor (whistleblowers), termasuk di sektor swasta yang masih lemah.
  • Reformasi kerangka hukum agar kesalahan korporasi dijatuhi denda yang memadai, serta pencabutan pembelaan “penyesalan efektif” (effective regret) yang dinilai tidak relevan di konteks suap asing.
  • Peningkatan kerja sama internasional, baik dalam bantuan hukum timbal balik (MLA) maupun ekstradisi.

Studi Kasus Penting: Italia vs Suap Asing
Laporan Phase 4 ini menyertakan ringkasan kasus-kasus yang dituntaskan sejak evaluasi Phase 3. Salah satunya, kasus yang melibatkan perusahaan Italia besar dengan skema suap pejabat asing melalui perantara, yang akhirnya diselesaikan lewat patteggiamento—dengan hukuman yang dinilai terlalu ringan (OECD, 2022, hlm. 93–97).

Selain itu, laporan memaparkan bagaimana deteksi kasus suap asing di Italia sebagian besar bukan hasil inisiatif domestik, melainkan informasi dari luar (28% dari otoritas asing, 10% dari media) (OECD, 2022, hlm. 12). Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan monitoring oleh otoritas Italia sendiri.

Kritik dan Komentar Tambahan
Secara kritis, laporan ini menilai bahwa Italia perlu mengubah paradigma: dari sekadar merespons tuduhan suap asing menjadi proaktif mendeteksi dan menuntaskan. Italia sudah memiliki infrastruktur hukum yang kuat, tetapi belum optimal dijalankan.

Misalnya, UU Pelindungan Pelapor sudah ada, namun belum menyentuh sektor swasta secara komprehensif (OECD, 2022, hlm. 15). Hal ini ironis, mengingat sektor swasta sering menjadi pintu masuk praktik suap lintas negara.

Hubungan dengan Tren Global
Artikel ini juga menyoroti relevansi laporan OECD ini dengan tren global:

  • Transparansi rantai pasokan dan kepatuhan menjadi kunci reputasi perusahaan global.
  • Konvergensi standar internasional menuntut perusahaan Italia—terutama eksportir besar—untuk memiliki program kepatuhan (compliance) yang konkret.
  • Digitalisasi proses hukum (misalnya rencana modernisasi pengadilan Italia) menjadi peluang akselerasi pemberantasan suap di masa depan.

Kesimpulan dan Implikasi
Italia telah menunjukkan komitmen signifikan dalam melaksanakan Konvensi OECD Anti-Suap, tetapi harus segera memperkuat beberapa celah kritis agar mampu menuntaskan suap lintas negara secara efektif.

Evaluasi ini bukan hanya soal “tugas rumah” Italia, tetapi juga cermin bagi negara lain: bahwa keseriusan menuntaskan suap asing menjadi parameter integritas global, sekaligus daya saing ekonomi jangka panjang.

Bagi para pelaku bisnis, laporan ini menjadi peringatan sekaligus peta jalan: kepatuhan bukan lagi opsi, tapi syarat bertahan di pasar global. Bagi pemerintah dan penegak hukum, laporan ini menegaskan bahwa sinergi, pelaporan sukarela, dan edukasi publik menjadi kunci menekan angka suap lintas negara.

Sumber : OECD. (2022). Implementing the OECD Anti-Bribery Convention in Italy: Phase 4 Report. Organisation for Economic Co-operation and Development.

Selengkapnya
Evaluasi Implementasi Konvensi Anti-Suap OECD di Italia: Studi Kasus, Tantangan, dan Peluang

Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi

Aspek Budaya dalam Manajemen Proyek Konstruksi Uganda: Praktik, Tantangan, dan Inovasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 12 Juni 2025


Pendahuluan

Pertumbuhan kota-kota besar di Afrika membawa peluang dan tantangan bagi sektor konstruksi, terutama di negara seperti Uganda. Studi Cultural Aspects of Construction Project Management Practices – a Ugandan Perspective oleh Erik Nikkanen Almén dan Sahand Kohnechian (2014) menjadi jendela penting untuk memahami bagaimana praktik manajemen proyek di Uganda dipengaruhi oleh aspek budaya, sejarah, dan dinamika sosial. Artikel ini bukan hanya merangkum temuan dari lapangan, tetapi juga menghubungkannya dengan teori manajemen proyek Barat, peran budaya lokal, dan potensi adaptasi untuk masa depan.

Latar Belakang dan Konteks

Uganda adalah salah satu negara Afrika yang mengalami urbanisasi cepat. Pada 2009, hampir 40% dari populasi satu miliar orang tinggal di kawasan urban. Diproyeksikan, pada 2050, 60% dari dua miliar penduduk Afrika akan tinggal di kota-kota. Kampala, ibu kota Uganda, menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di Afrika. Hal ini membuka peluang besar bagi sektor konstruksi, yang kini menjadi pemberi kerja terbesar kedua di Uganda setelah pertanian.

Namun, industri konstruksi di Uganda masih muda dan menghadapi tantangan signifikan, termasuk kualitas pekerjaan yang bervariasi, kurangnya kompetensi teknis, dan tingginya korupsi. Penelitian ini dilakukan melalui studi lapangan selama dua bulan di Kampala, melibatkan wawancara mendalam dengan kontraktor, konsultan, dan pejabat pemerintah.

Metodologi dan Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif eksploratif dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara dan data sekunder dari literatur. Kerangka teori utama yang digunakan meliputi:

  • Project Management Triangle (waktu, biaya, kualitas)
  • Teori budaya Hofstede (individualisme vs kolektivisme, jarak kekuasaan, dll.)
  • Teori kepemimpinan dan motivasi (Maslow, Hertzberg)
  • Pengaruh budaya kolektivisme Afrika (Lituchy et al., 2012)

Temuan lapangan kemudian dibandingkan dengan standar manajemen proyek Barat (PMBOK, IPMA, dll.) untuk melihat kesenjangan dan potensi adaptasi.

Temuan Utama

1. Peran Budaya Kolektivisme dan Patronase
Budaya kolektivisme yang kuat di Uganda menciptakan dinamika berbeda dalam manajemen proyek. Hubungan personal, clan, dan komunitas sering lebih diutamakan daripada kinerja teknis. Misalnya, keputusan staf atau kontraktor sering dipengaruhi oleh hubungan sosial daripada kompetensi profesional. Hal ini berdampak pada kualitas proyek dan efisiensi waktu.

2. Manajemen Proyek: Adaptasi dan Tantangan

  • Definisi Misi Proyek: Sebagian besar manajer proyek memahami pentingnya keseimbangan waktu, biaya, dan kualitas. Namun, tekanan untuk menekan biaya sering membuat kualitas dikorbankan.
  • Siklus Proyek: Praktik general contracting mendominasi, dengan sedikit inovasi kontrak. Sering terjadi perubahan peran, misalnya konsultan arsitektur juga menjadi manajer proyek.
  • Kendala Logistik dan Sumber Daya: Proyek menghadapi masalah pengadaan bahan, logistik, dan cuaca (musim hujan dan kering). Hal ini membuat manajer proyek harus fleksibel dan adaptif.
  • Studi Kasus: Beberapa kontraktor menghadapi tantangan dalam menjaga kualitas karena harus membayar pekerja mingguan sambil tetap menjaga profit. Akibatnya, kualitas menjadi prioritas sekunder.

3. Korupsi dan Konflik Kepentingan
Korupsi menjadi hambatan utama, bahkan diakui oleh para manajer proyek. Biaya proyek sering membengkak di tahap perencanaan karena suap, menyisakan anggaran minim untuk konstruksi. Hal ini juga terkait dengan kepemimpinan negara yang masih rapuh.

4. Kelemahan Keterampilan Teknis
Kurangnya pelatihan formal di sektor konstruksi menyebabkan manajemen proyek di Uganda sering mengandalkan pengalaman individu, bukan standar profesional. Hal ini diperparah oleh keengganan klien untuk membayar mahal demi kualitas.

Analisis Kritis dan Studi Angka

  • Dominasi Biaya: Kebanyakan proyek mengutamakan biaya rendah sebagai kriteria utama pemilihan kontraktor. Akibatnya, 70% proyek menghadapi masalah kualitas di lapangan.
  • Pola Hierarki dan Komunikasi: Komunikasi di proyek masih sangat formal, jarang ada komunikasi lintas fungsi (misalnya antara kontraktor dan tukang). Hal ini memperlambat koordinasi.
  • Tingkat Korupsi: Sebagian besar aktor setuju bahwa sekitar 20–30% dari anggaran proyek “hilang” akibat korupsi, merujuk pada data wawancara.

Perbandingan dengan Standar Barat

Penelitian ini menegaskan bahwa standar manajemen proyek Barat—yang mengandalkan komunikasi terbuka, dokumentasi kuat, dan perencanaan detail—tidak sepenuhnya cocok di Uganda. Budaya kolektivisme, peran patronase, dan realitas ekonomi (misalnya tekanan profit cepat) membutuhkan adaptasi lebih besar.

Namun, beberapa pendekatan Barat terbukti bermanfaat:

  • Penggunaan software perencanaan seperti Gantt Chart mulai diperkenalkan untuk mempersingkat waktu proyek.
  • Konsep two-stage tendering (pengadaan dua tahap) mulai diperkenalkan untuk proyek besar.
  • Praktik manajemen risiko (risk assessment) makin dikenal walau masih terbatas.

Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi

Penelitian ini menyarankan beberapa langkah konkret:

  • Peningkatan Pendidikan Teknis: Pelatihan berbasis standar internasional (misalnya PMBOK) untuk kontraktor dan manajer proyek lokal.
  • Kolaborasi Lokal-Internasional: Membentuk kemitraan dengan kontraktor asing (misalnya dari Kenya atau Tanzania) untuk transfer keterampilan.
  • Kode Etik dan Standarisasi: Menerapkan standar etika yang lebih ketat, termasuk untuk pengadaan bahan.
  • Mendorong Inovasi Proyek: Membuka ruang bagi inovasi material dan desain agar tidak selalu terjebak pada mentalitas “secepat dan semurah mungkin.”

Kritik dan Implikasi Lebih Luas

Penelitian ini memang terbatas pada Kampala dan beberapa perusahaan saja. Namun, temuan ini penting karena menunjukkan bagaimana budaya lokal bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi membangun loyalitas, di sisi lain menghambat inovasi. Hal ini menjadi pembelajaran penting bagi negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, dalam merancang standar manajemen proyek yang lebih inklusif dan realistis.

Kesimpulan

Artikel ini menunjukkan bahwa manajemen proyek konstruksi di Uganda berkembang pesat, tetapi masih sangat dipengaruhi oleh budaya kolektivisme, tekanan biaya, dan korupsi. Adaptasi teori manajemen proyek Barat harus dilakukan secara kontekstual, bukan copy-paste. Peningkatan pendidikan dan kolaborasi lintas budaya menjadi kunci untuk memperbaiki mutu proyek dan mendorong inovasi di sektor konstruksi Uganda.

Sumber : Almén, E. N., & Kohnechian, S. (2014). Cultural aspects of Construction Project Management practices – a Ugandan perspective. Master’s thesis, Department of Real Estate and Construction Management, Royal Institute of Technology, Stockholm.

Selengkapnya
Aspek Budaya dalam Manajemen Proyek Konstruksi Uganda: Praktik, Tantangan, dan Inovasi

Sumber Daya Alam

Intervensi Adaptasi dan Pengaruhnya Terhadap Kerentanan di Negara Berkembang Bantuan, Hambatan, atau Tidak Relevan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.

Studi Kasus dan Temuan Kunci

Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:

  1. Memperkuat Kerentanan yang Ada
    • Kasus Kolombia Utara: Proyek dana Adaptation Fund yang memilih penerima manfaat untuk perumahan pasca-bencana dari daftar nasional gagal menjangkau kelompok paling rentan yang tidak mampu mengakses proses birokrasi, sehingga memperparah eksklusi sosial dan meningkatkan migrasi keluar.
    • Kasus Vietnam: Kebijakan bendungan hidroelektrik dan perlindungan hutan membantu mengatur banjir di dataran rendah, namun merugikan masyarakat pegunungan yang kehilangan akses ke tanah dan sumber daya hutan, menurunkan kapasitas adaptif mereka.
    • Kasus Ethiopia: Program pemukiman kembali pastoralis dalam strategi ekonomi hijau menyebabkan marginalisasi lebih lanjut dan penurunan ketahanan pangan bagi kelompok yang sudah rentan.
    • Kasus São Tomé dan Príncipe: Intervensi adaptasi hanya diberikan kepada pemilik tanah, mengabaikan kelompok tanpa tanah.
  2. Redistribusi Kerentanan
    • Infrastruktur seperti bendungan dan embankmen banjir yang melindungi satu komunitas dapat meningkatkan risiko bagi komunitas lain, seperti yang terjadi di Vietnam dan Bangladesh.
    • Perubahan pasar regional akibat penggunaan teknologi pertanian mahal oleh kelompok yang lebih mampu dapat mengalihkan sumber daya dari program pembangunan agraria yang menargetkan kelompok miskin.
  3. Menciptakan Risiko dan Kerentanan Baru
    • Contoh "safe development paradox" di Bangladesh, di mana pembangunan infrastruktur pesisir yang melindungi dari badai justru mendorong penduduk tetap tinggal di zona risiko tinggi, meningkatkan potensi kerugian di masa depan.
    • Intervensi top-down seperti program pemukiman kembali di Mozambik yang menggunakan tekanan militer dan penarikan layanan dasar untuk memindahkan kelompok marginal, menimbulkan kerentanan baru dan konflik sosial.

Angka dan Data Penting

  • Studi terhadap 27 donor bilateral dan multilateral di Malawi menunjukkan bahwa daerah dengan kebutuhan adaptasi tertinggi justru menerima proporsi dana paling kecil, dengan kelompok termiskin paling sedikit mendapatkan bantuan.
  • Kurang dari 50% entitas pelaksana dan LSM menilai kebijakan adaptasi sudah mempertimbangkan aspek gender secara memadai (Adaptation Fund, 2019).
  • Dari 56 kegiatan adaptasi di Kenya yang didukung program DFID StARCK+, dua pertiga fokus pada risiko yang sudah dikenal, dan hanya sedikit yang secara eksplisit menargetkan dampak perubahan iklim yang sudah diamati.

Analisis Mekanisme Maladaptasi

Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:

  1. Pemahaman Konteks Kerentanan yang Dangkal
    Banyak intervensi tidak mengkaji secara mendalam konteks sosial-politik yang membentuk kerentanan, seperti hubungan gender, ras, kelas, dan disabilitas. Penilaian kerentanan seringkali menggunakan indikator yang telah ditentukan sebelumnya dan kurang mempertimbangkan dinamika lokal yang kompleks.
  2. Partisipasi Pemangku Kepentingan yang Tidak Adil
    Perencanaan dan pelaksanaan intervensi sering bersifat top-down, sehingga suara kelompok marginal tidak terwakili. Partisipasi yang ada seringkali bersifat simbolis dan tidak mengubah struktur kekuasaan yang ada, sehingga memperkuat ketidaksetaraan.
  3. Retrofitting Adaptasi ke Agenda Pembangunan yang Ada
    Banyak dana adaptasi digunakan untuk proyek pembangunan yang sudah ada dengan label baru "adaptasi", tanpa perubahan signifikan pada tujuan atau metode. Hal ini mengakibatkan adaptasi lebih bersifat inkremental dan tidak mengatasi penyebab mendasar kerentanan.
  4. Definisi ‘Keberhasilan Adaptasi’ yang Terbatas dan Dominan oleh Diskursus Pembangunan
    Keberhasilan adaptasi sering diukur berdasarkan output proyek (misalnya jumlah penerima manfaat) tanpa mengkaji dampak jangka panjang terhadap kerentanan dan ketidaksetaraan. Definisi keberhasilan ini cenderung mengabaikan perspektif kelompok marginal dan mempertahankan status quo.

Opini dan Kritik

Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.

Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.

Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.

Rekomendasi Strategis

  • Meningkatkan Pemahaman Konteks Kerentanan dengan melakukan asesmen yang lebih mendalam dan kontekstual, termasuk dimensi sosial-politik dan interseksionalitas.
  • Memperluas Partisipasi Inklusif melalui mekanisme deliberatif yang melibatkan berbagai kelompok marginal secara bermakna dalam perencanaan dan evaluasi adaptasi.
  • Menghindari Retrofitting Adaptasi dengan merancang intervensi yang secara eksplisit menargetkan pengurangan kerentanan terhadap risiko iklim masa depan, bukan hanya mengemas ulang proyek pembangunan lama.
  • Mendefinisikan Ulang Keberhasilan Adaptasi dengan indikator yang mempertimbangkan dampak jangka panjang, keadilan sosial, dan perspektif masyarakat yang terpinggirkan.
  • Mendorong Proses Pembelajaran dan Refleksi dalam Organisasi Pelaksana untuk mengatasi bias dan asumsi yang menghambat adaptasi yang efektif dan adil.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.

Selengkapnya
Intervensi Adaptasi dan Pengaruhnya Terhadap Kerentanan di Negara Berkembang Bantuan, Hambatan, atau Tidak Relevan

Sumber Daya Alam

Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?

Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.

Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi

Kapasitas Adaptif Organisasi

Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:

  • Kesadaran dan pengetahuan tentang risiko iklim dan opsi adaptasi.
  • Kemampuan teknis dan infrastruktur, seperti teknologi monitoring dan pengelolaan air.
  • Sumber daya ekonomi dan kelembagaan, termasuk dana, kebijakan, dan fleksibilitas organisasi.
  • Kepemimpinan visioner dan struktur organisasi yang mendukung pembelajaran dan pengambilan keputusan adaptif.

Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.

Hambatan Adaptasi

Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:

  • Kognitif, seperti kurangnya pemahaman risiko atau skeptisisme terhadap perubahan iklim.
  • Institusional dan birokratis, termasuk aturan yang kaku, kurangnya koordinasi antar lembaga, dan proses pengambilan keputusan yang lambat.
  • Sosial dan budaya, seperti sikap apatis, kurangnya dukungan politik, dan norma yang menghambat inovasi.
  • Sumber daya terbatas, baik dana maupun teknologi.

Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.

Studi Kasus dan Temuan Empiris

Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:

  • India (Himachal Pradesh): Organisasi pengelola air menghadapi hambatan berupa birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi antar lembaga, serta keterbatasan sumber daya teknis dan finansial. Hal ini menghambat respons adaptif terhadap perubahan pola curah hujan dan risiko banjir1.
  • Australia dan Inggris: Studi menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran tinggi dan strategi adaptasi yang dirancang, implementasi sering terhambat oleh ketidakjelasan tujuan, kurangnya indikator keberhasilan yang spesifik, dan keterbatasan kapasitas lokal dalam menerjemahkan kebijakan nasional ke tingkat daerah1.
  • Kasus Transboundary Water Management: Organisasi yang mengelola sumber daya air lintas batas negara menghadapi tantangan koordinasi dan kesepakatan kebijakan yang rumit, yang menghambat pengelolaan adaptif yang efektif1.

Strategi Adaptasi yang Diterapkan

Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:

  1. Manajemen Sisi Pasokan dan Permintaan
    • Konservasi air, peningkatan efisiensi penggunaan, dan pengelolaan ulang sumber daya air.
    • Contoh: Pengurangan kebocoran jaringan distribusi dan penggunaan teknologi pengukuran untuk meningkatkan efisiensi air di Iran2.
  2. Pengoperasian Sistem dan Optimalisasi
    • Pembaruan kurva operasi waduk menggunakan algoritma optimasi untuk mengantisipasi perubahan pola hidrologi akibat iklim.
    • Studi Rheinheimer et al. (2016) menunjukkan bahwa redefinisi indeks klasifikasi tahun air (Water Year Type) efektif untuk adaptasi2.
  3. Pengembangan Infrastruktur dan Teknologi
    • Pembangunan bendungan baru, sistem panen air hujan, dan penerapan teknologi pengolahan air limbah untuk digunakan kembali.
    • Pendekatan ini seringkali mahal dan memerlukan investasi besar, sehingga perlu dikombinasikan dengan strategi non-struktural2.
  4. Pendekatan Bottom-Up dan Partisipatif
    • Meningkatkan ketahanan sistem pengelolaan air melalui keterlibatan masyarakat dan multi-stakeholder, serta penguatan jaringan antar organisasi.
    • Pendekatan ini dianggap penting untuk mengatasi hambatan sosial dan kelembagaan13.

Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary

Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:

  • Jaringan Antar-Organisasi memungkinkan pertukaran pengetahuan, sumber daya, dan koordinasi lintas sektor dan skala pemerintahan.
  • Organisasi Transboundary berperan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan, serta menghubungkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan berbeda.
  • Namun, jaringan ini juga menghadapi risiko dominasi oleh aktor tertentu dan konflik kepentingan yang dapat menghambat adaptasi yang inklusif dan efektif1.

Kritik dan Opini Tambahan

Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:

  • Evaluasi Kapasitas Adaptif dan Keberhasilan Adaptasi masih sangat terbatas, terutama di negara berkembang. Banyak studi fokus pada perencanaan dan kesiapan, namun bukti nyata implementasi dan hasil adaptasi masih minim.
  • Hambatan Sosial dan Politik sering kali kurang mendapat perhatian yang memadai, padahal faktor-faktor ini sangat menentukan keberhasilan adaptasi di lapangan.
  • Pendekatan Integratif yang menggabungkan aspek teknis, sosial, ekonomi, dan kelembagaan sangat diperlukan untuk mengatasi hambatan yang saling terkait.
  • Konteks Lokal harus menjadi fokus utama dalam desain dan evaluasi adaptasi, mengingat perbedaan kondisi sosial-ekonomi dan institusional yang sangat besar antar wilayah.

Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:

  • Penguatan kapasitas adaptif melalui peningkatan pengetahuan, sumber daya, dan struktur organisasi yang fleksibel.
  • Pengembangan dan pemeliharaan jaringan antar-organisasi serta peran aktif organisasi transboundary.
  • Pendekatan adaptasi yang kontekstual, inklusif, dan mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
  • Penelitian lebih lanjut untuk memahami hambatan adaptasi secara mendalam dan bagaimana mengatasinya dalam berbagai konteks.

Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.

 

Selengkapnya
Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Sumber Daya Air

Membangun Ketahanan Tata Kelola Air: Resensi Kritis dan Studi Kasus Afrika Selatan & Kamboja

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim

Ketahanan atau resilience kini menjadi salah satu tema sentral dalam diskusi tata kelola sumber daya air. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan pada ekosistem, pengelolaan air yang tahan guncangan dan mampu beradaptasi menjadi kebutuhan mendesak. Artikel “Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia” karya A. Fallon, R.W. Jones, dan M. Keskinen (2022) menawarkan perspektif baru dengan mengintegrasikan pemikiran ketahanan ke dalam tata kelola air, serta mengujinya lewat dua studi kasus nyata: Danau Tonle Sap di Kamboja dan sub-DAS Limpopo di Afrika Selatan.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana isu krisis air dan keadilan akses air semakin sering menjadi sorotan. Dengan mengangkat contoh konkret dari dua benua berbeda, penulis menyoroti bahwa ketahanan bukan sekadar soal bertahan dari bencana, tetapi juga kemampuan sistem sosial-ekologis untuk beradaptasi dan bahkan bertransformasi menuju tata kelola air yang lebih adil dan berkelanjutan.

Menyatukan Sistem Sosial-Ekologis, Ketahanan, dan Tata Kelola

Sistem Sosial-Ekologis (SES): Kompleksitas dan Keterhubungan

Penulis mengawali dengan konsep sistem sosial-ekologis, yaitu sistem yang terdiri dari komponen manusia (sosial) dan lingkungan (ekologis) yang saling terhubung. Dalam konteks air, ini berarti pengelolaan air tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sistem ini bersifat dinamis, adaptif, dan rentan terhadap perubahan mendadak.

Ketahanan: Lebih dari Sekadar Bertahan

Ketahanan dalam artikel ini dipahami sebagai kemampuan sistem untuk:

  • Menyerap gangguan tanpa kehilangan fungsi inti (kapasitas absorptif)
  • Beradaptasi terhadap perubahan (kapasitas adaptif)
  • Bertransformasi menuju sistem yang lebih baik (kapasitas transformatif)

Ketahanan juga dipandang sebagai properti (ciri khas sistem), proses (cara sistem berubah), dan hasil (tingkat keberhasilan bertahan/adaptasi).

Tata Kelola Interaktif: Keadilan dan Dinamika Kekuasaan

Tata kelola air tidak hanya soal aturan formal, tetapi juga soal siapa yang punya suara, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana keputusan diambil. Penulis menekankan pentingnya memperhatikan dinamika kekuasaan, keadilan, dan partisipasi dalam tata kelola air.

Kerangka Resilience-Governance

Dari ketiga teori di atas, penulis membangun kerangka “resilience–governance” yang menekankan pentingnya:

  • Tiga kapasitas ketahanan (absorptif, adaptif, transformatif)
  • Tiga cara memandang ketahanan (properti, proses, hasil)
  • Integrasi aspek kekuasaan dan keadilan
  • Analisis lintas-skala (lokal hingga nasional)

Kerangka ini menjadi alat analisis untuk memahami dan memperbaiki tata kelola air di berbagai konteks.

Studi Kasus 1: Danau Tonle Sap, Kamboja

Latar Belakang

Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan siklus air unik: air mengalir masuk dan keluar danau mengikuti musim, menyebabkan banjir musiman yang sangat penting bagi ekosistem dan ekonomi lokal. Lebih dari 1,2 juta orang bergantung pada danau ini, terutama dari sektor perikanan dan pertanian.

Tantangan Tata Kelola

Penurunan volume air akibat pembangunan bendungan di hulu, perubahan iklim, dan konversi lahan basah menjadi ancaman utama. Selain itu, persaingan antar pengguna air dan eksploitasi berlebihan memperparah tekanan pada sistem. Tata kelola air di kawasan ini sangat kompleks, melibatkan banyak lembaga dan sering kali tumpang tindih kewenangan.

Analisis Ketahanan

  • Kapasitas absorptif: Komunitas lokal selama bertahun-tahun mampu bertahan dari fluktuasi musiman. Namun, perubahan jangka panjang seperti penurunan debit air mulai menggerus ketahanan ini.
  • Kapasitas adaptif: Masyarakat mulai mencoba diversifikasi mata pencaharian, namun akses terhadap modal, teknologi, dan informasi masih terbatas.
  • Kapasitas transformatif: Upaya reformasi tata kelola, misalnya lewat pembentukan Komite Pengelolaan Tonle Sap, masih menghadapi tantangan politik dan minimnya partisipasi masyarakat.

Data dan Fakta

  • Luas danau: 2.500 km² di musim kering, hingga 15.000 km² di musim hujan.
  • Populasi terdampak: lebih dari 1,2 juta jiwa.
  • Penurunan hasil tangkapan ikan: sekitar 20% dalam 10 tahun terakhir.

Pelajaran dari Tonle Sap

Ketahanan komunitas sangat bergantung pada fleksibilitas sosial dan jaringan informal. Namun, intervensi eksternal seperti pembangunan bendungan di hulu dapat mengganggu keseimbangan sistem dan memperburuk kerentanan masyarakat lokal. Keadilan dalam distribusi manfaat dan beban menjadi isu sentral yang belum terselesaikan.

Studi Kasus 2: Sub-DAS Limpopo, Afrika Selatan

Latar Belakang

Doringlaagte, salah satu sub-catchment di DAS Limpopo, menghadapi masalah penurunan air tanah akibat irigasi intensif dan perubahan iklim. Sistem tata kelola di sini merupakan campuran antara aturan formal yang lemah dan mekanisme informal berbasis komunitas.

Tantangan Tata Kelola

Kekurangan air menjadi masalah utama, dengan penurunan air tanah hingga 2 meter dalam satu dekade terakhir. Konflik antar pengguna air, khususnya antara petani besar dan kecil, makin sering terjadi. Pemerintah daerah kurang efektif, sehingga komunitas mengembangkan mekanisme swakelola.

Analisis Ketahanan

  • Kapasitas absorptif: Komunitas masih mampu bertahan dari kekeringan jangka pendek, namun kapasitas ini terus menurun seiring penurunan cadangan air tanah.
  • Kapasitas adaptif: Sebagian petani mulai mengadopsi teknologi irigasi hemat air, namun adopsinya masih terbatas akibat keterbatasan modal dan pengetahuan.
  • Kapasitas transformatif: Ada potensi transformasi melalui kolaborasi lintas aktor, namun terhambat oleh ketidaksetaraan akses dan kurangnya kepercayaan antar kelompok.

Data dan Fakta

  • Penurunan air tanah: rata-rata 0,2 meter per tahun selama 10 tahun terakhir.
  • Jumlah petani yang bergantung pada air tanah: sekitar 150 keluarga.
  • Proporsi air yang digunakan untuk irigasi: lebih dari 80% dari total pengambilan air.

Pelajaran dari Limpopo

Ketahanan sistem sangat dipengaruhi oleh interaksi antara tata kelola formal dan informal. Ketidaksetaraan dalam akses air memperparah kerentanan kelompok kecil. Transformasi tata kelola membutuhkan perubahan struktur kekuasaan dan insentif yang lebih adil.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Artikel ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan dimensi kekuasaan dan keadilan ke dalam diskusi ketahanan air, aspek yang sering diabaikan dalam penelitian sebelumnya. Banyak studi masih terfokus pada aspek teknis atau ekologi, sementara aspek sosial-politik dan distribusi manfaat/beban kurang diperhatikan.

Dibandingkan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) yang lebih normatif dan struktural, kerangka resilience–governance lebih menekankan dinamika proses, pembelajaran, dan kemungkinan transformasi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi: bagaimana memastikan partisipasi yang bermakna, mengatasi ketimpangan kekuasaan, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam tata kelola formal.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

  • Perubahan iklim: Kedua studi kasus menunjukkan bahwa ketahanan air tidak bisa dipisahkan dari adaptasi terhadap perubahan iklim.
  • SDGs dan keadilan air: Isu distribusi manfaat dan keadilan sangat relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi) dan SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan).
  • Teknologi dan inovasi sosial: Transformasi tata kelola air membutuhkan kombinasi inovasi teknologi (misal: irigasi hemat air) dan inovasi sosial (misal: mekanisme kolaboratif dan partisipatif).

Opini dan Rekomendasi

Kerangka resilience–governance yang dikembangkan penulis sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana tata kelola air juga menghadapi tantangan kompleks, mulai dari konflik antar pengguna, perubahan iklim, hingga ketimpangan akses. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk memperkuat ketahanan sistem air di DAS kritis seperti Citarum atau Brantas.

Namun, perlu diingat bahwa transformasi tata kelola tidak cukup hanya dengan perubahan struktur formal. Diperlukan upaya membangun kepercayaan, memperkuat kapasitas lokal, dan mengatasi hambatan politik yang seringkali menjadi akar masalah.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif

Artikel ini berhasil menunjukkan bahwa ketahanan dalam tata kelola air bukan sekadar soal bertahan dari gangguan, tetapi juga tentang kemampuan beradaptasi dan bertransformasi menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan teori sistem sosial-ekologis, ketahanan, dan tata kelola interaktif, penulis menawarkan kerangka analisis yang komprehensif dan aplikatif.

Studi kasus dari Kamboja dan Afrika Selatan mempertegas bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada dinamika sosial-politik, keadilan, dan kekuasaan. Transformasi tata kelola air membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan “command and control” menuju tata kelola yang lebih partisipatif, inklusif, dan adaptif.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, kerangka resilience–governance ini dapat menjadi referensi penting dalam merancang intervensi yang tidak hanya tahan terhadap gangguan, tetapi juga mampu menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Sumber artikel asli:

Fallon, A., Jones, R.W., & Keskinen, M. (2022). Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia. Global Environmental Change, 75, 102542.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Tata Kelola Air: Resensi Kritis dan Studi Kasus Afrika Selatan & Kamboja
page 1 of 1.062 Next Last »