Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Di Ambang Krisis atau Peluang?
Indonesia berada di titik kritis: laju kerusakan lingkungan meningkat, sementara eksploitasi sumber daya terus berlanjut atas nama pembangunan. Namun, di balik tantangan tersebut, tersimpan peluang transformatif yang dapat menjadikan negeri ini pionir pembangunan berkelanjutan. Artikel ini mengupas laporan Dewan Riset Nasional (DRN) tahun 2003 berjudul Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, dengan parafrase dan analisis tambahan yang lebih relevan untuk konteks masa kini.
Pembangunan Tidak Selalu Berarti Kemajuan
Ketergantungan pada Luar Negeri
Laporan ini mengungkap fakta suram: Indonesia terlalu menggantungkan pembangunan pada pinjaman luar negeri, teknologi asing, dan ekspor bahan mentah. Hal ini menggerus kemandirian dan menciptakan ketergantungan struktural. Data impor beras (2 juta ton), kedelai (1 juta ton), dan gandum (4,3 juta ton) menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan pangan negeri ini.
Pembangunan Belum Berkelanjutan
Menurut DRN, Indonesia mengalami "depresiasi SDA sebesar 17% dari PDB". Sementara itu, tabungan bersih yang diperoleh hanya 15% dari PDB. Artinya, kita kehilangan lebih banyak dari yang kita simpan. Ini adalah indikator pembangunan yang merugikan generasi masa depan.
Konservasi & Rehabilitasi: Misi yang Terlupakan
Eksploitasi Tanpa Reklamasi
Sebanyak 138 izin tambang di hutan lindung ditolak, namun 15 lainnya tetap diizinkan beroperasi karena izin terbit sebelum penetapan kawasan. Dampaknya? Kerusakan ekologis permanen.
Reboisasi yang Tertunda
Dengan laju kerusakan hutan mencapai 2,1 juta ha/tahun dan total kerusakan hingga 43 juta ha, upaya rehabilitasi masih minim. Padahal, dibutuhkan Rp 1,6 triliun untuk menanam ulang 300 ribu ha hutan, namun dana pembangunan hutan hanya Rp 8,3 triliun.
Pendidikan & SDM: Investasi Masa Depan
Minimnya Tenaga Ahli Lingkungan
Kurangnya integrasi pendidikan lingkungan ke semua sektor pembangunan menghambat adopsi prinsip berkelanjutan. Mayoritas tenaga kerja ada di sektor pertanian (44,9%), namun produktivitas dan kontribusinya terhadap PDB sangat kecil (0,4%).
Usulan Pendidikan Lingkungan Terpadu
DRN mendorong pembentukan Sekolah Tinggi Ilmu Lingkungan serta kursus berjenjang dari penyusun AMDAL hingga auditor lingkungan, yang penting untuk memperkuat kapasitas institusional.
Peluang Strategis: Dari SDA ke Nilai Tambah
Masih Mengekspor Mentah
Data menunjukkan Indonesia mengekspor 422 juta kg produk laut, tapi konsumsi protein domestik masih rendah (±4 kg/kapita/tahun). Artinya, rakyat belum mendapatkan gizi cukup dari kekayaan lautnya sendiri.
Optimalisasi SDA: Redesign dan Biosafety
DRN menyarankan prinsip "9R": Reduce, Reuse, Replace, Recycle, dan sebagainya, demi memaksimalkan efisiensi SDA. Biosafety juga penting untuk menghadapi tantangan GMO dan eksploitasi hayati.
Kritik dan Perbandingan
Perlu Integrasi dengan IWRM dan Nexus Pendekatan
Laporan DRN belum membahas integrasi tata kelola air dan energi-pangan (Nexus). Dibandingkan dengan pendekatan seperti IWRM (Integrated Water Resource Management), strategi DRN masih sektoral dan kurang konvergen.
Minimnya Studi Kasus Lapangan
Meskipun ada beberapa data kuantitatif, laporan ini lemah dalam studi kasus atau pembelajaran praktik terbaik dari daerah. Padahal, banyak inovasi lokal yang bisa jadi inspirasi, seperti konservasi partisipatif di Gunung Kidul atau restorasi mangrove di Demak.
Rekomendasi Kebijakan Tambahan
Dampak Industri dan Tren Global
Kesimpulan: Laporan Lama, Relevansi Baru
Laporan DRN tahun 2003 tetap relevan. Bahkan, dengan krisis iklim dan tekanan populasi saat ini, isinya menjadi semakin mendesak. Namun perlu diperbarui dengan data dan pendekatan terkini. Dengan mengadopsi teknologi, reformasi regulasi, dan partisipasi masyarakat, Indonesia punya peluang emas untuk memimpin transformasi hijau di Asia Tenggara.
Sumber: Dewan Riset Nasional. (2003). Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan. Forum Kerja Lingkungan DRN. November 2003.
Risiko Iklim
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Menyatukan Air dan Kebijakan: Urgensi IWRM di Era Risiko Iklim
Manajemen sumber daya air yang terintegrasi (Integrated Water Resources Management/IWRM) menjadi paradigma utama dalam mengelola air di tengah tekanan populasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Namun, konsep ini sering gagal dalam praktik karena kurangnya integrasi antar kebijakan lintas sektor. Artikel "Integrated Water Resources Management and Policy Integration: Lessons from 169 Years of Flood Policies in Switzerland" oleh Florence Metz dan Anik Glaus (2019) menawarkan pembelajaran mendalam dari konteks Swiss, negara yang telah membangun kebijakan banjir selama hampir dua abad.
Dari IWRM ke Kerangka Rezim Sumber Daya Institusional
IWRM mendorong integrasi pengelolaan air lintas sektor, tingkat pemerintahan, dan wilayah geografis. Namun, Metz dan Glaus menunjukkan bahwa integrasi ini tidak bisa dilepaskan dari evolusi kebijakan publik yang cenderung membentuk sektor-sektor tersendiri. Di sinilah mereka memperkenalkan kerangka Institutional Resource Regime (IRR) yang menggabungkan dua dimensi utama:
Ketika jumlah kebijakan meningkat (extent bertambah), tanpa upaya integrasi aktif, sistem bisa menjadi kompleks dan tidak koheren.
Studi Kasus: Kebijakan Banjir Swiss 1848–2017
Lonjakan Kebijakan, Banjir Tak Surut
Dalam 169 tahun, Swiss mengadopsi 92 instrumen kebijakan banjir pada tingkat nasional. Namun, dari semua itu, hanya 27 yang digantikan atau dihentikan, sisanya tetap berjalan. Ini mencerminkan fenomena path dependency: begitu kebijakan diterapkan, cenderung sulit diubah.
Menariknya, meski jumlah kebijakan meningkat secara eksponensial, kerusakan akibat banjir tidak berkurang. Bahkan, delapan tahun antara 1972–2007 ditandai sebagai periode banjir besar dengan kerugian tahunan mencapai rata-rata €220 juta, dan puncaknya pada 2005 dengan kerugian > €1,8 miliar.
Jenis Kebijakan yang Digunakan
Tujuh pendekatan utama dalam kebijakan banjir Swiss mencakup:
Peralihan besar terjadi sejak 1990-an dari pendekatan teknik ke pendekatan integratif berbasis tata ruang dan risiko.
Survei 146 Pakar: Apa yang Penting dalam Desain Kebijakan?
Metz dan Glaus melakukan survei terhadap 146 pakar manajemen banjir di tiga wilayah sungai (Aare, Kander, Thur). Mereka diminta menilai 10 indikator desain kebijakan. Hasilnya:
Empat Aspek Paling Dihargai:
Ini mencerminkan pentingnya kebijakan yang tidak hanya banyak, tetapi juga berdaya paksa dan memiliki ekosistem kelembagaan yang mendukung.
Studi Kasus Lokal:
Stabil Tapi Tidak Adaptif: Tantangan Reformasi Kebijakan
Meski kebijakan meningkat, desainnya menunjukkan pola yang tetap (sticky) dari waktu ke waktu. Ini menandakan bahwa gaya kebijakan nasional memainkan peran besar, dan reformasi bersifat inkremental.
Kritik penting: tanpa perubahan desain kebijakan yang fleksibel dan adaptif, integrasi hanya menjadi jargon. Hal ini relevan bagi negara-negara seperti Indonesia yang menghadapi risiko banjir tinggi tapi sistem kebijakan masih terfragmentasi.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan
1. Evaluasi Periodik Desain Kebijakan
Pemerintah harus melakukan audit terhadap efektivitas, koherensi, dan adaptabilitas instrumen kebijakan yang telah ada.
2. Fokus pada Koherensi, Bukan Jumlah
Lebih baik sedikit kebijakan dengan desain matang dan terkoordinasi daripada banyak kebijakan yang tumpang tindih.
3. Desain Adaptif
Terapkan prinsip "adaptive policy design" dengan target yang bisa direvisi dan sistem umpan balik berbasis data.
4. Peran Anggaran
Tanpa pendanaan yang memadai, instrumen kebijakan hanya menjadi dokumen mati. Asuransi banjir dan insentif ekonomi dapat menjadi inovasi.
5. Harmonisasi Lintas Sektor
Perlu kerangka regulasi yang memaksa koordinasi antar sektor (pertanian, infrastruktur, lingkungan, tata ruang).
Mengaitkan dengan Konteks Global
Studi ini relevan bagi negara lain dengan sistem federal atau otonomi daerah tinggi. Misalnya:
Kesimpulan: Integrasi IWRM Harus Dimulai dari Desain Kebijakan
Penelitian ini menegaskan bahwa IWRM tidak cukup dijalankan dengan menambah kebijakan baru, tetapi harus ditunjang oleh integrasi antar kebijakan yang telah ada—baik secara sektoral maupun temporal. Swiss menjadi laboratorium unik untuk menunjukkan bagaimana sejarah kebijakan yang panjang bisa menjadi aset atau hambatan tergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi.
Tanpa desain kebijakan yang fleksibel, koheren, dan berdaya paksa, IWRM berisiko menjadi jargon tanpa implementasi nyata.
Sumber: Metz, F., & Glaus, A. (2019). Integrated Water Resources Management and Policy Integration: Lessons from 169 Years of Flood Policies in Switzerland. Water, 11(6), 1173.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Pandemi sebagai Pendorong Inovasi di Dunia Konstruksi
Pandemi COVID-19 bukan hanya mengubah tatanan sosial dan ekonomi global, tetapi juga menjadi titik balik bagi banyak sektor, termasuk industri konstruksi di Indonesia. Sektor ini, yang semula sangat bergantung pada interaksi langsung di lapangan, kini dipaksa melakukan adaptasi besar-besaran untuk bertahan. Salah satu strategi kunci yang diangkat dalam Buletin Bina Konstruksi Edisi 5 Tahun 2020 adalah transformasi metode pelatihan dan pembinaan tenaga kerja konstruksi menjadi sistem berbasis digital dan hybrid.
Dalam situasi krisis ini, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian PUPR tidak tinggal diam. Mereka melakukan reposisi kebijakan dengan mengembangkan sistem pelatihan daring, mengaktifkan Mobile Training Unit (MTU), hingga memperketat protokol kesehatan untuk pelatihan konvensional di zona hijau.
Realitas Krisis SDM Konstruksi di Masa Pandemi
Turunnya Target Pembinaan Tenaga Kerja
Salah satu data paling mencolok dari buletin ini adalah penurunan tajam target pembinaan tenaga kerja konstruksi dari 243.000 orang menjadi hanya 113.940 orang selama pandemi. Penurunan ini bukan sekadar statistik, tapi sinyal darurat yang mengungkap GAP besar antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja bersertifikat di lapangan.
Ancaman Jangka Panjang
Kesenjangan ini dapat berdampak jangka panjang, mulai dari proyek infrastruktur mangkrak, tingginya angka kecelakaan kerja karena tenaga tidak terlatih, hingga kegagalan mencapai target pembangunan nasional. Oleh karena itu, pelatihan dan sertifikasi kompetensi menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar formalitas administratif.
Strategi Inovatif Pelatihan di Era New Normal
Metode Hybrid: Daring dan Konvensional
Melalui Surat Edaran Dirjen Bina Konstruksi No. 107/SE/Dk/2020, diterapkan enam metode pelatihan yang mencakup daring, blended learning, dan tatap muka terbatas di zona hijau. Ini menciptakan model hybrid yang fleksibel dan adaptif terhadap kondisi lokal.
Studi Kasus:
Di Jakarta, pelatihan beton pracetak dan keselamatan konstruksi berhasil dilaksanakan secara kombinasi. Hasilnya, lebih dari 1.100 peserta mengikuti pelatihan ini, dan beberapa langsung direkrut oleh PT Indonesia Pondasi Jaya.
E-Learning: Efisiensi dan Tantangannya
Metode daring memungkinkan penyelenggaraan pelatihan lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Namun, seperti disoroti dalam buletin, tantangan terbesar adalah keterbatasan literasi digital dan infrastruktur internet, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
MTU – Solusi Mobilisasi dan Akses Sertifikasi
Apa Itu MTU dan Mengapa Penting?
Mobile Training Unit (MTU) adalah unit pelatihan keliling berbasis kendaraan yang dilengkapi alat peraga, koneksi internet, dan modul pelatihan. Selama pandemi, MTU menjadi jembatan emas bagi pelatihan di daerah yang tidak memiliki akses ke balai pelatihan.
Keunggulan MTU di Lapangan
Mobilitas tinggi: Menjangkau proyek terpencil dan kantong-kantong tenaga kerja.
Fleksibilitas zona: Hanya beroperasi di zona hijau dengan protokol ketat.
Sarana lengkap: Dilengkapi peralatan pelatihan praktis, tenda, dan fasilitas audio visual.
Efektivitas Lapangan
MTU memungkinkan pelatihan langsung di lokasi proyek. Tenaga kerja seperti tukang las, operator alat berat, hingga mekanik bisa mendapat pelatihan praktis dan uji kompetensi langsung. Hal ini sangat krusial untuk jabatan kerja yang tak bisa disubstitusi dengan pelatihan daring.
Peran Standar SKKNI dalam Mutu SDM Konstruksi
Apa Itu SKKNI dan Mengapa Krusial?
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah landasan hukum dan teknis yang mendefinisikan indikator unjuk kerja dan kurikulum berbasis kompetensi. Hingga 2020, sudah tersedia 213 SKKNI untuk 338 jabatan kerja di sektor konstruksi.
Fakta Penting:
121 SKKNI masih dalam tahap rancangan.
136 SKKNI dari yang sudah ada perlu diperbarui.
SKKNI dirancang melalui proses panjang: pemetaan, perumusan, pra-konvensi, verifikasi, dan konvensi nasional.
Dampak Langsung Terhadap Dunia Usaha
Tenaga kerja bersertifikat sesuai SKKNI lebih mudah diserap industri karena mereka memiliki kompetensi yang jelas, terukur, dan standar nasional. Hal ini juga menurunkan angka kecelakaan kerja dan meningkatkan produktivitas proyek.
Evaluasi Metode Pelatihan Daring
Faktor Penentu Keberhasilan
SDM Digital Literate: Penyelenggara dan peserta harus menguasai teknologi.
Sarana & Prasarana: Ketersediaan internet dan perangkat memadai.
Metodologi Pelatihan: Harus interaktif, tidak hanya sekadar presentasi pasif.
Tantangan dan Rekomendasi ke Depan
Tantangan
Ketimpangan infrastruktur digital.
Kesenjangan kompetensi antara pekerja terampil dan ahli.
Kebutuhan akan kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi konstruksi (Building Information Modelling, Smart Construction, dll).
Rekomendasi Strategis
Pembangunan Pusat Pelatihan Virtual Nasional: Untuk menyatukan modul pelatihan dari seluruh balai.
Insentif bagi Dunia Usaha: Perusahaan yang menyerap tenaga bersertifikat diberi potongan pajak atau subsidi pelatihan.
Kolaborasi Multi-pihak: Inovasi pelatihan harus melibatkan BUMN, universitas, asosiasi konstruksi, dan industri teknologi.
Kesimpulan: Momen Pembenahan Menuju SDM Konstruksi Unggul
Krisis pandemi seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan, tetapi sebagai katalis untuk perubahan mendasar. Direktorat Jenderal Bina Konstruksi telah membuka jalan dengan menerapkan sistem pelatihan berbasis teknologi, MTU, dan standardisasi SKKNI. Namun, keberlanjutan program ini bergantung pada komitmen seluruh pemangku kepentingan, baik dari sektor publik maupun swasta.
Penutup:
Jika Indonesia ingin menjadi kekuatan infrastruktur di Asia Tenggara, investasi terbesar bukan hanya pada jalan tol atau gedung pencakar langit, melainkan pada manusia yang membangunnya.
Sumber Referensi
Buletin Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Edisi 5 Tahun 2020: Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi di Tengah Masa Pandemi.
Akses: https://binakonstruksi.pu.go.id atau melalui DOI/arsip jurnal kementerian terkait jika tersedia.
Ekonomi Regional
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Bali, Pertumbuhan Ekonomi dan Paradoks Kesenjangan
Provinsi Bali kerap diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang impresif, terutama berkat sektor pariwisata. Namun, di balik pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang pesat dan meningkatnya investasi, terdapat fakta yang mencemaskan: ketimpangan distribusi pendapatan tetap tinggi.
Penelitian skripsi karya Alfiatus Sholihah ini berjudul "Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dan Investasi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Bali Tahun 2010–2014". Studi ini menggali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, dengan pendekatan kuantitatif berbasis regresi linier berganda.
Latar Belakang: Kesenjangan dalam Bayang-Bayang Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi Bali selama dekade terakhir banyak disokong oleh geliat pariwisata, perdagangan, dan infrastruktur. Hal ini tercermin dari PDRB per kapita yang terus naik setiap tahun. Begitu pula dengan arus investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, yang membanjiri sektor properti, perhotelan, dan UMKM.
Namun, ketika diukur menggunakan indeks Gini, yang menggambarkan ketimpangan pendapatan antarindividu atau wilayah, hasilnya tidak seindah grafik PDRB. Terdapat ketimpangan mencolok antara kawasan pariwisata seperti Badung dan Denpasar, dengan daerah seperti Bangli atau Karangasem.
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Masalah Utama:
Apakah PDRB per kapita berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Bali?
Bagaimana pengaruh investasi terhadap distribusi pendapatan?
Tujuan:
Menganalisis pengaruh kuantitatif antara PDRB dan investasi terhadap ketimpangan
Memberi masukan kebijakan berdasarkan hasil empiris
Metodologi: Analisis Data Panel
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. Rentang waktu adalah tahun 2010–2014, dengan unit observasi seluruh kabupaten/kota di Bali (9 daerah).
Teknik Analisis:
Regresi linier berganda
Uji asumsi klasik (normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas)
Uji t (parsial) dan uji F (simultan)
Uji koefisien determinasi (R²)
Variabel:
Y (Ketimpangan Pendapatan): Indeks Gini
X1: PDRB per kapita (Rp)
X2: Investasi (Rp)
Hasil dan Temuan Penelitian
Hasil Uji Regresi:
Persamaan regresi: Y = 0,491 + 6,342E-8 X1 + 3,242E-8 X2
Nilai R² = 0,798 → Artinya 79,8% variasi ketimpangan pendapatan dijelaskan oleh PDRB per kapita dan investasi.
Uji t (Parsial):
PDRB per kapita (X1) memiliki t hitung > t tabel → berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan.
Investasi (X2) juga berpengaruh signifikan secara positif.
Uji F (Simultan):
F hitung = 17,778 > F tabel → Kedua variabel berpengaruh bersama terhadap ketimpangan.
Interpretasi:
PDRB yang meningkat tidak menjamin pemerataan pendapatan. Ini bisa terjadi karena pertumbuhan ekonomi terpusat di wilayah tertentu (Denpasar–Badung), tidak merata ke daerah lain.
Investasi pun cenderung terkonsentrasi, terutama pada infrastruktur wisata, properti, dan bisnis berbasis jasa.
Studi Kasus Lapangan: Ketimpangan Bali Utara vs Selatan
Bali bagian selatan (Denpasar, Badung) menjadi magnet utama pertumbuhan dan investasi. Sementara itu, Bali bagian utara dan timur—seperti Buleleng, Karangasem, dan Bangli—relatif tertinggal.
Contoh Data:
Tahun 2014, kontribusi PDRB Badung mencapai lebih dari 40% terhadap PDRB Provinsi Bali.
Namun, angka kemiskinan dan pengangguran tertinggi justru ditemukan di kabupaten seperti Bangli dan Karangasem.
Konklusi parsial: pertumbuhan ekonomi tidak menyentuh semua wilayah secara proporsional.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan studi Nasution (2011) yang menyebutkan bahwa di banyak negara berkembang, pertumbuhan PDRB seringkali disertai ketimpangan yang meningkat. Fenomena ini dikenal sebagai "paradoks pertumbuhan".
Namun, hasil ini berbeda dari temuan Wahyuni (2012) di Jawa Tengah, di mana investasi justru memiliki pengaruh negatif terhadap ketimpangan—menunjukkan bahwa efektivitas investasi sangat bergantung pada sektor dan wilayah tujuan.
Kritik dan Evaluasi Penelitian
Kelebihan:
Data panel yang kuat dan komprehensif
Pendekatan kuantitatif yang presisi
Memberi gambaran nyata kondisi sosial ekonomi Bali
Kekurangan:
Tidak memperhitungkan variabel kontrol seperti pendidikan, urbanisasi, atau migrasi
Periode data terbatas hanya 5 tahun
Implikasi Kebijakan
Distribusi Investasi Lebih Merata: Pemerintah provinsi harus mendorong investor menanamkan modal di luar kawasan pariwisata utama.
Diversifikasi Ekonomi Daerah: Daerah seperti Bangli dan Karangasem perlu dorongan di sektor pertanian modern, UMKM, dan pariwisata berbasis komunitas.
Intervensi Fiskal Terarah: Alokasi Dana Desa dan Dana Transfer Daerah bisa diprioritaskan untuk wilayah dengan indeks Gini tinggi.
Pembangunan Infrastruktur Terpadu: Akses jalan, internet, dan transportasi ke wilayah tertinggal penting untuk memancing aktivitas ekonomi.
Kesimpulan: Pertumbuhan Tak Cukup, Pemerataan Itu Kunci
Penelitian ini mengungkapkan bahwa PDRB per kapita dan investasi memang mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak otomatis menyelesaikan masalah ketimpangan pendapatan. Dalam konteks Bali, kebijakan yang hanya berfokus pada pertumbuhan makro tanpa memperhatikan aspek distribusi akan memperparah ketimpangan regional.
Oleh karena itu, pemerintah daerah, akademisi, dan investor harus mulai memikirkan ulang strategi pembangunan dengan pendekatan inklusif dan merata.
Sumber
Alfiatus Sholihah. (2016). Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dan Investasi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Bali Tahun 2010–2014. Skripsi Sarjana Ekonomi Pembangunan, Universitas Jember. (Tersedia di repositori kampus Universitas Jember).
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Mengapa Integrasi IWRM dan Tata Guna Lahan Jadi Kunci Masa Depan?
Di tengah eskalasi krisis iklim, urbanisasi cepat, dan degradasi lingkungan, kolaborasi antar sektor tak lagi opsional. Salah satu pendekatan yang tengah naik daun adalah integrasi strategi pengelolaan sumber daya air (water resources management/WRM) ke dalam perencanaan tata guna lahan. Artikel dari Kalogiannidis et al. (2023) yang terbit di Sustainability menyodorkan kajian kuantitatif dari Yunani yang membuktikan bahwa sinergi antara WRM dan land use planning berkontribusi signifikan terhadap konservasi lingkungan.
IWRM dan Tata Guna Lahan: Dua Dunia yang Saling Bertaut
Secara historis, pengelolaan air dan perencanaan lahan kerap berjalan sendiri-sendiri. Namun dalam konteks modern, keduanya adalah sisi dari mata uang yang sama:
Kalogiannidis et al. menyoroti bahwa pengambilan keputusan yang terfragmentasi memperparah degradasi lingkungan. Mereka mendorong pendekatan lintas sektor untuk menciptakan kebijakan yang lebih tangguh dan adil.
Studi Kasus: Yunani sebagai Laboratorium Kebijakan
Penelitian ini mengambil sampel 278 ahli lingkungan di Yunani melalui survei daring, lalu dianalisis dengan regresi menggunakan SPSS. Hasil utamanya:
Nilai Tambah: Membaca Tren Lebih Luas
A. Relevansi Global
Dari California hingga Jakarta, pendekatan terintegrasi mulai jadi norma baru. Contoh:
B. Tantangan Nyata
Meski secara teoritis sinergi WRM dan perencanaan lahan ideal, ada banyak batu sandungan:
Studi Kalogiannidis et al. menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki >10 tahun pengalaman, menambah bobot validitasnya. Namun, generalisasi global perlu hati-hati karena konteks sosial-politik tiap negara berbeda.
C. Kritik dan Peluang Perbaikan
Rekomendasi Strategis
Untuk Pembuat Kebijakan
Untuk Industri & Komunitas
Kesimpulan: Menuju Perencanaan Ruang yang Berkelanjutan
Integrasi strategi WRM ke dalam tata guna lahan bukan sekadar jargon akademik, tapi kunci praktis untuk masa depan yang tangguh iklim. Studi Kalogiannidis et al. membuktikan adanya hubungan nyata antara kebijakan spasial dan kualitas lingkungan. Namun implementasi tak boleh setengah hati. Butuh kepemimpinan kolaboratif, pembiayaan adaptif, dan teknologi pendukung agar visi ini benar-benar terwujud.
Sumber: Kalogiannidis, S., Kalfas, D., Giannarakis, G., & Paschalidou, M. (2023). Integration of water resources management strategies in land use planning towards environmental conservation. Sustainability, 15(21), 15242
Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Memahami IWRM Lewat Lensa Jaringan Kebijakan
Integrated Water Resources Management (IWRM) telah lama diusung sebagai pendekatan ideal dalam pengelolaan air global. Namun, dalam praktiknya, implementasi IWRM di negara-negara berkembang kerap tertatih, termasuk di Bangladesh. Dalam disertasinya, Ubaydur Rahaman Siddiki (2022) mengusulkan pendekatan inovatif dengan memanfaatkan Policy Network Analysis (PNA) sebagai alat bedah untuk menilai bagaimana kebijakan dan proyek air dibentuk, diterapkan, dan—sering kali—gagal. Artikel ini meresensi dan memperluas tesis Siddiki dalam bahasa yang komunikatif, memperkaya dengan studi kasus dan tren global, serta menawarkan opini kritis yang membumi.
IWRM: Konsep Global, Tantangan Lokal
IWRM, menurut definisi Global Water Partnership (2000), adalah proses yang mempromosikan pengelolaan dan pengembangan air, tanah, dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem vital. Di atas kertas, IWRM menjanjikan harmoni. Namun dalam praktiknya, khususnya di Bangladesh:
Policy Network Analysis: Membongkar Simpul Masalah
Siddiki mengangkat PNA sebagai alat diagnosis kebijakan yang melihat:
Temuan Utama:
Studi Kasus: Proyek WMIP sebagai Cermin Kerapuhan Sistem
WMIP adalah proyek besar yang didanai ADB dan Bank Dunia, ditujukan untuk mereformasi kelembagaan air di Bangladesh. Namun:
Kritik tambahan: WMIP mencerminkan bias top-down yang masih kental dalam proyek air, yang seringkali mengabaikan indigenous knowledge atau praktik lokal.
Menghubungkan dengan Praktik Global: Apa yang Bisa Dipelajari?
Indonesia
Kasus Indonesia dalam menangani penurunan muka tanah di Jakarta juga mencerminkan pentingnya kolaborasi antarlembaga dan partisipasi warga. Tanpa data spasial terbuka dan mekanisme feedback dari masyarakat, kebijakan larangan sumur bor tidak efektif.
Iran (Danau Urmia)
Restorasi danau Urmia melibatkan model hidrologi partisipatif dan monitoring satelit. Bangladesh bisa belajar dari bagaimana integrasi sains dan partisipasi masyarakat dapat menjadi dasar kebijakan.
Menuju Solusi: Rekomendasi Kunci
Dampak Praktis dan Industri
Kritik Akademik dan Potensi Lanjutan
Meskipun komprehensif, penelitian ini masih fokus pada dua kasus (Water Act dan WMIP). Akan lebih kuat bila diperluas ke wilayah lain seperti Chittagong atau permukiman pesisir. Selain itu, pendekatan PNA bisa digabungkan dengan metode kuantitatif seperti Social Network Analysis (SNA) untuk menghasilkan peta interaksi yang lebih konkret.
Kesimpulan: IWRM Tak Cukup Hanya "Terintegrasi" di Atas Kertas
Siddiki berhasil membedah kenapa IWRM seringkali gagal bukan karena niat, melainkan karena desain kebijakan yang eksklusif, jaringan aktor yang timpang, serta implementasi yang tidak konsisten. Melalui PNA, ia menunjukkan bahwa solusi ada di balik interaksi manusia, bukan hanya dalam dokumen strategis.
Bottom line: Reformasi kebijakan air harus mulai dari "jaringan," bukan hanya "peraturan."
Sumber: Siddiki, U. R. (2022). Understanding Integrated Water Resources Management using Policy Network Analysis: Implications for Bangladesh. University of Canberra.