Sumber Daya

Menghadapi Krisis Lingkungan di Indonesia: Resensi Kritis atas Laporan DRN tentang Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Pendahuluan: Di Ambang Krisis atau Peluang?

Indonesia berada di titik kritis: laju kerusakan lingkungan meningkat, sementara eksploitasi sumber daya terus berlanjut atas nama pembangunan. Namun, di balik tantangan tersebut, tersimpan peluang transformatif yang dapat menjadikan negeri ini pionir pembangunan berkelanjutan. Artikel ini mengupas laporan Dewan Riset Nasional (DRN) tahun 2003 berjudul Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, dengan parafrase dan analisis tambahan yang lebih relevan untuk konteks masa kini.

Pembangunan Tidak Selalu Berarti Kemajuan

Ketergantungan pada Luar Negeri

Laporan ini mengungkap fakta suram: Indonesia terlalu menggantungkan pembangunan pada pinjaman luar negeri, teknologi asing, dan ekspor bahan mentah. Hal ini menggerus kemandirian dan menciptakan ketergantungan struktural. Data impor beras (2 juta ton), kedelai (1 juta ton), dan gandum (4,3 juta ton) menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan pangan negeri ini.

Pembangunan Belum Berkelanjutan

Menurut DRN, Indonesia mengalami "depresiasi SDA sebesar 17% dari PDB". Sementara itu, tabungan bersih yang diperoleh hanya 15% dari PDB. Artinya, kita kehilangan lebih banyak dari yang kita simpan. Ini adalah indikator pembangunan yang merugikan generasi masa depan.

Konservasi & Rehabilitasi: Misi yang Terlupakan

Eksploitasi Tanpa Reklamasi

Sebanyak 138 izin tambang di hutan lindung ditolak, namun 15 lainnya tetap diizinkan beroperasi karena izin terbit sebelum penetapan kawasan. Dampaknya? Kerusakan ekologis permanen.

Reboisasi yang Tertunda

Dengan laju kerusakan hutan mencapai 2,1 juta ha/tahun dan total kerusakan hingga 43 juta ha, upaya rehabilitasi masih minim. Padahal, dibutuhkan Rp 1,6 triliun untuk menanam ulang 300 ribu ha hutan, namun dana pembangunan hutan hanya Rp 8,3 triliun.

Pendidikan & SDM: Investasi Masa Depan

Minimnya Tenaga Ahli Lingkungan

Kurangnya integrasi pendidikan lingkungan ke semua sektor pembangunan menghambat adopsi prinsip berkelanjutan. Mayoritas tenaga kerja ada di sektor pertanian (44,9%), namun produktivitas dan kontribusinya terhadap PDB sangat kecil (0,4%).

Usulan Pendidikan Lingkungan Terpadu

DRN mendorong pembentukan Sekolah Tinggi Ilmu Lingkungan serta kursus berjenjang dari penyusun AMDAL hingga auditor lingkungan, yang penting untuk memperkuat kapasitas institusional.

Peluang Strategis: Dari SDA ke Nilai Tambah

Masih Mengekspor Mentah

Data menunjukkan Indonesia mengekspor 422 juta kg produk laut, tapi konsumsi protein domestik masih rendah (±4 kg/kapita/tahun). Artinya, rakyat belum mendapatkan gizi cukup dari kekayaan lautnya sendiri.

Optimalisasi SDA: Redesign dan Biosafety

DRN menyarankan prinsip "9R": Reduce, Reuse, Replace, Recycle, dan sebagainya, demi memaksimalkan efisiensi SDA. Biosafety juga penting untuk menghadapi tantangan GMO dan eksploitasi hayati.

Kritik dan Perbandingan

Perlu Integrasi dengan IWRM dan Nexus Pendekatan

Laporan DRN belum membahas integrasi tata kelola air dan energi-pangan (Nexus). Dibandingkan dengan pendekatan seperti IWRM (Integrated Water Resource Management), strategi DRN masih sektoral dan kurang konvergen.

Minimnya Studi Kasus Lapangan

Meskipun ada beberapa data kuantitatif, laporan ini lemah dalam studi kasus atau pembelajaran praktik terbaik dari daerah. Padahal, banyak inovasi lokal yang bisa jadi inspirasi, seperti konservasi partisipatif di Gunung Kidul atau restorasi mangrove di Demak.

Rekomendasi Kebijakan Tambahan

  1. Moratorium Eksploitasi SDA Tanpa Rencana Reklamasi
  2. Insentif Fiskal untuk Industri Berbasis Daur Ulang
  3. Integrasi Pendidikan Lingkungan ke Kurikulum Wajib Nasional
  4. Pendanaan Hijau Daerah Berbasis Nilai Ekosistem
  5. Kewajiban Audit Lingkungan untuk Proyek Skala Besar

Dampak Industri dan Tren Global

  • ESG Investing: Laporan ini bisa menjadi dasar untuk menciptakan indikator ESG lokal.
  • Green Jobs: Potensi 4 juta pekerjaan hijau di sektor pertanian, energi terbarukan, dan daur ulang.
  • Ekonomi Sirkular: Jika rekomendasi DRN dijalankan, Indonesia bisa menghemat Rp 300 triliun/tahun dari pengolahan limbah dan efisiensi SDA.

Kesimpulan: Laporan Lama, Relevansi Baru

Laporan DRN tahun 2003 tetap relevan. Bahkan, dengan krisis iklim dan tekanan populasi saat ini, isinya menjadi semakin mendesak. Namun perlu diperbarui dengan data dan pendekatan terkini. Dengan mengadopsi teknologi, reformasi regulasi, dan partisipasi masyarakat, Indonesia punya peluang emas untuk memimpin transformasi hijau di Asia Tenggara.

Sumber: Dewan Riset Nasional. (2003). Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan. Forum Kerja Lingkungan DRN. November 2003.

Selengkapnya
Menghadapi Krisis Lingkungan di Indonesia: Resensi Kritis atas Laporan DRN tentang Pembangunan Berkelanjutan

Risiko Iklim

IWRM dan Integrasi Kebijakan: Pelajaran dari 169 Tahun Penanganan Banjir di Swiss

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Menyatukan Air dan Kebijakan: Urgensi IWRM di Era Risiko Iklim

Manajemen sumber daya air yang terintegrasi (Integrated Water Resources Management/IWRM) menjadi paradigma utama dalam mengelola air di tengah tekanan populasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Namun, konsep ini sering gagal dalam praktik karena kurangnya integrasi antar kebijakan lintas sektor. Artikel "Integrated Water Resources Management and Policy Integration: Lessons from 169 Years of Flood Policies in Switzerland" oleh Florence Metz dan Anik Glaus (2019) menawarkan pembelajaran mendalam dari konteks Swiss, negara yang telah membangun kebijakan banjir selama hampir dua abad.

Dari IWRM ke Kerangka Rezim Sumber Daya Institusional

IWRM mendorong integrasi pengelolaan air lintas sektor, tingkat pemerintahan, dan wilayah geografis. Namun, Metz dan Glaus menunjukkan bahwa integrasi ini tidak bisa dilepaskan dari evolusi kebijakan publik yang cenderung membentuk sektor-sektor tersendiri. Di sinilah mereka memperkenalkan kerangka Institutional Resource Regime (IRR) yang menggabungkan dua dimensi utama:

  1. Extent (luasnya cakupan kebijakan): jumlah sektor, pengguna, dan fungsi air yang diatur.
  2. Coherence (koherensi kebijakan): tingkat konsistensi dan sinergi antar kebijakan yang ada.

Ketika jumlah kebijakan meningkat (extent bertambah), tanpa upaya integrasi aktif, sistem bisa menjadi kompleks dan tidak koheren.

Studi Kasus: Kebijakan Banjir Swiss 1848–2017

Lonjakan Kebijakan, Banjir Tak Surut

Dalam 169 tahun, Swiss mengadopsi 92 instrumen kebijakan banjir pada tingkat nasional. Namun, dari semua itu, hanya 27 yang digantikan atau dihentikan, sisanya tetap berjalan. Ini mencerminkan fenomena path dependency: begitu kebijakan diterapkan, cenderung sulit diubah.

Menariknya, meski jumlah kebijakan meningkat secara eksponensial, kerusakan akibat banjir tidak berkurang. Bahkan, delapan tahun antara 1972–2007 ditandai sebagai periode banjir besar dengan kerugian tahunan mencapai rata-rata €220 juta, dan puncaknya pada 2005 dengan kerugian > €1,8 miliar.

Jenis Kebijakan yang Digunakan

Tujuh pendekatan utama dalam kebijakan banjir Swiss mencakup:

  • Perlindungan lingkungan
  • Infrastruktur teknik
  • Perencanaan spasial
  • Pemeliharaan sungai
  • Monitoring
  • Asuransi
  • Perlindungan sipil

Peralihan besar terjadi sejak 1990-an dari pendekatan teknik ke pendekatan integratif berbasis tata ruang dan risiko.

Survei 146 Pakar: Apa yang Penting dalam Desain Kebijakan?

Metz dan Glaus melakukan survei terhadap 146 pakar manajemen banjir di tiga wilayah sungai (Aare, Kander, Thur). Mereka diminta menilai 10 indikator desain kebijakan. Hasilnya:

Empat Aspek Paling Dihargai:

  1. Integrasi antar kebijakan
  2. Tekanan (coercion) terhadap kelompok sasaran
  3. Sanksi atas ketidakpatuhan
  4. Pendanaan publik yang jelas dan mencukupi

Ini mencerminkan pentingnya kebijakan yang tidak hanya banyak, tetapi juga berdaya paksa dan memiliki ekosistem kelembagaan yang mendukung.

Studi Kasus Lokal:

  • Aare: karena keterbatasan ruang dan risiko tinggi, pakar mendorong monitoring ketat dan sanksi.
  • Thur: konflik antar aktor membuat fleksibilitas dan keterlibatan publik menjadi krusial.
  • Kander: dalam proyek terpadu, fleksibilitas dan tujuan kebijakan adaptif lebih dihargai.

Stabil Tapi Tidak Adaptif: Tantangan Reformasi Kebijakan

Meski kebijakan meningkat, desainnya menunjukkan pola yang tetap (sticky) dari waktu ke waktu. Ini menandakan bahwa gaya kebijakan nasional memainkan peran besar, dan reformasi bersifat inkremental.

Kritik penting: tanpa perubahan desain kebijakan yang fleksibel dan adaptif, integrasi hanya menjadi jargon. Hal ini relevan bagi negara-negara seperti Indonesia yang menghadapi risiko banjir tinggi tapi sistem kebijakan masih terfragmentasi.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

1. Evaluasi Periodik Desain Kebijakan

Pemerintah harus melakukan audit terhadap efektivitas, koherensi, dan adaptabilitas instrumen kebijakan yang telah ada.

2. Fokus pada Koherensi, Bukan Jumlah

Lebih baik sedikit kebijakan dengan desain matang dan terkoordinasi daripada banyak kebijakan yang tumpang tindih.

3. Desain Adaptif

Terapkan prinsip "adaptive policy design" dengan target yang bisa direvisi dan sistem umpan balik berbasis data.

4. Peran Anggaran

Tanpa pendanaan yang memadai, instrumen kebijakan hanya menjadi dokumen mati. Asuransi banjir dan insentif ekonomi dapat menjadi inovasi.

5. Harmonisasi Lintas Sektor

Perlu kerangka regulasi yang memaksa koordinasi antar sektor (pertanian, infrastruktur, lingkungan, tata ruang).

Mengaitkan dengan Konteks Global

Studi ini relevan bagi negara lain dengan sistem federal atau otonomi daerah tinggi. Misalnya:

  • India dan Indonesia yang sering mengalami bencana banjir tapi memiliki fragmentasi antar kementerian.
  • Amerika Serikat, dengan pendekatan berbasis sungai (river basin commissions), bisa mengambil pelajaran tentang pentingnya coherent policy design daripada hanya menambah aturan.

Kesimpulan: Integrasi IWRM Harus Dimulai dari Desain Kebijakan

Penelitian ini menegaskan bahwa IWRM tidak cukup dijalankan dengan menambah kebijakan baru, tetapi harus ditunjang oleh integrasi antar kebijakan yang telah ada—baik secara sektoral maupun temporal. Swiss menjadi laboratorium unik untuk menunjukkan bagaimana sejarah kebijakan yang panjang bisa menjadi aset atau hambatan tergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi.

Tanpa desain kebijakan yang fleksibel, koheren, dan berdaya paksa, IWRM berisiko menjadi jargon tanpa implementasi nyata.

Sumber: Metz, F., & Glaus, A. (2019). Integrated Water Resources Management and Policy Integration: Lessons from 169 Years of Flood Policies in Switzerland. Water, 11(6), 1173.

Selengkapnya
IWRM dan Integrasi Kebijakan: Pelajaran dari 169 Tahun Penanganan Banjir di Swiss

Industri Kontruksi

Transformasi SDM Konstruksi di Era Pandemi: Strategi Digitalisasi, Sertifikasi, dan Protokol Kesehatan

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025


Pendahuluan: Pandemi sebagai Pendorong Inovasi di Dunia Konstruksi

Pandemi COVID-19 bukan hanya mengubah tatanan sosial dan ekonomi global, tetapi juga menjadi titik balik bagi banyak sektor, termasuk industri konstruksi di Indonesia. Sektor ini, yang semula sangat bergantung pada interaksi langsung di lapangan, kini dipaksa melakukan adaptasi besar-besaran untuk bertahan. Salah satu strategi kunci yang diangkat dalam Buletin Bina Konstruksi Edisi 5 Tahun 2020 adalah transformasi metode pelatihan dan pembinaan tenaga kerja konstruksi menjadi sistem berbasis digital dan hybrid.

Dalam situasi krisis ini, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian PUPR tidak tinggal diam. Mereka melakukan reposisi kebijakan dengan mengembangkan sistem pelatihan daring, mengaktifkan Mobile Training Unit (MTU), hingga memperketat protokol kesehatan untuk pelatihan konvensional di zona hijau.

Realitas Krisis SDM Konstruksi di Masa Pandemi

Turunnya Target Pembinaan Tenaga Kerja

Salah satu data paling mencolok dari buletin ini adalah penurunan tajam target pembinaan tenaga kerja konstruksi dari 243.000 orang menjadi hanya 113.940 orang selama pandemi. Penurunan ini bukan sekadar statistik, tapi sinyal darurat yang mengungkap GAP besar antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja bersertifikat di lapangan.

Ancaman Jangka Panjang

Kesenjangan ini dapat berdampak jangka panjang, mulai dari proyek infrastruktur mangkrak, tingginya angka kecelakaan kerja karena tenaga tidak terlatih, hingga kegagalan mencapai target pembangunan nasional. Oleh karena itu, pelatihan dan sertifikasi kompetensi menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar formalitas administratif.

Strategi Inovatif Pelatihan di Era New Normal

Metode Hybrid: Daring dan Konvensional

Melalui Surat Edaran Dirjen Bina Konstruksi No. 107/SE/Dk/2020, diterapkan enam metode pelatihan yang mencakup daring, blended learning, dan tatap muka terbatas di zona hijau. Ini menciptakan model hybrid yang fleksibel dan adaptif terhadap kondisi lokal.

Studi Kasus:
Di Jakarta, pelatihan beton pracetak dan keselamatan konstruksi berhasil dilaksanakan secara kombinasi. Hasilnya, lebih dari 1.100 peserta mengikuti pelatihan ini, dan beberapa langsung direkrut oleh PT Indonesia Pondasi Jaya.

E-Learning: Efisiensi dan Tantangannya

Metode daring memungkinkan penyelenggaraan pelatihan lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Namun, seperti disoroti dalam buletin, tantangan terbesar adalah keterbatasan literasi digital dan infrastruktur internet, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

MTU – Solusi Mobilisasi dan Akses Sertifikasi

Apa Itu MTU dan Mengapa Penting?

Mobile Training Unit (MTU) adalah unit pelatihan keliling berbasis kendaraan yang dilengkapi alat peraga, koneksi internet, dan modul pelatihan. Selama pandemi, MTU menjadi jembatan emas bagi pelatihan di daerah yang tidak memiliki akses ke balai pelatihan.

Keunggulan MTU di Lapangan

  • Mobilitas tinggi: Menjangkau proyek terpencil dan kantong-kantong tenaga kerja.

  • Fleksibilitas zona: Hanya beroperasi di zona hijau dengan protokol ketat.

  • Sarana lengkap: Dilengkapi peralatan pelatihan praktis, tenda, dan fasilitas audio visual.
     

Efektivitas Lapangan

MTU memungkinkan pelatihan langsung di lokasi proyek. Tenaga kerja seperti tukang las, operator alat berat, hingga mekanik bisa mendapat pelatihan praktis dan uji kompetensi langsung. Hal ini sangat krusial untuk jabatan kerja yang tak bisa disubstitusi dengan pelatihan daring.

Peran Standar SKKNI dalam Mutu SDM Konstruksi

Apa Itu SKKNI dan Mengapa Krusial?

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah landasan hukum dan teknis yang mendefinisikan indikator unjuk kerja dan kurikulum berbasis kompetensi. Hingga 2020, sudah tersedia 213 SKKNI untuk 338 jabatan kerja di sektor konstruksi.

Fakta Penting:

  • 121 SKKNI masih dalam tahap rancangan.

  • 136 SKKNI dari yang sudah ada perlu diperbarui.

  • SKKNI dirancang melalui proses panjang: pemetaan, perumusan, pra-konvensi, verifikasi, dan konvensi nasional.
     

Dampak Langsung Terhadap Dunia Usaha

Tenaga kerja bersertifikat sesuai SKKNI lebih mudah diserap industri karena mereka memiliki kompetensi yang jelas, terukur, dan standar nasional. Hal ini juga menurunkan angka kecelakaan kerja dan meningkatkan produktivitas proyek.

Evaluasi Metode Pelatihan Daring

Faktor Penentu Keberhasilan

  1. SDM Digital Literate: Penyelenggara dan peserta harus menguasai teknologi.

  2. Sarana & Prasarana: Ketersediaan internet dan perangkat memadai.

  3. Metodologi Pelatihan: Harus interaktif, tidak hanya sekadar presentasi pasif.
     

Tantangan dan Rekomendasi ke Depan

Tantangan

  • Ketimpangan infrastruktur digital.

  • Kesenjangan kompetensi antara pekerja terampil dan ahli.

  • Kebutuhan akan kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi konstruksi (Building Information Modelling, Smart Construction, dll).
     

Rekomendasi Strategis

  • Pembangunan Pusat Pelatihan Virtual Nasional: Untuk menyatukan modul pelatihan dari seluruh balai.

  • Insentif bagi Dunia Usaha: Perusahaan yang menyerap tenaga bersertifikat diberi potongan pajak atau subsidi pelatihan.

  • Kolaborasi Multi-pihak: Inovasi pelatihan harus melibatkan BUMN, universitas, asosiasi konstruksi, dan industri teknologi.
     

Kesimpulan: Momen Pembenahan Menuju SDM Konstruksi Unggul

Krisis pandemi seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan, tetapi sebagai katalis untuk perubahan mendasar. Direktorat Jenderal Bina Konstruksi telah membuka jalan dengan menerapkan sistem pelatihan berbasis teknologi, MTU, dan standardisasi SKKNI. Namun, keberlanjutan program ini bergantung pada komitmen seluruh pemangku kepentingan, baik dari sektor publik maupun swasta.

Penutup:
Jika Indonesia ingin menjadi kekuatan infrastruktur di Asia Tenggara, investasi terbesar bukan hanya pada jalan tol atau gedung pencakar langit, melainkan pada manusia yang membangunnya.

 

Sumber Referensi

  • Buletin Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Edisi 5 Tahun 2020: Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi di Tengah Masa Pandemi.
    Akses: https://binakonstruksi.pu.go.id atau melalui DOI/arsip jurnal kementerian terkait jika tersedia.

Selengkapnya
Transformasi SDM Konstruksi di Era Pandemi: Strategi Digitalisasi, Sertifikasi, dan Protokol Kesehatan

Ekonomi Regional

PDRB Tinggi Tapi Ketimpangan Meningkat: Mengapa Bali Masih Belum Merata?

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025


Pendahuluan: Bali, Pertumbuhan Ekonomi dan Paradoks Kesenjangan

Provinsi Bali kerap diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang impresif, terutama berkat sektor pariwisata. Namun, di balik pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang pesat dan meningkatnya investasi, terdapat fakta yang mencemaskan: ketimpangan distribusi pendapatan tetap tinggi.

Penelitian skripsi karya Alfiatus Sholihah ini berjudul "Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dan Investasi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Bali Tahun 2010–2014". Studi ini menggali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, dengan pendekatan kuantitatif berbasis regresi linier berganda.

Latar Belakang: Kesenjangan dalam Bayang-Bayang Pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi Bali selama dekade terakhir banyak disokong oleh geliat pariwisata, perdagangan, dan infrastruktur. Hal ini tercermin dari PDRB per kapita yang terus naik setiap tahun. Begitu pula dengan arus investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, yang membanjiri sektor properti, perhotelan, dan UMKM.

Namun, ketika diukur menggunakan indeks Gini, yang menggambarkan ketimpangan pendapatan antarindividu atau wilayah, hasilnya tidak seindah grafik PDRB. Terdapat ketimpangan mencolok antara kawasan pariwisata seperti Badung dan Denpasar, dengan daerah seperti Bangli atau Karangasem.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Masalah Utama:

  1. Apakah PDRB per kapita berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Bali?

  2. Bagaimana pengaruh investasi terhadap distribusi pendapatan?

Tujuan:

  • Menganalisis pengaruh kuantitatif antara PDRB dan investasi terhadap ketimpangan

  • Memberi masukan kebijakan berdasarkan hasil empiris

Metodologi: Analisis Data Panel

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. Rentang waktu adalah tahun 2010–2014, dengan unit observasi seluruh kabupaten/kota di Bali (9 daerah).

Teknik Analisis:

  • Regresi linier berganda

  • Uji asumsi klasik (normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas)

  • Uji t (parsial) dan uji F (simultan)

  • Uji koefisien determinasi (R²)

Variabel:

  • Y (Ketimpangan Pendapatan): Indeks Gini

  • X1: PDRB per kapita (Rp)

  • X2: Investasi (Rp)

Hasil dan Temuan Penelitian

Hasil Uji Regresi:

  • Persamaan regresi: Y = 0,491 + 6,342E-8 X1 + 3,242E-8 X2

  • Nilai R² = 0,798 → Artinya 79,8% variasi ketimpangan pendapatan dijelaskan oleh PDRB per kapita dan investasi.

Uji t (Parsial):

  • PDRB per kapita (X1) memiliki t hitung > t tabel → berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan.

  • Investasi (X2) juga berpengaruh signifikan secara positif.

Uji F (Simultan):

  • F hitung = 17,778 > F tabel → Kedua variabel berpengaruh bersama terhadap ketimpangan.

Interpretasi:

  • PDRB yang meningkat tidak menjamin pemerataan pendapatan. Ini bisa terjadi karena pertumbuhan ekonomi terpusat di wilayah tertentu (Denpasar–Badung), tidak merata ke daerah lain.

  • Investasi pun cenderung terkonsentrasi, terutama pada infrastruktur wisata, properti, dan bisnis berbasis jasa.

Studi Kasus Lapangan: Ketimpangan Bali Utara vs Selatan

Bali bagian selatan (Denpasar, Badung) menjadi magnet utama pertumbuhan dan investasi. Sementara itu, Bali bagian utara dan timur—seperti Buleleng, Karangasem, dan Bangli—relatif tertinggal.

Contoh Data:

  • Tahun 2014, kontribusi PDRB Badung mencapai lebih dari 40% terhadap PDRB Provinsi Bali.

  • Namun, angka kemiskinan dan pengangguran tertinggi justru ditemukan di kabupaten seperti Bangli dan Karangasem.

Konklusi parsial: pertumbuhan ekonomi tidak menyentuh semua wilayah secara proporsional.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan studi Nasution (2011) yang menyebutkan bahwa di banyak negara berkembang, pertumbuhan PDRB seringkali disertai ketimpangan yang meningkat. Fenomena ini dikenal sebagai "paradoks pertumbuhan".

Namun, hasil ini berbeda dari temuan Wahyuni (2012) di Jawa Tengah, di mana investasi justru memiliki pengaruh negatif terhadap ketimpangan—menunjukkan bahwa efektivitas investasi sangat bergantung pada sektor dan wilayah tujuan.

Kritik dan Evaluasi Penelitian

Kelebihan:

  • Data panel yang kuat dan komprehensif

  • Pendekatan kuantitatif yang presisi

  • Memberi gambaran nyata kondisi sosial ekonomi Bali

Kekurangan:

  • Tidak memperhitungkan variabel kontrol seperti pendidikan, urbanisasi, atau migrasi

  • Periode data terbatas hanya 5 tahun

Implikasi Kebijakan

  1. Distribusi Investasi Lebih Merata: Pemerintah provinsi harus mendorong investor menanamkan modal di luar kawasan pariwisata utama.

  2. Diversifikasi Ekonomi Daerah: Daerah seperti Bangli dan Karangasem perlu dorongan di sektor pertanian modern, UMKM, dan pariwisata berbasis komunitas.

  3. Intervensi Fiskal Terarah: Alokasi Dana Desa dan Dana Transfer Daerah bisa diprioritaskan untuk wilayah dengan indeks Gini tinggi.

  4. Pembangunan Infrastruktur Terpadu: Akses jalan, internet, dan transportasi ke wilayah tertinggal penting untuk memancing aktivitas ekonomi.

Kesimpulan: Pertumbuhan Tak Cukup, Pemerataan Itu Kunci

Penelitian ini mengungkapkan bahwa PDRB per kapita dan investasi memang mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak otomatis menyelesaikan masalah ketimpangan pendapatan. Dalam konteks Bali, kebijakan yang hanya berfokus pada pertumbuhan makro tanpa memperhatikan aspek distribusi akan memperparah ketimpangan regional.

Oleh karena itu, pemerintah daerah, akademisi, dan investor harus mulai memikirkan ulang strategi pembangunan dengan pendekatan inklusif dan merata.

Sumber

Alfiatus Sholihah. (2016). Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dan Investasi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Bali Tahun 2010–2014. Skripsi Sarjana Ekonomi Pembangunan, Universitas Jember. (Tersedia di repositori kampus Universitas Jember).

 

Selengkapnya
PDRB Tinggi Tapi Ketimpangan Meningkat: Mengapa Bali Masih Belum Merata?

Pengelolaan Air

Integrasi Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Perencanaan Tata Guna Lahan untuk Konservasi Lingkungan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Mengapa Integrasi IWRM dan Tata Guna Lahan Jadi Kunci Masa Depan?

Di tengah eskalasi krisis iklim, urbanisasi cepat, dan degradasi lingkungan, kolaborasi antar sektor tak lagi opsional. Salah satu pendekatan yang tengah naik daun adalah integrasi strategi pengelolaan sumber daya air (water resources management/WRM) ke dalam perencanaan tata guna lahan. Artikel dari Kalogiannidis et al. (2023) yang terbit di Sustainability menyodorkan kajian kuantitatif dari Yunani yang membuktikan bahwa sinergi antara WRM dan land use planning berkontribusi signifikan terhadap konservasi lingkungan.

IWRM dan Tata Guna Lahan: Dua Dunia yang Saling Bertaut

Secara historis, pengelolaan air dan perencanaan lahan kerap berjalan sendiri-sendiri. Namun dalam konteks modern, keduanya adalah sisi dari mata uang yang sama:

  • IWRM menekankan pada pengelolaan terpadu yang mencakup air permukaan, air tanah, dan ekosistem terkait.
  • Land Use Planning mengarahkan fungsi ruang seperti zona pemukiman, pertanian, industri, dan konservasi.

Kalogiannidis et al. menyoroti bahwa pengambilan keputusan yang terfragmentasi memperparah degradasi lingkungan. Mereka mendorong pendekatan lintas sektor untuk menciptakan kebijakan yang lebih tangguh dan adil.

Studi Kasus: Yunani sebagai Laboratorium Kebijakan

Penelitian ini mengambil sampel 278 ahli lingkungan di Yunani melalui survei daring, lalu dianalisis dengan regresi menggunakan SPSS. Hasil utamanya:

  • IWRM menjadi strategi WRM paling populer (29.9%) diikuti pendekatan berbasis ekosistem (21.2%).
  • Zoning and designation (29.9%) dan brownfield redevelopment (21.9%) merupakan aspek perencanaan lahan paling diakui.
  • Manfaat utama integrasi adalah mitigasi banjir dan kekeringan (34.5%) dan perlindungan ekosistem (25.5%).
  • Korelasi positif ditemukan antara strategi WRM, aspek tata lahan, dan hasil konservasi lingkungan (R² = 0.627).

Nilai Tambah: Membaca Tren Lebih Luas

A. Relevansi Global

Dari California hingga Jakarta, pendekatan terintegrasi mulai jadi norma baru. Contoh:

  • Singapura memadukan zonasi hijau dan pengelolaan air hujan dalam konsep kota spons.
  • California sukses memadukan Water Supply Plans dengan Urban Growth Boundaries.

B. Tantangan Nyata

Meski secara teoritis sinergi WRM dan perencanaan lahan ideal, ada banyak batu sandungan:

  • Konflik antar lembaga dan skala kewenangan.
  • Data spasial yang tidak sinkron.
  • Minimnya partisipasi publik.

Studi Kalogiannidis et al. menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki >10 tahun pengalaman, menambah bobot validitasnya. Namun, generalisasi global perlu hati-hati karena konteks sosial-politik tiap negara berbeda.

C. Kritik dan Peluang Perbaikan

  • Kritik: Studi hanya berfokus pada persepsi, tanpa menguji dampak fisik secara longitudinal (misalnya, kualitas air sungai atau perubahan tutupan lahan).
  • Peluang: Dengan dukungan remote sensing, AI (misalnya spiking neural network), dan IoT, kini evaluasi integrasi bisa lebih presisi dan real-time.

Rekomendasi Strategis

Untuk Pembuat Kebijakan

  1. Sinkronisasi Data: Bangun dashboard kolaboratif antara dinas tata ruang dan sumber daya air.
  2. Harmonisasi Regulasi: Satu peta zonasi, satu bahasa kebijakan.
  3. Insentif Ekologis: Misalnya, pengurangan pajak untuk pembangunan ramah air.

Untuk Industri & Komunitas

  • Developer: Terapkan pendekatan TOD dan green infrastructure.
  • Komunitas: Dorong partisipasi aktif dalam musrenbang dan perencanaan daerah aliran sungai.

Kesimpulan: Menuju Perencanaan Ruang yang Berkelanjutan

Integrasi strategi WRM ke dalam tata guna lahan bukan sekadar jargon akademik, tapi kunci praktis untuk masa depan yang tangguh iklim. Studi Kalogiannidis et al. membuktikan adanya hubungan nyata antara kebijakan spasial dan kualitas lingkungan. Namun implementasi tak boleh setengah hati. Butuh kepemimpinan kolaboratif, pembiayaan adaptif, dan teknologi pendukung agar visi ini benar-benar terwujud.

Sumber: Kalogiannidis, S., Kalfas, D., Giannarakis, G., & Paschalidou, M. (2023). Integration of water resources management strategies in land use planning towards environmental conservation. Sustainability, 15(21), 15242

Selengkapnya
Integrasi Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Perencanaan Tata Guna Lahan untuk Konservasi Lingkungan

Manajemen Air

Mengurai IWRM di Bangladesh: Antara Jargon, Jaringan, dan Jalan Tengah untuk Reformasi Air

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Memahami IWRM Lewat Lensa Jaringan Kebijakan

Integrated Water Resources Management (IWRM) telah lama diusung sebagai pendekatan ideal dalam pengelolaan air global. Namun, dalam praktiknya, implementasi IWRM di negara-negara berkembang kerap tertatih, termasuk di Bangladesh. Dalam disertasinya, Ubaydur Rahaman Siddiki (2022) mengusulkan pendekatan inovatif dengan memanfaatkan Policy Network Analysis (PNA) sebagai alat bedah untuk menilai bagaimana kebijakan dan proyek air dibentuk, diterapkan, dan—sering kali—gagal. Artikel ini meresensi dan memperluas tesis Siddiki dalam bahasa yang komunikatif, memperkaya dengan studi kasus dan tren global, serta menawarkan opini kritis yang membumi.

IWRM: Konsep Global, Tantangan Lokal

IWRM, menurut definisi Global Water Partnership (2000), adalah proses yang mempromosikan pengelolaan dan pengembangan air, tanah, dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem vital. Di atas kertas, IWRM menjanjikan harmoni. Namun dalam praktiknya, khususnya di Bangladesh:

  • Fragmentasi institusional dan duplikasi tugas masih menjadi momok.
  • Tantangan geografis seperti delta sungai dan banjir tahunan mempersulit koordinasi.
  • Polusi air dan kontaminasi arsenik menjadi masalah kesehatan kronis.

Policy Network Analysis: Membongkar Simpul Masalah

Siddiki mengangkat PNA sebagai alat diagnosis kebijakan yang melihat:

  • Aktor dan perannya: Siapa yang terlibat, siapa yang dikecualikan?
  • Aturan main: Apakah peraturan jelas atau tumpang tindih?
  • Relasi kekuasaan: Siapa yang dominan dalam pengambilan keputusan?

Temuan Utama:

  1. Pembuatan Kebijakan Air (Water Act 2013) dilakukan tanpa inklusi aktor lokal kunci.
  2. Implementasi WMIP (Water Management Improvement Project) tidak berjalan mulus karena ketidaksesuaian antara kebijakan dan realitas lapangan.
  3. Kesenjangan antara jaringan kebijakan dan jaringan implementasi menjadi penyebab utama IWRM gagal optimal.

Studi Kasus: Proyek WMIP sebagai Cermin Kerapuhan Sistem

WMIP adalah proyek besar yang didanai ADB dan Bank Dunia, ditujukan untuk mereformasi kelembagaan air di Bangladesh. Namun:

  • Banyak aktor lokal tidak dilibatkan secara bermakna.
  • Ketidaksesuaian mandat antar lembaga (misalnya BWDB vs WARPO) memicu konflik.
  • Ketergantungan pada sumber daya luar negeri (teknis maupun finansial) memperlemah keberlanjutan.

Kritik tambahan: WMIP mencerminkan bias top-down yang masih kental dalam proyek air, yang seringkali mengabaikan indigenous knowledge atau praktik lokal.

Menghubungkan dengan Praktik Global: Apa yang Bisa Dipelajari?

Indonesia

Kasus Indonesia dalam menangani penurunan muka tanah di Jakarta juga mencerminkan pentingnya kolaborasi antarlembaga dan partisipasi warga. Tanpa data spasial terbuka dan mekanisme feedback dari masyarakat, kebijakan larangan sumur bor tidak efektif.

Iran (Danau Urmia)

Restorasi danau Urmia melibatkan model hidrologi partisipatif dan monitoring satelit. Bangladesh bisa belajar dari bagaimana integrasi sains dan partisipasi masyarakat dapat menjadi dasar kebijakan.

Menuju Solusi: Rekomendasi Kunci

  1. Redesain Jaringan Kebijakan: Libatkan aktor marginal dalam perancangan, bukan hanya implementasi.
  2. Perbaikan Tata Aturan: Sinkronisasi antar perundangan, jelasnya mandat, dan pengurangan overlap.
  3. Manajemen Jaringan (Network Management Approach): Koordinasi aktif antar aktor melalui insentif, mediasi konflik, dan pelatihan kapasitas.
  4. Desentralisasi Bertanggung Jawab: Wewenang daerah harus diikuti dengan anggaran dan kapasitas teknis.
  5. Audit Partisipatif Tahunan: Evaluasi bersama antara masyarakat, NGO, dan lembaga pemerintah.

Dampak Praktis dan Industri

  • Perusahaan konsultan air bisa memanfaatkan PNA untuk merancang proyek yang lebih adaptif.
  • Startup teknologi lingkungan dapat menciptakan dashboard interaktif berbasis PNA untuk monitoring kebijakan.
  • Pemerintah bisa menjadikan pendekatan Siddiki sebagai model nasional pengukuran efektivitas kebijakan air.

Kritik Akademik dan Potensi Lanjutan

Meskipun komprehensif, penelitian ini masih fokus pada dua kasus (Water Act dan WMIP). Akan lebih kuat bila diperluas ke wilayah lain seperti Chittagong atau permukiman pesisir. Selain itu, pendekatan PNA bisa digabungkan dengan metode kuantitatif seperti Social Network Analysis (SNA) untuk menghasilkan peta interaksi yang lebih konkret.

Kesimpulan: IWRM Tak Cukup Hanya "Terintegrasi" di Atas Kertas

Siddiki berhasil membedah kenapa IWRM seringkali gagal bukan karena niat, melainkan karena desain kebijakan yang eksklusif, jaringan aktor yang timpang, serta implementasi yang tidak konsisten. Melalui PNA, ia menunjukkan bahwa solusi ada di balik interaksi manusia, bukan hanya dalam dokumen strategis.

Bottom line: Reformasi kebijakan air harus mulai dari "jaringan," bukan hanya "peraturan."

Sumber: Siddiki, U. R. (2022). Understanding Integrated Water Resources Management using Policy Network Analysis: Implications for Bangladesh. University of Canberra.

Selengkapnya
Mengurai IWRM di Bangladesh: Antara Jargon, Jaringan, dan Jalan Tengah untuk Reformasi Air
« First Previous page 153 of 1.131 Next Last »