Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Bangladesh 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Digital Ketat, dan Tantangan Serius dalam Perlindungan IP serta Iklim Investasi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025


Bangladesh merupakan salah satu ekonomi berkembang tercepat di Asia Selatan, namun dalam konteks perdagangan internasional, negara ini masih menghadapi tantangan struktural yang cukup dalam. Laporan 2025 National Trade Estimate menggambarkan Bangladesh sebagai pasar dengan kombinasi hambatan tarif tinggi, prosedur kepabeanan yang belum modern, rezim digital yang semakin ketat, serta penegakan hukum yang lemah—khususnya terkait kekayaan intelektual. Semua faktor tersebut secara langsung memengaruhi hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat, yang didasarkan pada mekanisme Trade and Investment Cooperation Forum Agreement (TICFA).

Meski pemerintah Bangladesh telah melakukan sejumlah reformasi dalam beberapa tahun terakhir, hambatan akses pasar bagi eksportir, penyedia jasa, dan investor asing tetap signifikan. Tantangan tersebut mencakup area kebijakan impor, tata kelola pengadaan pemerintah, transparansi regulasi, isu digital, hingga persoalan ketenagakerjaan dan korupsi.

Kebijakan Impor: Tarif Tinggi, Aturan Ketat, dan Minimnya Transparansi

1. Struktur Tarif dan Keterbukaan Perdagangan yang Terbatas

Rata-rata tarif MFN Bangladesh mencapai 14,1%, lebih tinggi dibandingkan banyak negara berkembang lainnya. Tarif untuk produk pertanian bahkan lebih tinggi (17,7%).

Selain itu, Bangladesh hanya mengikat 17,6% garis tarif di WTO, dengan bound rate rata-rata 155,1%. Hal ini memberikan ruang luas bagi kebijakan proteksionis dan perubahan kebijakan tiba-tiba.

2. Kebijakan Non-Tarif: Implementasi TFA yang Lambat

Meskipun Bangladesh telah meratifikasi WTO Trade Facilitation Agreement pada 2016, implementasinya masih jauh dari tuntas:

  • belum menyerahkan notifikasi transparansi impor-ekspor,

  • belum menyerahkan dokumentasi implementasi Customs Valuation Agreement,

  • belum memberikan klarifikasi transparan terkait proses penilaian bea cukai.

Ketiadaan kepastian ini menyulitkan importir yang membutuhkan prediktabilitas dan waktu pemrosesan yang jelas.

Pengadaan Pemerintah: Prinsip Kompetitif Ada, tetapi Praktik Korupsi Menghambat Persaingan

Secara teoritis, Bangladesh menggunakan sistem tender terbuka berdasarkan Public Procurement Act 2006, tetapi berbagai hambatan praktik di lapangan membuat perusahaan asing, termasuk perusahaan AS, berada dalam posisi tidak menguntungkan.

Masalah yang sering dilaporkan:

  • spesifikasi teknis yang dibuat untuk menguntungkan vendor tertentu,

  • kurangnya transparansi,

  • praktik bid rigging,

  • pengaruh kuat mitra lokal tertentu,

  • serta tuduhan suap dalam proses evaluasi dan persetujuan.

Bangladesh bukan pihak maupun pengamat dalam WTO Government Procurement Agreement, sehingga tidak terikat standar internasional dalam pengadaan publik.

Pemerintah interim yang menjabat sejak 2024 menyatakan komitmen terhadap reformasi, tetapi implementasinya masih harus dibuktikan.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Penegakan Lemah dan Lonjakan Barang Bajakan

Bangladesh menghadapi masalah serius dalam perlindungan dan penegakan hak kekayaan intelektual (HKI). Barang palsu dan bajakan beredar luas di sektor:

  • konsumer,

  • pakaian,

  • farmasi,

  • perangkat lunak.

Kelemahan utama:

  • polisi minim sumber daya dan jarang mengambil inisiatif,

  • investigasi jarang dilakukan,

  • proses pengadilan panjang dan tidak pasti,

  • kurangnya koordinasi antar-lembaga (Customs, Copyright Office, DPDT),

  • peningkatan Bangladesh sebagai sumber distribusi global barang palsu.

Bangladesh memang telah memperbarui beberapa undang-undang seperti:

  • Patent Law (2022, revisi 2023),

  • Copyright Law (amendemen 2023),

  • Industrial Design Act (2023),

tetapi aturan pelaksana belum diterbitkan sehingga efektivitasnya belum terlihat. Kurangnya konsultasi publik dalam penyusunan regulasi juga menimbulkan kritik.

AS terus memberi bantuan teknis melalui TICFA, tetapi membangun rezim IP yang efektif membutuhkan reformasi kelembagaan yang jauh lebih mendalam.

Hambatan Digital dan E-Commerce: Regulasi Ketat, Kontrol Konten, dan Ancaman Terhadap Privasi

Bangladesh telah mengembangkan jaringan regulasi digital yang semakin ketat dan berpotensi membatasi kebebasan internet serta perdagangan digital.

1. Akses dan Sensor Internet

Di bawah ICT Act 2006 dan amandemennya, pemerintah dapat:

  • mengakses sistem komputer apa pun,

  • menyita atau memblokir data,

  • memutus layanan internet atau komunikasi suara,

  • menyensor konten digital.

Hal ini menciptakan risiko besar bagi perusahaan teknologi, platform digital, dan startup internasional.

2. Regulasi OTT dan Media Digital

Regulasi Digital, Social Media and OTT Platforms (2021) membuka peluang besar bagi pemerintah untuk:

  • mengawasi konten digital,

  • membebankan kewajiban traceability bahkan pada layanan terenkripsi,

  • mengenakan tanggung jawab pidana bagi perusahaan dan stafnya.

Perusahaan AS sangat khawatir terhadap besarnya ruang interpretasi regulator.

3. Rancangan Undang-Undang Data Pribadi: Risiko Lokalisasi Data

Rancangan Personal Data Protection Act yang berulang kali direvisi menimbulkan kekhawatiran:

  • potensi kewajiban lokalisasi data untuk data “klasifikasi khusus”,

  • akses luas oleh aparat penegak hukum,

  • kurangnya konsultasi publik,

  • ketidakjelasan penerapan untuk data global perusahaan multinasional.

Rancangan yang terakhir bahkan sempat ditarik setelah banyak dikritik, tetapi upaya regulasi masih terus berlangsung.

4. Cybersecurity: Regulasi Baru Masih Mengandung Pasal Kriminalisasi Ekspresi

Pada 2023 Bangladesh mengganti Digital Security Act dengan Cyber Security Act, tetapi banyak elemen kontroversial masih dipertahankan. Pada Desember 2024, pemerintah interim mengesahkan Cyber Protection Ordinance yang akan berlaku penuh jika disetujui parlemen mendatang.

Ancaman Shutdown Internet: Dampak Besar pada Perdagangan dan Operasi Global

Sejak 2015, Bangladesh beberapa kali menutup atau membatasi layanan internet, terutama menjelang peristiwa politik sensitif. Contohnya:

  • pembatasan data seluler pada 2019, 2020, dan 2023,

  • pemblokiran layanan internet di kamp pengungsi Rohingya (2019–2020),

  • pemutusan internet nasional selama 10 hari pada Juli–Agustus 2024.

Shutdown seperti ini tidak hanya mengganggu operasi perusahaan AS tetapi juga merusak reputasi iklim digital Bangladesh.

Hambatan Investasi: Kepemilikan Asing Dibatasi dan Proses Repatriasi Lambat

Bangladesh mengizinkan kepemilikan asing 100% dalam banyak sektor, tetapi terdapat pembatasan kepemilikan dalam:

  • telekomunikasi,

  • gas,

  • distribusi energi,

  • dan sektor lain yang dianggap strategis.

Untuk berinvestasi di 22 sektor, investor asing harus memperoleh No Objection Certificate, suatu proses yang dapat memakan waktu lama dan tidak selalu transparan.

Masalah terbesar bagi investor AS adalah repatriasi keuntungan:

  • banyak perusahaan menunggu lebih dari setahun untuk persetujuan,

  • proses persetujuan tidak jelas,

  • diperlukan izin dari beberapa regulator sebelum disetujui bank sentral.

Pemerintah interim berjanji melakukan reformasi, namun implementasi tetap menjadi tantangan.

Subsidi Pertanian dan Ekspor: Dukungan Besar yang Belum Transparan

Bangladesh memberikan subsidi besar untuk:

  • pupuk,

  • diesel,

  • listrik irigasi,

  • mesin pertanian,

  • pembelian gabah dengan harga dukungan.

Selain itu, terdapat skema insentif ekspor untuk 43 sektor dengan tunai 1–20% nilai ekspor, dengan syarat kandungan lokal minimal 30%.

Sebagai LDC, Bangladesh masih dikecualikan dari larangan subsidi ekspor WTO, tetapi masa pengecualian ini akan berakhir seiring rencana graduasi dari kategori LDC.

Masalah Ketenagakerjaan: Syarat GSP yang Belum Terpenuhi

AS masih menangguhkan fasilitas GSP Bangladesh sejak 2013 akibat:

  • kondisi pekerja yang buruk,

  • lemahnya kebebasan berserikat,

  • buruknya keselamatan bangunan dan kebakaran—terutama di sektor garmen.

Pada 2024, AS menyampaikan Labor Action Plan berisi 11 komitmen perbaikan yang harus dipenuhi Bangladesh untuk bisa mempertimbangkan pemulihan GSP.

Korupsi: Hambatan Struktural terhadap Perdagangan dan Investasi

Korupsi tetap menjadi masalah paling persisten. Meskipun struktur hukum melarang suap, pemerasan, dan pencucian uang, implementasinya sangat lemah.

Masalah utama:

  • pegawai publik sering menunda proses hingga menerima suap,

  • upaya memperlemah Anti-Corruption Commission,

  • backlog besar kasus korupsi,

  • pengaruh politik dalam tender dan izin usaha.

Bangladesh berada dalam fase transisi politik pada 2024–2025, dan pemerintahan interim menyatakan komitmen reformasi, tetapi hasilnya belum terlihat.

Penutup: Pasar dengan Potensi Besar tetapi Dipenuhi Hambatan Berlapis

Bangladesh memiliki potensi ekonomi sangat besar dengan populasi muda, pertumbuhan manufaktur yang pesat, serta ambisi digitalisasi nasional. Namun hambatan tarif tinggi, regulasi digital yang ketat, penegakan hukum IP yang lemah, kesulitan repatriasi, serta tingginya tingkat korupsi menjadikan pasar ini tetap sulit bagi perusahaan AS.

Ke depan, keberhasilan reformasi pemerintah interim, implementasi penuh kebijakan TFA, penyempurnaan regulasi digital, dan perbaikan perlindungan pekerja akan sangat menentukan apakah Bangladesh bisa menjadi mitra dagang yang lebih andal bagi komunitas internasional.

 

Daftar Pustaka

2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Bangladesh Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Bangladesh 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Digital Ketat, dan Tantangan Serius dalam Perlindungan IP serta Iklim Investasi

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Australia 2025: Ketegangan SPS, Regulasi Digital, dan Isu Investasi di Negara Mitra Perjanjian Dagang Utama AS

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025


Australia merupakan salah satu mitra dagang terdekat Amerika Serikat dan terikat dalam United States–Australia Free Trade Agreement (FTA) yang sudah berlaku sejak 2005. Di bawah perjanjian tersebut, seluruh ekspor AS menikmati akses bebas tarif ke pasar Australia. Kedua negara secara rutin meninjau pelaksanaan FTA untuk memastikan keselarasan kebijakan dan penyelesaian isu-isu yang tersisa.

Namun, laporan 2025 National Trade Estimate menunjukkan bahwa meskipun hubungan dagang berlangsung erat, sejumlah hambatan tetap memengaruhi akses pasar AS—terutama melalui aturan sanitari dan fitosanitari (SPS), kebijakan digital, regulasi sektor audiovisual, dan isu kompensasi investasi. Hambatan-hambatan ini tidak bersifat tarif, tetapi berdampak langsung pada kelancaran ekspor dan kegiatan perusahaan AS di Australia.

Hambatan SPS: Aturan Ketat yang Membatasi Produk Daging dan Hortikultura AS

1. Daging Sapi: Pasar Masih Tertutup untuk Produk Segar dari AS

Australia memiliki salah satu rezim kesehatan hewan paling ketat di dunia, terutama terkait risiko bovine spongiform encephalopathy (BSE).

Setelah kasus BSE di AS pada 2003, Australia langsung menutup pasar untuk daging sapi AS. Walaupun pada 2018 Australia telah membuka kembali impor untuk produk daging sapi olahan yang tahan panas, pasar untuk daging sapi segar dan produk sapi tidak stabil tetap tertutup.

Negosiasi teknis terus dilakukan, tetapi belum menghasilkan pembukaan akses penuh. Bagi industri daging AS, kondisi ini menciptakan hambatan besar terhadap salah satu pasar protein premium dunia.

2. Daging Babi: Larangan untuk Produk Segar dan Bone-In Pork

Pork merupakan ekspor pertanian terbesar ketiga AS ke Australia, tetapi aturan SPS Australia tetap menutup pasar untuk:

  • daging babi segar,

  • produk babi dingin/chilled,

  • dan produk bone-in pork.

Australia menilai AS memiliki risiko penyakit PRRS dan PMWS, meskipun AS telah menyampaikan bukti ilmiah bahwa produk babi mereka aman. Sengketa ilmiah yang belum teratasi ini membuat akses pasar tetap terblokir untuk berbagai jenis produk bernilai tinggi.

3. Unggas: Persyaratan Pemanasan yang Tidak Praktis

Australia hanya memperbolehkan impor daging unggas yang sudah dimasak, dan itu pun dengan aturan yang sangat ketat. Importasi harus memenuhi:

  • pemanasan inti minimum 74°C selama 165 menit, atau

  • prosedur pemasakan lain yang setara.

Standar ini membuat produk unggas olahan seperti deli meat atau produk siap saji AS tidak dapat memenuhi persyaratan, sehingga pada praktiknya pasar Australia tertutup untuk berbagai produk unggas AS.

4. Hortikultura: Apel dan Pir Masih Menghadapi Pembatasan Besar

Apel AS

Australia menolak impor apel AS selama bertahun-tahun karena beberapa jenis hama. Meski negara tersebut telah menerbitkan analisis risiko baru untuk apel dari Pacific Northwest dan memfinalkan analisisnya pada 2022, akses pasar tetap belum terbuka penuh.

Pir AS

Larangan impor pir AS tetap dipertahankan akibat kekhawatiran terhadap penyakit fire blight. AS telah memberikan bukti ilmiah bahwa:

  • pir matang tanpa gejala tidak membawa bakteri fire blight,

  • dan tidak termasuk jalur penyebaran penyakit.

Namun, Australia belum mengubah kebijakannya sehingga akses pasar tetap tertutup.

Hambatan-hambatan SPS ini—kebanyakan berbasis pendekatan risiko ultra-hati-hati—menjadi titik friksi utama dalam perdagangan pangan AS–Australia.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Masalah dalam Pemberitahuan Paten Farmasi

Di bawah FTA, Australia wajib memberi pemberitahuan kepada pemilik paten ketika pihak lain mengajukan permohonan persetujuan pemasaran produk farmasi yang masih berada dalam masa paten.

Namun perusahaan AS dan Australia terus menyatakan bahwa:

  • pemberitahuan sering tertunda,

  • proses administratif tidak konsisten,

  • dan beberapa ketentuan hukum tentang ganti rugi sipil menciptakan ketidakpastian bagi pemilik paten.

AS masih menganggap isu ini sebagai area yang perlu dipantau karena berdampak pada industri farmasi bernilai tinggi.

Hambatan Digital: Mandatory Bargaining Code dan Regulasi Baru

Australia menerapkan Mandatory News Media and Digital Platforms Bargaining Code sejak 2021. Aturan ini mewajibkan perusahaan platform digital tertentu untuk:

  • bernegosiasi dengan media Australia, dan

  • memberikan bayaran atas konten berita yang muncul di platform mereka.

Pada 2024, pemerintah Australia mengumumkan rencana memperketat kode tersebut dengan:

  • memperluas kewajiban,

  • menambah sanksi finansial bagi platform yang tidak membuat atau memperbarui perjanjian dengan media Australia.

Langkah ini berdampak pada perusahaan digital AS yang beroperasi di Australia, terutama dalam hal kewajiban negosiasi komersial dan eksposur terhadap denda.

Hambatan Sektor Jasa: Ancaman Kewajiban Konten Lokal untuk Streaming

Australia sedang mempertimbangkan kebijakan konten lokal untuk layanan streaming video sebagai bagian dari National Cultural Policy.

Pemerintah telah berkonsultasi dengan pelaku industri mengenai:

  • persentase konten lokal,

  • genre prioritas, dan

  • model kontribusi ekonomi.

Rencana ini akan diwujudkan dalam undang-undang sebelum pemilu 2025. Jika diterapkan secara agresif, regulasi tersebut dapat:

  • meningkatkan biaya operasional platform streaming AS,

  • memengaruhi ketersediaan katalog global,

  • dan menciptakan hambatan akses bagi penyedia layanan baru.

Hambatan Investasi: Sengketa Kompensasi di New South Wales

Selain hambatan perdagangan barang dan jasa, laporan ini mencatat isu investasi terkait pembatalan lisensi pertambangan di New South Wales (NSW) pada 2014. Ketika lisensi dicabut, pemerintah NSW juga mengesahkan undang-undang yang:

  • melarang kompensasi kepada investor,

  • termasuk pemegang saham AS.

Komite parlementer telah merekomendasikan agar pemerintah NSW memberikan mekanisme kompensasi, tetapi hingga kini belum ada tindakan. Bagi investor, kasus ini menimbulkan keraguan terhadap keamanan regulasi dan perlindungan investasi di tingkat negara bagian.

Penutup: Mitra Dekat yang Tetap Menjadi Tantangan dalam Area Non-Tarif

Secara keseluruhan, Australia menawarkan akses bebas tarif ke produk AS melalui FTA, tetapi hambatan non-tarif tetap signifikan. Isu SPS, regulasi digital, kebijakan audiovisual, dan ketidakpastian investasi menciptakan tantangan nyata bagi eksportir dan perusahaan AS.

Situasi ini menunjukkan bahwa hubungan dagang dekat sekalipun tidak menjamin hilangnya hambatan—terutama ketika hambatan tersebut muncul dari pertimbangan kesehatan, budaya, atau kebijakan domestik yang sensitif secara politik.

 

Daftar Pustaka

2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Australia Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Australia 2025: Ketegangan SPS, Regulasi Digital, dan Isu Investasi di Negara Mitra Perjanjian Dagang Utama AS

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Argentina 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Impor Ketat, dan Iklim Bisnis yang Masih Tidak Stabil

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025


Argentina memasuki 2025 dengan lanskap perdagangan yang kompleks, ditandai oleh tarif tinggi, sistem perpajakan yang membebani impor, serta regulasi yang berubah cepat. Meskipun negara ini terikat penuh dalam sistem WTO dan menjadi anggota MERCOSUR, berbagai kebijakan domestik masih menciptakan hambatan signifikan bagi eksportir dan penyedia jasa internasional. Laporan 2025 National Trade Estimate menyoroti bahwa Argentina tetap menjadi salah satu pasar dengan kombinasi hambatan tarif dan non-tarif paling padat di kawasan.

Kerangka hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Argentina berada di bawah Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), yang menjadi forum utama dialog mengenai isu pasar dan investasi. Namun, sejumlah kebijakan Argentina, terutama di bidang impor dan akses valuta asing, terus memengaruhi stabilitas perdagangan.

Struktur Tarif: Rata-Rata Tinggi dan Peran MERCOSUR dalam Pembentukan Bea Masuk

Tarif rata-rata Most-Favored-Nation (MFN) Argentina tercatat 13,4%, dengan tarif pertanian 10,3% dan tarif non-pertanian 13,8%. Meski Argentina telah mengikat seluruh garis tarifnya di WTO dengan rata-rata 31,8%, praktik aktualnya tetap berada di batas atas bagi banyak sektor.

Sebagai anggota MERCOSUR, Argentina menerapkan Common External Tariff (CET) yang berkisar 0–35%. Meskipun blok tersebut telah menyepakati penurunan 10% CET pada sebagian besar produk sejak 2022, implementasi penuh kode bea cukai bersama masih terhambat karena hanya Argentina yang meratifikasinya.

Argentina juga menaikkan tarif pada sejumlah produk tertentu, misalnya wiski yang kini dikenai tarif 35%, jauh di atas tarif 12% untuk minuman beralkohol lainnya.

Sistem Perpajakan Impor: Beban Tinggi dan Administrasi Lambat

Argentina memiliki struktur pajak berlapis yang menambah biaya impor secara signifikan. Poin-poin utama termasuk:

  • Statistical tax 3% untuk impor konsumsi, diperpanjang hingga 2027.

  • Advance VAT antara 10–20%, ditambah additional VAT 20% untuk barang konsumsi dan 10% untuk barang modal.

  • Income tax withholding sebesar 6–11% atas nilai barang.

  • Untuk sebagian transaksi, ada tambahan pembayaran personal asset tax 30% sejak 2022.

Dalam konteks inflasi yang tinggi, mekanisme advance payments membuat impor semakin tidak kompetitif, dan proses pengembalian VAT setelah ekspor sering mengalami keterlambatan yang memperburuk beban pelaku usaha.

Pembatasan Non-Tarif: Larangan Impor dan Persyaratan Khusus yang Ketat

Argentina memiliki salah satu rezim pembatasan impor barang bekas paling ketat di kawasan. Larangan atau pembatasan meliputi:

  • sebagian besar barang modal bekas,

  • mesin pertanian tertentu kecuali untuk direkondisi di dalam negeri,

  • ban bekas dan retread,

  • peralatan medis bekas,

  • suku cadang otomotif bekas,

  • serta larangan umum terhadap barang remanufaktur.

Untuk barang bekas yang masih boleh diimpor, syaratnya sangat berat, seperti:

  • hanya boleh diimpor oleh pengguna akhir,

  • rekondisi luar negeri hanya oleh produsen asli,

  • rekondisi dalam negeri hanya oleh lembaga teknis negara,

  • barang tidak boleh dijual atau dipindahtangankan selama empat tahun,

  • seluruh barang wajib memiliki Certificate of Import of Used Capital Goods.

Selain itu, antara 2019–2024, sebagian besar barang dikenakan pajak PAIS antara 7,5–30% yang semakin mengurangi daya saing impor, meski pajak tersebut tidak diperpanjang pada akhir 2024.

Reformasi Sistem Perizinan Impor: Penghapusan Lisensi Non-Automatic

Salah satu perubahan penting terjadi pada akhir 2023, ketika Argentina menghapus lisensi impor non-otomatis (non-automatic import licenses) dan menggantinya dengan Statistical System of Imports (SEDI), sebuah sistem digital pencatatan data impor.

Walau reformasi ini diarahkan pada transparansi, pelaku usaha tetap memantau apakah sistem ini akan diterapkan secara konsisten atau justru menjadi bentuk hambatan administratif baru.

Akses Pasar Valuta Asing: Perbaikan Terbatas tetapi Risiko Masih Tinggi

Pembatasan akses terhadap valuta asing menjadi salah satu hambatan terbesar bagi importir. Walaupun bank sentral telah mempercepat akses pembayaran impor dari 120 hari menjadi 30 hari setelah barang tiba, implementasinya tetap sulit. Pelaku usaha sering menghadapi:

  • keterlambatan akses dolar,

  • keharusan melakukan negosiasi dengan pemasok internasional,

  • biaya tambahan karena pembiayaan atau kredit,

  • ketidakpastian nilai tukar yang fluktuatif.

Beberapa sektor seperti energi dan pertambangan mendapatkan akses prioritas, tetapi sebagian besar sektor lain masih menghadapi risiko transaksi yang tinggi.

Hambatan Kepabeanan dan Reformasi Fasilitasi Perdagangan

Pada 2024, Argentina melakukan beberapa upaya reformasi:

  • menghapus penggunaan reference prices untuk sebagian negara asal,

  • menghilangkan analisis kapasitas finansial importir,

  • menghapus automatic red channel untuk barang yang terkena antidumping,

  • menyederhanakan persyaratan keselamatan untuk produk seperti sepeda dan tekstil.

Meskipun langkah-langkah ini menunjukkan arah yang lebih progresif, persyaratan consularization tetap menjadi hambatan besar. Setiap invoice dan packing list harus dilegalisasi oleh konsulat Argentina, suatu proses yang mahal dan tidak sesuai praktik modern.

SPS: Akses Tertutup untuk Sapi Hidup

Walaupun pasar daging sapi sempat dibuka kembali pada 2018, Argentina masih melarang impor sapi hidup dari AS dengan alasan kesehatan (BSE). Hingga kini, negosiasi sertifikat sanitari bersama masih berlangsung dan belum mencapai hasil final.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Tantangan Berat bagi Inovator

Argentina tetap berada pada Priority Watch List untuk perlindungan hak kekayaan intelektual. Masalah utamanya mencakup:

  • cakupan paten yang sangat terbatas,

  • kurangnya perlindungan data uji farmasi,

  • backlog panjang untuk paten farmasi dan biosimilar,

  • pasar gelap besar untuk barang bajakan, termasuk La Salada dan Barrio Once,

  • penegakan hukum yang tidak efektif.

Situasi ini menciptakan risiko tinggi bagi perusahaan teknologi, farmasi, dan industri kreatif.

Hambatan di Sektor Jasa: Utamanya dari Pembatasan Valuta Asing

Sektor jasa menghadapi hambatan yang serupa dengan barang, terutama dalam hal akses pembiayaan dan pembayaran lintas negara. Argentina memang menghapus kewajiban otorisasi impor jasa pada 2023, tetapi regulasi pembatasan valuta asing masih menjadi hambatan utama bagi penyedia layanan asing.

Sektor tertentu, seperti media dan telekomunikasi, memiliki hambatan tersendiri:

  • Media Law mewajibkan porsi konten lokal dalam iklan, radio, dan televisi.

  • Pada 2024, sebagian ketentuan konten berita wajib dicabut.

  • Untuk telekomunikasi, Argentina akhirnya mencabut pengendalian harga ICT yang
    sejak 2020 membatasi tarif di bawah inflasi dan menghambat investasi sektor digital.

Penutup: Reformasi Ada, tetapi Beban Perdagangan Masih Berat

Argentina melakukan sejumlah reformasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk penghapusan lisensi non-otomatis, beberapa penyederhanaan kepabeanan, dan perubahan kebijakan sektor telekomunikasi.

Namun struktur pajak impor yang rumit, pembatasan ketat barang bekas dan remanufaktur, ketidakpastian valuta asing, serta perlindungan kekayaan intelektual yang lemah tetap menjadikan Argentina pasar yang penuh tantangan.

Bagi perusahaan internasional, keberhasilan memasuki pasar Argentina membutuhkan strategi yang matang, pemahaman mendalam mengenai regulasi yang berubah cepat, serta kapasitas finansial yang cukup untuk menanggung biaya kepatuhan yang tinggi.

 

Daftar Pustaka

2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Argentina Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Argentina 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Impor Ketat, dan Iklim Bisnis yang Masih Tidak Stabil

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Aljazair 2025: Proteksionisme Struktural dan Tantangan Akses Pasar bagi Pelaku Usaha Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025


Bagian laporan 2025 National Trade Estimate on Foreign Trade Barriers yang membahas Aljazair memberikan gambaran komprehensif mengenai bagaimana negara tersebut mengatur arus barang, jasa, dan investasi asing. Dengan ekonomi yang masih sangat terpusat pada negara dan struktur proteksionisme yang kuat, Aljazair terus menjadi salah satu pasar yang paling menantang bagi eksportir dan investor internasional, termasuk dari Amerika Serikat.

Meskipun negara ini terlibat dalam perjanjian ekonomi dengan beberapa mitra, termasuk perjanjian kerangka perdagangan dan investasi dengan AS, pola kebijakannya menunjukkan dorongan besar untuk melindungi industri domestik, mengamankan cadangan devisa, dan mengendalikan sektor-sektor strategis melalui negara dan BUMN.

Kebijakan Tarif: Struktur yang Tinggi dan Berlapis

Aljazair bukan anggota WTO, sehingga tidak terikat penuh oleh aturan multilateral yang mengatur harmonisasi tarif. Tarif impor bervariasi dari 0% hingga 60%, dengan rata-rata 18,9%—cukup tinggi dibandingkan pasar global. Produk pertanian menghadapi tarif yang lebih tinggi dibanding barang industri, menunjukkan upaya melindungi sektor agrikultur lokal.

Selain itu, pemerintah menerapkan Tambahan Bea Pengaman (DAP) antara 30% hingga 200% untuk lebih dari seribu produk manufaktur dan pertanian. Tarif tertinggi—200%—diterapkan pada sejumlah produk semen yang dianggap memiliki suplai domestik memadai.

Kombinasi tarif dasar dan DAP menjadikan biaya impor sangat tinggi dan secara efektif menutup pintu masuk banyak produk asing yang memiliki substitusi lokal.

Pembatasan Non-Tarif: Pengawasan Ketat dan Kuota yang Berubah-ubah

Regulasi non-tarif di Aljazair sama pentingnya dengan tarif itu sendiri. Meski negara telah menghapus beberapa kuota impor resmi, penggunaannya digantikan oleh persyaratan otorisasi khusus yang tetap mempersempit akses.

Beberapa bentuk pembatasan utama:

1. Regulasi Otomotif yang Sangat Terkendali

Sektor otomotif tunduk pada aturan ketat yang mengharuskan importir memperoleh lisensi, mematuhi spesifikasi teknis, dan melalui proses pemeriksaan yang cukup panjang. Meskipun kuota dihapus, hambatan administratif tetap menjadi filter efektif.

2. Monopoli Impor Produk Strategis

Badan negara OAIC diberi wewenang eksklusif untuk mengimpor gandum, dan kemudian diperluas mencakup beras dan kacang-kacangan, meskipun aturan formalnya belum dikodifikasi. Praktik monopoli ini membuat pasar lebih tertutup bagi pemasok swasta.

3. Larangan dan Pembatasan Impor Barang Tertentu

Aljazair melarang atau membatasi impor sejumlah barang, di antaranya:

  • peralatan medis bekas,

  • mesin bekas,

  • produk farmasi generik tertentu,

  • sejumlah produk pertanian yang dikenakan larangan musiman.

Larangan ini sering kali diberlakukan untuk alasan yang diklaim sebagai perlindungan konsumen atau penghematan devisa, tetapi praktiknya menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha internasional.

Hambatan Kepabeanan dan Fasilitasi Perdagangan: Proses yang Lambat dan Tidak Transparan

Proses bea cukai Aljazair terkenal lambat dan sarat birokrasi. Banyak perusahaan melaporkan keterlambatan berbulan-bulan tanpa penjelasan yang jelas. Persyaratan dokumen yang ketat, termasuk sertifikat mutu dari pihak ketiga serta verifikasi anti-penipuan, meningkatkan biaya dan waktu impor.

Kerap kali, importir juga memerlukan izin dari beberapa kementerian sekaligus, dengan regulasi yang tidak selalu jelas mengenai kewenangan masing-masing lembaga. Ketidakpastian ini menjadi hambatan utama dalam operasi perdagangan yang bergantung pada waktu.

Hambatan Sanitary dan Phytosanitary: Ketat tetapi Tidak Konsisten

Aljazair melarang impor benih hasil bioteknologi untuk penggunaan komersial, meski mengizinkan untuk riset. Selain itu, berbagai sertifikasi kesehatan hewan dan produk hewani menghadapi hambatan pengakuan bilateral.

Upaya peningkatan kerja sama teknis antara otoritas AS dan Aljazair menunjukkan kemajuan terbatas, sementara beberapa sertifikat standar AS untuk produk daging dan unggas masih belum diakui secara resmi.

Pengadaan Pemerintah: Orientasi “Beli Lokal” yang Kuat

Sejak 2015, kementerian dan BUMN Aljazair diwajibkan memprioritaskan produk domestik dalam semua proses pengadaan. Produk asing hanya dapat dibeli jika produk lokal tidak tersedia dan harus memperoleh otorisasi khusus.

Selain itu:

  • pembelian dalam mata uang asing di atas batas tertentu memerlukan persetujuan tingkat tinggi,

  • Aljazair tidak terikat pada aturan WTO mengenai pengadaan pemerintah,
    yang membuat pasar publik semakin sulit diakses oleh perusahaan internasional.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Reformasi Dimulai tetapi Masih Dangkal

Meskipun terdapat sejumlah inisiatif seperti rancangan undang-undang baru dan pembentukan pengadilan komersial khusus untuk sengketa IP, kekhawatiran utama masih meliputi:

  • mekanisme penyelesaian sengketa paten yang lemah,

  • minimnya perlindungan data uji farmasi,

  • lemahnya sistem oposisi merek dagang,

  • penegakan anti-pembajakan yang belum konsisten.

Kondisi ini membuat banyak perusahaan asing ragu menempatkan investasi bernilai tambah tinggi di Aljazair.

Hambatan Digital dan Perdagangan Elektronik: Regulasi Ketat dan Lokalisasi Data

Aljazair membatasi pembelian online luar negeri dengan batas maksimum transaksi sangat kecil untuk kartu kredit internasional. Transfer dana melalui platform pembayaran digital lintas batas juga dilarang.

Regulasi e-commerce mengharuskan seluruh platform digital yang beroperasi di negara tersebut untuk:

  • mendaftar ke pemerintah,

  • menggunakan pusat data yang berlokasi di Aljazair,
    yang menciptakan biaya tambahan besar bagi perusahaan teknologi dan UMKM yang ingin masuk pasar.

Hambatan Investasi: Kembali ke Aturan 51/49 dan Ketidakpastian Regulasi

Kebijakan investasi menjadi salah satu titik tersulit bagi perusahaan global. Pemerintah kembali menerapkan aturan 51/49, mewajibkan mayoritas kepemilikan lokal untuk sektor-sektor strategis, termasuk energi, pertambangan, pertahanan, infrastruktur, dan farmasi. Aturan ini juga berlaku bagi importir yang menjual kembali barang di pasar lokal.

Walaupun pemerintah mengumumkan pembentukan “Invest Algeria” sebagai layanan satu pintu untuk investor, implementasinya masih belum terlihat sehingga investor menghadapi proses perizinan yang membingungkan dan berbelit.

Peran Dominan BUMN: Distorsi Pasar yang Luas

BUMN mendominasi perekonomian, mencapai sekitar dua pertiga nilai pasar nasional. Peran mereka meliputi:

  • monopoli telekomunikasi internasional,

  • monopoli pasokan energi dan air,

  • monopoli pembelian dan impor sejumlah komoditas,

  • serta aktivitas yang didukung subsidi dan intervensi pemerintah.

Dominasi ini menciptakan distorsi serius bagi perusahaan swasta, baik domestik maupun asing, serta melemahkan persaingan pasar.

Penutup: Pasar dengan Potensi Besar tetapi Tantangan yang Sama Besarnya

Aljazair memiliki sumber daya besar, pasar domestik yang signifikan, serta kebutuhan infrastruktur yang luas. Namun pola regulasi yang proteksionis, administrasi yang tidak konsisten, dan ketergantungan pada BUMN menjadikan pasar ini salah satu yang paling sulit ditembus.

Bagi perusahaan internasional, keberhasilan beroperasi di Aljazair membutuhkan strategi jangka panjang, pemahaman mendalam tentang birokrasi lokal, dan kesiapan menghadapi regulasi yang dapat berubah sewaktu-waktu.

 

Daftar Pustaka

2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Algeria Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Aljazair 2025: Proteksionisme Struktural dan Tantangan Akses Pasar bagi Pelaku Usaha Global

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Angola 2025: Kenaikan Tarif, Pembatasan Impor, dan Ketidakpastian Regulasi yang Membentuk Lingkungan Usaha

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025


Angola memasuki 2025 dengan serangkaian kebijakan perdagangan yang semakin proteksionis. Walaupun negara ini memiliki kerangka kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat melalui Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), arah kebijakan internalnya justru bergerak menuju penguatan kontrol negara atas arus barang, devisa, dan perizinan komersial.

Bagian laporan 2025 National Trade Estimate menggambarkan Angola sebagai salah satu pasar yang paling menantang di Afrika bagi eksportir dan investor internasional. Hambatan yang dihadapi bukan hanya berupa tarif yang tinggi, tetapi juga pembatasan kuantitatif, pelarangan impor untuk berbagai produk, ketidakpastian kebijakan kepabeanan, serta tantangan besar dalam hal valuta asing dan perizinan bisnis.

Kenaikan Tarif Besar-besaran: Proteksionisme yang Didorong Kepentingan Produksi Lokal

Angola sebelumnya memiliki tarif impor rata-rata 11%, tetapi kebijakan baru melalui Presidential Decree No. 1/24 mengubah peta tarif secara signifikan untuk mendukung produksi domestik. Banyak kebutuhan pokok dikenakan tarif jauh lebih tinggi, termasuk:

  • susu: naik dari 10% menjadi 40%,

  • beras: dari bebas bea menjadi 20%,

  • tepung terigu: dari 20% menjadi 50%,

  • minyak sayur dan minyak sawit: naik dari 10% menjadi 40%,

  • gula tebu: naik dari 10% menjadi 30%.

Pemerintah berargumen bahwa kenaikan ini bertujuan mendorong substitusi impor dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Namun, para analis di Angola memperingatkan risiko kelangkaan karena negara tersebut hanya benar-benar swasembada pada beberapa komoditas seperti pisang dan garam.

Hambatan Non-Tarif: Pembatasan Impor yang Ketat dan Mekanisme Lisensi yang Tidak Transparan

Di luar tarif, serangkaian aturan baru mempersempit akses impor secara substansial:

1. Mekanisme tender untuk impor beras

Pada April 2024, pemerintah membuka prosedur elektronik untuk lisensi impor beras, kemudian memilih sembilan perusahaan sebagai importir resmi. Kebijakan ini bertindak sebagai pembatasan kuantitatif terselubung, meski tidak menggunakan dana publik.

2. Pembatasan impor melalui Presidential Decree No. 213/23

Peraturan ini mensyaratkan bahwa importir harus membuktikan telah mencoba bermitra dengan pemasok lokal sebelum mengimpor barang. Praktik ini menghambat pemasok asing yang ingin memasuki pasar.

3. Pelarangan produk tertentu

Per April 2024, Angola melarang impor berbagai produk, termasuk bagian tubuh hewan dengan harga murah (offal), produk unggas, dan offal sapi atau babi. Selain itu, izin impor untuk produk unggas yang tidak dilarang juga ditangguhkan tanpa pemberitahuan resmi.

Kebijakan ini berdampak besar bagi pengusaha AS karena sekitar 99% ekspor pertanian AS ke Angola termasuk dalam kategori produk yang terkena pembatasan ini.

Hambatan Kepabeanan: Proses Lambat, Tidak Konsisten, dan Kurang Transparan

Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya transparansi dalam penilaian bea cukai. Angola belum menyampaikan notifikasi resmi mengenai implementasi Customs Valuation Agreement WTO, dan ini menciptakan ketidakjelasan dalam:

  • proses penilaian nilai barang,

  • persyaratan dokumentasi impor,

  • standar verifikasi,

  • dan konsistensi penerapan aturan di lapangan.

Importir sering menghadapi penahanan barang, pemeriksaan berulang, dan permintaan dokumen tambahan yang tidak selalu sesuai pedoman internasional.

SPS dan Bioteknologi: Kontrol Ketat terhadap Produk Pangan dan Benih

Semua produk pangan hewani dan nabati yang masuk ke Angola wajib diuji di laboratorium dan disertai sertifikat kesehatan. Ketiadaan sistem manajemen risiko yang efektif menyebabkan prosedur menjadi lebih lambat dan tidak efisien bagi produk berisiko rendah.

Dalam hal bioteknologi:

  • benih hasil rekayasa genetika tidak boleh diimpor,

  • produk yang mengandung GE hanya diperbolehkan untuk bantuan pangan dan harus digiling sebelum tiba di Angola,

  • impor GE untuk riset diperbolehkan di bawah pengawasan ketat.

Pada 2024, Angola membentuk Genetically Modified Seed Committee untuk merancang sistem nasional biosafety—tanda bahwa negara mungkin menuju regulasi yang lebih terstruktur, namun implementasi masih belum jelas.

Pengadaan Pemerintah: Dominasi Kontrak Langsung dan Minimnya Kompetisi

Meskipun Angola telah memperbarui Undang-Undang Pengadaan Publik untuk meningkatkan transparansi, praktiknya berbeda. Proses pengadaan masih banyak menggunakan:

  • tender terbatas,

  • pra-kualifikasi,

  • penunjukan langsung,

  • dan kontrak yang berulang ke kelompok perusahaan tertentu.

Praktik ini menciptakan hambatan besar bagi perusahaan asing yang ingin bersaing dalam proyek publik. Angola juga bukan anggota GPA-WTO sehingga tidak terikat pada standar internasional tentang pengadaan pemerintah.

Korupsi: Tantangan Struktural yang Belum Terselesaikan

Walaupun ada kemajuan melalui undang-undang baru mengenai anti-korupsi dan pencucian uang, implementasinya masih jauh dari ideal. Beberapa masalah yang terus berulang:

  • kapasitas institusi yang lemah,

  • pelatihan aparat yang tidak merata,

  • penegakan hukum yang tidak konsisten,

  • lemahnya identifikasi beneficial ownership,

  • minimnya tuntutan kasus pencucian uang.

Evaluasi FATF regional pada 2023 juga menunjukkan berbagai kelemahan fundamental.

Korupsi yang terus berlanjut menambah ketidakpastian dan meningkatkan biaya kepatuhan bagi pelaku usaha asing.

Keterbatasan Akses Valuta Asing: Risiko Besar bagi Importir dan Investor

Ketergantungan Angola pada sektor minyak membuat ketersediaan devisa sangat fluktuatif. Pelaku usaha sering mengalami:

  • antrean panjang untuk memperoleh dolar,

  • keterlambatan pembayaran impor,

  • nilai tukar yang sangat volatil.

Pada 2023, mata uang Angola mengalami depresiasi hampir 40% akibat kurangnya pasokan dolar. Pemerintah kemudian memperketat kontrol devisa, termasuk:

  • pembatasan transfer internasional hingga USD 250.000 per individu per tahun,

  • pengenaan Special Contribution for Foreign Exchange Operations (CEOC) antara 2,5% hingga 10% pada transfer valuta asing tertentu.

Langkah ini meningkatkan biaya transaksi sekaligus menciptakan ketidakpastian tambahan bagi importir dan perusahaan jasa asing.

Perizinan dan Iklim Usaha: Sentralisasi Kewenangan di Tangan Presiden

Melalui Law No. 26/21, kewenangan penerbitan lisensi usaha dipindahkan dari tingkat provinsi dan kota langsung ke Presiden. Perubahan ini mengangkat kekhawatiran akan:

  • birokrasi yang semakin tersentralisasi,

  • potensi keterlambatan izin,

  • dan ketergantungan pelaku usaha pada otoritas eksekutif tingkat atas.

Meskipun perluasan cakupan lisensi dianggap positif, ketidakpastian dalam proses persetujuan justru dipandang sebagai hambatan baru bagi investasi.

Penutup: Peluang Pasar Ada, tetapi Aksesnya Sulit

Angola memiliki potensi ekonomi besar, terutama dari sumber daya alam, pertanian, dan kebutuhan pembangunan infrastrukturnya. Namun pola kebijakan yang sangat proteksionis, proses kepabeanan yang lambat, pembatasan impor yang luas, masalah korupsi, serta kesulitan akses devisa membuat negara ini menjadi salah satu pasar yang paling sulit dimasuki pelaku usaha internasional.

Bagi perusahaan global, terutama dari sektor agrikultur, energi, dan logistik, memahami dinamika hambatan ini merupakan langkah awal untuk merencanakan strategi yang layak memasuki pasar Angola.

 

Daftar Pustaka

2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Angola Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Angola 2025: Kenaikan Tarif, Pembatasan Impor, dan Ketidakpastian Regulasi yang Membentuk Lingkungan Usaha

Perekonomian Global

Negara-Negara Liga Arab yang Masih Menjalankan Praktik Boikot terhadap Perusahaan AS

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025


Departemen Keuangan AS secara berkala menerbitkan daftar negara yang mengharuskan atau mungkin mengharuskan partisipasi dalam boikot internasional berdasarkan ketentuan hukum pajak AS. Pada Februari 2024, negara-negara berikut termasuk dalam daftar tersebut:

Iraq, Kuwait, Lebanon, Libya, Qatar, Saudi Arabia, Syria, dan Yemen.

Berikut ringkasan kondisi implementasi boikot di tiga negara yang dijelaskan secara rinci dalam laporan.

1. Irak: Secara Kebijakan Tidak Mengikuti Boikot, tetapi Praktiknya Belum Seragam

Pemerintah Irak secara resmi menghentikan implementasi boikot pada 2009 melalui keputusan Dewan Menteri. Sebagian besar kementerian dan BUMN telah sepakat untuk:

  • tidak mematuhi peraturan boikot lama,

  • mencabut persyaratan dokumentasi boikot,

  • dan menghapus ketentuan diskriminatif dalam proses tender.

Namun pada level implementasi, masih terjadi pelanggaran sporadis. Beberapa pejabat dan lembaga pemerintah secara individual masih:

  • mengeluarkan permintaan sertifikat boikot,

  • memasukkan klausul terkait boikot dalam dokumen pengadaan,

  • atau menyampaikan tuntutan administratif yang bertentangan dengan kebijakan nasional.

Contoh paling menonjol adalah Kimadia, badan pengadaan Kementerian Kesehatan, yang masih pernah mengeluarkan permintaan terkait boikot.

Bagi perusahaan AS, kondisi ini menciptakan ketidakpastian, karena kebijakan nasional tidak selalu diikuti secara konsisten di tingkat institusi.

2. Qatar: Boikot Masih Ada dalam Hukum, tetapi Penegakannya Tidak Konsisten

Qatar secara historis memiliki undang-undang boikot, tetapi sejak 1994 negara ini telah menyatakan tidak lagi menerapkan boikot sekunder dan tersier terhadap perusahaan AS. Namun demikian, perusahaan AS masih melaporkan bahwa:

  • beberapa perusahaan milik negara di Qatar tetap mengeluarkan permintaan dokumen terkait boikot,

  • kontrak tertentu masih memasukkan klausul yang meminta jaminan bahwa perusahaan tidak berbisnis dengan Israel,

  • permintaan tersebut biasanya muncul dalam pengadaan publik atau kontrak sektor energi.

Dalam banyak kasus, perusahaan AS berhasil mengganti klausul tersebut dengan bahasa netral atau alternatif yang dapat diterima secara hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kendala paling sering bersifat administratif, bukan kebijakan eksplisit pemerintah.

3. Yaman: Kondisi Politik Membuat Situasi Tidak Jelas tetapi Boikot Masih Berjalan

Yaman menjadi salah satu negara yang paling sulit dipetakan dalam hal implementasi boikot karena kondisi geopolitik dan fragmentasi pemerintahan. Secara historis:

  • Yaman telah menghentikan boikot sekunder dan tersier sejak 1995,

  • namun masih menerapkan boikot primer,

  • dan sejumlah elemen birokrasi kerap menghidupkan kembali aspek sekunder dan tersier dalam praktik.

Ketidakstabilan politik membuat mustahil memastikan sikap resmi pemerintah saat ini. Namun bukti lapangan menunjukkan bahwa perusahaan AS masih menghadapi:

  • permintaan sertifikasi anti-Israel,

  • permintaan pengakuan bahwa perusahaan tidak bekerja sama dengan entitas tertentu,

  • dan hambatan administratif lainnya yang termasuk kategori boikot tersier.

Peran Pemerintah AS dalam Mengatasi Hambatan Ini

Pemerintah AS terus memantau implementasi boikot melalui:

  • Departemen Perdagangan,

  • Departemen Keuangan,

  • USTR,

  • dan jaringan kedutaan besar AS.

Upaya mereka mencakup:

  • memberi panduan hukum kepada perusahaan AS,

  • mengadvokasi penghapusan klausul boikot,

  • melakukan diplomasi ekonomi,

  • menekan negara mitra untuk menyesuaikan praktik dengan komitmen internasional.

Pendekatan ini membuat banyak kasus boikot yang muncul dapat diselesaikan pada level administratif sebelum menjadi hambatan perdagangan yang besar.

Implikasi bagi Perusahaan AS: Risiko Administratif Lebih Besar daripada Risiko Komersial

Dampak boikot terhadap perdagangan AS saat ini dinilai minimal secara ekonomi, tetapi tetap menimbulkan:

  • beban kepatuhan,

  • risiko ketidaksengajaan melanggar hukum AS,

  • dan perlunya negosiasi tambahan dalam pengadaan publik.

Isu boikot jarang menutup pasar sepenuhnya, tetapi membatasi kelancaran transaksi dan menjadi pertimbangan penting dalam penilaian risiko pasar di wilayah Arab League.

Penutup: Boikot yang Melemah tetapi Belum Sepenuhnya Hilang

Laporan NTE 2025 menunjukkan bahwa meskipun boikot Arab League sudah jauh melemah dibanding masa lalu, praktik terkait boikot—terutama dalam bentuk permintaan dokumen dan klausul administratif—masih terus muncul di sejumlah negara.

Bagi perusahaan AS, tantangan utamanya bukan larangan eksplisit, tetapi ketidakkonsistenan implementasi, perbedaan antar lembaga pemerintah, dan kebutuhan untuk memastikan setiap transaksi tetap sesuai dengan hukum AS yang melarang kepatuhan pada boikot asing non-AS.

Dalam konteks geopolitik yang terus berubah, isu ini kemungkinan tetap menjadi perhatian dalam hubungan dagang AS–MENA untuk tahun-tahun mendatang.

 

Daftar Pustaka

2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Arab League Section.

Selengkapnya
Negara-Negara Liga Arab yang Masih Menjalankan Praktik Boikot terhadap Perusahaan AS
page 1 of 1.317 Next Last »