Departemen Keuangan AS secara berkala menerbitkan daftar negara yang mengharuskan atau mungkin mengharuskan partisipasi dalam boikot internasional berdasarkan ketentuan hukum pajak AS. Pada Februari 2024, negara-negara berikut termasuk dalam daftar tersebut:
Iraq, Kuwait, Lebanon, Libya, Qatar, Saudi Arabia, Syria, dan Yemen.
Berikut ringkasan kondisi implementasi boikot di tiga negara yang dijelaskan secara rinci dalam laporan.
1. Irak: Secara Kebijakan Tidak Mengikuti Boikot, tetapi Praktiknya Belum Seragam
Pemerintah Irak secara resmi menghentikan implementasi boikot pada 2009 melalui keputusan Dewan Menteri. Sebagian besar kementerian dan BUMN telah sepakat untuk:
-
tidak mematuhi peraturan boikot lama,
-
mencabut persyaratan dokumentasi boikot,
-
dan menghapus ketentuan diskriminatif dalam proses tender.
Namun pada level implementasi, masih terjadi pelanggaran sporadis. Beberapa pejabat dan lembaga pemerintah secara individual masih:
-
mengeluarkan permintaan sertifikat boikot,
-
memasukkan klausul terkait boikot dalam dokumen pengadaan,
-
atau menyampaikan tuntutan administratif yang bertentangan dengan kebijakan nasional.
Contoh paling menonjol adalah Kimadia, badan pengadaan Kementerian Kesehatan, yang masih pernah mengeluarkan permintaan terkait boikot.
Bagi perusahaan AS, kondisi ini menciptakan ketidakpastian, karena kebijakan nasional tidak selalu diikuti secara konsisten di tingkat institusi.
2. Qatar: Boikot Masih Ada dalam Hukum, tetapi Penegakannya Tidak Konsisten
Qatar secara historis memiliki undang-undang boikot, tetapi sejak 1994 negara ini telah menyatakan tidak lagi menerapkan boikot sekunder dan tersier terhadap perusahaan AS. Namun demikian, perusahaan AS masih melaporkan bahwa:
-
beberapa perusahaan milik negara di Qatar tetap mengeluarkan permintaan dokumen terkait boikot,
-
kontrak tertentu masih memasukkan klausul yang meminta jaminan bahwa perusahaan tidak berbisnis dengan Israel,
-
permintaan tersebut biasanya muncul dalam pengadaan publik atau kontrak sektor energi.
Dalam banyak kasus, perusahaan AS berhasil mengganti klausul tersebut dengan bahasa netral atau alternatif yang dapat diterima secara hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kendala paling sering bersifat administratif, bukan kebijakan eksplisit pemerintah.
3. Yaman: Kondisi Politik Membuat Situasi Tidak Jelas tetapi Boikot Masih Berjalan
Yaman menjadi salah satu negara yang paling sulit dipetakan dalam hal implementasi boikot karena kondisi geopolitik dan fragmentasi pemerintahan. Secara historis:
-
Yaman telah menghentikan boikot sekunder dan tersier sejak 1995,
-
namun masih menerapkan boikot primer,
-
dan sejumlah elemen birokrasi kerap menghidupkan kembali aspek sekunder dan tersier dalam praktik.
Ketidakstabilan politik membuat mustahil memastikan sikap resmi pemerintah saat ini. Namun bukti lapangan menunjukkan bahwa perusahaan AS masih menghadapi:
-
permintaan sertifikasi anti-Israel,
-
permintaan pengakuan bahwa perusahaan tidak bekerja sama dengan entitas tertentu,
-
dan hambatan administratif lainnya yang termasuk kategori boikot tersier.
Peran Pemerintah AS dalam Mengatasi Hambatan Ini
Pemerintah AS terus memantau implementasi boikot melalui:
-
Departemen Perdagangan,
-
Departemen Keuangan,
-
USTR,
-
dan jaringan kedutaan besar AS.
Upaya mereka mencakup:
-
memberi panduan hukum kepada perusahaan AS,
-
mengadvokasi penghapusan klausul boikot,
-
melakukan diplomasi ekonomi,
-
menekan negara mitra untuk menyesuaikan praktik dengan komitmen internasional.
Pendekatan ini membuat banyak kasus boikot yang muncul dapat diselesaikan pada level administratif sebelum menjadi hambatan perdagangan yang besar.
Implikasi bagi Perusahaan AS: Risiko Administratif Lebih Besar daripada Risiko Komersial
Dampak boikot terhadap perdagangan AS saat ini dinilai minimal secara ekonomi, tetapi tetap menimbulkan:
-
beban kepatuhan,
-
risiko ketidaksengajaan melanggar hukum AS,
-
dan perlunya negosiasi tambahan dalam pengadaan publik.
Isu boikot jarang menutup pasar sepenuhnya, tetapi membatasi kelancaran transaksi dan menjadi pertimbangan penting dalam penilaian risiko pasar di wilayah Arab League.
Penutup: Boikot yang Melemah tetapi Belum Sepenuhnya Hilang
Laporan NTE 2025 menunjukkan bahwa meskipun boikot Arab League sudah jauh melemah dibanding masa lalu, praktik terkait boikot—terutama dalam bentuk permintaan dokumen dan klausul administratif—masih terus muncul di sejumlah negara.
Bagi perusahaan AS, tantangan utamanya bukan larangan eksplisit, tetapi ketidakkonsistenan implementasi, perbedaan antar lembaga pemerintah, dan kebutuhan untuk memastikan setiap transaksi tetap sesuai dengan hukum AS yang melarang kepatuhan pada boikot asing non-AS.
Dalam konteks geopolitik yang terus berubah, isu ini kemungkinan tetap menjadi perhatian dalam hubungan dagang AS–MENA untuk tahun-tahun mendatang.
Daftar Pustaka
2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Arab League Section.