Bangladesh merupakan salah satu ekonomi berkembang tercepat di Asia Selatan, namun dalam konteks perdagangan internasional, negara ini masih menghadapi tantangan struktural yang cukup dalam. Laporan 2025 National Trade Estimate menggambarkan Bangladesh sebagai pasar dengan kombinasi hambatan tarif tinggi, prosedur kepabeanan yang belum modern, rezim digital yang semakin ketat, serta penegakan hukum yang lemah—khususnya terkait kekayaan intelektual. Semua faktor tersebut secara langsung memengaruhi hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat, yang didasarkan pada mekanisme Trade and Investment Cooperation Forum Agreement (TICFA).
Meski pemerintah Bangladesh telah melakukan sejumlah reformasi dalam beberapa tahun terakhir, hambatan akses pasar bagi eksportir, penyedia jasa, dan investor asing tetap signifikan. Tantangan tersebut mencakup area kebijakan impor, tata kelola pengadaan pemerintah, transparansi regulasi, isu digital, hingga persoalan ketenagakerjaan dan korupsi.
Kebijakan Impor: Tarif Tinggi, Aturan Ketat, dan Minimnya Transparansi
1. Struktur Tarif dan Keterbukaan Perdagangan yang Terbatas
Rata-rata tarif MFN Bangladesh mencapai 14,1%, lebih tinggi dibandingkan banyak negara berkembang lainnya. Tarif untuk produk pertanian bahkan lebih tinggi (17,7%).
Selain itu, Bangladesh hanya mengikat 17,6% garis tarif di WTO, dengan bound rate rata-rata 155,1%. Hal ini memberikan ruang luas bagi kebijakan proteksionis dan perubahan kebijakan tiba-tiba.
2. Kebijakan Non-Tarif: Implementasi TFA yang Lambat
Meskipun Bangladesh telah meratifikasi WTO Trade Facilitation Agreement pada 2016, implementasinya masih jauh dari tuntas:
-
belum menyerahkan notifikasi transparansi impor-ekspor,
-
belum menyerahkan dokumentasi implementasi Customs Valuation Agreement,
-
belum memberikan klarifikasi transparan terkait proses penilaian bea cukai.
Ketiadaan kepastian ini menyulitkan importir yang membutuhkan prediktabilitas dan waktu pemrosesan yang jelas.
Pengadaan Pemerintah: Prinsip Kompetitif Ada, tetapi Praktik Korupsi Menghambat Persaingan
Secara teoritis, Bangladesh menggunakan sistem tender terbuka berdasarkan Public Procurement Act 2006, tetapi berbagai hambatan praktik di lapangan membuat perusahaan asing, termasuk perusahaan AS, berada dalam posisi tidak menguntungkan.
Masalah yang sering dilaporkan:
-
spesifikasi teknis yang dibuat untuk menguntungkan vendor tertentu,
-
kurangnya transparansi,
-
praktik bid rigging,
-
pengaruh kuat mitra lokal tertentu,
-
serta tuduhan suap dalam proses evaluasi dan persetujuan.
Bangladesh bukan pihak maupun pengamat dalam WTO Government Procurement Agreement, sehingga tidak terikat standar internasional dalam pengadaan publik.
Pemerintah interim yang menjabat sejak 2024 menyatakan komitmen terhadap reformasi, tetapi implementasinya masih harus dibuktikan.
Perlindungan Kekayaan Intelektual: Penegakan Lemah dan Lonjakan Barang Bajakan
Bangladesh menghadapi masalah serius dalam perlindungan dan penegakan hak kekayaan intelektual (HKI). Barang palsu dan bajakan beredar luas di sektor:
-
konsumer,
-
pakaian,
-
farmasi,
-
perangkat lunak.
Kelemahan utama:
-
polisi minim sumber daya dan jarang mengambil inisiatif,
-
investigasi jarang dilakukan,
-
proses pengadilan panjang dan tidak pasti,
-
kurangnya koordinasi antar-lembaga (Customs, Copyright Office, DPDT),
-
peningkatan Bangladesh sebagai sumber distribusi global barang palsu.
Bangladesh memang telah memperbarui beberapa undang-undang seperti:
-
Patent Law (2022, revisi 2023),
-
Copyright Law (amendemen 2023),
-
Industrial Design Act (2023),
tetapi aturan pelaksana belum diterbitkan sehingga efektivitasnya belum terlihat. Kurangnya konsultasi publik dalam penyusunan regulasi juga menimbulkan kritik.
AS terus memberi bantuan teknis melalui TICFA, tetapi membangun rezim IP yang efektif membutuhkan reformasi kelembagaan yang jauh lebih mendalam.
Hambatan Digital dan E-Commerce: Regulasi Ketat, Kontrol Konten, dan Ancaman Terhadap Privasi
Bangladesh telah mengembangkan jaringan regulasi digital yang semakin ketat dan berpotensi membatasi kebebasan internet serta perdagangan digital.
1. Akses dan Sensor Internet
Di bawah ICT Act 2006 dan amandemennya, pemerintah dapat:
-
mengakses sistem komputer apa pun,
-
menyita atau memblokir data,
-
memutus layanan internet atau komunikasi suara,
-
menyensor konten digital.
Hal ini menciptakan risiko besar bagi perusahaan teknologi, platform digital, dan startup internasional.
2. Regulasi OTT dan Media Digital
Regulasi Digital, Social Media and OTT Platforms (2021) membuka peluang besar bagi pemerintah untuk:
-
mengawasi konten digital,
-
membebankan kewajiban traceability bahkan pada layanan terenkripsi,
-
mengenakan tanggung jawab pidana bagi perusahaan dan stafnya.
Perusahaan AS sangat khawatir terhadap besarnya ruang interpretasi regulator.
3. Rancangan Undang-Undang Data Pribadi: Risiko Lokalisasi Data
Rancangan Personal Data Protection Act yang berulang kali direvisi menimbulkan kekhawatiran:
-
potensi kewajiban lokalisasi data untuk data “klasifikasi khusus”,
-
akses luas oleh aparat penegak hukum,
-
kurangnya konsultasi publik,
-
ketidakjelasan penerapan untuk data global perusahaan multinasional.
Rancangan yang terakhir bahkan sempat ditarik setelah banyak dikritik, tetapi upaya regulasi masih terus berlangsung.
4. Cybersecurity: Regulasi Baru Masih Mengandung Pasal Kriminalisasi Ekspresi
Pada 2023 Bangladesh mengganti Digital Security Act dengan Cyber Security Act, tetapi banyak elemen kontroversial masih dipertahankan. Pada Desember 2024, pemerintah interim mengesahkan Cyber Protection Ordinance yang akan berlaku penuh jika disetujui parlemen mendatang.
Ancaman Shutdown Internet: Dampak Besar pada Perdagangan dan Operasi Global
Sejak 2015, Bangladesh beberapa kali menutup atau membatasi layanan internet, terutama menjelang peristiwa politik sensitif. Contohnya:
-
pembatasan data seluler pada 2019, 2020, dan 2023,
-
pemblokiran layanan internet di kamp pengungsi Rohingya (2019–2020),
-
pemutusan internet nasional selama 10 hari pada Juli–Agustus 2024.
Shutdown seperti ini tidak hanya mengganggu operasi perusahaan AS tetapi juga merusak reputasi iklim digital Bangladesh.
Hambatan Investasi: Kepemilikan Asing Dibatasi dan Proses Repatriasi Lambat
Bangladesh mengizinkan kepemilikan asing 100% dalam banyak sektor, tetapi terdapat pembatasan kepemilikan dalam:
-
telekomunikasi,
-
gas,
-
distribusi energi,
-
dan sektor lain yang dianggap strategis.
Untuk berinvestasi di 22 sektor, investor asing harus memperoleh No Objection Certificate, suatu proses yang dapat memakan waktu lama dan tidak selalu transparan.
Masalah terbesar bagi investor AS adalah repatriasi keuntungan:
-
banyak perusahaan menunggu lebih dari setahun untuk persetujuan,
-
proses persetujuan tidak jelas,
-
diperlukan izin dari beberapa regulator sebelum disetujui bank sentral.
Pemerintah interim berjanji melakukan reformasi, namun implementasi tetap menjadi tantangan.
Subsidi Pertanian dan Ekspor: Dukungan Besar yang Belum Transparan
Bangladesh memberikan subsidi besar untuk:
-
pupuk,
-
diesel,
-
listrik irigasi,
-
mesin pertanian,
-
pembelian gabah dengan harga dukungan.
Selain itu, terdapat skema insentif ekspor untuk 43 sektor dengan tunai 1–20% nilai ekspor, dengan syarat kandungan lokal minimal 30%.
Sebagai LDC, Bangladesh masih dikecualikan dari larangan subsidi ekspor WTO, tetapi masa pengecualian ini akan berakhir seiring rencana graduasi dari kategori LDC.
Masalah Ketenagakerjaan: Syarat GSP yang Belum Terpenuhi
AS masih menangguhkan fasilitas GSP Bangladesh sejak 2013 akibat:
-
kondisi pekerja yang buruk,
-
lemahnya kebebasan berserikat,
-
buruknya keselamatan bangunan dan kebakaran—terutama di sektor garmen.
Pada 2024, AS menyampaikan Labor Action Plan berisi 11 komitmen perbaikan yang harus dipenuhi Bangladesh untuk bisa mempertimbangkan pemulihan GSP.
Korupsi: Hambatan Struktural terhadap Perdagangan dan Investasi
Korupsi tetap menjadi masalah paling persisten. Meskipun struktur hukum melarang suap, pemerasan, dan pencucian uang, implementasinya sangat lemah.
Masalah utama:
-
pegawai publik sering menunda proses hingga menerima suap,
-
upaya memperlemah Anti-Corruption Commission,
-
backlog besar kasus korupsi,
-
pengaruh politik dalam tender dan izin usaha.
Bangladesh berada dalam fase transisi politik pada 2024–2025, dan pemerintahan interim menyatakan komitmen reformasi, tetapi hasilnya belum terlihat.
Penutup: Pasar dengan Potensi Besar tetapi Dipenuhi Hambatan Berlapis
Bangladesh memiliki potensi ekonomi sangat besar dengan populasi muda, pertumbuhan manufaktur yang pesat, serta ambisi digitalisasi nasional. Namun hambatan tarif tinggi, regulasi digital yang ketat, penegakan hukum IP yang lemah, kesulitan repatriasi, serta tingginya tingkat korupsi menjadikan pasar ini tetap sulit bagi perusahaan AS.
Ke depan, keberhasilan reformasi pemerintah interim, implementasi penuh kebijakan TFA, penyempurnaan regulasi digital, dan perbaikan perlindungan pekerja akan sangat menentukan apakah Bangladesh bisa menjadi mitra dagang yang lebih andal bagi komunitas internasional.
Daftar Pustaka
2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Bangladesh Section.