Sosiohidrologi

Mengurai Krisis Air Asia Tengah: Dari Politik Sungai hingga Reformasi Pendidikan dan Riset

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Asia Tengah, wilayah yang bergantung pada dua sungai besar Amudarya dan Syrdaryamenghadapi krisis tata kelola air yang kompleks. Artikel karya Abdullaev et al. (2025) mengupas bagaimana konflik politik, perubahan iklim, dan lemahnya kapasitas riset lokal memperumit pengelolaan air lintas negara. Lebih dari sekadar isu teknis, krisis ini mencerminkan ketegangan antara warisan Soviet, kepentingan nasional, dan kebutuhan akan tata kelola kolaboratif berbasis sains.

 Konteks Regional: Sungai yang Membelah Negara dan Kepentingan

Amudarya dan Syrdarya mengalir melintasi lima negara: Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sungaisungai ini menjadi sumber utama irigasi dan energi, namun juga menjadi sumber konflik. Proyek bendungan di hulu seperti Rogun di Tajikistan dan rencana pembangunan di Sungai Naryn oleh Kyrgyzstan memicu kekhawatiran negara hilir akan berkurangnya pasokan air.

Kasus penting: 

Pada 2024, Afghanistan memulai pembangunan kanal irigasi besar yang diperkirakan akan menyedot hingga 30% aliran Amudarya, mengancam pertanian di Uzbekistan dan Turkmenistan. Ini menambah tekanan pada sistem yang sudah rapuh akibat perubahan iklim dan eksploitasi berlebih.

 Dinamika Politik dan Reformasi: Antara Kolaborasi dan Ketegangan

Meski konflik potensial tinggi, Asia Tengah menunjukkan resiliensi politik melalui berbagai perjanjian dan forum seperti International Fund to Save the Aral Sea (IFAS). Uzbekistan, sejak 2017, mendorong kerja sama regional, termasuk kesepakatan pembangunan PLTA Kambarata I bersama Kazakhstan dan Kyrgyzstan.

Namun, reformasi sektor air masih didominasi pendekatan teknokratis dan efisiensi, bukan ketahanan jangka panjang. Tajikistan telah menjalankan reformasi selama 9 tahun, Kazakhstan membentuk kementerian air baru, dan Uzbekistan memisahkan kementerian air dari pertanian serta memperluas irigasi tetes. Tapi, resiliensi kelembagaan dan adaptasi terhadap ketidakpastian iklim masih minim.

 Studi Kasus: Bencana dan Ketegangan Sosial

  •  Banjir akibat jebolnya Bendungan Sardoba (Uzbekistan, 2020) menunjukkan lemahnya infrastruktur dan koordinasi lintas negara.
  •  Kekeringan ekstrem di Kazakhstan (2021) dan banjir salju di 2024 memperlihatkan dampak nyata perubahan iklim.
  •  Kanal QoshTepa oleh Taliban menjadi titik panas baru, memicu kekhawatiran geopolitik dan ketegangan diplomatik.

 Peran Riset dan Pendidikan Tinggi: Potensi yang Belum Dioptimalkan

Artikel ini menyoroti bahwa kapasitas riset lokal masih tertinggal. Banyak universitas dan lembaga riset di Asia Tengah belum mengalami reformasi signifikan sejak era Soviet. Keterbatasan dana, ketergantungan pada donor asing, dan minimnya literatur dalam bahasa lokal menjadi hambatan utama.

Catatan penting:

  •  Sebagian besar materi ajar masih dalam bahasa Rusia, sementara literatur terbaru tersedia dalam bahasa Inggris.
  •  Kapasitas dosen dan peneliti lokal terbatas, baik dari sisi metodologi maupun akses terhadap jaringan global.
  •  Kolaborasi antara universitas, lembaga riset, dan sektor kebijakan masih lemah, menghambat inovasi dan transfer pengetahuan.

 SciencePolicy Interface: Jembatan yang Masih Rawan

Meski ada lembaga seperti Interstate Commission for Water Coordination (ICWC) dan pusat informasinya (SIC), integrasi antara riset dan kebijakan masih terbatas. Hambatan utama:

  •  Kurangnya data dasar yang dapat diakses bersama
  •  Ketakutan negara untuk berbagi data karena potensi disalahartikan
  •  Durasi proyek internasional yang pendek, sehingga tidak membangun kepercayaan jangka panjang

Inisiatif baru: 

Usulan pembentukan Central Asian Expert Platform on Water Security, Sustainable Development, and Future Studies sebagai wadah kolaborasi lintas negara dan institusi untuk menyusun agenda riset jangka panjang dan menghasilkan kebijakan berbasis bukti.

 Kritik dan Rekomendasi: Dari Efisiensi ke Ketahanan

Penulis mengkritik bahwa pendekatan dominan masih berfokus pada efisiensi teknis dan pasar, bukan pada resiliensi sistemik. Untuk menjawab tantangan iklim dan geopolitik, dibutuhkan :

  •  Reformasi kurikulum pendidikan tinggi agar lebih interdisipliner dan kontekstual
  •  Investasi jangka panjang dari negara, bukan hanya donor asing
  •  Integrasi pengetahuan lokal dan warisan Soviet dengan pendekatan modern
  •  Peningkatan literasi kebijakan berbasis sains di kalangan pembuat keputusan

 Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif

Artikel ini menyajikan gambaran menyeluruh tentang kompleksitas tata kelola air di Asia Tengah. Dari konflik lintas negara hingga lemahnya kapasitas riset, dari reformasi teknokratis hingga kebutuhan akan pendekatan adaptif—semuanya menunjukkan bahwa air bukan hanya soal sumber daya, tapi juga soal politik, pengetahuan, dan masa depan bersama.

Dengan membangun jembatan antara sains dan kebijakan, memperkuat pendidikan tinggi, dan mendorong kolaborasi regional, Asia Tengah memiliki peluang untuk mengubah krisis menjadi momentum transformasi.

Sumber :  Abdullaev, I., Assubayeva, A., Bobojonov, I., Djanibekov, N., Dombrowsky, I., Gafurov, A., Hamidov, A., HerrfahrdtPähle, E., JanuszPawletta, B., Ishangulyyeva, R., Kasymov, U., Mirkasimov, B., Petrick, M., Strobehn, K., & Ziganshina, D. (2025). Current challenges in Central Asian water governance and their implications for research, higher education, and sciencepolicy interaction. Central Asian Journal of Water Research, 11(1), 47–58.

Selengkapnya
Mengurai Krisis Air Asia Tengah: Dari Politik Sungai hingga Reformasi Pendidikan dan Riset

Sosiohidrologi

Menyatukan Budaya & Air: Perspektif Baru Tata Kelola Air yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Air—yang sering dikelola atas nama efisiensi ekonomi—menyimpan makna jauh lebih dalam bagi banyak komunitas. Dalam penelitian Heinrichs dan Rojas (2022), pendekatan budaya menjadi fokus utama dalam memahami bagaimana nilainilai dan cara pandang masyarakat memengaruhi tata kelola serta pengelolaan air secara global. Melalui kajian literatur sistematis terhadap 52 studi dari berbagai belahan dunia, artikel ini menggambarkan peta lengkap teori budaya (theories of culture) yang digunakan dalam ranah tata kelola air.

Yang menarik, pendekatan ini menyoroti bahwa krisis air sering bukan semata krisis fisik, melainkan krisis tata kelola yang abai terhadap pluralitas nilai budaya.

 Fokus Kajian: Celah Antara Teori, Nilai Budaya, dan Implementasi Nyata

Penelitian ini bertujuan:

  • Mengidentifikasi teori budaya yang paling dominan dalam literatur tata kelola air.
  • Membedakan nilainilai budaya yang muncul dalam konteks manajemen air versus tata kelola air.
  • Menganalisis seberapa jauh teori/nilai budaya tersebut diterapkan secara nyata dalam perencanaan atau model pengelolaan air.

Hasilnya cukup mengejutkan sebagian besar studi hanya mengulas teori tanpa melibatkan praktik konkret di lapangan.

 Dominasi Cultural Theory dan Ketimpangan Implementasi

Cultural Theory karya Mary Douglas mendominasi kajian ini. Teori ini mengelompokkan individu ke dalam empat kategori berdasarkan struktur sosial dan cara menghadapi risiko:

  • Egalitarian
  • Hierarchist
  • Individualist
  • Fatalist

Nilainilai ini muncul di mayoritas studi, menunjukkan kecenderungan peneliti memilih pendekatan yang sederhana dan mudah diukur. Namun, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan ini cenderung statis dan kurang menangkap dinamika nilainilai lokal atau adat yang kompleks dan kontekstual.

 Meningkatnya Pengakuan terhadap Indigenous Knowledges

Meski Cultural Theory dominan, muncul tren baru yang kuat: pengakuan terhadap Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis. Dari 52 studi, 9 menggunakan pendekatan ini—sebagian besar dari konteks Australia.

Nilai  nilai yang muncul mencakup:

  • Lore dan heritage 
  • Spiritualitas dan keterhubungan dengan alam 
  • Tempat sebagai identitas (placebased values) 

Namun, dalam praktiknya nilai ini masih lebih sering muncul dalam bentuk wacana budaya, bukan sebagai dasar pengambilan kebijakann

 Water Governance vs. Water Management: Mana yang Lebih Responsif Budaya?

Tata Kelola Air (governance) menampilkan nilai seperti lore, country, dan river, mencerminkan keterhubungan manusia dengan lingkungan.

Sebaliknya, Manajemen Air (management) cenderung lebih antroposentris—menekankan nilai seperti health, use, dan productivity. Hal ini menunjukkan bias ekonomi dalam pendekatan manajemen teknokratis, sekaligus memperkuat tantangan menjembatani nilainilai lokal dengan kebutuhan perencanaan operasional.

 Studi Kasus & Implementasi: Di Mana Nilai Budaya Berperan Nyata?

Hanya 30 dari 52 studi yang mengimplementasikan teori budaya ke dalam praktik, antara lain lewat:

  • Model statistik (misalnya regresi, struktur persamaan) 
  • Pendekatan agen berbasis model (agentbased modeling) 
  • Analisis jaringan sosial dan pemetaan budaya 
  • Game theory dan simulasi perilaku petani terhadap kebijakan air 

Contohnya, penelitian oleh CastillaRho et al. menggunakan model sosial berbasis Cultural Theory untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah. Penelitian ini mengintegrasikan data nilainilai budaya ke dalam perhitungan model manajemen akuifer di AS, Australia, dan India.

 Masalah dan Kritik: Statis, BaratSentris, dan Kurang Kontekstual

Beberapa kritik penting terhadap pendekatan dominan:

 Cultural Theory cenderung mengabaikan keragaman nilai komunitas adat dan lokal yang lebih dinamis.

 Banyak studi tidak menyebut secara jelas dari disiplin mana teori budaya itu berasal, sehingga pendekatannya kurang reflektif terhadap paradigma asalnya (misal: positivistik vs. kritikal).

 Implementasi nyata masih terbatas pada analisis statistik—jarang yang masuk ke ranah desain kebijakan.

 Rekomendasi: Bergerak ke ‘Theories of Culture’ yang Plural dan Adaptif

Penulis menyarankan agar pendekatan ke depan berpindah dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan yang lebih fleksibel—“theories of culture” yang bisa disesuaikan dengan konteks spesifik.

Salah satu alternatif adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang menawarkan sepuluh nilai lintas budaya, antara lain:

  • Selfdirection
  • Universalism
  • Tradition
  • Security
  • Benevolence 

Model ini lebih adaptif dan bisa diterapkan dalam pemodelan kebijakan serta telah divalidasi lintas negara.

 Koneksi Global dan Implikasi Masa Depan

Dengan tantangan air global yang semakin akut—dari konflik sungai lintas negara hingga akses air bersih—pemahaman lintas budaya menjadi fondasi untuk menciptakan tata kelola yang inklusif dan adil.

Konteks negara berkembang seperti Indonesia, dengan keberagaman nilai lokal, kepercayaan adat, serta kesenjangan akses air, sangat membutuhkan pendekatan yang mampu menjembatani sains, kebijakan, dan nilai komunitas.

 Kesimpulan

Artikel Heinrichs dan Rojas mengingatkan bahwa air adalah refleksi dari relasi sosial, bukan semata sumber daya teknis. Untuk menciptakan tata kelola yang berkelanjutan, kita butuh lebih dari sekadar pipa dan kebijakan—kita butuh nilai, narasi, dan sensitivitas budaya.

Sumber Artikel : 

Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22.

Selengkapnya
Menyatukan Budaya & Air: Perspektif Baru Tata Kelola Air yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

Sosiohidrologi

Mengurai Solusi Kualitas Air Lewat SocioHydrology: Studi Transformasi DAS di Burkina Faso

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Kualitas air tidak hanya ditentukan oleh curah hujan atau kondisi tanah, tetapi juga oleh keputusan sosial—kesadaran petani, dukungan lembaga lokal, dan arah kebijakan publik. Inilah titik tolak pendekatan sociohydrology, yang dikembangkan untuk menggabungkan aspek manusia dan alam dalam satu sistem dinamis. Melalui studi kasus di Daerah Aliran Sungai (DAS) Black Volta, Burkina Faso, artikel karya Carr et al. (2022) menawarkan narasi transformatif tentang bagaimana kelembagaan lokal dan perilaku masyarakat memainkan peran krusial dalam mengelola kualitas air.

 Konteks Wilayah: Tantangan MultiSumber di DAS Black Volta

Wilayah penelitian berlokasi di barat daya Burkina Faso, meliputi tiga unit kelembagaan bernama CLE (Comité Local de l’Eau): Mouhoun Tâ, Kou, dan Bougouriba 7. Ancaman utama di wilayah ini mencakup sedimentasi sungai, pencemaran air akibat penggunaan pupuk dan pestisida, penggembalaan liar, serta penambangan emas. Sekitar 50% petani dalam survei mengaku menggarap lahan di tepi sungai, dan lebih dari 80% menggunakan pestisida serta pupuk kimia (Balana et al., 2019).

Kebijakan mitigasi utama adalah zona larangan tanam 100 meter dari sempadan sungai yang diperkenalkan tahun 2009. Namun, implementasi terbentur dengan keterbatasan sosialekonomi serta lemahnya kapasitas lembaga pengawas seperti Water Police.

 Model SosioHidrologi: Skema Dinamis Interaksi Sosial dan Alam

Model ini dibangun berbasis pendekatan sistem dinamis, dikode dalam R, dengan asumsi dasar bahwa peningkatan sedimentasi ⇒ kesadaran petani dan institusi meningkat ⇒ perubahan tindakan (berhenti tanam, tanam pohon, mengurangi polusi) ⇒ peningkatan kualitas air.

Variabel utamanya mencakup:

  •  AF (Awareness petani terhadap kualitas air)
  •  WL/WT/WP (Kesediaan berhenti tanam, tanam pohon, dan adopsi praktik ramah lingkungan)
  •  RCLE & RPO (Kapasitas CLE dan Water Police)
  •  C (Konsentrasi sedimen dalam air, digunakan sebagai indikator kualitas)

Skema ini berhasil mensimulasikan perubahan sosial dan ekologis selama 30 tahun terakhir (1990–2020) berdasarkan data empirik dan wawancara lapangan. Misalnya, pada tahun 2010 terjadi insiden sungai tercemar hingga ikan dan kuda nil mati, yang memicu peningkatan kesadaran dan pemberlakuan hukum, meskipun sayangnya tidak berlangsung lama karena perpindahan pejabat lokal.

 Hasil Simulasi: Apa yang Bekerja, Apa yang Tidak

Skenario dasar (baseline) menunjukkan bahwa meskipun kesadaran meningkat secara perlahan, tidak terjadi perbaikan signifikan karena keterbatasan kapasitas dan dukungan kelembagaan.

Skenario simulasi lainnya antara lain:

  •  Fokus pada penghentian tanam di zona sempadan 100m ⇒ penurunan sedimen hanya moderat.
  •  Fokus pada penanaman pohon buah seperti mangga ⇒ dampak sedang, tetapi menjaga produktivitas petani lebih baik.
  •  Fokus pada praktik pertanian rendah polusi ⇒ hasil tertinggi dalam jangka panjang, namun perlu pelatihan dan insentif.

 Gabungan ketiganya + peningkatan kapasitas CLE tiga kali lipat ⇒ dampak tertinggi dan konsisten menurunkan sedimen ke level sebelum 1990.

 Gabungan kebijakan moderat + penegakan hukum lewat denda dari Water Police ⇒ efektif cepat, tapi kesadaran petani naik karena tekanan bukan pemahaman jangka panjang.

 Manfaat Tambahan & Implikasi Kebijakan

Studi ini menyajikan beberapa pelajaran penting:

1. Kesadaran saja tidak cukup, harus disertai dukungan dana dan pelatihan.

2. Penurunan kualitas air selalu melibatkan tradeoff ekonomi: pendapatan petani turun 42–62% bila berpindah ke praktik ramah lingkungan.

3. Model ini bisa digunakan sebagai alat interaktif kebijakan, misalnya untuk menentukan level insentif finansial minimum agar petani mau berhenti menggarap zona sempadan.

4. Kapasitas kelembagaan adalah titik tumpu transformasi: peningkatan efisiensi CLE dan Water Police lebih efektif ketimbang kampanye kesadaran saja.

 Kritik, Opini, dan Koneksi Global

Artikel ini unggul dalam menjembatani pendekatan akademik dan implementasi lapangan. Namun, beberapa keterbatasan patut dicatat:

  •  Asumsi homogen terhadap seluruh petani belum menangkap kompleksitas sosial sepenuhnya (misal: perbedaan gender, akses pasar).
  •  Model tidak memperhitungkan pengaruh harga komoditas global yang bisa mendorong intensifikasi pertanian.

Meski begitu, pendekatan ini sangat relevan bagi negara tropis lainnya seperti Indonesia, di mana pendekatan koproduksi pengetahuan, penyuluhan petani, dan pemberdayaan lembaga desa bisa disimulasikan dengan kerangka serupa.

Penutup

Dengan merangkul paradigma impairthenrepair, model ini membantu kita memahami bahwa krisis kualitas air bukan sekadar masalah teknis, tapi sosial dan institusional. Peningkatan kualitas air bergantung pada keberanian berinovasi di level kebijakan, keberdayaan aktor lokal, dan desain kelembagaan yang inklusif dan visioner.

Sumber :  Carr, G., Barendrecht, M. H., Balana, B. B., & Debevec, L. (2022). Exploring water quality management with a sociohydrological model: A case study from Burkina Faso. Hydrological Sciences Journal, 67(6), 831–846.

Selengkapnya
Mengurai Solusi Kualitas Air Lewat SocioHydrology: Studi Transformasi DAS di Burkina Faso

Sosiohidrologi

Tata Kelola Air di Tengah Krisis Iklim: Pelajaran dari Pertanian Irigasi di Arizona

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Dalam konteks perubahan iklim yang semakin ekstrem, kelangkaan air menjadi tantangan utama terutama di wilayah kering seperti Arizona. Artikel karya York et al. (2020) membedah secara mendalam bagaimana sektor pertanian irigasi di Central Arizona menavigasi risiko yang kian kompleks melalui dinamika kelembagaan, interaksi sosialhidrologi, serta benturan kepentingan antara petani, penduduk asli, dan otoritas negara. 

Fokus utama studi ini adalah memahami bagaimana keputusan para petani dipengaruhi oleh sistem infrastruktur sosial dan fisik yang terhubung dengan narasi, model mental, dan institusi yang membentuk lanskap kebijakan air Arizona selama beberapa dekade.

 Konteks: Drought Contingency Plan dan Krisis Sungai Colorado

Sebagai latar belakang, krisis air yang dihadapi Arizona diperkuat oleh Drought Contingency Plan (DCP) yang disahkan tahun 2019 untuk menanggulangi ancaman menyusutnya level danau Mead akibat pengambilan berlebih dari Sungai Colorado. Salah satu kebijakan kunci adalah aktivasi Tier Zero, yang mulai memotong pasokan air untuk sektor pertanian di Arizona tengah—khususnya di Pinal County.

Kondisi ini memperuncing konflik lama mengenai hak air antara komunitas penduduk asli seperti Gila River Indian Community (GRIC) dan Colorado River Indian Tribes (CRIT), dan petani Anglo yang selama ini mendapat dukungan lewat berbagai insentif dan kelembagaan.

 Studi Kasus: Pinal County, Perubahan Sumber Air & Efek Ekonomi

Pinal County menjadi titik sentral dalam studi kasus. Di wilayah ini, ketergantungan terhadap air Sungai Colorado diperparah oleh menurunnya cadangan akuifer. Dengan luas lahan pertanian mencapai 425.737 hektare, komoditas utama adalah kapas, alfalfa, dan gandum. Pada 2016, sektor pertanian menyumbang US$1,1 miliar terhadap ekonomi lokal.

Namun, setelah diberlakukannya Tier Zero, petani harus kembali menggunakan air tanah, yang menyebabkan risiko overdraft akuifer meningkat. Tanpa infrastruktur sumur yang memadai (banyak tidak aktif sejak bergantung pada proyek CAP), pemerintah Arizona menganggarkan US$20 juta untuk restorasi infrastruktur air tanah di wilayah ini.

 Tata Kelola dan Kompleksitas Hak Adat atas Air

Salah satu kekuatan studi ini adalah pembahasan mendalam tentang hak air adat berdasarkan putusan pengadilan Winters v. United States (1908), yang mengakui hak tak terhapuskan bagi komunitas adat untuk mendapatkan air sesuai dengan kebutuhan mereka. Di Arizona, GRIC memegang alokasi 740 juta m³ dari proyek CAP (46% dari total pasokan CAP). Namun, tidak semua komunitas diizinkan menyewakan air keluar dari wilayah adatnya, seperti yang dialami CRIT.

Contoh penting: GRIC menyewakan 40,9 juta m³ per tahun selama 25 tahun kepada Central Arizona Groundwater Replenishment District, memungkinkan pengembang perumahan tetap mematuhi aturan Assured Water Supply tanpa mengganggu pasokan kota besar—hal ini sekaligus menjadikan GRIC aktor penting dalam negosiasi DCP.

Namun, konflik muncul ketika GRIC menolak menjual air kepada petani Pinal karena benturan kepentingan atas hak sungai Gila. Ketegangan politik meningkat dengan pernyataan anggota legislatif yang menyudutkan GRIC, mencerminkan narasi dominan dari kelompok Anglo yang cenderung memandang komunitas adat sebagai penghalang alihalih mitra sejajar.

 Kebijakan Lama yang Tidak Adaptif: Flex Credit dan BMP Program

Sistem seperti Flex Credit, yang memungkinkan petani menyimpan hak air yang tidak terpakai dan menggunakannya di kemudian hari, justru menciptakan surplus virtual yang besar (hingga 6,1 miliar m³ di Pinal per 2011). Hal ini berpotensi menyuburkan eksploitasi berlebih ketika permintaan melonjak.

Begitu pula dengan Best Management Practices (BMP) Program, yang awalnya dirancang untuk mendorong konservasi air, namun dalam praktiknya membuka celah bagi penggunaan air lebih besar—terutama oleh sektor peternakan sapi perah dan produksi alfalfa.

Para petani yang memenuhi standar teknologi (misalnya irigasi tetes, laser leveling) dibebaskan dari batasan penggunaan air (water duty). Namun, seperti dicatat dalam wawancara lapangan, kebijakan ini seringkali tidak diikuti oleh perubahan signifikan dalam pola tanam, melainkan digunakan untuk “melegalkan” konsumsi tinggi.

 Kritik terhadap Institusi & Ketidaksiapan terhadap Perubahan Iklim

York dkk. menyimpulkan bahwa kebijakan air Arizona lebih fokus pada pelestarian status quo dan stabilitas politik daripada ketahanan terhadap perubahan iklim. Adaptasi sejati, seperti transisi ke tanaman hemat air, pengembangan sistem pasar air antar sektor, atau transformasi sistemik justru minim dukungan. Narasi konservasi dibingkai dalam konteks "menghindari krisis antar negara bagian"—bukan sebagai respon terhadap ketidakstabilan iklim jangka panjang.

Artikel ini juga memaparkan bagaimana model mental para petani didominasi oleh pemahaman bahwa perubahan iklim bukan sumber risiko utama. Perhatian mereka lebih pada perebutan hak dengan komunitas adat, kekhawatiran terhadap dominasi California, dan intervensi pemerintah.

 Masa Depan: Narasi Baru dan Rekomendasi Transformasi

Penulis merekomendasikan pendekatan kolaboratif berbasis cogovernance yang benarbenar menyertakan aktor adat sebagai mitra strategis. Mereka menggarisbawahi pentingnya:

 Mengembangkan narasi baru yang tidak memosisikan komunitas adat sebagai pesaing, melainkan sebagai pemangku hak yang sah.

 Memfasilitasi pergeseran mental dari pertanian sebagai “penerima subsidi” menjadi “penyedia jasa ekosistem” seperti pendingin kota, ketahanan pangan lokal, dan mitigasi efek pulau panas.

 Menciptakan skema kompensasi berbasis pasar untuk mendorong pengurangan konsumsi air pertanian (mirip dengan Conservation Reserve Program untuk lahan).

 Catatan Penutup: Pelajaran Bagi Dunia Global

Dengan banyak wilayah kering dunia menghadapi tantangan serupa (seperti MurrayDarling Basin di Australia atau lembah sungai di Spanyol dan Afrika Selatan), studi ini memberikan kerangka sistemik berbasis sociohydrological systems yang bisa direplikasi secara global.

Arizona hanyalah gambaran kecil dari konflik antara modernitas, ekologi, dan keadilan sosial. Di situlah letak kekuatan artikel ini—mengajak kita memikirkan ulang arti keberlanjutan, dan siapa yang berhak menentukannya.

Sumber: 

York, A. M., Eakin, H., Bausch, J. C., SmithHeisters, S., Anderies, J. M., Aggarwal, R., Leonard, B., & Wright, K. (2020). Agricultural water governance in the desert: Shifting risks in central Arizona. Water Alternatives, 13(2), 418–445.

Selengkapnya
Tata Kelola Air di Tengah Krisis Iklim: Pelajaran dari Pertanian Irigasi di Arizona

Sosiohidrologi

Petani Saddang Tergoda Jagung, Sungai Meluap: Maladaptasi di Hulu Picu Banjir di Hilir

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Perubahan iklim tidak hanya membawa bencana, tapi juga keputusan keliru yang memperburuknya. Artikel karya Naufal dkk. (2023) ini mengungkap betapa adaptasi masyarakat terhadap kekeringan di hulu Sungai Saddang, Sulawesi Selatan, justru menjadi pemicu deforestasi, erosi, hingga banjir di hilir. Dengan pendekatan lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS), penelitian ini menelaah bagaimana respons masyarakat di enam desa (baik hulu maupun hilir) terhadap bencana iklim periode 2009–2020, dan bagaimana tindakan itu berujung pada maladaptasi sistemik.

Peralihan Komoditas: Dari Kopi ke Jagung

Pada tahun 2009, kekeringan ekstrem melanda desa-desa hulu seperti Ranga, Bokin, Paku, dan Randan Batu. Ribuan pohon kopi gagal panen dan sungai-sungai mengering. Sebagai respons:

  • Banyak petani beralih ke jagung dan singkong, karena dianggap lebih tahan kekeringan.
  • Pemerintah mendorong program swasembada jagung dengan subsidi benih dan pupuk (target 29 juta ton produksi pada 2014).
  • Hutan dibuka untuk ladang baru, terutama di lahan lereng curam (>45%).

Konversi ini didorong juga oleh pasar yang menjanjikan (jagung untuk pakan ternak), tetapi mengorbankan fungsi ekologis DAS.

Maladaptasi Hulu: Meningkatkan Risiko Bencana

Jagung ditanam secara monokultur, tanpa naungan dan dengan penggunaan pupuk kimia yang intensif. Ini menyebabkan:

  • Erosi berat di lahan miring.
  • Sedimentasi besar yang terbawa hingga ke hilir.

Pada 2020, hujan deras selama tiga hari memicu longsor di Randan Batu yang menewaskan satu warga dan menghancurkan rumah serta ladang.

Efek Domino di Hilir: Sungai Berubah Arah, Banjir Menjalar

Sedimentasi ekstrem menyumbat aliran sungai di Desa Paria. Akibatnya:

  • Sungai menyimpang dan memperbesar arus ke Desa Bababinanga.
  • Pada 2010, terjadi banjir besar yang:
    • Merendam 233 rumah
    • Merusak 600 ha sawah dan 400 ha tambak
    • Mengusir ratusan warga

Adaptasi masyarakat:

  • Petambak berubah jadi nelayan udang rebon.
  • Rumah panggung dipindahkan gotong royong ke lokasi lebih aman.

Namun sayangnya, bendungan pelindung yang dibangun pemerintah pasca-banjir rusak dalam dua tahun, contoh nyata kegagalan teknis dalam adaptasi.

Model Adaptasi Gagal: Perubahan Iklim dan Kebijakan Bertabrakan

Adaptasi petani terhadap kekeringan memicu maladaptasi berlapis:

  • Vulnerability shifting: banjir berpindah dari Paria ke Bababinanga
  • Eroding sustainability: penggunaan pupuk kimia, deforestasi, peningkatan emisi
  • Rebound vulnerability: adaptasi menimbulkan risiko baru, seperti longsor

Program pangan nasional yang seragam di seluruh Indonesia tidak mempertimbangkan topografi DAS Saddang yang curam dan rentan, sehingga memperparah kerusakan.

Dampak Positif? Ada, Tapi Bersyarat

Meskipun didominasi kerugian, beberapa dampak positif muncul:

  • Lahan timbul dari sedimentasi dimanfaatkan untuk pertanian jagung dan pisang.
  • Tradisi lokal mengatur kepemilikan lahan timbul berdasarkan kedekatan tanah.
  • Solidaritas sosial meningkat, seperti gotong royong memindahkan rumah saat banjir.

Namun, peneliti menegaskan: tanpa pengakuan hukum yang jelas dan pengelolaan partisipatif, keuntungan ini bersifat sementara.

Kesimpulan: Pelajaran dari Saddang

DAS bukan hanya jalur air, tapi juga jalur dampak. Apa yang terjadi di hulu akan selalu menular ke hilir. Studi ini menyimpulkan bahwa:

  • Adaptasi tidak boleh simplistik dan seragam.
  • Pendekatan lanskap DAS diperlukan untuk memahami kerentanan sistemik.
  • Program nasional harus disesuaikan dengan karakter lokal dan kapasitas sosial-ekologis desa.

Artikel ini juga merekomendasikan pemanfaatan penginderaan jauh (remote sensing) dan analisis spasial untuk memantau dampak jangka panjang maladaptasi di masa depan.

Sumber : Naufal, N., Mappiasse, M. F., & Nasir, M. I. (2023). Adaptation from maladaptation: A case study of community-based initiatives of the Saddang watershed. Forest and Society, 7(1), 167–183.

Selengkapnya
Petani Saddang Tergoda Jagung, Sungai Meluap: Maladaptasi di Hulu Picu Banjir di Hilir

Sosiohidrologi

Masyarakat Lubuk Beringin Lestarikan Sungai Lewat Adat Lubuk Larangan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pelestarian daerah aliran sungai (DAS) kerap dikaitkan dengan proyek teknokratis atau kebijakan pemerintah pusat. Namun, studi oleh Norsidi (2016) menunjukkan bahwa masyarakat adat mampu menciptakan sistem konservasi efektif dan berkelanjutan melalui mekanisme sosial dan spiritual, sebagaimana diterapkan dalam tradisi Lubuk Larangan di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi.

Apa Itu Lubuk Larangan?

Lubuk Larangan adalah kawasan sungai yang ditetapkan melalui musyawarah adat sebagai wilayah larangan penangkapan ikan. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1960-an, berangkat dari pengalaman bencana:

  • Kemarau ekstrem 1986–1987 yang membuat sungai kering dan warga kesulitan air minum.
  • Banjir besar awal 2000-an yang memusnahkan jembatan dan gagal panen padi.

Berangkat dari krisis tersebut, masyarakat kemudian menyepakati sistem Lubuk Larangan sebagai bentuk proteksi dan kontrol atas ekosistem DAS.

Aturan Adat dan Sanksi Sosial

Lubuk Larangan ditetapkan melalui musyawarah adat yang melibatkan:

  • Kepala desa (Rio)
  • Tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda
  • Pemerintah dusun

Aturan utamanya:

  • Dilarang menangkap ikan sepanjang DAS pemukiman tanpa izin adat.
  • Penangkapan hanya diperbolehkan setahun sekali usai Idul Fitri, dalam acara panen adat.
  • Penangkapan harus dilakukan tanpa racun dan setrum, hanya boleh menggunakan jala, pancing, atau alat ramah lingkungan.

Sanksi adat bagi pelanggar:

  • Membayar 1 kambing, 20 gantang beras, dan 4 kayu kain.
  • Mengucap sumpah adat, yang dipercaya membawa kesialan turun-temurun bagi pelanggar dan keturunannya.

Manfaat Lubuk Larangan: Ekologi, Ekonomi, dan Sosial

1. Ekologis

  • Menjaga populasi ikan lokal dan endemik seperti ikan Semah, Barau, Tilan, dan Belido.
  • Melindungi fungsi hidrologi sebagai sumber air, MCK, irigasi, hingga habitat satwa liar.

2. Ekonomi

  • Panen ikan tahunan menjadi sumber pendapatan kolektif.
  • Warga luar desa yang ikut menangkap ikan dikenai retribusi, menambah kas desa.
  • Potensi dikembangkan menjadi ekowisata berbasis konservasi.

3. Pembangunan
Dana hasil panen digunakan untuk:

  • Renovasi masjid dan madrasah
  • Pembangunan jembatan, kantor desa, dan jalan
  • Penguatan lembaga adat

Studi Sosial: Modal Budaya dan Komunal

Masyarakat Lubuk Beringin menjunjung tinggi prinsip:

  • Gotong-royong
  • Musyawarah untuk mufakat
  • Adat bersendikan syariat Islam

Kebijakan lingkungan seperti Lubuk Larangan hanya bisa bertahan karena kekuatan sosial dan legitimasi adat yang telah tertanam turun-temurun.

Pendekatan Penelitian: Wawancara Kualitatif

Metode penelitian yang digunakan:

  • Wawancara mendalam dengan Kepala Desa, tokoh adat, tokoh agama, dan pengelola.
  • Purposive dan snowball sampling untuk mendapatkan informasi hingga titik jenuh.
  • Lokasi utama penelitian: Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo.

Pelajaran Penting dan Relevansi Nasional

Praktik Lubuk Larangan menunjukkan bahwa:

  • Kearifan lokal dapat menjadi instrumen hukum informal yang efektif.
  • Konservasi tidak harus berbasis proyek mahal, tapi bisa dibangun lewat kepercayaan dan partisipasi.
  • Pelibatan masyarakat adalah kunci pelestarian sumber daya alam jangka panjang.

Bagi banyak daerah di Indonesia, pendekatan serupa bisa diperluas dan difasilitasi oleh negara sebagai bagian dari strategi pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi dan inklusif.

Kesimpulan

Kearifan lokal seperti Lubuk Larangan adalah contoh nyata konservasi berbasis komunitas yang menjembatani antara keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dengan tetap memegang adat dan nilai-nilai Islam, masyarakat Desa Lubuk Beringin telah menunjukkan bahwa pelestarian DAS tidak harus datang dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah—dari masyarakat itu sendiri.

Sistem ini layak dijadikan model kebijakan nasional untuk konservasi DAS, penguatan sosial desa, dan pengembangan ekowisata berbasis tradisi lokal.

Sumber : Norsidi. (2016). Pelestarian Daerah Aliran Sungai Berbasis Kearifan Lokal Lubuk Larangan Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu. Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 3(2), 274–284.

Selengkapnya
Masyarakat Lubuk Beringin Lestarikan Sungai Lewat Adat Lubuk Larangan
« First Previous page 7 of 9 Next Last »