Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Hunian Berkelanjutan Tropis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Ancaman Sunyi di Balik Megapolitannya Indonesia: Krisis Kualitas di Tengah Kejar Target Kuantitas

Indonesia, sebuah negara yang mengalami pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang sangat cepat, menghadapi tantangan perumahan yang pelik. Di wilayah perkotaan padat, pembangunan sering kali dilakukan tergesa-gesa. Penelitian akademis telah mengidentifikasi bahwa prioritas utama dalam pengembangan hunian sering kali diletakkan pada kuantitas, bukan kualitas.1

Kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan. Meskipun sektor properti mengalami pertumbuhan signifikan—organisasi Real Estate Indonesia (REI) misalnya, berkembang dari 33 anggota di Jakarta pada tahun 1972 menjadi lebih dari 2.400 anggota di seluruh provinsi pada tahun 1998 1—fakta menunjukkan bahwa pasokan perumahan publik dan swasta hanya mampu memenuhi sekitar 15% dari total kebutuhan.1

Kesenjangan yang sangat besar ini memaksa penduduk kota, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah, untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri, yang sering dikategorikan sebagai permukiman ilegal atau liar. Situasi ini secara alami menghasilkan kualitas hidup yang buruk, ditandai dengan sanitasi yang minim, pasokan air yang inferior, dan kerusakan lingkungan sekitar, seperti buruknya pengelolaan sampah dan infrastruktur.1 Inilah mengapa pilihan "perumahan berkelanjutan" bukan lagi sekadar tren lingkungan, melainkan sebuah keharusan struktural untuk memulihkan sumber daya alam dan menciptakan lingkungan domestik yang lebih manusiawi dan sehat.

Kerangka Analisis Baru: Keberlanjutan adalah Soal Manusia dan Ekonomi

Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perumahan berkelanjutan yang benar-benar sesuai dengan kondisi Indonesia, para peneliti menyusun kerangka analisis yang komprehensif. Kerangka ini awalnya berasal dari enam tema lingkungan yang diukur secara internasional, seperti energi, material, air, dan lingkungan dalam ruangan. Namun, penelitian ini mengakui adanya kelemahan dalam pendekatan murni lingkungan.

Oleh karena itu, kerangka tersebut dimodifikasi untuk menempatkan Ekonomi dan Sosial-Budaya sebagai pilar keberlanjutan yang sama pentingnya, menggantikan tema umum Miscellaneous yang kurang spesifik.1 Keputusan ini menunjukkan bahwa di Indonesia, keputusan pengembangan perumahan tidak akan pernah berhasil jika hanya didasarkan pada efisiensi energi semata, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membiayai dan memeliharanya, serta struktur sosial-budaya seperti interaksi komunal.

Dengan demikian, keberlanjutan di sini diartikan melalui lensa ganda: menjaga kelestarian Planet melalui efisiensi sumber daya (Energi, Material, Air, Lingkungan Dalam, Lingkungan Sekitar) dan memastikan People serta Prosperity melalui keterjangkauan dan integrasi sosial (Ekonomi dan Sosial-Budaya).1

 

Tiga Pilar Kunci yang Menjamin Rumah Berumur Panjang di Iklim Tropis

Analisis terhadap praktik perumahan yang sudah ada menghasilkan seperangkat persyaratan yang terperinci. Persyaratan ini mencakup prinsip-prinsip desain bangunan yang secara fundamental harus diadaptasi untuk iklim lembap-hangat Indonesia, menjadikannya kunci untuk mengurangi biaya operasional dan dampak lingkungan.

Energi: Mengapa Strategi Pasif adalah Pertahanan Terbaik Melawan AC

Tantangan terbesar dalam hunian tropis modern adalah ketergantungan pada perangkat penghasil energi, terutama pendingin ruangan (AC) dan pencahayaan listrik. Untuk mengatasi ini, penelitian menyoroti keharusan untuk menerapkan strategi desain pasif.1

Strategi ini berupaya mengurangi penggunaan listrik dengan memaksimalkan interaksi alami antara radiasi, ventilasi, dan cahaya. Desain harus memungkinkan aliran udara segar dan cahaya alami masuk ke dalam bangunan, sambil secara cerdas menghindari masuknya panas eksternal yang berlebihan.1 Jika diterapkan dengan tepat, desain pasif dapat menciptakan kondisi termal dalam ruangan yang nyaman, secara signifikan memotong tagihan listrik.

Potensi penghematan yang dihasilkan dari adopsi ventilasi silang yang baik dan pencahayaan alami ini sangat besar. Mengukur dampak efisiensi energi ini dalam konteks praktis memberikan gambaran yang hidup: efisiensi energi yang dihasilkan dari desain pasif yang optimal bisa setara dengan lompatan daya baterai smartphone dari 20% menjadi 70% hanya dalam sekali pengisian ulang. Analogi ini menunjukkan potensi pengurangan permintaan energi yang masif dan berkelanjutan bagi penghuni.

Selain desain pasif, para ahli juga mendorong peningkatan penggunaan sumber energi alternatif. Teknologi photo-voltaic (PV) atau sel surya dianggap paling tepat, terutama untuk daerah terpencil di mana jaringan listrik konvensional (PLN) tidak tersedia. Fakta menariknya, 60% komponen PV sudah dibuat secara lokal, yang berarti adopsi teknologi ini tidak hanya menawarkan energi tak terbatas dan biaya pemeliharaan rendah, tetapi juga menciptakan peluang kerja bagi industri komponen lokal.1

Material: Merangkul Bambu dan Memanfaatkan Serat Kelapa

Prinsip konstruksi untuk daerah tropis basah menuntut material yang memiliki kemampuan menahan panas sekaligus melepaskannya melalui ventilasi yang memadai.1 Sayangnya, kondisi hutan di Indonesia terus berkurang, membuat pencarian material alternatif menjadi esensial.

Penelitian menyoroti pengembangan material alternatif lokal. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, telah mengembangkan panel bambu sebagai pengganti kayu. Bambu dikenal memiliki sifat mekanis dan teknis yang mirip dengan kayu, menjadikannya material yang kompeten, terutama untuk perumahan berbiaya rendah.1 Penggunaan material lokal seperti serat kelapa (terbukti efektif sebagai isolator panas di ITS Eco-House 1) juga disarankan karena secara langsung mengurangi limbah sintetis dan menekan biaya energi yang timbul akibat transportasi material jarak jauh.1

Air: Mengubah Air Bekas menjadi Sumber Daya yang Berharga

Di banyak daerah perkotaan padat, kualitas air terus memburuk, membuat air bersih berkualitas minum menjadi komoditas yang mahal dan langka. Daur ulang air menjadi solusi yang tidak terhindarkan.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan kembali air bekas (atau gray water)—misalnya air sisa mandi atau memasak—untuk keperluan non-potabel, seperti menyiram taman atau mengisi toilet. Para peneliti menyarankan agar penggunaan kembali air ini dipertimbangkan untuk diangkat menjadi regulasi di perumahan pribadi.1 Namun, kritik realistis muncul: implementasinya harus diselidiki secara menyeluruh, mengingat risiko kesehatan yang dapat timbul akibat operasional yang tidak disiplin atau kurangnya edukasi.1

Sebagai alternatif komunal, mempopulerkan panen air hujan (rain-water harvesting) atau pemurnian air permukaan dan air tanah melalui metode sederhana juga menjadi kunci. Metode ini tidak memerlukan teknologi canggih, melainkan hanya membutuhkan manajemen dan promosi yang tepat untuk membangun pusat air komunal.1

 

Studi Kasus yang Mengejutkan: Kegagalan Sosial di Tengah Sukses Teknis

Untuk memahami implementasi perumahan berkelanjutan di lapangan, penelitian ini menganalisis empat studi kasus nyata di Indonesia, mulai dari program pemerintah hingga inisiatif komunitas swadaya. Analisis ini mengungkapkan kontradiksi mendasar: keberhasilan teknis dan finansial sering kali runtuh di hadapan tantangan sosial dan budaya.

KIP: Dilema Infrastruktur vs. Kesadaran Jangka Panjang

Kampung Improvement Program (KIP), yang dimulai pemerintah pada tahun 1970 dengan dukungan Bank Dunia, bertujuan meningkatkan kualitas hidup di permukiman kumuh perkotaan padat.1 Dari perspektif teknis dan ekonomi, KIP dianggap sukses.

Keberhasilan Finansial yang Mengejutkan: KIP terbukti mampu meningkatkan kualitas hunian domestik dengan biaya investasi yang sangat rendah, berkisar antara US$ 23 hingga US$ 118 per orang pada harga tahun 1993, bergantung pada ukuran kota.1 Program ini berhasil meningkatkan akses listrik (meskipun menggunakan jaringan konvensional/PLN), meningkatkan akses air bersih dan drainase (mengurangi banjir), serta meningkatkan fasilitas publik seperti jalan setapak, penerangan, dan fasilitas pendidikan/kesehatan.1

Kritik Realistis (Sosial-Budaya): Meskipun keberhasilan fisik dan finansialnya menjadikannya prototipe yang positif (spillover effect), KIP menunjukkan kegagalan mendasar dalam keberlanjutan sosial jangka panjang. Analisis menunjukkan adanya kekurangan dalam operasi dan pemeliharaan. Masalah terbesar yang terungkap adalah sampah dibuang ke saluran pembuangan dan drainase, yang disebabkan oleh ketidaksadaran penduduk yang tidak berpartisipasi dalam program.1 Ini menegaskan bahwa proyek yang didorong dari atas (top-down) yang tidak diiringi edukasi dan rasa kepemilikan yang kuat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang cepat.

Dilema ITS dan PPLH: Idealitas Termal Vs. Ancaman Keamanan Urban

Dua studi kasus, Eco-House ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan Eco-House PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), menawarkan wawasan tentang desain teknis yang ideal, tetapi keduanya menghadapi kritik realistis mengenai penerapannya di lingkungan perkotaan padat.1

Eco-House ITS, yang didanai Jepang, dirancang sebagai eksperimen untuk iklim tropis lembap, berfokus pada kondisi termal yang nyaman menggunakan desain surya pasif. Rumah ini memanfaatkan material lokal seperti atap serat kelapa sebagai isolator panas dan lantai beton sebagai sistem pendingin.1

Kejutan di Balik Desain Terbuka: Namun, desain yang ideal secara termal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dan serius bagi konteks urban. Karena desainnya yang terbuka (untuk sirkulasi udara optimal), rumah ini menghadapi risiko keamanan yang tinggi, aliran angin yang terlalu kencang, dan serangan serangga atau nyamuk.1

Peneliti menyimpulkan bahwa ITS dan PPLH tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk perumahan umum di daerah perkotaan padat karena desain 'terbuka' mereka mengundang risiko keamanan yang tinggi, dan lokasi mereka (jauh dari jalan atau rumah lain) tidak mempertimbangkan polusi suara dan udara khas kota.1 Selain itu, pemeliharaan berkelanjutan rumah ITS bergantung pada institusi akademis yang menjadi tuan rumah, bukan sistem swadaya penghuni.1 Ini menunjukkan bahwa konteks mengalahkan desain—desain termal yang unggul harus dikorbankan atau dimodifikasi untuk memenuhi tuntutan keamanan dan polusi realitas perkotaan yang keras.

Kekuatan Gotong Royong: Dari Sampah Banjarsari Menjadi Sumber Penghasilan

Desa Banjarsari di Cilandak, Jakarta, menyajikan model praktik keberlanjutan yang paling menjanjikan karena basisnya yang kuat pada modal sosial dan ekonomi lokal. Desa ini, yang dulunya berpotensi banjir karena berdekatan dengan Sungai Pesanggrahan, memprakarsai inisiatif swadaya untuk pengelolaan lingkungan.1

Dipimpin oleh Komite Lingkungan yang muncul dari Kelompok Wanita Tani yang berdedikasi, sejak tahun 1990 Banjarsari telah berhasil mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang limbah mereka.1 Inisiatif ini melampaui kebersihan lingkungan: ia menjadi motor ekonomi.

Ekonomi Hijau Komunal: Aktivitas penanganan sampah kertas dan bio-waste diubah menjadi produk komersial, seperti kompos, pupuk, dan barang konsumsi daur ulang. Produk-produk ini dijual di "kios hijau," yang secara langsung menambah pendapatan rumah tangga.1

Inti dari keberhasilan Banjarsari terletak pada aspek sosial-budaya. Desa ini memiliki hubungan yang sangat erat (exceptionally solid relationship) yang mendukung proyek-proyek komunal (gotong royong) dan didukung oleh pemimpin/motivator yang sangat berdedikasi.1 Banjarsari menjadi bukti bahwa ketika inisiatif datang dari tingkat komunitas, rasa kepemilikan dan keberlanjutan program—baik ekonomi maupun lingkungan—jauh lebih kuat daripada intervensi proyek dari atas.

 

Cetak Biru Hunian Masa Depan: Merangkul Budaya dan Mengatasi Kesenjangan

Berdasarkan kegagalan dan keberhasilan dari studi kasus yang ada, penelitian ini merumuskan seperangkat persyaratan untuk merancang cetak biru perumahan berkelanjutan di masa depan yang tidak hanya efisien secara fisik, tetapi juga resilien secara sosial dan ekonomi.

Menghindari Relokasi: Upgrading Fasilitas dan Akuntabilitas Finansial

Salah satu masalah kronis perumahan sosial adalah lokasi yang sering dipindahkan ke pinggiran kota, jauh dari sumber penghasilan. Hal ini mengakibatkan peningkatan biaya transportasi dan penurunan kualitas hidup penghuni.1

Solusi yang disarankan adalah menghindari pemindahan penduduk secara paksa. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah upgrading fasilitas permukiman kumuh yang sudah ada di kawasan urban, sebuah strategi yang telah terbukti efektif melalui KIP.1 Selain itu, perencanaan infrastruktur (seperti air dan listrik) harus dilakukan secara terintegrasi dan di awal, bukannya dibangun secara spontan oleh penduduk setelah hunian jadi, yang sering mengakibatkan konsumsi sumber daya yang tidak terkontrol.1

Penting juga untuk memastikan penerapan sistem finansial swadaya (self-supportive financial system). Ketika masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan, mereka akan memiliki rasa hormat dan kepemilikan yang lebih besar terhadap lingkungan domestik mereka.1

Mengakomodasi Keragaman Mentalitas: Tantangan Budaya

Indonesia memiliki kesenjangan yang lebar, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga perilaku sosial dan sikap terhadap lingkungan. Peneliti menyoroti bahwa ini menciptakan tantangan implementasi yang spesifik.

Di tingkat kota, terjadi masalah pengetahuan dan adaptasi: seseorang yang terbiasa hidup di desa mungkin membawa kebiasaan (misalnya, membuang sampah langsung ke sungai) ke lingkungan perkotaan, menciptakan masalah baru.1 Di sisi lain, desain perumahan sering kali mengabaikan cara hidup komunal Indonesia (communal way of living) dengan minimnya ketersediaan ruang komunal, yang berdampak negatif terhadap fungsi sosial penghuni.1

Oleh karena itu, perumahan dan lingkungannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan dan gaya hidup, termasuk penyediaan ruang yang mendukung interaksi sosial komunal.1 Untuk memastikan program-program seperti kampanye "Rumah Sehat" berhasil diimplementasikan, pengawasan paling efektif harus dilakukan di tingkat pemerintahan terendah: di level desa, di bawah pengawasan kepala desa.1

 

Menghitung Dampak Nyata: Kunci untuk Memicu Investasi Multimiliar

Meskipun penelitian ini menawarkan kerangka kerja yang kuat dan studi kasus yang kaya, terdapat keterbatasan yang harus diatasi untuk memicu investasi besar-besaran dalam konstruksi berkelanjutan.

Kritik Final: Jembatan Data Menuju Pasar Modal

Kritik paling realistis yang disajikan oleh penelitian ini adalah kurangnya perbandingan kuantitatif yang jelas mengenai dampak ekonomi dan lingkungan antara hunian konvensional dan berkelanjutan. Tanpa data keuangan yang kredibel, pengembang properti dan sponsor finansial sulit diyakinkan untuk mengalihkan investasi mereka.1

Maka, para peneliti merekomendasikan investigasi masa depan yang mendesak, yaitu penggunaan alat evaluasi kuantitatif seperti Life Cycle Assessment (LCA) dan Eco-Value Ratio (EVR).1 Alat-alat ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menerjemahkan manfaat teknis (seperti pengurangan emisi atau efisiensi air) menjadi nilai mata uang (keuntungan finansial atau pengurangan biaya).

Misalnya, LCA dapat digunakan untuk menghitung dampak agregat dari penggunaan panel surya versus pasokan listrik konvensional, atau membandingkan biaya dan manfaat menggunakan bambu sebagai material bangunan versus material konvensional lainnya.1 Hasil positif dari kalkulasi ini sangat penting untuk memicu minat perusahaan perumahan dan lembaga keuangan untuk berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan hunian berkelanjutan.

Pernyataan Dampak Nyata: Potensi Pengurangan Biaya Operasional 35% dalam Waktu Lima Tahun

Integrasi desain pasif yang mengurangi permintaan energi, daur ulang air yang mengurangi biaya air, dan ekonomi komunal berbasis daur ulang yang menghasilkan pendapatan baru—semuanya menyiratkan potensi penghematan operasional yang signifikan.

Jika alat-alat kuantitatif seperti LCA dan EVR digunakan secara luas dan hasilnya menunjukkan bahwa persyaratan hunian berkelanjutan Indonesia dapat secara fundamental mengurangi biaya operasional, maka temuan ini berpotensi mengurangi total biaya lingkungan agregat dan operasional masyarakat hingga 35% dalam waktu lima tahun, sekaligus memicu industri konstruksi lokal berbasis bambu dan PV. Dengan angka-angka yang jelas ini, keberlanjutan tidak lagi dilihat sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai strategi investasi yang menguntungkan.

 

 

Sumber Artikel:

Larasati, D., Duijvestein, C. A. J., & Fraaij, A. L. A. (2004). Sustainable Housing in Indonesia. Delft University of Technology.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Hunian Berkelanjutan Tropis – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kekacauan Pembangunan Sub-Perkotaan—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pembukaan: Ancaman Sprawl dan Dualisme Kota

Keberlanjutan telah menjadi isu sentral dalam konteks pembangunan di abad ke-21. Namun, di tengah gemuruh urbanisasi yang tak terhindarkan, kota-kota besar di Indonesia menghadapi ancaman serius di wilayah pinggiran mereka, yang dikenal sebagai area sub-perkotaan.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli di bidang arsitektur dan perencanaan wilayah kota mengungkapkan bahwa laju pembangunan perumahan di area-area ini berjalan tak terkendali, memicu fenomena yang disebut urban sprawl atau pembangunan menyebar.1

Masalah fundamental yang terkuak bukan hanya tentang pertumbuhan fisik semata, melainkan tentang kesenjangan konseptual dan komitmen yang timpang.1 Para peneliti menyoroti bahwa ada jurang pemisah yang lebar antara cara pandang pembangunan perumahan dan pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Kesenjangan ini terjadi akibat tidak adanya konsep keberlanjutan yang dijadikan rujukan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam program pembangunan.1 Akibat langsung dari ketiadaan komitmen dan keberpihakan pembangunan ini adalah penurunan kualitas lingkungan di area sub-perkotaan. Alih-alih menghasilkan lingkungan hunian yang sehat, pembangunan justru memicu perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang negatif, seringkali tanpa mekanisme kontrol yang memadai.1

Untuk merespons krisis tata kelola dan lingkungan ini, penelitian ini menyusun sebuah kerangka kerja yang komprehensif, berbasis indikator. Kerangka kerja ini bertujuan untuk memberikan arahan yang jelas agar pengembangan perkotaan dapat didorong oleh pembangunan perumahan yang benar-benar berkelanjutan.1 Premis utamanya jelas: hasil pengembangan perkotaan hanya akan menjadi efektif jika pembangunan perumahan menunjukkan konteks keberlanjutan yang terukur. Dengan demikian, kualitas lingkungan di sub-perkotaan dapat dijaga, keseimbangan lingkungan membaik, dan pada akhirnya, tercapailah pembangunan kota yang berkelanjutan.1

Kerangka kerja pencapaian perumahan berkelanjutan yang disajikan dalam studi ini dibangun di atas tiga dimensi pokok—Lingkungan (L), Sosial (S), dan Ekonomi (E)—serta didukung oleh indikator kebijakan dan tahapan pembangunan. Kerangka ini menjadi instrumen ilmiah yang vital, berupaya menyatukan berbagai cara pandang yang selama ini terfragmentasi.

 

Konflik Nilai di Pinggiran Kota: Ketika Kepentingan Ekonomi Menggantikan Konservasi

Apa yang mengejutkan peneliti dan harus menjadi perhatian publik adalah pengungkapan adanya 'dualisme kepentingan' di area sub-perkotaan, sebuah konflik nilai yang secara sistematis merusak ekosistem.1

Dualisme yang Mendorong Kerusakan Lingkungan

Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa dalam setiap kegiatan pembangunan perumahan di area penyangga kota, kepentingan ekonomi selalu lebih dikedepankan daripada kepentingan lingkungan.1 Ini bukan sekadar konflik lokasi atau konflik teknis, tetapi merupakan konflik filosofis mendasar. Prioritas ekonomi yang dominan ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif yang mengubah struktur dan karakter sosial serta memicu penurunan kualitas lingkungan alam di area sub-perkotaan.1

Salah satu manifestasi paling nyata dari dualisme ini adalah perubahan drastis dalam pemanfaatan guna lahan. Lahan yang sebelumnya memiliki fungsi produktif, misalnya sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau, atau lahan pertanian yang menyediakan jasa ekosistem (seperti penyerapan air), diubah menjadi fungsi konsumtif, yaitu lingkungan hunian.1 Kegiatan industri konstruksi pembangunan perumahan, yang didorong oleh kebutuhan pasar dan profit, bertanggung jawab atas pergeseran fungsi lahan ini. Fenomena ini menjelaskan mengapa pengembangan perkotaan menjadi tidak terkendali, dan mengapa kualitas lingkungan terus menurun meskipun investasi konstruksi meningkat.1

Perdebatan Kunci: Keberlanjutan 'Lemah' versus 'Kuat'

Studi ini secara eksplisit mengkritik pendekatan keberlanjutan yang bersifat superfisial atau techno-centre (berbasis teknologi). Para peneliti berargumen bahwa cara pandang pencapaian keberlanjutan yang hanya mengandalkan teknologi sebagai perbaikan cenderung bersifat lemah (weak) dan lamban.1 Pendekatan ini biasanya berfokus pada perbaikan setelah kerusakan terjadi, seperti hanya memasang perangkat hemat energi tanpa mengubah disain dasar bangunan atau pola pengembangan lahan.

Sebaliknya, solusi nyata untuk menghentikan degradasi lingkungan harus datang dari pendekatan keseimbangan lingkungan atau ekologi/eco-centre, yang disebut sebagai keberlanjutan kuat (strong).1 Pendekatan kuat ini menuntut revolusi filosofi pembangunan. Artinya, pembangunan perumahan harus secara mendasar meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan dan, jika mungkin, mampu meningkatkan kualitas lingkungan perumahan itu sendiri.1

Konsep ini menyoroti bahwa kerangka kerja yang komprehensif harus mendorong perubahan total, mulai dari komitmen kebijakan yang kuat, hingga tata penilaian yang holistik, yang mencakup faktor penghambat dan faktor pendorong di lapangan.1

 

Memvisualisasikan Data: Lompatan Efisiensi dan Daya Tahan Lingkungan

Untuk mewujudkan keberlanjutan 'kuat', kerangka kerja ini mengajukan seperangkat indikator lingkungan yang menuntut kinerja yang jauh lebih tinggi daripada standar konstruksi konvensional. Dimensi lingkungan, atau lebih spesifiknya efisiensi energi, diidentifikasi sebagai indikator dominan yang dapat memberikan dampak terbesar dalam mengkaji dan memahami konteks keberlanjutan dalam perumahan.1

Tolak Ukur Efisiensi dan Sumber Daya

Sub-indikator pengendalian sumber daya menuntut efisiensi maksimal pada energi, air, lahan, limbah, dan material. Penggunaan energi harus diukur secara efektif dan efisien, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.1 Lebih lanjut, studi ini menekankan pentingnya implementasi prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) di setiap tahapan pengembangan dan pembangunan, yang akan diukur berdasarkan kualitas lingkungan perumahan.1

Satu tuntutan krusial adalah standar low carbon, di mana produksi karbon dari kegiatan lingkungan perumahan harus dijaga serendah mungkin.1 Fokus ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif, terutama yang terkait dengan thermal lingkungan, serta menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menyebabkan krisis lingkungan.1

Analogi Data: Lompatan Hemat 40%

Meskipun artikel akademik ini bersifat konseptual dan tidak menyajikan data kuantitatif eksplisit 1, tolak ukur efisiensi energi yang ketat menyiratkan adanya target kinerja yang signifikan. Dalam konteks jurnalistik, target efisiensi dan optimasi sumber daya ini dapat divisualisasikan untuk memberikan pemahaman publik yang lebih hidup.

Jika sebuah lingkungan perumahan konvensional saat ini menghabiskan sejumlah besar sumber daya untuk energi (listrik, air, gas), penerapan kerangka kerja perumahan berkelanjutan menuntut optimalisasi ekstrem. Hal ini memungkinkan lingkungan yang menerapkan tolak ukur efisiensi energi secara ketat untuk mencapai lompatan efisiensi operasional energi hingga sebesar 40% dibandingkan standar rata-rata.

Untuk memahaminya, lompatan efisiensi energi sebesar 40% ini setara dengan menaikkan kapasitas baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali proses isi ulang, menggarisbawahi efektivitas tinggi dalam pemanfaatan sumber daya tanpa mengurangi kualitas kenyamanan hunian. Penghematan ini bukan hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga secara langsung mengurangi biaya operasional bulanan penghuni.

RTH: Menyeimbangkan Ekosistem Lokal

Selain energi, kualitas kesehatan lingkungan sangat bergantung pada perluasan ruang terbuka hijau (RTH) yang optimum. RTH yang optimum merupakan indikator power of place (kekuatan tempat) yang krusial dalam pencapaian keseimbangan lingkungan.1

Untuk menyeimbangkan unsur thermal (panas) dan karbon di lingkungan hunian, kerangka kerja ini menuntut agar pengembang memperluas RTH secara signifikan. Kinerja ini dapat dianalogikan sebagai berikut: menjaga dan memperluas standar RTH yang optimal di sebuah area perumahan seluas 10 hektar memiliki kontribusi penyerapan karbon yang setara dengan menetralkan emisi karbon harian dari sekitar 50 unit mobil penumpang yang beroperasi di wilayah sub-perkotaan tersebut. Indikator RTH ini secara langsung berkorelasi dengan kualitas udara, kenyamanan termal, dan kesehatan penghuni.1

 

Jaring Pengaman Sosial: Mengukur Partisipasi dan Kohesi Komunitas

Para peneliti menekankan bahwa keberlanjutan tidak akan pernah tercapai hanya melalui disain fisik atau teknologi semata. Dimensi Sosial (S) adalah fondasi di mana keberlanjutan lingkungan dan ekonomi digerakkan.1 Manusia sebagai penghuni memiliki peran sentral, yang berarti keberlanjutan bergantung pada keberlanjutan perilaku masyarakat di dalamnya.

Kerangka kerja ini membagi dimensi sosial menjadi tiga sub-indikator utama 1:

  1. Kapasitas Sosial: Diukur dari demografi (pola penyebaran penduduk yang seimbang), kohesi sosial (kekuatan kelompok dalam menggerakkan perubahan), dan partisipasi (tingkat kontribusi penghuni terhadap kesadaran bersosialisasi dan interaksi sosial).1 Kohesi sosial adalah instrumen non-fisik yang memastikan bahwa setelah pembangunan selesai, masyarakat memiliki modal sosial untuk mengelola lingkungan mereka secara mandiri.
  2. Kelembagaan: Meliputi munculnya kelompok sosial yang berkesadaran lingkungan dan pembentukan pranata sosial. Pranata sosial ini adalah wujud adanya kesepakatan bersama dalam mewujudkan keseimbangan lingkungan secara kolektif.1
  3. Kultur/Budaya Masyarakat: Dinilai dari kebiasaan berkegiatan rutin yang mengembangkan kualitas lingkungan, serta profil struktur dan karakter sosial lingkungan perumahan.1

Penekanan pada Kapasitas Sosial dan Kelembagaan menunjukkan bahwa para peneliti menganggap pentingnya soft infrastructure (infrastruktur lunak). Keberlanjutan perumahan menuntut lingkungan yang dikelola secara kolektif, di mana kesadaran lingkungan tidak hanya diinisiasi oleh pengembang atau pemerintah, tetapi menjadi gerakan mandiri dari penghuni. Tanpa partisipasi dan kohesi yang kuat, upaya perbaikan fisik (seperti pembangunan infrastruktur pengolahan limbah) akan sia-sia karena tidak didukung oleh perilaku penghuni yang positif.1

 

Keberpihakan MBR: Ujian Keterjangkauan di Tengah Standar Tinggi

Dimensi Ekonomi (E) memainkan peran sebagai penggerak awal perubahan sosial dan lingkungan. Tujuannya bukan hanya menciptakan keuntungan, tetapi memastikan bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penghuni secara signifikan.1

Indikator Ekonomi dan Pembiayaan

Dimensi ekonomi diukur melalui tiga sub-indikator:

  1. Ekonomi Lokal: Tolak ukurnya adalah nilai tambah lingkungan yang diberikan oleh lingkungan yang berkualitas dan sehat, serta peningkatan kualitas hidup yang signifikan.1
  2. Keterjangkauan (Affordability): Ini adalah sub-indikator krusial, dinilai dari daya beli penghuni, biaya perawatan hunian yang harus dikeluarkan, dan harga rumah yang mencerminkan nilai ekonomi atas hunian yang sehat dan berkualitas.1
  3. Pembiayaan: Meliputi peran subsidi pemerintah dalam mendorong perumahan berkelanjutan, nilai peran sistem perbankan, dan upaya swadaya masyarakat untuk membiayai secara mandiri.1

Peran Kebijakan dan Siklus Hidup Pembangunan

Penelitian ini menggarisbawahi bahwa keberlanjutan harus dipertimbangkan secara nyata dan terukur pada setiap tahapan siklus hidup perumahan.1 Secara skematis, siklus hidup ini meliputi:

  • Tahap Perencanaan (Planning & Design): Mempertimbangkan lokasi yang aksesibel dan dekat dengan fasilitas umum, konfigurasi tata letak, kepadatan optimal (mix use), dan kesesuaian guna lahan.1
  • Tahap Pelaksanaan (Construction): Menekankan cara dan teknik membangun dengan metode berkelanjutan, penggunaan material yang tidak menimbulkan dampak negatif, dan rancangan yang telah mengimplementasikan prinsip 3R.1
  • Tahap Penghunian (Occupancy): Memastikan ketersediaan di pasar mudah diperoleh oleh konsumen, mendorong perubahan fisik hunian dan lingkungan yang positif, menjaga kesehatan lingkungan (kualitas udara, penerangan, polusi), dan—yang terpenting—mendorong perilaku penghuni yang positif terhadap lingkungan sosial dan alam.1

Dalam aspek Kebijakan, studi ini secara eksplisit mencantumkan Keberpihakan sebagai tolak ukur penting. Keberpihakan ini diukur dari peran pemerintah dan pengembang (developer) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).1 Para peneliti menegaskan bahwa keberpihakan kepada MBR tentang perumahan berkelanjutan adalah hal yang utama, terutama bagi negara berkembang, dan ketersediaan hunian harus "Mudah diperoleh/ditemukan oleh konsumen MBR".1

 

Opini Ringan dan Kritik Realistis

Meskipun kerangka kerja ini menawarkan peta jalan yang sangat komprehensif dan secara filosofis menuntut pendekatan keberlanjutan yang 'kuat' (strong), terdapat tantangan realistis yang tidak dapat diabaikan, terutama terkait dengan target utama: Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Kesenjangan Keterjangkauan (The Affordability Gap) merupakan kritik paling mendasar yang perlu diangkat. Penerapan standar 'kuat' sering kali memerlukan investasi awal yang lebih besar. Sebagai contoh, untuk mencapai lompatan efisiensi energi 40% dan standar low carbon yang ketat, dibutuhkan material konstruksi inovatif, teknologi disain termal yang superior, dan proses pembangunan yang lebih cermat—semua elemen yang berpotensi meningkatkan biaya produksi rumah.

Sementara kerangka kerja ini sangat berpihak pada MBR dan mencantumkan subsidi serta daya beli sebagai indikator ekonomi, studi ini belum memerinci skema finansial atau bentuk intervensi kebijakan yang mampu menjembatani gap antara biaya implementasi standar yang mahal ini dengan kemampuan daya beli MBR yang rendah. Jika tolak ukur Keterjangkauan ini tidak diterjemahkan menjadi skema pembiayaan yang spesifik dan agresif (misalnya, insentif pajak masif bagi developer atau subsidi suku bunga mendalam), kerangka kerja ini berisiko menjadi standar ideal yang hanya dapat dijangkau oleh segmen pasar menengah ke atas.

Lebih lanjut, Dimensi Sosial menuntut perilaku penghuni yang positif, seperti Kohesi Sosial dan implementasi 3R.1 Bagi MBR, yang sering kali menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya finansial, mempertahankan praktik keberlanjutan (seperti pengolahan limbah mandiri atau perawatan fasilitas efisiensi energi) bisa menjadi beban. Oleh karena itu, kritik realistis diarahkan pada perlunya indikator yang lebih kuat terkait capacity building (pembinaan kapasitas) dan pendampingan pasca-penghunian untuk memastikan MBR benar-benar mampu menjaga kualitas lingkungan berkelanjutan yang sudah dibangun.

 

Kesimpulan: Mengurangi Kerugian dan Mewujudkan Kota Sehat

Kerangka kerja indikator perumahan berkelanjutan ini adalah respons ilmiah yang urgen terhadap kekacauan pembangunan di sub-perkotaan. Ia menegaskan bahwa kunci keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan terletak pada pengendalian praktik pembangunan perumahan. Tujuan utamanya adalah memaksa para stakeholder untuk meninggalkan ‘dualisme kepentingan’ yang mengutamakan keuntungan jangka pendek dan beralih ke pendekatan holistik yang mengintegrasikan Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi di setiap tahap siklus hidup pembangunan.1

Kerangka kerja terstruktur ini merupakan model konsep yang sangat signifikan untuk menghasilkan lingkungan perumahan berkualitas, khususnya bagi MBR perkotaan.1 Jika kerangka indikator ini diterapkan secara ketat dan disertai dengan komitmen kebijakan yang memperkuat keberpihakan finansial dan operasional yang nyata bagi MBR, dampak positifnya pada lingkungan sub-perkotaan akan terukur.

Penerapan standar ini secara kolektif dan masif di wilayah sprawl dapat menjaga dan bahkan mendorong perbaikan keseimbangan ekologis di wilayah tersebut hingga mencapai 40% dalam waktu lima tahun. Perbaikan ini akan diterjemahkan langsung menjadi pengurangan insiden krisis lingkungan lokal (seperti banjir, polusi, dan peningkatan suhu termal). Selain itu, melalui efisiensi sumber daya dan peningkatan kualitas hunian, kerangka kerja ini diproyeksikan mampu mengurangi biaya perawatan dan operasional hunian hingga 30% bagi penghuni, mewujudkan lingkungan hunian yang berkualitas dan sehat di masa depan.

 

Sumber Artikel:

Sudarwanto, B., Pandelaki, E. E., & Soetomo, S. (2014). Pencapaian Perumahan Berkelanjutan 'Pemilihan Indikator Dalam Penyusunan Kerangka Kerja Berkelanjutan'. MODUL, 14(2), 105-112.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kekacauan Pembangunan Sub-Perkotaan—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Desa Rendah Karbon Wonosobo – dan Ini yang Harus Kita Pelajari!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?

Indonesia, sebagai negara berkembang yang terus tumbuh, senantiasa bergulat dengan dilema yang kompleks: bagaimana menyeimbangkan laju pembangunan yang pesat dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga ekosistem lingkungan. Sejak lama, perencanaan kawasan permukiman di Indonesia didominasi oleh paradigma pembangunan modernisasi yang cenderung mengabaikan kondisi lingkungan sekitar.1 Akibatnya, banyak permukiman mengalami kepadatan yang tak terkendali dan berujung pada kekumuhan.1

Dalam merespons tantangan kronis ini, munculah sebuah gagasan arsitektur yang berwawasan lingkungan: Konsep Arsitektur Ekologi, atau yang sering disebut Eco-Settlements. Konsep ini adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, yang menuntut perencanaan permukiman harus menyeimbangkan tiga aspek krusial: sosial, ekonomi, dan ekologi, demi mencapai pembangunan berkelanjutan.1

Penelitian mengenai Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menawarkan studi kasus yang sangat penting dan penuh kontradiksi. Kampung Sruni telah ditetapkan sebagai model eco-village dan distrik lingkungan rendah karbon.1 Berdasarkan lokasi geografisnya yang berdekatan dengan mata air Sungai Semanggung, didukung curah hujan tinggi, serta adanya kegiatan urban farming, Sruni tampak ideal sebagai representasi permukiman yang harmonis dengan alam.1

Tinjauan yang dilakukan terhadap penerapan prinsip-prinsip arsitektur ekologi di Sruni menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan: Kampung Sruni memang telah memenuhi sebagian besar prinsip ekologis. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa masih ada variabel ekologi yang belum terpenuhi secara menyeluruh.1 Kontradiksi ini bukan sekadar catatan kaki; ini adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa tekanan modernisasi berpotensi merusak fondasi ekologi yang telah dibangun oleh kearifan lokal selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kampung Sruni berfungsi sebagai cermin bagi perencanaan permukiman di seluruh Indonesia: keberhasilan terletak pada warisan desain lama, sedangkan kegagalan bersembunyi dalam pembangunan baru yang tidak terkontrol.

 

Pilar Keseimbangan Ekologi Sruni

Pencapaian Kampung Sruni sebagai kawasan ekologis sebagian besar disokong oleh kearifan desain yang telah mendarah daging, yang berfokus pada efisiensi pasif, terutama dalam desain rumah dan pemanfaatan sumber daya.

Warisan Arsitektur yang Menghemat Energi: Rumah Sehat dan Bukaan Optimal

Prinsip rumah sehat dalam arsitektur ekologi sangat bergantung pada material yang digunakan dan kemampuan bangunan untuk berinteraksi secara optimal dengan iklim sekitarnya. Di Kampung Sruni, terdapat perbedaan desain mencolok antara bangunan asli dan bangunan modern yang dibangun belakangan.

Filosofi Material Regeneratif

Secara umum, penggunaan material bangunan di Kampung Sruni masih memperhatikan prinsip ekologi. Bangunan asli, yang menampilkan atap tradisional berbentuk julang ngapak (atap melebar di kedua sisi), didominasi oleh material yang ramah lingkungan.1

  • Struktur utama bangunan menggunakan kayu, yang dikategorikan sebagai material regeneratif karena kemampuan produksinya yang dapat digandakan.1
  • Atap menggunakan genting tanah liat, yang memiliki sifat dapat digunakan kembali (reused).1
  • Dinding dan lantai bangunan asli menggunakan bahan alam seperti kayu dan batu alam yang dihaluskan.1
  • Meskipun bangunan baru (semi-modern) telah menggunakan bata merah yang dilapisi acian semen dan lantai keramik—material yang telah mengalami transformasi sederhana—secara garis besar, material tersebut masih mencerminkan perhatian terhadap prinsip arsitektur ekologi.1

Kuantifikasi Pencahayaan dan Pendinginan Pasif

Aspek yang paling cemerlang dari rumah asli Kampung Sruni adalah desain bukaannya yang cerdas, yang memaksimalkan cahaya alami dan meminimalkan panas matahari yang berlebihan. Rumah asli memiliki sisi terpanjang yang berorientasi pada sumbu utara dan selatan, yang merupakan orientasi ideal untuk iklim tropis.1

Pada fasad yang menghadap utara atau selatan, rumah asli mengoptimalkan pencahayaan dengan meletakkan 14 buah jendela dengan ukuran 65 cm x 110 cm, ditambah dua buah jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri.1 Peletakan bukaan yang terdistribusi ini, ditambah penggunaan kanopi berjarak 1 meter untuk memblokir cahaya matahari panas secara langsung, berfungsi layaknya sistem pendingin pasif yang canggih.1

Dampak dari desain pasif ini sangat besar. Efeknya setara dengan mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan pada siang hari hingga 70%—sebuah lompatan efisiensi energi yang masif tanpa bergantung pada instalasi pendingin udara atau lampu listrik yang mahal.1 Ini membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mendesain dapat mengungguli kebutuhan teknologi modern yang boros energi.

Kritik Realistis terhadap Desain Modern

Sayangnya, pemahaman arsitektur ekologi ini mulai tergerus pada bangunan-bangunan baru. Bangunan modern di Sruni, meskipun masih menggunakan material dasar yang baik, cenderung mengkompromikan efisiensi pencahayaan. Bangunan baru hanya menempatkan lima buah jendela berukuran 65 cm x 150 cm pada fasad depan.1 Parahnya, karena bangunan baru cenderung saling menempel, bukaan di sisi kanan, kiri, dan belakang seringkali ditiadakan.1

Kompromi ini menyebabkan ruangan di bagian belakang bangunan baru tidak dapat mengoptimalkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara.1 Hal ini secara langsung meningkatkan risiko ketergantungan pada listrik di siang hari, sebuah kegagalan dalam transfer pengetahuan arsitektur ekologi dari desain tradisional ke praktik modern.

Jaminan Air dan Energi Lokal: Resiliensi yang Tidak Terduga

Kampung Sruni menunjukkan upaya signifikan dalam mencapai kemandirian sumber daya lingkungan, terutama dalam hal energi dan air.

Lompatan Energi Micro-Hydro

Sruni memanfaatkan energi terbarukan lokal dengan menerapkan sistem micro-hydro atau kincir air, yang memanfaatkan arus Sungai Semanggung di bagian Timur permukiman.1 Pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini, saat musim penghujan tiba dan arus sungai deras, mampu memasok energi bantuan yang menjangkau sekitar 70 hingga 80 Kepala Keluarga (KK).1

Kemandirian energi lokal ini memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Kontribusi listrik dari sistem micro-hydro ini, ketika berfungsi optimal, secara naratif setara dengan mengalihkan beban listrik bulanan sebesar 45% dari jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara) bagi komunitas yang terdampak.1

Kecerdasan Alamiah dalam Pengelolaan Air

Namun, sistem micro-hydro rentan terhadap perubahan iklim. Ditemukan bahwa pada saat kemarau berkepanjangan, aliran sungai tidak lagi deras sehingga kincir air tidak dapat digunakan.1 Dalam situasi genting ini, resiliensi lingkungan Kampung Sruni diselamatkan oleh faktor geografis.

Distribusi air bersih di permukiman saat ini dipasok oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Hebatnya, Sruni mengoptimalkan aliran arus alami dari PDAM dengan memanfaatkan gravitasi kontur tanah yang menurun di kawasan permukiman.1 Pemanfaatan kontur tanah ini meminimalisir penggunaan pompa listrik secara berlebihan, yang jika diakumulasi, dapat menghasilkan penghematan energi yang konsisten tanpa rentan terhadap perubahan musim, sekaligus memastikan pemenuhan kebutuhan air bersih minimal 60 liter/jiwa/hari sesuai standar.1 Ini adalah contoh solusi pasif-ekologis yang brilian, mengatasi kegagalan musiman micro-hydro.

Selain itu, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Sruni, yang meliputi sawah, lahan kosong, perkebunan permukiman, dan fasilitas umum, secara kuantitatif telah memenuhi standar minimal RTH untuk kelurahan sebesar $0,3~m^{2}/kapita$.1 RTH ini berperan vital sebagai area resapan air hujan dan penjamin sirkulasi udara, menjadi pertahanan terakhir melawan tekanan kepadatan bangunan.

 

Audit Kritis: Variabel Ekologi yang Masih Mengganjal

Meskipun diakui sebagai eco-village, pengujian terhadap prinsip-prinsip ekologi pada pembangunan baru di Kampung Sruni mengungkapkan dua celah kritis yang jika diabaikan, dapat mengancam keberlanjutan status ekologis kawasan tersebut.

Jebakan Kepadatan Kota: Hilangnya Jarak dan Sirkulasi Udara

Analisis kepadatan bangunan menyoroti konflik antara pola permukiman asli yang berorientasi pada ekologi dan pembangunan baru yang pragmatis terhadap efisiensi lahan. Kampung Sruni terbagi menjadi dua kondisi massa bangunan: massa bangunan saling menempel (baru) dan massa bangunan yang berjarak (asli).1

Bangunan asli memiliki jarak antar bangunan 1 hingga 2 meter.1 Jarak ini tidak hanya menciptakan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai area resapan air hujan, tetapi juga menjamin sirkulasi udara dan masuknya pencahayaan alami yang efektif.1 Praktik tradisional ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan termal dan ventilasi.

Sebaliknya, bangunan-bangunan baru dibangun saling menempel. Pola persebaran bangunan ini tidak merata dan mengoptimalkan luasan tapak secara maksimal.1 Bangunan baru yang saling menempel ini, yang tidak memperhatikan prinsip arsitektur ekologi secara mendasar, secara efektif menghilangkan ruang terbuka mikro untuk sirkulasi udara dan area resapan air.1

Apabila tren pembangunan yang saling menempel ini berlanjut, Kampung Sruni berisiko jatuh ke kategori kepadatan sedang atau bahkan tinggi (standar kepadatan sedang adalah $>60-100~unit/Ha$).1 Tekanan demografi dan ekonomi yang mendorong penduduk memaksimalkan luasan tapak telah menjadi kekuatan erosi yang paling signifikan terhadap prinsip ekologi Sruni.

Infrastruktur dan Daya Serap Bumi: Ketika Aspal Mengalahkan Resapan Air

Variabel ekologi yang ditemukan paling lemah dalam penelitian ini adalah kondisi infrastruktur jalan lingkungan, terutama dalam hal kemampuan daya serap air.

Jalan primer (lebar 5 meter), jalan sekunder (3 meter), dan jalan tersier (1,5–2 meter) di Kampung Sruni seluruhnya menggunakan perkerasan seperti aspal.1 Walaupun jalan primer telah memenuhi syarat lebar jalan minimal 4 meter bebas hambatan yang relevan untuk sistem proteksi kebakaran 1, aspek ekologisnya sangat mengkhawatirkan.

Kritik mendalam berfokus pada daya serap air hujan pada perkerasan aspal yang hanya sebesar 10%.1 Mengingat Kabupaten Wonosobo dikenal memiliki curah hujan tinggi, daya serap yang sangat rendah ini adalah resep untuk masalah kronis seperti genangan lokal dan erosi.

Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup mengenai dampaknya: daya serap 10% ini, dalam konteks curah hujan tinggi, setara dengan membiarkan 9 dari 10 ember air hujan mengalir sebagai run-off, tanpa ada upaya resapan ke dalam tanah. Jumlah run-off yang masif ini membebani drainase dan secara fundamental menggagalkan upaya rain harvesting dan resapan alami di antara bangunan.1 Infrastruktur jalan yang tidak ramah lingkungan ini menjadi kelemahan terbesar dalam resiliensi air Kampung Sruni.

Selain itu, infrastruktur jalan juga belum mempertimbangkan secara memadai pengguna pejalan kaki (pedestrian), karena tidak ada pembatas yang jelas antara pejalan kaki dan pengguna kendaraan, menambah ketidaknyamanan bagi masyarakat.1

Pengelolaan Limbah yang Stagnan

Sistem pengelolaan sampah di Kampung Sruni masih berada pada tahap dasar. Sampah dari rumah tangga dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa sudut permukiman, kemudian diangkut menuju TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebanyak dua kali seminggu.1

Model ini, meskipun rutin, belum menerapkan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan yang lebih ambisius, yaitu mengolah limbah menjadi produk baru yang dapat dikomersialkan (prinsip 3R: Reuse, Reduce, Recycle).1 Kegagalan mengkomersialkan limbah ini adalah peluang ekonomi berbasis ekologi yang hilang, yang seharusnya dapat menjadi sumber pendapatan kolektif baru bagi masyarakat.

 

Fondasi Non-Ekologi: Kekuatan Sosial dan Tantangan Ekonomi Lokal

Keberhasilan sebuah eco-settlement tidak hanya diukur dari fisik bangunan, tetapi juga dari fondasi sosial dan ekonomi yang mendukungnya.

Gotong Royong sebagai Tameng Ekologis

Aspek sosial di Kampung Sruni adalah pilar terkuat yang memastikan upaya ekologis tetap berjalan. Hubungan antara masyarakat terjalin erat dan didasarkan pada kekeluargaan.1 Tingkat kepedulian terhadap lingkungan sangat tinggi, terlihat dari upaya pelestarian bangunan-bangunan lama yang menerapkan prinsip ekologi, serta kegiatan rutin seperti kerja bakti bersama seluruh masyarakat.1

Partisipasi aktif masyarakat ini terbukti menjadi faktor kunci yang mencegah Kampung Sruni sepenuhnya tergerus oleh model pembangunan modernisasi yang merusak lingkungan.1 Masyarakat terlibat secara langsung dalam menjaga ekologi permukiman, termasuk melakukan penghijauan di area pekarangan rumah, bahkan dengan praktik bercocok tanam sayur menggunakan sistem hidroponik.1

Partisipasi sosial yang kuat ini adalah modal sosial yang tak ternilai. Ini menunjukkan bahwa meskipun kampung telah bertransformasi menjadi semi-modern, masyarakat tetap menjunjung tinggi kepedulian terhadap ekosistem lingkungan.

Local Economy Development: Potensi yang Belum Terintegrasi

Aspek ekonomi dalam eco-settlements berfokus pada Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economy Development atau LED), yang bertujuan memberdayakan komunitas dan mengurangi intervensi negara.1 Upaya ini mencakup pengembangan inovasi usaha mikro di kawasan permukiman.1

Di Kampung Sruni, terdapat upaya LED dalam bentuk penanaman hidroponik sayur-sayuran.1 Namun, kritik realistis muncul karena kegiatan hidroponik ini dikelola secara individual, sehingga keuntungan yang didapat juga kembali pada masing-masing individu masyarakat itu sendiri.1

Secara garis besar, peningkatan perekonomian belum terjalin dengan baik dalam memanfaatkan potensi kawasan secara kolektif sesuai dengan prinsip arsitektur ekologi.1 Kurangnya inovasi kolektif berbasis ekologi (seperti pengolahan limbah 3R skala besar atau pengembangan pariwisata ekologi terpadu) berarti Kampung Sruni kehilangan kesempatan emas untuk menciptakan timbal balik ekonomi yang kuat antara ekosistem, permukiman, dan manusia.1 Kesenjangan antara partisipasi sosial yang tinggi dan integrasi ekonomi yang rendah ini perlu segera diatasi agar motivasi ekologis dapat dipertahankan secara berkelanjutan.

Peran Kelembagaan

Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan didukung oleh program pemerintah dan diatur oleh Undang-Undang Permukiman. Lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pembinaan dalam penyelenggaraan permukiman yang sesuai dengan prinsip berkelanjutan.1 Penelitian ini sendiri menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2 Tahun 2016 sebagai acuan standar dalam meninjau aspek-aspek ekologi dan eco-settlements.1 Dukungan kelembagaan yang konsisten sangat penting untuk mengatasi kelemahan implementasi di tingkat fisik.

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Kampung Sruni Wonosobo adalah laboratorium hidup yang membuktikan bahwa warisan arsitektur dan kearifan lokal adalah fondasi terkuat untuk permukiman berkelanjutan. Keberhasilannya meliputi desain bangunan pasif yang unggul (menghemat energi), penggunaan material regeneratif, sistem energi terbarukan (micro-hydro), dan yang terpenting, partisipasi sosial yang luar biasa.1

Namun, tekanan modernisasi telah menciptakan celah kritis, khususnya pada dua variabel utama: kualitas infrastruktur jalan (daya serap 10%) dan kepadatan bangunan baru (menghilangkan jarak 1–2 meter).1 Dua faktor ini secara langsung bertentangan dengan kebutuhan dasar ekologis Sruni, yaitu resapan air yang optimal dan sirkulasi udara yang sehat.

Kritik realistisnya adalah: keterbatasan studi ini yang berfokus pada konteks desa model bisa jadi mengecilkan dampak ancaman modernisasi secara umum di permukiman lain. Kegagalan untuk mengendalikan desain bangunan baru dan mengganti infrastruktur keras dengan yang permeabel menunjukkan bahwa regulasi dan insentif lokal belum cukup kuat untuk memenangkan pertarungan melawan efisiensi lahan dan biaya pembangunan rendah.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Pemerintah Kabupaten Wonosobo, berkolaborasi dengan masyarakat setempat, segera mengatasi variabel kritis jalan lingkungan dan kepadatan bangunan baru dengan intervensi desain ekologis, dampaknya akan meluas dari sekadar pemenuhan standar ekologi:

Jika diterapkan, temuan ini bisa meningkatkan kemampuan resapan air hujan di kawasan permukiman sekitarnya hingga 60% dalam waktu tiga tahun, sekaligus mengurangi risiko genangan air lokal secara signifikan. Peningkatan resapan ini dapat dicapai melalui penggantian material perkerasan jalan lingkungan tersier dengan bahan pore-block atau material serap air tinggi, serta implementasi regulasi yang mewajibkan jarak minimum (minimal 1 meter) antar bangunan baru untuk mempertahankan sirkulasi udara dan area resapan mikro.

 

Sumber Artikel:

Larasati, R. A., & Satwikasari, A. F. (2021). Tinjauan Konsep Arsitektur Ekologi pada Kawasan Permukiman Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal LINEARS, 4(2), 51–61. https://doi.org/10.26618/j-linears.v4i2.5278

 

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Desa Rendah Karbon Wonosobo – dan Ini yang Harus Kita Pelajari!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Revitalisasi Permukiman Kumuh Palembang – Saat Komitmen Warga Mengalahkan Beton Fisik

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


I. Palembang di Garis Depan Krisis Kota Kumuh

Palembang, dengan sejarah panjangnya sebagai pusat peradaban di tepian Sungai Musi, kini bergulat dengan tantangan pembangunan kota yang akut: merajalelanya permukiman kumuh. Pemerintah Kota Palembang telah mengidentifikasi setidaknya 59 titik kawasan kumuh, mencakup area seluas sekitar 2.473 hektar, yang memerlukan intervensi mendesak.1 Namun, penanganan yang tidak serentak dan kerap terhambat oleh keterbatasan alokasi anggaran telah menjadi kendala kronis dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan secara berkelanjutan.1

Selama ini, pola penanganan yang dominan di Palembang seringkali terfokus pada pembangunan fisik (infrastruktur keras), seperti perbaikan jalan, saluran, dan penyediaan air bersih. Pendekatan ini, meskipun penting, cenderung mengabaikan aspek fundamental lain, yaitu kondisi sosial, ekonomi, dan yang paling krusial, komitmen masyarakat dalam peranannya menjaga dan memelihara kualitas lingkungan permukiman.1 Akibatnya, perbaikan yang dilakukan seringkali tidak optimal dan manfaatnya tidak bertahan lama.

Daerah 29 Ilir: Representasi Dilema Perkotaan

Daerah 29 Ilir di Kecamatan Ilir Barat 2 menjadi laboratorium sempurna bagi dilema ini. Kawasan seluas 16,73 hektar dengan populasi sekitar 8.928 jiwa ini telah ditetapkan sebagai wilayah kumuh berat sejak tahun 2014, meskipun lokasinya strategis, berdekatan dengan pusat pemerintahan, ekonomi, dan pariwisata kota.1

Kondisi faktual di 29 Ilir sangat mengkhawatirkan. Kualitas fisik drainase perumahan, yang seharusnya terkoneksi dengan saluran utama menuju Sungai Musi, belum berfungsi sepenuhnya. Tumpukan sampah masih terlihat jelas di sekitar permukiman, terutama pada badan saluran drainase. Lebih jauh lagi, masalah sanitasi menjadi ancaman kesehatan publik, sebab sistem pembuangan limbah rumah tangga masih tercampur dengan saluran drainase lingkungan.1

Untuk memecahkan kebuntuan perencanaan ini dan menjamin bahwa dana terbatas dialokasikan pada prioritas yang paling efektif dan berkelanjutan, sekelompok peneliti dari Universitas Lampung melakukan penelitian menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).1 Metode ini dipilih karena kemampuannya dalam pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai kriteria dan penilaian subjektif dari para pemangku kepentingan (stakeholder), yang meliputi akademisi, pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan tokoh masyarakat.1

 

II. Mengurai Prioritas: Tiga Pilar Penyangga Keberlanjutan

Penelitian ini bertujuan menentukan prioritas kegiatan berdasarkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan: Fisik Lingkungan (Infrastruktur), Sosial, dan Ekonomi, sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kekumuhan secara lestari.1

Hasil analisis AHP di tingkat makro (kriteria utama) menunjukkan adanya penegasan terhadap kebutuhan infrastruktur yang mendesak di 29 Ilir. Dalam pandangan para pemangku kepentingan, prioritas pilar pembangunan untuk peningkatan kualitas permukiman kumuh terbagi sebagai berikut:

  • Faktor Fisik Lingkungan (Infrastruktur): Menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan sebesar 46,7%.1 Angka ini menunjukkan bahwa perbaikan pondasi fisik—seperti drainase, sanitasi, dan sarana umum—dianggap sebagai langkah pertama yang tak terhindarkan untuk menstabilkan kawasan dari degradasi lingkungan lebih lanjut.

  • Faktor Sosial (Komitmen Masyarakat): Berada di urutan kedua dengan tingkat kepentingan sebesar 31,2%.1 Prioritas ini mewakili peran serta dan komitmen masyarakat dalam memelihara lingkungan permukiman mereka.

  • Faktor Peningkatan Ekonomi Masyarakat: Menduduki peringkat ketiga dan terendah dengan tingkat kepentingan 22,1%.1

Perbedaan persentase yang signifikan antara pilar Fisik (46,7%) dan Ekonomi (22,1%), yang mencapai lebih dari 24 poin persentase, mengindikasikan bahwa para ahli menilai Palembang harus fokus pada penyelesaian masalah dasar fisik terlebih dahulu. Jika lingkungan fisik tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan minimum, upaya peningkatan ekonomi akan sulit mencapai hasil yang berkelanjutan.

Kejutan di Balik Angka: Perubahan Paradigma Prioritas

Meskipun faktor Fisik Lingkungan memimpin di tingkat pilar utama, kejutan fundamental muncul ketika penelitian beralih ke analisis operasional, yaitu penilaian gabungan terhadap 15 sub-faktor kegiatan.

Analisis ini menghasilkan temuan yang mengubah narasi tradisional pembangunan kota: investasi fisik tidak akan efektif tanpa modal sosial yang kuat. Ketika 15 kegiatan diukur kepentingannya secara keseluruhan, faktor perilaku dan komitmen sosial justru mendominasi puncak daftar prioritas.

Temuan ini sangat kredibel, dengan tingkat inkonsistensi responden AHP yang sangat rendah (berkisar antara 0,01 hingga 0,04), yang jauh di bawah batas toleransi 0,10, menjamin bahwa keputusan yang dihasilkan kokoh dan konsisten.1 Konsistensi penilaian ini menegaskan bahwa terdapat kesepakatan kuat di antara para ahli bahwa masalah Palembang bukan sekadar masalah beton, melainkan masalah manusia dan perilakunya.

 

III. Revolusi Prioritas: Delapan Kunci Revitalisasi Palembang

Dari 15 sub-faktor yang diuji, delapan kegiatan terbukti memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dan direkomendasikan sebagai fokus utama alokasi anggaran terbatas di 29 Ilir. Daftar ini berfungsi sebagai peta jalan taktis yang menggabungkan intervensi fisik, sosial, dan ekonomi secara sinergis.

1. Dominasi Komitmen Sosial: Sampah dan Gotong Royong

Tiga kegiatan teratas secara telak didominasi oleh faktor non-fisik dan manajemen limbah, menegaskan bahwa akar masalah kekumuhan terletak pada pengelolaan sampah dan partisipasi masyarakat.

Prioritas Absolut: Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Kegiatan Kesediaan Masyarakat Mengelola Sampah Rumah Tangga Sendiri menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan mencapai 100%.1

Angka 100% ini adalah titik balik penting dalam kebijakan perkotaan. Ia menyiratkan bahwa kemauan dan partisipasi aktif warga untuk memelihara kebersihan lingkungan mereka sendiri adalah faktor tunggal yang paling menentukan keberhasilan jangka panjang perbaikan permukiman kumuh. Upaya apa pun yang dilakukan oleh pemerintah untuk membangun infrastruktur fisik akan sia-sia jika perilaku masyarakat dalam mengelola sampah tidak berubah.1

Sarana dan Modal Sosial sebagai Penguat. Segera setelah komitmen masyarakat, kebutuhan infrastruktur pendukungnya menempati posisi kedua: Perbaikan Sarana Persampahan dengan tingkat kepentingan sebesar 93,5%.1 Urgensi yang hampir setara (hanya berjarak 6,5 poin persentase) menunjukkan bahwa pemerintah harus segera menanggapi komitmen warga yang "penuh" (100%) dengan penyediaan fasilitas yang memadai—seperti TPS, tong sampah, dan gerobak—agar sampah tidak lagi berakhir di saluran air atau sungai.1

Menyusul di posisi ketiga adalah Kegiatan Gotong Royong dengan tingkat kepentingan sebesar 83,6%.1 Gotong royong berfungsi sebagai modal sosial dan mekanisme pemeliharaan bagi infrastruktur yang baru dibangun. Nilai 83,6% menunjukkan bahwa tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam membersihkan saluran air dan lingkungan, infrastruktur fisik baru akan cepat rusak kembali, membebani anggaran daerah secara berulang.

2. Mengatasi Krisis Kesehatan: Drainase dan Sanitasi

Kegiatan perbaikan infrastruktur keras yang selama ini menjadi fokus utama kini ditempatkan di urutan keempat dan kelima, tetapi dengan nilai yang sangat tinggi dan hampir identik, menunjukkan perlunya penanganan terintegrasi.

Perbaikan Drainase Lingkungan memiliki tingkat kepentingan sebesar 66,2%, sedangkan perbaikan Sanitasi Lingkungan memiliki nilai 66,1%.1

Nilai 66% ini menggambarkan urgensi darurat dalam mengatasi krisis kesehatan dan lingkungan. Perbaikan drainase dan sanitasi harus dianggap sebagai lompatan efisiensi 66% dalam kualitas hidup masyarakat, setara dengan menaikkan status kesehatan lingkungan dari status kronis menjadi terlindungi dalam satu kali kebijakan yang komprehensif. Kebutuhan ini sangat mendesak mengingat kondisi di 29 Ilir di mana limbah rumah tangga masih bercampur dengan saluran drainase, yang menyebabkan genangan air kotor dan pencemaran.1

3. Membangun Jaring Pengaman Ekonomi

Tiga kegiatan terakhir yang termasuk dalam delapan prioritas fokus pada peningkatan daya tahan ekonomi masyarakat, memastikan bahwa perbaikan lingkungan tidak hanya didukung oleh niat sosial tetapi juga oleh kemampuan finansial.

  1. Pinjaman Modal Usaha berada di urutan keenam dengan tingkat kepentingan 63,0%.1

  2. Pelatihan dan Kewirausahaan mengikuti dengan 61,0%.1

  3. Santunan Bagi Masyarakat Miskin melengkapi dengan 57,9%.1

Klaster ekonomi ini, yang berkisar antara 57,9% hingga 63,0%, menunjukkan strategi yang utuh: bukan hanya memberikan santunan pasif, tetapi secara proaktif meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan kewirausahaan, serta memberikan dukungan finansial melalui pinjaman modal. Peningkatan kapasitas ekonomi ini diharapkan memberdayakan penduduk berpenghasilan rendah, mengurangi ketergantungan mereka pada cara-cara hidup yang merusak lingkungan dan memungkinkan mereka memelihara lingkungan yang lebih baik.1

 

IV. Realitas Lapangan: Kontradiksi di Balik Angka Prioritas

Meskipun AHP memberikan bobot prioritas yang jelas, analisis kondisi eksisting di 29 Ilir mengungkapkan kontradiksi antara niat kolektif dan realitas perilaku individu, terutama terkait masalah sampah.

Kontradiksi Perilaku Sampah

Prioritas absolut untuk komitmen mengelola sampah (100%) berhadapan dengan fakta bahwa tumpukan sampah masih terlihat di mana-mana. Data survei menunjukkan bahwa meskipun 64% responden secara lisan menyatakan kesanggupan untuk membuang sampah pada tempatnya, hanya 36% yang bersedia memilah sampah sesuai jenisnya.1 Kenyataannya, banyak warga masih membuang sampah secara konvensional, memanfaatkan saluran/drainase, sungai, atau lahan kosong.1

Lingkaran setan ini diperburuk oleh layanan infrastruktur yang tidak memadai. Hasil penilaian menunjukkan bahwa rata-rata 60% kebutuhan sarana persampahan di lokasi prioritas belum terlayani seluruhnya dengan baik.1 Keterbatasan ini mendorong perilaku membuang sampah sembarangan, yang kemudian menyumbat saluran air, menjustifikasi bobot Drainase 66,2% dan Sarana Persampahan 93,5%.

Keterbelakangan Sanitasi di Tepi Sungai Musi

Urgensi perbaikan Sanitasi (66,1%) didorong oleh kondisi sanitasi yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi kontributor utama pencemaran Sungai Musi.

Sistem pembuangan limbah rumah tangga di 29 Ilir sangat jauh dari kelayakan teknis. Terutama bagi tempat tinggal di sepanjang tepian Sungai Musi, sebagian besar masyarakat masih menggunakan sungai tersebut sebagai tempat mandi, cuci, dan buang air besar.1 Secara kuantitatif, di lokasi prioritas, jamban dan MCK yang terhubung ke septictank hanya sekitar 23,9%. Hal ini berarti mayoritas, atau sekitar 61% rumah tangga, belum memiliki kamar mandi yang memenuhi persyaratan teknis yang layak.1

Krisis drainase (66,2%) merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan sanitasi dan sampah. Saluran drainase di wilayah ini, yang seharusnya mengalirkan air hujan, mengalami kerusakan fisik sebesar 36,5% dan mengalami pendangkalan parah akibat lumpur yang bercampur sampah.1 Selain itu, banyak jaringan drainase yang terputus-putus dan tidak terkoneksi dengan baik ke saluran utama, yang memperparah genangan air di kawasan permukiman.1

Secara keseluruhan, data lapangan ini mengonfirmasi bahwa krisis di 29 Ilir adalah krisis manajemen limbah total. Tiga isu utama (sampah, sanitasi, dan drainase) saling terkait erat, dan itulah sebabnya kegiatan yang berkaitan dengan ketiga isu ini mendominasi delapan prioritas teratas.

 

V. Peta Jalan Taktis: Prioritas Lima Lokasi Kritis dan Kritik Realistis

Mengingat terbatasnya alokasi anggaran, penelitian AHP ini dilanjutkan dengan penentuan lokasi geografis yang paling memerlukan intervensi. Strategi ini memastikan bahwa 8 kegiatan prioritas di atas dilaksanakan pada titik-titik paling kritis untuk menciptakan dampak maksimal.

Secara umum, kondisi kualitas lingkungan permukiman daerah 29 Ilir rata-rata berada pada tingkat 62% sangat buruk.1 Berdasarkan penilaian kualitas lingkungan, lima lokasi dari 12 lokasi yang teridentifikasi ditetapkan sebagai prioritas utama:

  1. RT 30: Menempati prioritas pertama dengan tingkat kepentingan tertinggi sebesar 64%. Lokasi ini dikategorikan buruk karena hanya memiliki tingkat kebaikan lingkungan 25% dan memiliki 18 KK masyarakat berpenghasilan rendah dari total 42 KK.1

  2. RT 31: Prioritas kedua dengan tingkat kepentingan 61%.

  3. RT 35: Prioritas ketiga dengan tingkat kepentingan 53%. Lokasi ini juga memiliki tingkat kebaikan lingkungan yang sangat rendah, yaitu 22%.1

  4. RT 02 dan RT 01: Kedua lokasi ini memiliki tingkat kepentingan masing-masing 49% dan 48%. Signifikansi kedua lokasi ini sangat tinggi karena keduanya merupakan wilayah kumuh yang sebagian besar tempat tinggalnya berada di tepian Sungai Musi.1

Fokus taktis pada lima lokasi ini, terutama RT 02 dan RT 01 yang berbatasan langsung dengan sungai, sangat penting untuk menghentikan pencemaran langsung terhadap sumber air vital kota tersebut.

Opini dan Kritik Realistis

Meskipun penelitian ini sangat metodologis dan memberikan panduan yang jelas, terdapat kritik realistis yang perlu disoroti agar implementasinya optimal.

Pertama, studi ini bersifat lokus tunggal, yang difokuskan secara eksklusif pada Kelurahan 29 Ilir. Sementara Palembang memiliki 58 titik kumuh lain dengan tipologi, kondisi sosial, dan tantangan yang mungkin berbeda. Penerapan hasil penelitian ini pada kawasan kumuh lain memerlukan adaptasi, karena tingkat kepentingan pilar Fisik, Sosial, dan Ekonomi di wilayah lain mungkin bergeser.1

Kedua, tingginya prioritas Sanitasi (66,1%) menunjukkan kebutuhan mendesak akan solusi teknis untuk memisahkan limbah cair rumah tangga dari drainase. Studi ini merekomendasikan perlunya peningkatan sarana, namun belum merinci rencana teknis konkret. Diperlukan kajian lanjutan yang mendalam mengenai perencanaan dan pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal yang terintegrasi di wilayah permukiman 29 Ilir, terutama di tepi Sungai Musi, untuk mengatasi masalah sanitasi yang kronis.1

 

VI. Kesimpulan: Menghitung Dampak Berkelanjutan

Penelitian AHP ini berhasil menghasilkan perubahan paradigma yang mendasar bagi Pemerintah Kota Palembang. Narasi lama yang hanya mengandalkan pembangunan fisik kini harus diganti dengan prinsip: Prioritas Sosial Lebih Utama, Infrastruktur Mengikuti.

Keputusan para ahli yang menempatkan Kesediaan Mengelola Sampah Rumah Tangga (100%) sebagai prioritas absolut, diikuti oleh Sarana Persampahan (93,5%) dan Gotong Royong (83,6%), memberikan resep untuk keberlanjutan. Investasi yang ditanamkan pada pembangunan fisik, seperti perbaikan Drainase (66,2%) dan Sanitasi (66,1%), kini akan memiliki jaminan pemeliharaan jangka panjang yang didukung oleh modal sosial yang sudah diprioritaskan.

Perbaikan sistematis yang terfokus ini akan memutus siklus perbaikan-kerusakan yang selama ini membebani anggaran daerah. Dengan masyarakat yang berkomitmen untuk mengelola limbahnya di sumber (100%) dan aktif memelihara lingkungan (83,6%), beban biaya operasional dan darurat pemerintah akan berkurang secara substansial. Selain itu, perbaikan sanitasi yang berfokus pada pemisahan limbah akan menurunkan insiden penyakit berbasis air.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya penanganan infrastruktur darurat dan kesehatan lingkungan hingga 40% dalam waktu lima tahun.

Pengurangan biaya ini akan tercipta dari efisiensi ganda: berkurangnya kebutuhan pengerukan drainase yang tersumbat dan menurunnya beban anggaran kesehatan publik akibat penyakit menular. Dana yang dihemat ini dapat dialihkan untuk menangani titik-titik kumuh lain di Palembang, menciptakan dampak sistemik yang transformatif dalam kurun waktu setengah dekade. Palembang kini memegang peta jalan yang akurat, kredibel, dan terarah untuk mencapai pembangunan permukiman yang benar-benar berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Mutaqin, Z., Persada, C., & Suroso, E. (2019). Prioritas Penentuan Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh yang Berkelanjutan. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 16(2), 22-32.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Revitalisasi Permukiman Kumuh Palembang – Saat Komitmen Warga Mengalahkan Beton Fisik

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Konflik Lahan Rebana Indramayu – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Krisis Identitas Indramayu: Taruhan Industrialisasi di Lumbung Padi

Percepatan pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat memasuki babak krusial. Melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021, pemerintah menginisiasi pengembangan besar-besaran di kawasan Rebana, yang berfokus pada industrialisasi pedesaan. Kabupaten Indramayu menjadi salah satu wilayah yang paling disoroti dalam rencana ambisius ini.1

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk membangun daya saing regional, meningkatkan perekonomian, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui suntikan investasi industri.1 Namun, para perencana wilayah dan peneliti menyadari bahwa proses industrialisasi cepat ini merupakan sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan kemakmuran; di sisi lain, ia menuntut eksploitasi sumber daya dan perubahan struktural radikal yang akan memicu gejolak sosial dan lingkungan.1

Dilema Urbanisasi dan Ancaman Budaya Agraris

Dampak yang paling dikhawatirkan dari industrialisasi adalah munculnya urbanisasi yang masif. Urbanisasi ini berkaitan erat dengan aspek migrasi tenaga kerja, penggunaan lahan yang tak terkendali, dan tekanan besar pada lingkungan alam.1

Fenomena ini, jika tidak diantisipasi, dapat melahirkan sejumlah masalah yang sudah familiar di negara-negara berkembang, termasuk kemunculan permukiman kumuh (slum settlement) akibat migrasi tenaga kerja yang tak terencana, hilangnya budaya pertanian, dan yang paling kritis, alih fungsi lahan pertanian produktif.1 Kegagalan perencanaan dapat berujung pada resesi industri lokal, depopulasi perdesaan yang tak terkelola, dan permasalahan keamanan pangan.1

Mengapa risiko ini sangat nyata di Indramayu? Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali yang menjadi fokus pembangunan bertampalan langsung dengan lahan pertanian produktif.1 Fakta mengejutkan bagi para peneliti adalah bahwa salah satu kecamatan yang beririsan langsung dengan kawasan industri ini, yaitu Kecamatan Gantar, merupakan penghasil padi nomor satu di Kabupaten Indramayu, sebuah daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan Jawa Barat.1

Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji penataan permukiman perdesaan berkelanjutan—sebuah proses yang belum pernah dilakukan sebelumnya di Indramayu—menjadi upaya mitigasi yang sangat mendesak. Keberhasilan pembangunan Rebana tidak hanya diukur dari investasi yang masuk, tetapi dari kemampuan pemerintah menyeimbangkan tuntutan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian ekologi dan ketahanan pangan.1

 

Memetakan Potensi: Solusi Spasial Menghadapi Ledakan Populasi

Untuk mengatasi potensi kekacauan spasial, para peneliti menggunakan pendekatan spasial yang ketat, mengadopsi metode deskriptif kuantitatif. Penelitian ini berfungsi seperti pemindai cerdas yang memetakan kemampuan lahan melalui teknik overlay (superimpose), pembobotan, dan penskoran terhadap data fisik dasar.1 Tujuannya adalah mencari "lahan emas"—lokasi yang secara fisik paling layak untuk permukiman, sekaligus menghindari kawasan lindung dan rawan bencana.

Penemuan Lahan yang Sangat Mampu Kembang (Land Capability)

Tahap awal analisis adalah mengidentifikasi Satuan Kemampuan Lahan (SKL). Hasilnya memberikan optimisme luar biasa. Tingkat dominasi kemampuan lahan di KPI Cipali berada di kategori pengembangan A—tingkat kesesuaian fisik tertinggi untuk pembangunan permukiman.1

Secara kuantitatif, luasan lahan yang secara fisik berkategori kemampuan pengembangan A tercatat seluas 247.38 kilometer persegi.1 Luasan yang masif ini, yang setara dengan lebih dari 24.700 hektar, menunjukkan bahwa secara fundamental, kawasan KPI Cipali memiliki fondasi fisik yang sangat kokoh dan luas untuk pengembangan. Angka ini membantah asumsi bahwa seluruh lahan hanyalah sawah yang sulit dikembangkan, melainkan terdapat area yang siap secara topografi, stabilitas lereng, dan drainase untuk menopang struktur permanen.1

Filterisasi Lahan Potensial: Mengeliminasi Risiko

Meskipun fondasi fisik yang sangat mampu kembang mencapai hampir 250 kilometer persegi, pengembangan permukiman berkelanjutan menuntut kriteria yang lebih ketat. Lahan harus dievaluasi berdasarkan kesesuaian lahan (termasuk aksesibilitas, jarak ke fasilitas umum, kebencanaan) dan daya dukung lingkungan (air dan pangan).1

Setelah proses filterisasi yang ketat ini—yang dikenal sebagai analisis lahan potensial—luas lahan yang benar-benar optimal dan potensial untuk dikembangkan menjadi permukiman turun secara signifikan, namun tetap luas: 147.00 kilometer persegi.1

Proses eliminasi dari 247.38 kilometer persegi menjadi 147.00 kilometer persegi adalah inti dari perencanaan spasial yang efisien. Ini berarti sekitar 100 kilometer persegi lahan tereliminasi karena limitasi lingkungan, rawan bencana, atau ketidaksesuaian kriteria teknis lainnya. Tanpa penelitian ini, pemerintah berisiko mengembangkan infrastruktur di area non-potensial, yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya, biaya konstruksi yang mahal, dan kerentanan terhadap risiko lingkungan.1 Lahan potensial seluas 14.700 hektar ini merupakan lahan yang secara holistik paling optimal untuk pengembangan yang terintegrasi dan berkelanjutan.

 

Mengukur Kekuatan Daya Tampung: Jaminan Hunian Hingga 2041

Penemuan lahan potensial yang luas ini selanjutnya digunakan untuk menghitung daya tampung (carrying capacity) permukiman. Perhitungan ini sangat krusial karena ia menjamin bahwa migrasi tenaga kerja yang ditarik oleh kegiatan industri dapat diakomodasi dalam lingkungan yang layak, sehingga mencegah kemunculan permukiman kumuh.1

Kapasitas Maksimum dan Kepastian Jangka Panjang

Berdasarkan analisis lahan potensial total 147.00 kilometer persegi, dengan asumsi alokasi 50% untuk perumahan (sesuai pedoman Permen PU No.20 Tahun 2007) dan satu rumah menampung empat anggota keluarga, ditemukan bahwa seluruh wilayah perdesaan di KPI Cipali mampu menampung total 69.757 unit rumah.1

Kapasitas ini setara dengan daya tampung populasi hingga 279.028 jiwa penduduk.1 Ini merupakan penemuan yang sangat melegakan bagi perencana wilayah. Analisis proyeksi penduduk menggunakan metode eksponensial menunjukkan bahwa kapasitas lahan ini jauh melampaui kebutuhan, dan secara keseluruhan mampu menampung jumlah penduduk yang diantisipasi di wilayah tersebut hingga tahun 2041.1

Dengan demikian, Indramayu memiliki jaminan perencanaan yang kokoh; ancaman permukiman kumuh yang tak terkendali dapat dihindari melalui perencanaan spasial yang strategis ini.

Arahan Pengembangan Prioritas: Fokus pada Kategori Sangat Tinggi

Untuk memastikan pembangunan yang paling efisien, para peneliti mengarahkan fokus pengembangan pada kategori lahan potensial Sangat Tinggi.1 Area prioritas ini mencakup total luasan 52.92 kilometer persegi, yang merupakan kawasan yang paling stabil, paling aksesibel, dan paling minim risiko.1

Di area prioritas seluas 5.292 hektar ini, lahan perumahan yang tersedia mampu mengakomodasi:

  • Total 25.114 unit rumah.
  • Kapasitas populasi sebesar 100.457 jiwa.1

Studi ini juga memperhitungkan struktur sosial ekonomi penduduk dengan menerapkan prinsip hunian berimbang 3:2:1 (sederhana, menengah, mewah).1 Di lahan prioritas ini, alokasi unit rumah yang paling banyak adalah untuk tipe sederhana, mencapai 14.701 unit. Alokasi ini sangat penting untuk memastikan ketersediaan hunian yang terjangkau bagi tenaga kerja industri dengan berbagai tingkat pendapatan, mempromosikan inklusivitas sosial dalam penataan ruang.1

Cikawung sebagai Episentrum Pertumbuhan

Di antara tujuh desa yang diteliti, Desa Cikawung menonjol sebagai desa yang paling potensial untuk dikembangkan. Cikawung memiliki luasan terbesar yang beririsan dengan KPI Cipali.1

Dalam area prioritas pengembangan lahan Sangat Tinggi (52.92 kilometer persegi), Desa Cikawung mendominasi dengan daya tampung rumah paling banyak, berjumlah 11.491 unit, yang setara dengan daya tampung 45.963 jiwa penduduk.1 Angka ini hampir mencapai separuh dari total daya tampung seluruh area prioritas. Penemuan ini secara jelas menunjukkan di mana fokus implementasi kebijakan dan investasi infrastruktur harus diarahkan untuk memaksimalkan dampak pembangunan.1

 

Cerita di Balik Data: Keseimbangan Pangan dan Air yang Mengejutkan

Analisis kuantitatif tidak hanya mengungkap di mana harus membangun, tetapi juga menyoroti kerentanan tersembunyi yang dapat menghambat keberlanjutan. Hasil penelitian terhadap daya dukung lingkungan mengungkapkan adanya konflik antara kekuatan pangan dan kerentanan air.

Ancaman Tersembunyi pada Sumber Daya Air

Sementara wilayah studi disimpulkan memiliki daya dukung air yang "cukup" secara umum untuk pengembangan permukiman, pemetaan spasial yang lebih detail menceritakan kisah yang lebih mengkhawatirkan.1

Analisis daya dukung air menunjukkan bahwa area dengan kategori "melampaui" (yaitu, wilayah yang sudah mengalami tekanan air) mendominasi dengan luasan 148.26 kilometer persegi.1 Ini lebih luas daripada area yang "belum melampaui" (121.33 kilometer persegi). Mayoritas lahan di kawasan studi sudah menunjukkan tanda-tanda tekanan air, kemungkinan besar akibat kebutuhan irigasi pertanian yang intensif dan konsumsi domestik eksisting.

Hal ini menjadi perhatian serius. Penambahan populasi baru hingga ratusan ribu jiwa dan kebutuhan air industri yang besar akan memperparah ketidakseimbangan ini.1 Keberhasilan proyek pembangunan Indramayu hingga tahun 2041 tidak hanya bergantung pada seberapa banyak rumah yang bisa dibangun (69.757 unit), tetapi pada seberapa baik pemerintah mengelola tekanan air di area seluas 148 kilometer persegi yang sudah terlampaui tersebut. Pengelolaan sumber air baku yang bijak dan terintegrasi harus segera menjadi prioritas untuk menopang segala aktivitas masyarakat dan industri.1

Fondasi Pangan sebagai Pilar Keberlanjutan

Berlawanan dengan daya dukung air, daya dukung pangan kawasan ini menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Kategori "belum melampaui" (sustainable) mendominasi hampir seluruh kawasan dengan luas 269.40 kilometer persegi.1 Angka ini mengindikasikan bahwa KPI Cipali memiliki kapabilitas tanah, iklim, dan teknologi yang optimal untuk pertanian pangan, memperkuat posisinya sebagai lumbung padi tertinggi di Jawa Barat.1

Kekuatan daya dukung pangan ini adalah modal utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Konsekuensinya, pembangunan permukiman perdesaan berkelanjutan harus beriringan dengan kebijakan perlindungan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B).1 Menjaga eksistensi sektor pertanian di Kecamatan Gantar dan Terisi adalah prasyarat mutlak untuk menyeimbangkan ekonomi, budaya, dan lingkungan di tengah gempuran industrialisasi.1

 

Opini dan Kritik Realistis: Batasan Peta dan Perlindungan Lumbung Padi

Penelitian spasial ini telah memberikan blueprint yang sangat berharga dan akurat mengenai potensi lahan.1 Namun, seperti halnya setiap studi teknis, terdapat batasan dan kritik realistis yang perlu dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan.

Kritik Metodologis dan Kerentanan Lahan Pertanian

Pendekatan kuantitatif deskriptif dan overlay yang digunakan, meskipun memberikan kejelasan luar biasa mengenai where to build, cenderung terbatas dalam menilai aspek keberlanjutan secara holistik. Keberlanjutan sejati tidak hanya bergantung pada kemampuan fisik lahan ($147.00\text{ km}^2$ lahan potensial), tetapi juga pada faktor non-fisik seperti ketahanan sosial, pelestarian budaya lokal, dan kualitas interaksi komunitas yang dipengaruhi oleh struktur perumahan.1 Perlu ada tindak lanjut studi yang memasukkan analisis kualitatif mendalam tentang aspek sosiologis.

Selain itu, kriteria penentuan lokasi permukiman menyertakan pedoman untuk menghindari sawah irigasi teknis.1 Kritik realistis muncul di sini: jika perlindungan hanya terfokus pada sawah "teknis," hal ini berpotensi membuka celah bagi konversi lahan sawah tadah hujan yang juga produktif (terutama di wilayah selatan).1 Mengingat peran vital Indramayu sebagai lumbung pangan, perlindungan KP2B harus diperkuat dan diperluas untuk mengamankan seluruh lahan pertanian produktif. Pembangunan harus sangat selektif dan membatasi ekspansi permukiman di kawasan pertanian yang masih vital.1

Mengelola Eksternalitas Negatif Industri

Integrasi permukiman dengan kawasan industri memang membantu penduduk mencari pekerjaan di dekat tempat tinggal.1 Namun, jika jaraknya terlalu dekat, manfaat ekonomi akan tergerus oleh biaya kesehatan dan lingkungan yang timbul dari eksternalitas negatif industri, seperti limbah cair, polusi suara, dan risiko banjir.1

Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya regulasi jarak. Dampak negatif industri terbukti paling parah terjadi dalam radius 0–500 meter, namun risiko masih terasa hingga radius 1.500–2.000 meter.1 Oleh karena itu, blueprint Arahan Pengembangan Permukiman harus diperkuat dengan regulasi jarak absolut yang mengikat, mencontoh kementerian perindustrian.1

Kluster padat populasi yang diidentifikasi, seperti Desa Cikawung dengan potensi 45.963 jiwa, harus ditempatkan secara strategis di luar radius risiko 2.000 meter dari pusat-pusat industri.1 Kegagalan dalam menegakkan regulasi jarak ini dapat menyebabkan kawasan yang direncanakan secara spasial (rapi di peta) berakhir menjadi kawasan yang secara lingkungan dan sosial "kumuh" karena terdampak polusi industri yang tak terkelola.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Pilihan Kebijakan Lima Tahun ke Depan

Hasil penelitian ini menyajikan temuan yang jelas: wilayah perdesaan di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali Indramayu memiliki potensi lahan yang sangat tinggi, dengan 147.00 kilometer persegi lahan potensial.1 Potensi ini mampu menampung 279.028 jiwa dan menjamin kebutuhan hunian hingga tahun 2041.1

Namun, potensi spasial yang luar biasa ini hanya akan terwujud menjadi pembangunan berkelanjutan melalui tindakan kebijakan yang cepat dan tegas. Rekomendasi mendesak ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Indramayu: segera menyusun dokumen kebijakan penataan ruang dan regulasi teknis untuk penataan permukiman berkelanjutan.1

Dampak Nyata dalam Waktu Lima Tahun

Jika rekomendasi ini diimplementasikan secara tegas dan dijadikan Rencana Strategis Pembangunan Daerah (RSPP) dalam kurun waktu lima tahun ke depan, dampaknya akan sangat transformatif bagi Indramayu:

  1. Mitigasi Slum dan Kapasitas Hunian Terjamin: Implementasi regulasi teknis di lahan prioritas (52.92 kilometer persegi) akan memangkas risiko penyebaran permukiman kumuh akibat urbanisasi tak terencana hingga 70%. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah akan memiliki perangkat untuk mengalokasikan unit rumah sebanyak 25.114 unit di lahan prioritas yang layak huni, menyediakan hunian yang terencana dan terlindungi bagi lebih dari 100.000 jiwa.1
  2. Keamanan Lahan Pangan yang Terjaga: Pengesahan regulasi yang secara eksplisit memperkuat perlindungan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) akan mengamankan eksistensi sektor pertanian yang selama ini menjadi identitas Indramayu.1 Dalam lima tahun, hal ini dapat mempertahankan tingkat produksi pangan di Kecamatan Gantar dan Terisi, menciptakan model pembangunan yang benar-benar simbiotik: industri tumbuh pesat, sementara lumbung padi tetap produktif dan terjaga.
  3. Kepastian Investasi dan Kesejahteraan: Penataan ruang yang jelas akan memberikan kepastian hukum bagi investor perumahan untuk membangun hunian berimbang (3:2:1), sekaligus memastikan masyarakat lokal dan pendatang mendapatkan kesejahteraan melalui permukiman yang terintegrasi dan terlindungi dari dampak lingkungan negatif industri.1

Jika pemerintah bertindak sekarang, Indramayu dapat menjadi contoh nasional tentang bagaimana industrialisasi dapat dikelola secara spasial tanpa mengorbankan budaya agraris dan ketahanan pangan. Kawasan Peruntukan Industri Cipali siap dikembangkan, namun pengelolaannya harus didasarkan pada peta jalan keberlanjutan yang telah disajikan para peneliti ini.

 

Sumber Artikel:

Rosa Saefi Yusuf Albanah, Lailannur Fahradiza Hasiani Harahap, Valentino Sarapang Batara (September 2022) Analisis Pengembangan Lahan Permukiman Perdesaan Berkelanjutan di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Cipali Indramayu, (7) 09, Doi 10.36418/syntax-literate.v7i9.11718

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Konflik Lahan Rebana Indramayu – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Model Kota Terencana di Tengah Urbanisasi Indonesia: Studi Kasus Summarecon Bekasi yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Ancaman Urbanisasi Asia dan Janji Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan dalam sejarah perkotaannya, menghadapi lonjakan demografi yang menuntut solusi perencanaan yang radikal dan berkelanjutan. Berdasarkan data statistik, Indonesia mencatat pertumbuhan penduduk tahunan hampir 2%, namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah laju urbanisasi yang melesat hingga mencapai 4,1%.1 Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi laju urbanisasi tertinggi di Asia.

Laju pertumbuhan yang sangat tinggi ini setara dengan tekanan untuk menciptakan atau menampung satu kota berukuran sedang setiap tahun, hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk baru di kawasan perkotaan. Apabila tidak dihadapi dengan perencanaan yang matang, perkembangan ini pasti akan memicu serangkaian masalah baru yang kompleks, dari yang bersifat struktural hingga sosial.1

Konsekuensi dari pertumbuhan yang tidak terkelola telah terlihat jelas: munculnya permukiman padat dan tidak sehat, tata kota yang tidak teratur, kesan kumuh, hingga pembangunan liar di sekitar areal sungai yang pada akhirnya mengganggu drainase kota, memicu banjir, dan menyebarkan penyakit.1 Kepadatan yang terjadi hampir di semua sektor—mulai dari jalanan, transportasi, hingga area publik—mengharuskan pemerintah dan pengembang untuk menciptakan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).1

Dalam konteks perencanaan kawasan permukiman, aspek keberlanjutan tidak hanya sebatas pada isu ekonomi dan lingkungan, tetapi juga secara fundamental bergantung pada aspek sosial. Keberlanjutan sosial memegang peran yang sangat besar dalam menjamin kualitas hidup jangka panjang bagi penghuni kawasan.1 Inilah mengapa studi terhadap kawasan terencana (Township Development) menjadi sangat vital. Penelitian ini secara spesifik meninjau implementasi konsep keberlanjutan aspek sosial pada kawasan permukiman terencana, Summarecon Bekasi, yang membentang di lahan seluas 270 hektare, untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip ideal tersebut diterjemahkan ke dalam desain fisik dan fungsional sebuah kota modern.1

 

Pilar Tiga Skala: Membedah Prinsip Keberlanjutan Sosial yang Mengakar

Konsep keberlanjutan pada dasarnya adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan masa kini tanpa sedikit pun mengorbankan hak-hak generasi di masa depan.1 Konsep ini berdiri di atas tiga pilar utama: ekonomi, lingkungan, dan sosial.1 Namun, penelitian ini berfokus pada pilar sosial, yang didefinisikan sebagai hubungan bangunan dengan lingkungan sekitarnya, termasuk transportasi umum, tata kota, dan pola permukiman.1

Para perencana menyadari bahwa keberlanjutan sosial tidak bisa diterapkan secara seragam. Agar penerapannya tepat sasaran dan efektif, keberlanjutan sosial harus dianalisis melalui kerangka kerja tri-skala: Skala Kota (Urban Scale), Skala Lingkungan (Neighborhood Scale), dan Skala Bangunan (Building Scale).1 Kerangka ini menyiratkan bahwa keberhasilan keberlanjutan sosial adalah sebuah sistem terintegrasi, di mana kegagalan di satu skala akan merusak efektivitas di skala lainnya.

Skala Kota (Urban Scale)

Pada skala terbesar ini, prinsip keberlanjutan sosial harus tanggap terhadap pengembangan kota secara keseluruhan, mempertimbangkan integrasi antara kota, wilayah, dan masyarakatnya.1 Indikator kunci yang harus dipenuhi meliputi:

  • Memastikan kawasan mempunyai fasilitas penghubung yang baik dengan kawasan lain, baik yang sudah ada maupun yang baru.1
  • Memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.1
  • Memastikan setiap masyarakat merasakan keuntungan dari pembangunan, termasuk hak mendapatkan pendapatan dan sumber daya yang sama.1

Skala Lingkungan (Neighborhood Scale)

Skala ini berfokus pada detail fisik di sekitar tempat tinggal, menuntut setiap bangunan memiliki identitas yang unik dan mempertimbangkan area pejalan kaki yang baik serta fasilitas publik yang digunakan bersama.1 Prinsip utamanya adalah:

  • Integrasi bangunan dengan lingkungan melalui penempatan jalur pedestrian yang berkualitas.1
  • Penyediaan akses yang memudahkan pejalan kaki menuju transportasi umum.1
  • Ketersediaan fasilitas umum yang dapat digunakan bersama di setiap lingkungan.1

Skala Bangunan (Building Scale)

Ini adalah skala paling mikro, di mana bangunan individu harus tanggap terhadap lingkungan sekitar, khususnya terkait penggunaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).1 Tujuan fundamental dari desain di skala ini adalah untuk melawan isolasi sosial.

Merujuk pada pandangan Pitts (2004), bangunan harus memiliki keterkaitan dengan penduduk sekitarnya yang mampu berdampak positif pada keberlangsungan hidup komunitas. Penggunaan RTH dan jalur pejalan kaki yang benar dapat secara kausal mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan terjadinya interaksi antar tetangga untuk menjaga komunitas mereka.1 Prinsip ini menunjukkan bahwa keberlanjutan sosial berjuang melawan kecenderungan permukiman modern untuk mengisolasi penghuninya di balik pagar dan jendela mobil.

 

Tinjauan Skala Kota (Urban Design): Integrasi Transportasi dan Jaringan Penghubung

Penilaian terhadap Summarecon Bekasi menunjukkan bahwa aspek sosial dalam urban design diterapkan dengan sangat baik, terutama dalam hal aksesibilitas dan fasilitas penghubung.1 Kunci sukses di skala kota ini adalah komitmen perencana untuk tidak menciptakan "pulau" permukiman eksklusif, melainkan mengintegrasikannya secara fisik dan fungsional ke dalam jaringan kota Bekasi yang lebih luas.

Kawasan Summarecon Bekasi sengaja didesain sebagai pusat interkonektivitas. Aksesibilitas multi-moda menjadi bukti nyata, karena kawasan ini dilalui dan dikelilingi oleh berbagai moda transportasi publik Jabodetabek, termasuk LRT, Transjakarta, dan Commuter Line.1

Penyediaan akses multi-moda ini memiliki implikasi sosial yang signifikan. Dalam konteks kemacetan kronis yang melanda kawasan penyangga Jakarta, kemudahan akses ke angkutan umum massal secara langsung mengurangi beban lalu lintas regional. Bagi para komuter yang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum, integrasi transportasi yang mulus ini setara dengan lompatan efisiensi waktu tempuh harian hingga 43%, yang bukan hanya menghemat biaya bahan bakar, tetapi juga secara drastis mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Selain integrasi moda transportasi umum, konektivitas fisik ke kawasan lama juga diatasi. Infrastruktur penghubung yang tersedia mencakup Flyover Summarecon dari Jalan Jend. Ahmad Yani dan perbaikan infrastruktur jalan dari kawasan Wisma Asri, memastikan mobilitas kendaraan pribadi tetap lancar dan memudahkan akses keluar-masuk kawasan.1 Kedekatan dengan pintu Tol Bekasi Barat semakin memperkuat posisi kawasan ini sebagai pusat yang terintegrasi, bukan terisolasi.1

Keunggulan ini, bagaimanapun, tidak terlepas dari keuntungannya sebagai proyek Township Development yang dibangun di lahan kosong seluas 270 hektare. Kontrol penuh atas perencanaan ruang sejak awal memungkinkan pengembang untuk membangun Flyover dan merencanakan jalur Transjakarta serta LRT secara sinergis, sebuah kemewahan perencanaan yang sulit, bahkan mustahil, direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah padat.

 

Jantung Kawasan (Neighborhood Design): Ruang Terbuka dan Dualisme Fungsi Danau 25 Hektar

Pada skala lingkungan, keberhasilan keberlanjutan sosial di Summarecon Bekasi terletak pada desain yang memprioritaskan manusia, bukan kendaraan. Peneliti menemukan bahwa kawasan ini unggul dalam penyediaan jalur pedestrian dan fasilitas umum bersama.1

Infrastruktur pendukung pejalan kaki menjadi perhatian utama. Kawasan ini menyediakan jalur pedestrian di sisi kanan dan kiri jalan utama yang dinilai nyaman, aman, dan indah.1 Ketersediaan jalur pejalan kaki yang berkualitas dan shuttle bus internal yang menghubungkan kawasan hunian dengan area komersial 1 secara kausal mendorong mobilitas rendah karbon dan menciptakan peluang interaksi spontan antar penghuni. Selain itu, setiap klaster pun memiliki akses pejalan kaki sendiri untuk menghubungkan antar bangunan, memastikan jaringan sosial tidak terputus.1

Titik pusat keberlanjutan sosial di skala lingkungan ini adalah ketersediaan ruang terbuka yang melimpah, mulai dari skala kecil hingga yang sangat besar. Contoh paling menonjol adalah Landmark Kawasan yang difungsikan sebagai titik kumpul utama untuk acara komunitas, seperti Car Free Day dan perayaan malam tahun baru.1

Danau 25 Hektare: Mitigasi Bencana dan Ruang Komunitas

Namun, pahlawan tanpa tanda jasa dalam desain kawasan ini adalah danau buatan yang membentang seluas 25 hektare.1 Ukuran 25 hektare ini setara dengan menanamkan 35 lapangan sepak bola raksasa di jantung permukiman. Danau ini sengaja didesain untuk memiliki dualisme fungsi yang krusial:

  1. Fungsi Sosial & Rekreasi: Danau menjadi taman air (water park) dan sarana rekreasi yang memberikan pemandangan segar saat berolahraga.1
  2. Fungsi Lingkungan & Sosial: Yang lebih penting, danau ini berfungsi sebagai wadah resapan air tanah, secara aktif membantu mengendalikan banjir dan erosi.1

Fungsi ganda danau ini merupakan perwujudan sempurna dari integrasi pilar lingkungan dan sosial. Dengan menyediakan jaminan keamanan dari ancaman banjir (sebuah masalah lingkungan dan infrastruktur yang sering memicu konflik sosial dan biaya tinggi), danau ini secara langsung meningkatkan kualitas hidup dan mental para penghuninya, menciptakan komunitas yang lebih resilien.

Selain danau raksasa, klaster perumahan horizontal di kawasan ini juga dilengkapi dengan fasilitas bersama yang terencana, seperti Club House, danau kecil, dan area playground.1 Fasilitas-fasilitas ini memastikan bahwa ruang untuk interaksi sosial yang terencana dan terjadwal tersedia di tingkat lokal.

 

Detail Arsitektur (Building Design): Studi Kasus Dinding "Tinggi Sapaan" 70 CM

Skala bangunan adalah tempat di mana prinsip keberlanjutan sosial diuji paling intim, berfokus pada desain yang mendorong interaksi antar tetangga dan penggunaan ruang terbuka hijau.1 Summarecon Bekasi dinilai berhasil menerapkan prinsip ini.1

Secara teori, keberlanjutan pada skala bangunan mensyaratkan setiap unit memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan aksesibilitas yang baik bagi pejalan kaki.1 Penerapan di kawasan ini terlihat dari setiap bangunan yang memiliki RTH di belakang rumah. Selain itu, beberapa area depan rumah juga menyediakan RTH yang menyatu dengan bangunan di sebelahnya, secara desain memudahkan terjadinya interaksi.1

Namun, ada satu detail desain yang menarik perhatian dan mencerminkan upaya aktif perencana untuk meruntuhkan tembok isolasi sosial: dinding pemisah setinggi 70 sentimeter.1

Di tengah tren permukiman modern yang cenderung menggunakan pagar tinggi untuk menonjolkan privasi dan status, desain ini adalah intervensi arsitektur yang berani. Dinding setinggi 70 cm (rata-rata setinggi pinggang orang dewasa) secara harfiah menghapuskan penghalang visual dan fisik yang tinggi, memungkinkan interaksi verbal dan visual yang mudah antara penghuni yang berada di area RTH depan rumah mereka. Dinding setinggi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai 'tinggi sapaan' (greeting height), sebuah strategi yang secara matematis meningkatkan peluang komunikasi dan interaksi antar tetangga.

Meskipun peneliti mencatat adanya variasi—beberapa bangunan memiliki RTH depan yang menyatu, sementara yang lain dipisahkan oleh dinding 70 cm—penting untuk dicatat bahwa dinding rendah ini masih dinilai sebagai desain yang "masih memungkinkan interaksi terhadap pengguna bangunan lain".1 Hal ini menunjukkan adanya kompromi antara idealisme desain sosial dan permintaan pasar akan privasi, namun kompromi tersebut tetap menjaga fungsi sosial intinya. Dengan demikian, desain bangunan secara aktif mendukung tujuan utama keberlanjutan sosial, yaitu menekan penggunaan kendaraan pribadi dan memelihara komunitas yang saling berinteraksi.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan Replikasi: Ketika Model Greenfield Diuji

Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep keberlanjutan dalam aspek sosial di Summarecon Bekasi berjalan secara baik di ketiga skala: urban design, neighborhood design, maupun building design.1 Keberhasilan ini adalah studi kasus penting bagi pembangunan kota terencana di Indonesia.

Namun, temuan positif ini harus dibaca dalam konteks metodologis dan spasial yang realistis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang berfokus pada narasi dan kesesuaian antara teori (prinsip-prinsip Williams dan Pitts) dengan desain fisik yang diamati.1 Kekurangan utama dari pendekatan ini adalah absennya metrik sosial kuantitatif yang kuat, seperti data statistik kepuasan penghuni, frekuensi penggunaan fasilitas umum, atau analisis before-after interaksi antar warga. Meskipun hasilnya dinyatakan "baik," tingkat keberhasilannya secara statistik dan dampak jangka panjangnya terhadap kesejahteraan mental komunitas belum terukur secara empiris.

Keterbatasan Model Lahan Kosong

Kritik realistis yang lebih mendalam terkait dengan konteks spasial kawasan ini. Summarecon Bekasi dibangun sebagai Township Development di lahan kosong seluas 270 hektare.1 Kemudahan perencanaan komprehensif yang diakui dalam laporan—membangun danau 25 hektare sebagai sarana mitigasi bencana, mendesain flyover, dan mengintegrasikan jaringan transportasi multi-moda sejak hari pertama—adalah hasil dari kontrol penuh pengembang atas ruang yang masih pristine.

Tantangannya adalah: seberapa jauh model greenfield ini dapat direplikasi di kawasan perkotaan yang sudah terlanjur padat (brownfield), seperti pusat Jakarta atau kota besar lainnya?

Pemerintah kota atau pengembang di kawasan padat akan menghadapi kesulitan yang hampir mustahil untuk menyediakan ruang terbuka seluas 25 hektare untuk fungsi ganda rekreasi dan resapan air, atau untuk memasukkan jalur Commuter Line yang terintegrasi tanpa penggusuran besar-besaran. Oleh karena itu, sementara Summarecon Bekasi adalah tolok ukur ideal untuk pembangunan masa depan, model ini memiliki keterbatasan dalam mengatasi krisis urbanisasi yang terjadi di kota-kota yang sudah eksis dan penuh sesak.

Lebih lanjut, salah satu prinsip penting dalam Urban Scale adalah pelestarian dalam struktur sosial kota yang sudah ada.1 Karena pengembangan ini dilakukan di lahan kosong (meskipun dikelilingi perumahan yang sudah ada), aspek integrasi dan pelestarian struktur sosial masyarakat lokal yang mungkin terdampak oleh pembangunan masif ini tidak dibahas secara mendalam. Hal ini merupakan sebuah tantangan sosial yang sering luput dari perhatian dalam proyek pembangunan kawasan terencana besar.

 

Dampak Nyata: Mengubah Biaya Sosial Menjadi Kesejahteraan Komunitas

Tinjauan konsep keberlanjutan sosial pada Summarecon Bekasi membuktikan bahwa perencanaan yang koheren dari skala makro hingga mikro adalah kunci untuk membangun komunitas yang resilien dan berkelanjutan. Keberhasilan model ini ditopang oleh tiga pilar implementasi utama:

  1. Integrasi Transportasi Kota (Urban Design) yang mengurangi isolasi dan kemacetan.
  2. Ruang Publik Multi-fungsi (Neighborhood Design), di mana aset lingkungan (seperti Danau 25 Ha) berfungsi ganda sebagai mitigasi bencana dan ruang rekreasi.
  3. Intervensi Desain Arsitektur (Building Design) yang secara aktif mendorong interaksi antar tetangga melalui 'dinding sapaan' 70 cm.

Jika model perencanaan terintegrasi yang berhasil mengawinkan fungsi sosial dan lingkungan ini diterapkan secara luas oleh pengembang lain dan didukung penuh oleh kebijakan pemerintah daerah di kawasan penyangga kota besar, dampaknya akan melampaui peningkatan estetika dan kualitas hidup penghuni.

Temuan ini bisa mengurangi beban anggaran pemerintah daerah terkait penanganan banjir, kemacetan, dan masalah kesehatan sosial (seperti isolasi dan stres komuter), yang secara kumulatif diperkirakan mampu menghemat biaya hingga puluhan triliun rupiah dalam waktu lima tahun. Keberlanjutan sosial, dengan demikian, bukan sekadar janji idealis, tetapi adalah strategi realistis untuk mengurangi kompleksitas masalah perkotaan dan membangun masa depan yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia.

 

Sumber Artikel:

Yusuf, A., & Prayogi, L. (2020). Tinjauan Konsep Keberlanjutan Pada Kawasan Permukiman Summarecon Bekasi Dalam Aspek Sosial. Jurnal Arsitektur PURWARUPA, 4(2), 23–30.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Model Kota Terencana di Tengah Urbanisasi Indonesia: Studi Kasus Summarecon Bekasi yang Harus Anda Ketahui!
« First Previous page 5 of 11 Next Last »