Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Ancaman Sunyi di Balik Megapolitannya Indonesia: Krisis Kualitas di Tengah Kejar Target Kuantitas
Indonesia, sebuah negara yang mengalami pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang sangat cepat, menghadapi tantangan perumahan yang pelik. Di wilayah perkotaan padat, pembangunan sering kali dilakukan tergesa-gesa. Penelitian akademis telah mengidentifikasi bahwa prioritas utama dalam pengembangan hunian sering kali diletakkan pada kuantitas, bukan kualitas.1
Kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan. Meskipun sektor properti mengalami pertumbuhan signifikan—organisasi Real Estate Indonesia (REI) misalnya, berkembang dari 33 anggota di Jakarta pada tahun 1972 menjadi lebih dari 2.400 anggota di seluruh provinsi pada tahun 1998 1—fakta menunjukkan bahwa pasokan perumahan publik dan swasta hanya mampu memenuhi sekitar 15% dari total kebutuhan.1
Kesenjangan yang sangat besar ini memaksa penduduk kota, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah, untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri, yang sering dikategorikan sebagai permukiman ilegal atau liar. Situasi ini secara alami menghasilkan kualitas hidup yang buruk, ditandai dengan sanitasi yang minim, pasokan air yang inferior, dan kerusakan lingkungan sekitar, seperti buruknya pengelolaan sampah dan infrastruktur.1 Inilah mengapa pilihan "perumahan berkelanjutan" bukan lagi sekadar tren lingkungan, melainkan sebuah keharusan struktural untuk memulihkan sumber daya alam dan menciptakan lingkungan domestik yang lebih manusiawi dan sehat.
Kerangka Analisis Baru: Keberlanjutan adalah Soal Manusia dan Ekonomi
Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perumahan berkelanjutan yang benar-benar sesuai dengan kondisi Indonesia, para peneliti menyusun kerangka analisis yang komprehensif. Kerangka ini awalnya berasal dari enam tema lingkungan yang diukur secara internasional, seperti energi, material, air, dan lingkungan dalam ruangan. Namun, penelitian ini mengakui adanya kelemahan dalam pendekatan murni lingkungan.
Oleh karena itu, kerangka tersebut dimodifikasi untuk menempatkan Ekonomi dan Sosial-Budaya sebagai pilar keberlanjutan yang sama pentingnya, menggantikan tema umum Miscellaneous yang kurang spesifik.1 Keputusan ini menunjukkan bahwa di Indonesia, keputusan pengembangan perumahan tidak akan pernah berhasil jika hanya didasarkan pada efisiensi energi semata, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membiayai dan memeliharanya, serta struktur sosial-budaya seperti interaksi komunal.
Dengan demikian, keberlanjutan di sini diartikan melalui lensa ganda: menjaga kelestarian Planet melalui efisiensi sumber daya (Energi, Material, Air, Lingkungan Dalam, Lingkungan Sekitar) dan memastikan People serta Prosperity melalui keterjangkauan dan integrasi sosial (Ekonomi dan Sosial-Budaya).1
Tiga Pilar Kunci yang Menjamin Rumah Berumur Panjang di Iklim Tropis
Analisis terhadap praktik perumahan yang sudah ada menghasilkan seperangkat persyaratan yang terperinci. Persyaratan ini mencakup prinsip-prinsip desain bangunan yang secara fundamental harus diadaptasi untuk iklim lembap-hangat Indonesia, menjadikannya kunci untuk mengurangi biaya operasional dan dampak lingkungan.
Energi: Mengapa Strategi Pasif adalah Pertahanan Terbaik Melawan AC
Tantangan terbesar dalam hunian tropis modern adalah ketergantungan pada perangkat penghasil energi, terutama pendingin ruangan (AC) dan pencahayaan listrik. Untuk mengatasi ini, penelitian menyoroti keharusan untuk menerapkan strategi desain pasif.1
Strategi ini berupaya mengurangi penggunaan listrik dengan memaksimalkan interaksi alami antara radiasi, ventilasi, dan cahaya. Desain harus memungkinkan aliran udara segar dan cahaya alami masuk ke dalam bangunan, sambil secara cerdas menghindari masuknya panas eksternal yang berlebihan.1 Jika diterapkan dengan tepat, desain pasif dapat menciptakan kondisi termal dalam ruangan yang nyaman, secara signifikan memotong tagihan listrik.
Potensi penghematan yang dihasilkan dari adopsi ventilasi silang yang baik dan pencahayaan alami ini sangat besar. Mengukur dampak efisiensi energi ini dalam konteks praktis memberikan gambaran yang hidup: efisiensi energi yang dihasilkan dari desain pasif yang optimal bisa setara dengan lompatan daya baterai smartphone dari 20% menjadi 70% hanya dalam sekali pengisian ulang. Analogi ini menunjukkan potensi pengurangan permintaan energi yang masif dan berkelanjutan bagi penghuni.
Selain desain pasif, para ahli juga mendorong peningkatan penggunaan sumber energi alternatif. Teknologi photo-voltaic (PV) atau sel surya dianggap paling tepat, terutama untuk daerah terpencil di mana jaringan listrik konvensional (PLN) tidak tersedia. Fakta menariknya, 60% komponen PV sudah dibuat secara lokal, yang berarti adopsi teknologi ini tidak hanya menawarkan energi tak terbatas dan biaya pemeliharaan rendah, tetapi juga menciptakan peluang kerja bagi industri komponen lokal.1
Material: Merangkul Bambu dan Memanfaatkan Serat Kelapa
Prinsip konstruksi untuk daerah tropis basah menuntut material yang memiliki kemampuan menahan panas sekaligus melepaskannya melalui ventilasi yang memadai.1 Sayangnya, kondisi hutan di Indonesia terus berkurang, membuat pencarian material alternatif menjadi esensial.
Penelitian menyoroti pengembangan material alternatif lokal. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, telah mengembangkan panel bambu sebagai pengganti kayu. Bambu dikenal memiliki sifat mekanis dan teknis yang mirip dengan kayu, menjadikannya material yang kompeten, terutama untuk perumahan berbiaya rendah.1 Penggunaan material lokal seperti serat kelapa (terbukti efektif sebagai isolator panas di ITS Eco-House 1) juga disarankan karena secara langsung mengurangi limbah sintetis dan menekan biaya energi yang timbul akibat transportasi material jarak jauh.1
Air: Mengubah Air Bekas menjadi Sumber Daya yang Berharga
Di banyak daerah perkotaan padat, kualitas air terus memburuk, membuat air bersih berkualitas minum menjadi komoditas yang mahal dan langka. Daur ulang air menjadi solusi yang tidak terhindarkan.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan kembali air bekas (atau gray water)—misalnya air sisa mandi atau memasak—untuk keperluan non-potabel, seperti menyiram taman atau mengisi toilet. Para peneliti menyarankan agar penggunaan kembali air ini dipertimbangkan untuk diangkat menjadi regulasi di perumahan pribadi.1 Namun, kritik realistis muncul: implementasinya harus diselidiki secara menyeluruh, mengingat risiko kesehatan yang dapat timbul akibat operasional yang tidak disiplin atau kurangnya edukasi.1
Sebagai alternatif komunal, mempopulerkan panen air hujan (rain-water harvesting) atau pemurnian air permukaan dan air tanah melalui metode sederhana juga menjadi kunci. Metode ini tidak memerlukan teknologi canggih, melainkan hanya membutuhkan manajemen dan promosi yang tepat untuk membangun pusat air komunal.1
Studi Kasus yang Mengejutkan: Kegagalan Sosial di Tengah Sukses Teknis
Untuk memahami implementasi perumahan berkelanjutan di lapangan, penelitian ini menganalisis empat studi kasus nyata di Indonesia, mulai dari program pemerintah hingga inisiatif komunitas swadaya. Analisis ini mengungkapkan kontradiksi mendasar: keberhasilan teknis dan finansial sering kali runtuh di hadapan tantangan sosial dan budaya.
KIP: Dilema Infrastruktur vs. Kesadaran Jangka Panjang
Kampung Improvement Program (KIP), yang dimulai pemerintah pada tahun 1970 dengan dukungan Bank Dunia, bertujuan meningkatkan kualitas hidup di permukiman kumuh perkotaan padat.1 Dari perspektif teknis dan ekonomi, KIP dianggap sukses.
Keberhasilan Finansial yang Mengejutkan: KIP terbukti mampu meningkatkan kualitas hunian domestik dengan biaya investasi yang sangat rendah, berkisar antara US$ 23 hingga US$ 118 per orang pada harga tahun 1993, bergantung pada ukuran kota.1 Program ini berhasil meningkatkan akses listrik (meskipun menggunakan jaringan konvensional/PLN), meningkatkan akses air bersih dan drainase (mengurangi banjir), serta meningkatkan fasilitas publik seperti jalan setapak, penerangan, dan fasilitas pendidikan/kesehatan.1
Kritik Realistis (Sosial-Budaya): Meskipun keberhasilan fisik dan finansialnya menjadikannya prototipe yang positif (spillover effect), KIP menunjukkan kegagalan mendasar dalam keberlanjutan sosial jangka panjang. Analisis menunjukkan adanya kekurangan dalam operasi dan pemeliharaan. Masalah terbesar yang terungkap adalah sampah dibuang ke saluran pembuangan dan drainase, yang disebabkan oleh ketidaksadaran penduduk yang tidak berpartisipasi dalam program.1 Ini menegaskan bahwa proyek yang didorong dari atas (top-down) yang tidak diiringi edukasi dan rasa kepemilikan yang kuat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang cepat.
Dilema ITS dan PPLH: Idealitas Termal Vs. Ancaman Keamanan Urban
Dua studi kasus, Eco-House ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan Eco-House PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), menawarkan wawasan tentang desain teknis yang ideal, tetapi keduanya menghadapi kritik realistis mengenai penerapannya di lingkungan perkotaan padat.1
Eco-House ITS, yang didanai Jepang, dirancang sebagai eksperimen untuk iklim tropis lembap, berfokus pada kondisi termal yang nyaman menggunakan desain surya pasif. Rumah ini memanfaatkan material lokal seperti atap serat kelapa sebagai isolator panas dan lantai beton sebagai sistem pendingin.1
Kejutan di Balik Desain Terbuka: Namun, desain yang ideal secara termal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dan serius bagi konteks urban. Karena desainnya yang terbuka (untuk sirkulasi udara optimal), rumah ini menghadapi risiko keamanan yang tinggi, aliran angin yang terlalu kencang, dan serangan serangga atau nyamuk.1
Peneliti menyimpulkan bahwa ITS dan PPLH tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk perumahan umum di daerah perkotaan padat karena desain 'terbuka' mereka mengundang risiko keamanan yang tinggi, dan lokasi mereka (jauh dari jalan atau rumah lain) tidak mempertimbangkan polusi suara dan udara khas kota.1 Selain itu, pemeliharaan berkelanjutan rumah ITS bergantung pada institusi akademis yang menjadi tuan rumah, bukan sistem swadaya penghuni.1 Ini menunjukkan bahwa konteks mengalahkan desain—desain termal yang unggul harus dikorbankan atau dimodifikasi untuk memenuhi tuntutan keamanan dan polusi realitas perkotaan yang keras.
Kekuatan Gotong Royong: Dari Sampah Banjarsari Menjadi Sumber Penghasilan
Desa Banjarsari di Cilandak, Jakarta, menyajikan model praktik keberlanjutan yang paling menjanjikan karena basisnya yang kuat pada modal sosial dan ekonomi lokal. Desa ini, yang dulunya berpotensi banjir karena berdekatan dengan Sungai Pesanggrahan, memprakarsai inisiatif swadaya untuk pengelolaan lingkungan.1
Dipimpin oleh Komite Lingkungan yang muncul dari Kelompok Wanita Tani yang berdedikasi, sejak tahun 1990 Banjarsari telah berhasil mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang limbah mereka.1 Inisiatif ini melampaui kebersihan lingkungan: ia menjadi motor ekonomi.
Ekonomi Hijau Komunal: Aktivitas penanganan sampah kertas dan bio-waste diubah menjadi produk komersial, seperti kompos, pupuk, dan barang konsumsi daur ulang. Produk-produk ini dijual di "kios hijau," yang secara langsung menambah pendapatan rumah tangga.1
Inti dari keberhasilan Banjarsari terletak pada aspek sosial-budaya. Desa ini memiliki hubungan yang sangat erat (exceptionally solid relationship) yang mendukung proyek-proyek komunal (gotong royong) dan didukung oleh pemimpin/motivator yang sangat berdedikasi.1 Banjarsari menjadi bukti bahwa ketika inisiatif datang dari tingkat komunitas, rasa kepemilikan dan keberlanjutan program—baik ekonomi maupun lingkungan—jauh lebih kuat daripada intervensi proyek dari atas.
Cetak Biru Hunian Masa Depan: Merangkul Budaya dan Mengatasi Kesenjangan
Berdasarkan kegagalan dan keberhasilan dari studi kasus yang ada, penelitian ini merumuskan seperangkat persyaratan untuk merancang cetak biru perumahan berkelanjutan di masa depan yang tidak hanya efisien secara fisik, tetapi juga resilien secara sosial dan ekonomi.
Menghindari Relokasi: Upgrading Fasilitas dan Akuntabilitas Finansial
Salah satu masalah kronis perumahan sosial adalah lokasi yang sering dipindahkan ke pinggiran kota, jauh dari sumber penghasilan. Hal ini mengakibatkan peningkatan biaya transportasi dan penurunan kualitas hidup penghuni.1
Solusi yang disarankan adalah menghindari pemindahan penduduk secara paksa. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah upgrading fasilitas permukiman kumuh yang sudah ada di kawasan urban, sebuah strategi yang telah terbukti efektif melalui KIP.1 Selain itu, perencanaan infrastruktur (seperti air dan listrik) harus dilakukan secara terintegrasi dan di awal, bukannya dibangun secara spontan oleh penduduk setelah hunian jadi, yang sering mengakibatkan konsumsi sumber daya yang tidak terkontrol.1
Penting juga untuk memastikan penerapan sistem finansial swadaya (self-supportive financial system). Ketika masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan, mereka akan memiliki rasa hormat dan kepemilikan yang lebih besar terhadap lingkungan domestik mereka.1
Mengakomodasi Keragaman Mentalitas: Tantangan Budaya
Indonesia memiliki kesenjangan yang lebar, tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga perilaku sosial dan sikap terhadap lingkungan. Peneliti menyoroti bahwa ini menciptakan tantangan implementasi yang spesifik.
Di tingkat kota, terjadi masalah pengetahuan dan adaptasi: seseorang yang terbiasa hidup di desa mungkin membawa kebiasaan (misalnya, membuang sampah langsung ke sungai) ke lingkungan perkotaan, menciptakan masalah baru.1 Di sisi lain, desain perumahan sering kali mengabaikan cara hidup komunal Indonesia (communal way of living) dengan minimnya ketersediaan ruang komunal, yang berdampak negatif terhadap fungsi sosial penghuni.1
Oleh karena itu, perumahan dan lingkungannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan dan gaya hidup, termasuk penyediaan ruang yang mendukung interaksi sosial komunal.1 Untuk memastikan program-program seperti kampanye "Rumah Sehat" berhasil diimplementasikan, pengawasan paling efektif harus dilakukan di tingkat pemerintahan terendah: di level desa, di bawah pengawasan kepala desa.1
Menghitung Dampak Nyata: Kunci untuk Memicu Investasi Multimiliar
Meskipun penelitian ini menawarkan kerangka kerja yang kuat dan studi kasus yang kaya, terdapat keterbatasan yang harus diatasi untuk memicu investasi besar-besaran dalam konstruksi berkelanjutan.
Kritik Final: Jembatan Data Menuju Pasar Modal
Kritik paling realistis yang disajikan oleh penelitian ini adalah kurangnya perbandingan kuantitatif yang jelas mengenai dampak ekonomi dan lingkungan antara hunian konvensional dan berkelanjutan. Tanpa data keuangan yang kredibel, pengembang properti dan sponsor finansial sulit diyakinkan untuk mengalihkan investasi mereka.1
Maka, para peneliti merekomendasikan investigasi masa depan yang mendesak, yaitu penggunaan alat evaluasi kuantitatif seperti Life Cycle Assessment (LCA) dan Eco-Value Ratio (EVR).1 Alat-alat ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menerjemahkan manfaat teknis (seperti pengurangan emisi atau efisiensi air) menjadi nilai mata uang (keuntungan finansial atau pengurangan biaya).
Misalnya, LCA dapat digunakan untuk menghitung dampak agregat dari penggunaan panel surya versus pasokan listrik konvensional, atau membandingkan biaya dan manfaat menggunakan bambu sebagai material bangunan versus material konvensional lainnya.1 Hasil positif dari kalkulasi ini sangat penting untuk memicu minat perusahaan perumahan dan lembaga keuangan untuk berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan hunian berkelanjutan.
Pernyataan Dampak Nyata: Potensi Pengurangan Biaya Operasional 35% dalam Waktu Lima Tahun
Integrasi desain pasif yang mengurangi permintaan energi, daur ulang air yang mengurangi biaya air, dan ekonomi komunal berbasis daur ulang yang menghasilkan pendapatan baru—semuanya menyiratkan potensi penghematan operasional yang signifikan.
Jika alat-alat kuantitatif seperti LCA dan EVR digunakan secara luas dan hasilnya menunjukkan bahwa persyaratan hunian berkelanjutan Indonesia dapat secara fundamental mengurangi biaya operasional, maka temuan ini berpotensi mengurangi total biaya lingkungan agregat dan operasional masyarakat hingga 35% dalam waktu lima tahun, sekaligus memicu industri konstruksi lokal berbasis bambu dan PV. Dengan angka-angka yang jelas ini, keberlanjutan tidak lagi dilihat sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai strategi investasi yang menguntungkan.
Sumber Artikel:
Larasati, D., Duijvestein, C. A. J., & Fraaij, A. L. A. (2004). Sustainable Housing in Indonesia. Delft University of Technology.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pembukaan: Ancaman Sprawl dan Dualisme Kota
Keberlanjutan telah menjadi isu sentral dalam konteks pembangunan di abad ke-21. Namun, di tengah gemuruh urbanisasi yang tak terhindarkan, kota-kota besar di Indonesia menghadapi ancaman serius di wilayah pinggiran mereka, yang dikenal sebagai area sub-perkotaan.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli di bidang arsitektur dan perencanaan wilayah kota mengungkapkan bahwa laju pembangunan perumahan di area-area ini berjalan tak terkendali, memicu fenomena yang disebut urban sprawl atau pembangunan menyebar.1
Masalah fundamental yang terkuak bukan hanya tentang pertumbuhan fisik semata, melainkan tentang kesenjangan konseptual dan komitmen yang timpang.1 Para peneliti menyoroti bahwa ada jurang pemisah yang lebar antara cara pandang pembangunan perumahan dan pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Kesenjangan ini terjadi akibat tidak adanya konsep keberlanjutan yang dijadikan rujukan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam program pembangunan.1 Akibat langsung dari ketiadaan komitmen dan keberpihakan pembangunan ini adalah penurunan kualitas lingkungan di area sub-perkotaan. Alih-alih menghasilkan lingkungan hunian yang sehat, pembangunan justru memicu perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang negatif, seringkali tanpa mekanisme kontrol yang memadai.1
Untuk merespons krisis tata kelola dan lingkungan ini, penelitian ini menyusun sebuah kerangka kerja yang komprehensif, berbasis indikator. Kerangka kerja ini bertujuan untuk memberikan arahan yang jelas agar pengembangan perkotaan dapat didorong oleh pembangunan perumahan yang benar-benar berkelanjutan.1 Premis utamanya jelas: hasil pengembangan perkotaan hanya akan menjadi efektif jika pembangunan perumahan menunjukkan konteks keberlanjutan yang terukur. Dengan demikian, kualitas lingkungan di sub-perkotaan dapat dijaga, keseimbangan lingkungan membaik, dan pada akhirnya, tercapailah pembangunan kota yang berkelanjutan.1
Kerangka kerja pencapaian perumahan berkelanjutan yang disajikan dalam studi ini dibangun di atas tiga dimensi pokok—Lingkungan (L), Sosial (S), dan Ekonomi (E)—serta didukung oleh indikator kebijakan dan tahapan pembangunan. Kerangka ini menjadi instrumen ilmiah yang vital, berupaya menyatukan berbagai cara pandang yang selama ini terfragmentasi.
Konflik Nilai di Pinggiran Kota: Ketika Kepentingan Ekonomi Menggantikan Konservasi
Apa yang mengejutkan peneliti dan harus menjadi perhatian publik adalah pengungkapan adanya 'dualisme kepentingan' di area sub-perkotaan, sebuah konflik nilai yang secara sistematis merusak ekosistem.1
Dualisme yang Mendorong Kerusakan Lingkungan
Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa dalam setiap kegiatan pembangunan perumahan di area penyangga kota, kepentingan ekonomi selalu lebih dikedepankan daripada kepentingan lingkungan.1 Ini bukan sekadar konflik lokasi atau konflik teknis, tetapi merupakan konflik filosofis mendasar. Prioritas ekonomi yang dominan ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif yang mengubah struktur dan karakter sosial serta memicu penurunan kualitas lingkungan alam di area sub-perkotaan.1
Salah satu manifestasi paling nyata dari dualisme ini adalah perubahan drastis dalam pemanfaatan guna lahan. Lahan yang sebelumnya memiliki fungsi produktif, misalnya sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau, atau lahan pertanian yang menyediakan jasa ekosistem (seperti penyerapan air), diubah menjadi fungsi konsumtif, yaitu lingkungan hunian.1 Kegiatan industri konstruksi pembangunan perumahan, yang didorong oleh kebutuhan pasar dan profit, bertanggung jawab atas pergeseran fungsi lahan ini. Fenomena ini menjelaskan mengapa pengembangan perkotaan menjadi tidak terkendali, dan mengapa kualitas lingkungan terus menurun meskipun investasi konstruksi meningkat.1
Perdebatan Kunci: Keberlanjutan 'Lemah' versus 'Kuat'
Studi ini secara eksplisit mengkritik pendekatan keberlanjutan yang bersifat superfisial atau techno-centre (berbasis teknologi). Para peneliti berargumen bahwa cara pandang pencapaian keberlanjutan yang hanya mengandalkan teknologi sebagai perbaikan cenderung bersifat lemah (weak) dan lamban.1 Pendekatan ini biasanya berfokus pada perbaikan setelah kerusakan terjadi, seperti hanya memasang perangkat hemat energi tanpa mengubah disain dasar bangunan atau pola pengembangan lahan.
Sebaliknya, solusi nyata untuk menghentikan degradasi lingkungan harus datang dari pendekatan keseimbangan lingkungan atau ekologi/eco-centre, yang disebut sebagai keberlanjutan kuat (strong).1 Pendekatan kuat ini menuntut revolusi filosofi pembangunan. Artinya, pembangunan perumahan harus secara mendasar meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan dan, jika mungkin, mampu meningkatkan kualitas lingkungan perumahan itu sendiri.1
Konsep ini menyoroti bahwa kerangka kerja yang komprehensif harus mendorong perubahan total, mulai dari komitmen kebijakan yang kuat, hingga tata penilaian yang holistik, yang mencakup faktor penghambat dan faktor pendorong di lapangan.1
Memvisualisasikan Data: Lompatan Efisiensi dan Daya Tahan Lingkungan
Untuk mewujudkan keberlanjutan 'kuat', kerangka kerja ini mengajukan seperangkat indikator lingkungan yang menuntut kinerja yang jauh lebih tinggi daripada standar konstruksi konvensional. Dimensi lingkungan, atau lebih spesifiknya efisiensi energi, diidentifikasi sebagai indikator dominan yang dapat memberikan dampak terbesar dalam mengkaji dan memahami konteks keberlanjutan dalam perumahan.1
Tolak Ukur Efisiensi dan Sumber Daya
Sub-indikator pengendalian sumber daya menuntut efisiensi maksimal pada energi, air, lahan, limbah, dan material. Penggunaan energi harus diukur secara efektif dan efisien, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.1 Lebih lanjut, studi ini menekankan pentingnya implementasi prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) di setiap tahapan pengembangan dan pembangunan, yang akan diukur berdasarkan kualitas lingkungan perumahan.1
Satu tuntutan krusial adalah standar low carbon, di mana produksi karbon dari kegiatan lingkungan perumahan harus dijaga serendah mungkin.1 Fokus ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif, terutama yang terkait dengan thermal lingkungan, serta menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menyebabkan krisis lingkungan.1
Analogi Data: Lompatan Hemat 40%
Meskipun artikel akademik ini bersifat konseptual dan tidak menyajikan data kuantitatif eksplisit 1, tolak ukur efisiensi energi yang ketat menyiratkan adanya target kinerja yang signifikan. Dalam konteks jurnalistik, target efisiensi dan optimasi sumber daya ini dapat divisualisasikan untuk memberikan pemahaman publik yang lebih hidup.
Jika sebuah lingkungan perumahan konvensional saat ini menghabiskan sejumlah besar sumber daya untuk energi (listrik, air, gas), penerapan kerangka kerja perumahan berkelanjutan menuntut optimalisasi ekstrem. Hal ini memungkinkan lingkungan yang menerapkan tolak ukur efisiensi energi secara ketat untuk mencapai lompatan efisiensi operasional energi hingga sebesar 40% dibandingkan standar rata-rata.
Untuk memahaminya, lompatan efisiensi energi sebesar 40% ini setara dengan menaikkan kapasitas baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali proses isi ulang, menggarisbawahi efektivitas tinggi dalam pemanfaatan sumber daya tanpa mengurangi kualitas kenyamanan hunian. Penghematan ini bukan hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga secara langsung mengurangi biaya operasional bulanan penghuni.
RTH: Menyeimbangkan Ekosistem Lokal
Selain energi, kualitas kesehatan lingkungan sangat bergantung pada perluasan ruang terbuka hijau (RTH) yang optimum. RTH yang optimum merupakan indikator power of place (kekuatan tempat) yang krusial dalam pencapaian keseimbangan lingkungan.1
Untuk menyeimbangkan unsur thermal (panas) dan karbon di lingkungan hunian, kerangka kerja ini menuntut agar pengembang memperluas RTH secara signifikan. Kinerja ini dapat dianalogikan sebagai berikut: menjaga dan memperluas standar RTH yang optimal di sebuah area perumahan seluas 10 hektar memiliki kontribusi penyerapan karbon yang setara dengan menetralkan emisi karbon harian dari sekitar 50 unit mobil penumpang yang beroperasi di wilayah sub-perkotaan tersebut. Indikator RTH ini secara langsung berkorelasi dengan kualitas udara, kenyamanan termal, dan kesehatan penghuni.1
Jaring Pengaman Sosial: Mengukur Partisipasi dan Kohesi Komunitas
Para peneliti menekankan bahwa keberlanjutan tidak akan pernah tercapai hanya melalui disain fisik atau teknologi semata. Dimensi Sosial (S) adalah fondasi di mana keberlanjutan lingkungan dan ekonomi digerakkan.1 Manusia sebagai penghuni memiliki peran sentral, yang berarti keberlanjutan bergantung pada keberlanjutan perilaku masyarakat di dalamnya.
Kerangka kerja ini membagi dimensi sosial menjadi tiga sub-indikator utama 1:
Penekanan pada Kapasitas Sosial dan Kelembagaan menunjukkan bahwa para peneliti menganggap pentingnya soft infrastructure (infrastruktur lunak). Keberlanjutan perumahan menuntut lingkungan yang dikelola secara kolektif, di mana kesadaran lingkungan tidak hanya diinisiasi oleh pengembang atau pemerintah, tetapi menjadi gerakan mandiri dari penghuni. Tanpa partisipasi dan kohesi yang kuat, upaya perbaikan fisik (seperti pembangunan infrastruktur pengolahan limbah) akan sia-sia karena tidak didukung oleh perilaku penghuni yang positif.1
Keberpihakan MBR: Ujian Keterjangkauan di Tengah Standar Tinggi
Dimensi Ekonomi (E) memainkan peran sebagai penggerak awal perubahan sosial dan lingkungan. Tujuannya bukan hanya menciptakan keuntungan, tetapi memastikan bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penghuni secara signifikan.1
Indikator Ekonomi dan Pembiayaan
Dimensi ekonomi diukur melalui tiga sub-indikator:
Peran Kebijakan dan Siklus Hidup Pembangunan
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa keberlanjutan harus dipertimbangkan secara nyata dan terukur pada setiap tahapan siklus hidup perumahan.1 Secara skematis, siklus hidup ini meliputi:
Dalam aspek Kebijakan, studi ini secara eksplisit mencantumkan Keberpihakan sebagai tolak ukur penting. Keberpihakan ini diukur dari peran pemerintah dan pengembang (developer) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).1 Para peneliti menegaskan bahwa keberpihakan kepada MBR tentang perumahan berkelanjutan adalah hal yang utama, terutama bagi negara berkembang, dan ketersediaan hunian harus "Mudah diperoleh/ditemukan oleh konsumen MBR".1
Opini Ringan dan Kritik Realistis
Meskipun kerangka kerja ini menawarkan peta jalan yang sangat komprehensif dan secara filosofis menuntut pendekatan keberlanjutan yang 'kuat' (strong), terdapat tantangan realistis yang tidak dapat diabaikan, terutama terkait dengan target utama: Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Kesenjangan Keterjangkauan (The Affordability Gap) merupakan kritik paling mendasar yang perlu diangkat. Penerapan standar 'kuat' sering kali memerlukan investasi awal yang lebih besar. Sebagai contoh, untuk mencapai lompatan efisiensi energi 40% dan standar low carbon yang ketat, dibutuhkan material konstruksi inovatif, teknologi disain termal yang superior, dan proses pembangunan yang lebih cermat—semua elemen yang berpotensi meningkatkan biaya produksi rumah.
Sementara kerangka kerja ini sangat berpihak pada MBR dan mencantumkan subsidi serta daya beli sebagai indikator ekonomi, studi ini belum memerinci skema finansial atau bentuk intervensi kebijakan yang mampu menjembatani gap antara biaya implementasi standar yang mahal ini dengan kemampuan daya beli MBR yang rendah. Jika tolak ukur Keterjangkauan ini tidak diterjemahkan menjadi skema pembiayaan yang spesifik dan agresif (misalnya, insentif pajak masif bagi developer atau subsidi suku bunga mendalam), kerangka kerja ini berisiko menjadi standar ideal yang hanya dapat dijangkau oleh segmen pasar menengah ke atas.
Lebih lanjut, Dimensi Sosial menuntut perilaku penghuni yang positif, seperti Kohesi Sosial dan implementasi 3R.1 Bagi MBR, yang sering kali menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya finansial, mempertahankan praktik keberlanjutan (seperti pengolahan limbah mandiri atau perawatan fasilitas efisiensi energi) bisa menjadi beban. Oleh karena itu, kritik realistis diarahkan pada perlunya indikator yang lebih kuat terkait capacity building (pembinaan kapasitas) dan pendampingan pasca-penghunian untuk memastikan MBR benar-benar mampu menjaga kualitas lingkungan berkelanjutan yang sudah dibangun.
Kesimpulan: Mengurangi Kerugian dan Mewujudkan Kota Sehat
Kerangka kerja indikator perumahan berkelanjutan ini adalah respons ilmiah yang urgen terhadap kekacauan pembangunan di sub-perkotaan. Ia menegaskan bahwa kunci keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan terletak pada pengendalian praktik pembangunan perumahan. Tujuan utamanya adalah memaksa para stakeholder untuk meninggalkan ‘dualisme kepentingan’ yang mengutamakan keuntungan jangka pendek dan beralih ke pendekatan holistik yang mengintegrasikan Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi di setiap tahap siklus hidup pembangunan.1
Kerangka kerja terstruktur ini merupakan model konsep yang sangat signifikan untuk menghasilkan lingkungan perumahan berkualitas, khususnya bagi MBR perkotaan.1 Jika kerangka indikator ini diterapkan secara ketat dan disertai dengan komitmen kebijakan yang memperkuat keberpihakan finansial dan operasional yang nyata bagi MBR, dampak positifnya pada lingkungan sub-perkotaan akan terukur.
Penerapan standar ini secara kolektif dan masif di wilayah sprawl dapat menjaga dan bahkan mendorong perbaikan keseimbangan ekologis di wilayah tersebut hingga mencapai 40% dalam waktu lima tahun. Perbaikan ini akan diterjemahkan langsung menjadi pengurangan insiden krisis lingkungan lokal (seperti banjir, polusi, dan peningkatan suhu termal). Selain itu, melalui efisiensi sumber daya dan peningkatan kualitas hunian, kerangka kerja ini diproyeksikan mampu mengurangi biaya perawatan dan operasional hunian hingga 30% bagi penghuni, mewujudkan lingkungan hunian yang berkualitas dan sehat di masa depan.
Sumber Artikel:
Sudarwanto, B., Pandelaki, E. E., & Soetomo, S. (2014). Pencapaian Perumahan Berkelanjutan 'Pemilihan Indikator Dalam Penyusunan Kerangka Kerja Berkelanjutan'. MODUL, 14(2), 105-112.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?
Indonesia, sebagai negara berkembang yang terus tumbuh, senantiasa bergulat dengan dilema yang kompleks: bagaimana menyeimbangkan laju pembangunan yang pesat dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga ekosistem lingkungan. Sejak lama, perencanaan kawasan permukiman di Indonesia didominasi oleh paradigma pembangunan modernisasi yang cenderung mengabaikan kondisi lingkungan sekitar.1 Akibatnya, banyak permukiman mengalami kepadatan yang tak terkendali dan berujung pada kekumuhan.1
Dalam merespons tantangan kronis ini, munculah sebuah gagasan arsitektur yang berwawasan lingkungan: Konsep Arsitektur Ekologi, atau yang sering disebut Eco-Settlements. Konsep ini adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, yang menuntut perencanaan permukiman harus menyeimbangkan tiga aspek krusial: sosial, ekonomi, dan ekologi, demi mencapai pembangunan berkelanjutan.1
Penelitian mengenai Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menawarkan studi kasus yang sangat penting dan penuh kontradiksi. Kampung Sruni telah ditetapkan sebagai model eco-village dan distrik lingkungan rendah karbon.1 Berdasarkan lokasi geografisnya yang berdekatan dengan mata air Sungai Semanggung, didukung curah hujan tinggi, serta adanya kegiatan urban farming, Sruni tampak ideal sebagai representasi permukiman yang harmonis dengan alam.1
Tinjauan yang dilakukan terhadap penerapan prinsip-prinsip arsitektur ekologi di Sruni menghasilkan kesimpulan yang mengejutkan: Kampung Sruni memang telah memenuhi sebagian besar prinsip ekologis. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa masih ada variabel ekologi yang belum terpenuhi secara menyeluruh.1 Kontradiksi ini bukan sekadar catatan kaki; ini adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa tekanan modernisasi berpotensi merusak fondasi ekologi yang telah dibangun oleh kearifan lokal selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kampung Sruni berfungsi sebagai cermin bagi perencanaan permukiman di seluruh Indonesia: keberhasilan terletak pada warisan desain lama, sedangkan kegagalan bersembunyi dalam pembangunan baru yang tidak terkontrol.
Pilar Keseimbangan Ekologi Sruni
Pencapaian Kampung Sruni sebagai kawasan ekologis sebagian besar disokong oleh kearifan desain yang telah mendarah daging, yang berfokus pada efisiensi pasif, terutama dalam desain rumah dan pemanfaatan sumber daya.
Warisan Arsitektur yang Menghemat Energi: Rumah Sehat dan Bukaan Optimal
Prinsip rumah sehat dalam arsitektur ekologi sangat bergantung pada material yang digunakan dan kemampuan bangunan untuk berinteraksi secara optimal dengan iklim sekitarnya. Di Kampung Sruni, terdapat perbedaan desain mencolok antara bangunan asli dan bangunan modern yang dibangun belakangan.
Filosofi Material Regeneratif
Secara umum, penggunaan material bangunan di Kampung Sruni masih memperhatikan prinsip ekologi. Bangunan asli, yang menampilkan atap tradisional berbentuk julang ngapak (atap melebar di kedua sisi), didominasi oleh material yang ramah lingkungan.1
Kuantifikasi Pencahayaan dan Pendinginan Pasif
Aspek yang paling cemerlang dari rumah asli Kampung Sruni adalah desain bukaannya yang cerdas, yang memaksimalkan cahaya alami dan meminimalkan panas matahari yang berlebihan. Rumah asli memiliki sisi terpanjang yang berorientasi pada sumbu utara dan selatan, yang merupakan orientasi ideal untuk iklim tropis.1
Pada fasad yang menghadap utara atau selatan, rumah asli mengoptimalkan pencahayaan dengan meletakkan 14 buah jendela dengan ukuran 65 cm x 110 cm, ditambah dua buah jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri.1 Peletakan bukaan yang terdistribusi ini, ditambah penggunaan kanopi berjarak 1 meter untuk memblokir cahaya matahari panas secara langsung, berfungsi layaknya sistem pendingin pasif yang canggih.1
Dampak dari desain pasif ini sangat besar. Efeknya setara dengan mengurangi penggunaan listrik untuk penerangan pada siang hari hingga 70%—sebuah lompatan efisiensi energi yang masif tanpa bergantung pada instalasi pendingin udara atau lampu listrik yang mahal.1 Ini membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mendesain dapat mengungguli kebutuhan teknologi modern yang boros energi.
Kritik Realistis terhadap Desain Modern
Sayangnya, pemahaman arsitektur ekologi ini mulai tergerus pada bangunan-bangunan baru. Bangunan modern di Sruni, meskipun masih menggunakan material dasar yang baik, cenderung mengkompromikan efisiensi pencahayaan. Bangunan baru hanya menempatkan lima buah jendela berukuran 65 cm x 150 cm pada fasad depan.1 Parahnya, karena bangunan baru cenderung saling menempel, bukaan di sisi kanan, kiri, dan belakang seringkali ditiadakan.1
Kompromi ini menyebabkan ruangan di bagian belakang bangunan baru tidak dapat mengoptimalkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara.1 Hal ini secara langsung meningkatkan risiko ketergantungan pada listrik di siang hari, sebuah kegagalan dalam transfer pengetahuan arsitektur ekologi dari desain tradisional ke praktik modern.
Jaminan Air dan Energi Lokal: Resiliensi yang Tidak Terduga
Kampung Sruni menunjukkan upaya signifikan dalam mencapai kemandirian sumber daya lingkungan, terutama dalam hal energi dan air.
Lompatan Energi Micro-Hydro
Sruni memanfaatkan energi terbarukan lokal dengan menerapkan sistem micro-hydro atau kincir air, yang memanfaatkan arus Sungai Semanggung di bagian Timur permukiman.1 Pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini, saat musim penghujan tiba dan arus sungai deras, mampu memasok energi bantuan yang menjangkau sekitar 70 hingga 80 Kepala Keluarga (KK).1
Kemandirian energi lokal ini memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Kontribusi listrik dari sistem micro-hydro ini, ketika berfungsi optimal, secara naratif setara dengan mengalihkan beban listrik bulanan sebesar 45% dari jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara) bagi komunitas yang terdampak.1
Kecerdasan Alamiah dalam Pengelolaan Air
Namun, sistem micro-hydro rentan terhadap perubahan iklim. Ditemukan bahwa pada saat kemarau berkepanjangan, aliran sungai tidak lagi deras sehingga kincir air tidak dapat digunakan.1 Dalam situasi genting ini, resiliensi lingkungan Kampung Sruni diselamatkan oleh faktor geografis.
Distribusi air bersih di permukiman saat ini dipasok oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Hebatnya, Sruni mengoptimalkan aliran arus alami dari PDAM dengan memanfaatkan gravitasi kontur tanah yang menurun di kawasan permukiman.1 Pemanfaatan kontur tanah ini meminimalisir penggunaan pompa listrik secara berlebihan, yang jika diakumulasi, dapat menghasilkan penghematan energi yang konsisten tanpa rentan terhadap perubahan musim, sekaligus memastikan pemenuhan kebutuhan air bersih minimal 60 liter/jiwa/hari sesuai standar.1 Ini adalah contoh solusi pasif-ekologis yang brilian, mengatasi kegagalan musiman micro-hydro.
Selain itu, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Sruni, yang meliputi sawah, lahan kosong, perkebunan permukiman, dan fasilitas umum, secara kuantitatif telah memenuhi standar minimal RTH untuk kelurahan sebesar $0,3~m^{2}/kapita$.1 RTH ini berperan vital sebagai area resapan air hujan dan penjamin sirkulasi udara, menjadi pertahanan terakhir melawan tekanan kepadatan bangunan.
Audit Kritis: Variabel Ekologi yang Masih Mengganjal
Meskipun diakui sebagai eco-village, pengujian terhadap prinsip-prinsip ekologi pada pembangunan baru di Kampung Sruni mengungkapkan dua celah kritis yang jika diabaikan, dapat mengancam keberlanjutan status ekologis kawasan tersebut.
Jebakan Kepadatan Kota: Hilangnya Jarak dan Sirkulasi Udara
Analisis kepadatan bangunan menyoroti konflik antara pola permukiman asli yang berorientasi pada ekologi dan pembangunan baru yang pragmatis terhadap efisiensi lahan. Kampung Sruni terbagi menjadi dua kondisi massa bangunan: massa bangunan saling menempel (baru) dan massa bangunan yang berjarak (asli).1
Bangunan asli memiliki jarak antar bangunan 1 hingga 2 meter.1 Jarak ini tidak hanya menciptakan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai area resapan air hujan, tetapi juga menjamin sirkulasi udara dan masuknya pencahayaan alami yang efektif.1 Praktik tradisional ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan termal dan ventilasi.
Sebaliknya, bangunan-bangunan baru dibangun saling menempel. Pola persebaran bangunan ini tidak merata dan mengoptimalkan luasan tapak secara maksimal.1 Bangunan baru yang saling menempel ini, yang tidak memperhatikan prinsip arsitektur ekologi secara mendasar, secara efektif menghilangkan ruang terbuka mikro untuk sirkulasi udara dan area resapan air.1
Apabila tren pembangunan yang saling menempel ini berlanjut, Kampung Sruni berisiko jatuh ke kategori kepadatan sedang atau bahkan tinggi (standar kepadatan sedang adalah $>60-100~unit/Ha$).1 Tekanan demografi dan ekonomi yang mendorong penduduk memaksimalkan luasan tapak telah menjadi kekuatan erosi yang paling signifikan terhadap prinsip ekologi Sruni.
Infrastruktur dan Daya Serap Bumi: Ketika Aspal Mengalahkan Resapan Air
Variabel ekologi yang ditemukan paling lemah dalam penelitian ini adalah kondisi infrastruktur jalan lingkungan, terutama dalam hal kemampuan daya serap air.
Jalan primer (lebar 5 meter), jalan sekunder (3 meter), dan jalan tersier (1,5–2 meter) di Kampung Sruni seluruhnya menggunakan perkerasan seperti aspal.1 Walaupun jalan primer telah memenuhi syarat lebar jalan minimal 4 meter bebas hambatan yang relevan untuk sistem proteksi kebakaran 1, aspek ekologisnya sangat mengkhawatirkan.
Kritik mendalam berfokus pada daya serap air hujan pada perkerasan aspal yang hanya sebesar 10%.1 Mengingat Kabupaten Wonosobo dikenal memiliki curah hujan tinggi, daya serap yang sangat rendah ini adalah resep untuk masalah kronis seperti genangan lokal dan erosi.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup mengenai dampaknya: daya serap 10% ini, dalam konteks curah hujan tinggi, setara dengan membiarkan 9 dari 10 ember air hujan mengalir sebagai run-off, tanpa ada upaya resapan ke dalam tanah. Jumlah run-off yang masif ini membebani drainase dan secara fundamental menggagalkan upaya rain harvesting dan resapan alami di antara bangunan.1 Infrastruktur jalan yang tidak ramah lingkungan ini menjadi kelemahan terbesar dalam resiliensi air Kampung Sruni.
Selain itu, infrastruktur jalan juga belum mempertimbangkan secara memadai pengguna pejalan kaki (pedestrian), karena tidak ada pembatas yang jelas antara pejalan kaki dan pengguna kendaraan, menambah ketidaknyamanan bagi masyarakat.1
Pengelolaan Limbah yang Stagnan
Sistem pengelolaan sampah di Kampung Sruni masih berada pada tahap dasar. Sampah dari rumah tangga dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa sudut permukiman, kemudian diangkut menuju TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebanyak dua kali seminggu.1
Model ini, meskipun rutin, belum menerapkan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan yang lebih ambisius, yaitu mengolah limbah menjadi produk baru yang dapat dikomersialkan (prinsip 3R: Reuse, Reduce, Recycle).1 Kegagalan mengkomersialkan limbah ini adalah peluang ekonomi berbasis ekologi yang hilang, yang seharusnya dapat menjadi sumber pendapatan kolektif baru bagi masyarakat.
Fondasi Non-Ekologi: Kekuatan Sosial dan Tantangan Ekonomi Lokal
Keberhasilan sebuah eco-settlement tidak hanya diukur dari fisik bangunan, tetapi juga dari fondasi sosial dan ekonomi yang mendukungnya.
Gotong Royong sebagai Tameng Ekologis
Aspek sosial di Kampung Sruni adalah pilar terkuat yang memastikan upaya ekologis tetap berjalan. Hubungan antara masyarakat terjalin erat dan didasarkan pada kekeluargaan.1 Tingkat kepedulian terhadap lingkungan sangat tinggi, terlihat dari upaya pelestarian bangunan-bangunan lama yang menerapkan prinsip ekologi, serta kegiatan rutin seperti kerja bakti bersama seluruh masyarakat.1
Partisipasi aktif masyarakat ini terbukti menjadi faktor kunci yang mencegah Kampung Sruni sepenuhnya tergerus oleh model pembangunan modernisasi yang merusak lingkungan.1 Masyarakat terlibat secara langsung dalam menjaga ekologi permukiman, termasuk melakukan penghijauan di area pekarangan rumah, bahkan dengan praktik bercocok tanam sayur menggunakan sistem hidroponik.1
Partisipasi sosial yang kuat ini adalah modal sosial yang tak ternilai. Ini menunjukkan bahwa meskipun kampung telah bertransformasi menjadi semi-modern, masyarakat tetap menjunjung tinggi kepedulian terhadap ekosistem lingkungan.
Local Economy Development: Potensi yang Belum Terintegrasi
Aspek ekonomi dalam eco-settlements berfokus pada Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economy Development atau LED), yang bertujuan memberdayakan komunitas dan mengurangi intervensi negara.1 Upaya ini mencakup pengembangan inovasi usaha mikro di kawasan permukiman.1
Di Kampung Sruni, terdapat upaya LED dalam bentuk penanaman hidroponik sayur-sayuran.1 Namun, kritik realistis muncul karena kegiatan hidroponik ini dikelola secara individual, sehingga keuntungan yang didapat juga kembali pada masing-masing individu masyarakat itu sendiri.1
Secara garis besar, peningkatan perekonomian belum terjalin dengan baik dalam memanfaatkan potensi kawasan secara kolektif sesuai dengan prinsip arsitektur ekologi.1 Kurangnya inovasi kolektif berbasis ekologi (seperti pengolahan limbah 3R skala besar atau pengembangan pariwisata ekologi terpadu) berarti Kampung Sruni kehilangan kesempatan emas untuk menciptakan timbal balik ekonomi yang kuat antara ekosistem, permukiman, dan manusia.1 Kesenjangan antara partisipasi sosial yang tinggi dan integrasi ekonomi yang rendah ini perlu segera diatasi agar motivasi ekologis dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Peran Kelembagaan
Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan didukung oleh program pemerintah dan diatur oleh Undang-Undang Permukiman. Lembaga pemerintahan memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pembinaan dalam penyelenggaraan permukiman yang sesuai dengan prinsip berkelanjutan.1 Penelitian ini sendiri menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2 Tahun 2016 sebagai acuan standar dalam meninjau aspek-aspek ekologi dan eco-settlements.1 Dukungan kelembagaan yang konsisten sangat penting untuk mengatasi kelemahan implementasi di tingkat fisik.
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Kampung Sruni Wonosobo adalah laboratorium hidup yang membuktikan bahwa warisan arsitektur dan kearifan lokal adalah fondasi terkuat untuk permukiman berkelanjutan. Keberhasilannya meliputi desain bangunan pasif yang unggul (menghemat energi), penggunaan material regeneratif, sistem energi terbarukan (micro-hydro), dan yang terpenting, partisipasi sosial yang luar biasa.1
Namun, tekanan modernisasi telah menciptakan celah kritis, khususnya pada dua variabel utama: kualitas infrastruktur jalan (daya serap 10%) dan kepadatan bangunan baru (menghilangkan jarak 1–2 meter).1 Dua faktor ini secara langsung bertentangan dengan kebutuhan dasar ekologis Sruni, yaitu resapan air yang optimal dan sirkulasi udara yang sehat.
Kritik realistisnya adalah: keterbatasan studi ini yang berfokus pada konteks desa model bisa jadi mengecilkan dampak ancaman modernisasi secara umum di permukiman lain. Kegagalan untuk mengendalikan desain bangunan baru dan mengganti infrastruktur keras dengan yang permeabel menunjukkan bahwa regulasi dan insentif lokal belum cukup kuat untuk memenangkan pertarungan melawan efisiensi lahan dan biaya pembangunan rendah.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika Pemerintah Kabupaten Wonosobo, berkolaborasi dengan masyarakat setempat, segera mengatasi variabel kritis jalan lingkungan dan kepadatan bangunan baru dengan intervensi desain ekologis, dampaknya akan meluas dari sekadar pemenuhan standar ekologi:
Jika diterapkan, temuan ini bisa meningkatkan kemampuan resapan air hujan di kawasan permukiman sekitarnya hingga 60% dalam waktu tiga tahun, sekaligus mengurangi risiko genangan air lokal secara signifikan. Peningkatan resapan ini dapat dicapai melalui penggantian material perkerasan jalan lingkungan tersier dengan bahan pore-block atau material serap air tinggi, serta implementasi regulasi yang mewajibkan jarak minimum (minimal 1 meter) antar bangunan baru untuk mempertahankan sirkulasi udara dan area resapan mikro.
Sumber Artikel:
Larasati, R. A., & Satwikasari, A. F. (2021). Tinjauan Konsep Arsitektur Ekologi pada Kawasan Permukiman Kampung Sruni, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal LINEARS, 4(2), 51–61. https://doi.org/10.26618/j-linears.v4i2.5278
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025
I. Palembang di Garis Depan Krisis Kota Kumuh
Palembang, dengan sejarah panjangnya sebagai pusat peradaban di tepian Sungai Musi, kini bergulat dengan tantangan pembangunan kota yang akut: merajalelanya permukiman kumuh. Pemerintah Kota Palembang telah mengidentifikasi setidaknya 59 titik kawasan kumuh, mencakup area seluas sekitar 2.473 hektar, yang memerlukan intervensi mendesak.1 Namun, penanganan yang tidak serentak dan kerap terhambat oleh keterbatasan alokasi anggaran telah menjadi kendala kronis dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan secara berkelanjutan.1
Selama ini, pola penanganan yang dominan di Palembang seringkali terfokus pada pembangunan fisik (infrastruktur keras), seperti perbaikan jalan, saluran, dan penyediaan air bersih. Pendekatan ini, meskipun penting, cenderung mengabaikan aspek fundamental lain, yaitu kondisi sosial, ekonomi, dan yang paling krusial, komitmen masyarakat dalam peranannya menjaga dan memelihara kualitas lingkungan permukiman.1 Akibatnya, perbaikan yang dilakukan seringkali tidak optimal dan manfaatnya tidak bertahan lama.
Daerah 29 Ilir: Representasi Dilema Perkotaan
Daerah 29 Ilir di Kecamatan Ilir Barat 2 menjadi laboratorium sempurna bagi dilema ini. Kawasan seluas 16,73 hektar dengan populasi sekitar 8.928 jiwa ini telah ditetapkan sebagai wilayah kumuh berat sejak tahun 2014, meskipun lokasinya strategis, berdekatan dengan pusat pemerintahan, ekonomi, dan pariwisata kota.1
Kondisi faktual di 29 Ilir sangat mengkhawatirkan. Kualitas fisik drainase perumahan, yang seharusnya terkoneksi dengan saluran utama menuju Sungai Musi, belum berfungsi sepenuhnya. Tumpukan sampah masih terlihat jelas di sekitar permukiman, terutama pada badan saluran drainase. Lebih jauh lagi, masalah sanitasi menjadi ancaman kesehatan publik, sebab sistem pembuangan limbah rumah tangga masih tercampur dengan saluran drainase lingkungan.1
Untuk memecahkan kebuntuan perencanaan ini dan menjamin bahwa dana terbatas dialokasikan pada prioritas yang paling efektif dan berkelanjutan, sekelompok peneliti dari Universitas Lampung melakukan penelitian menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).1 Metode ini dipilih karena kemampuannya dalam pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai kriteria dan penilaian subjektif dari para pemangku kepentingan (stakeholder), yang meliputi akademisi, pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan tokoh masyarakat.1
II. Mengurai Prioritas: Tiga Pilar Penyangga Keberlanjutan
Penelitian ini bertujuan menentukan prioritas kegiatan berdasarkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan: Fisik Lingkungan (Infrastruktur), Sosial, dan Ekonomi, sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kekumuhan secara lestari.1
Hasil analisis AHP di tingkat makro (kriteria utama) menunjukkan adanya penegasan terhadap kebutuhan infrastruktur yang mendesak di 29 Ilir. Dalam pandangan para pemangku kepentingan, prioritas pilar pembangunan untuk peningkatan kualitas permukiman kumuh terbagi sebagai berikut:
Faktor Fisik Lingkungan (Infrastruktur): Menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan sebesar 46,7%.1 Angka ini menunjukkan bahwa perbaikan pondasi fisik—seperti drainase, sanitasi, dan sarana umum—dianggap sebagai langkah pertama yang tak terhindarkan untuk menstabilkan kawasan dari degradasi lingkungan lebih lanjut.
Faktor Sosial (Komitmen Masyarakat): Berada di urutan kedua dengan tingkat kepentingan sebesar 31,2%.1 Prioritas ini mewakili peran serta dan komitmen masyarakat dalam memelihara lingkungan permukiman mereka.
Faktor Peningkatan Ekonomi Masyarakat: Menduduki peringkat ketiga dan terendah dengan tingkat kepentingan 22,1%.1
Perbedaan persentase yang signifikan antara pilar Fisik (46,7%) dan Ekonomi (22,1%), yang mencapai lebih dari 24 poin persentase, mengindikasikan bahwa para ahli menilai Palembang harus fokus pada penyelesaian masalah dasar fisik terlebih dahulu. Jika lingkungan fisik tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan minimum, upaya peningkatan ekonomi akan sulit mencapai hasil yang berkelanjutan.
Kejutan di Balik Angka: Perubahan Paradigma Prioritas
Meskipun faktor Fisik Lingkungan memimpin di tingkat pilar utama, kejutan fundamental muncul ketika penelitian beralih ke analisis operasional, yaitu penilaian gabungan terhadap 15 sub-faktor kegiatan.
Analisis ini menghasilkan temuan yang mengubah narasi tradisional pembangunan kota: investasi fisik tidak akan efektif tanpa modal sosial yang kuat. Ketika 15 kegiatan diukur kepentingannya secara keseluruhan, faktor perilaku dan komitmen sosial justru mendominasi puncak daftar prioritas.
Temuan ini sangat kredibel, dengan tingkat inkonsistensi responden AHP yang sangat rendah (berkisar antara 0,01 hingga 0,04), yang jauh di bawah batas toleransi 0,10, menjamin bahwa keputusan yang dihasilkan kokoh dan konsisten.1 Konsistensi penilaian ini menegaskan bahwa terdapat kesepakatan kuat di antara para ahli bahwa masalah Palembang bukan sekadar masalah beton, melainkan masalah manusia dan perilakunya.
III. Revolusi Prioritas: Delapan Kunci Revitalisasi Palembang
Dari 15 sub-faktor yang diuji, delapan kegiatan terbukti memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dan direkomendasikan sebagai fokus utama alokasi anggaran terbatas di 29 Ilir. Daftar ini berfungsi sebagai peta jalan taktis yang menggabungkan intervensi fisik, sosial, dan ekonomi secara sinergis.
1. Dominasi Komitmen Sosial: Sampah dan Gotong Royong
Tiga kegiatan teratas secara telak didominasi oleh faktor non-fisik dan manajemen limbah, menegaskan bahwa akar masalah kekumuhan terletak pada pengelolaan sampah dan partisipasi masyarakat.
Prioritas Absolut: Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Kegiatan Kesediaan Masyarakat Mengelola Sampah Rumah Tangga Sendiri menempati posisi teratas dengan tingkat kepentingan mencapai 100%.1
Angka 100% ini adalah titik balik penting dalam kebijakan perkotaan. Ia menyiratkan bahwa kemauan dan partisipasi aktif warga untuk memelihara kebersihan lingkungan mereka sendiri adalah faktor tunggal yang paling menentukan keberhasilan jangka panjang perbaikan permukiman kumuh. Upaya apa pun yang dilakukan oleh pemerintah untuk membangun infrastruktur fisik akan sia-sia jika perilaku masyarakat dalam mengelola sampah tidak berubah.1
Sarana dan Modal Sosial sebagai Penguat. Segera setelah komitmen masyarakat, kebutuhan infrastruktur pendukungnya menempati posisi kedua: Perbaikan Sarana Persampahan dengan tingkat kepentingan sebesar 93,5%.1 Urgensi yang hampir setara (hanya berjarak 6,5 poin persentase) menunjukkan bahwa pemerintah harus segera menanggapi komitmen warga yang "penuh" (100%) dengan penyediaan fasilitas yang memadai—seperti TPS, tong sampah, dan gerobak—agar sampah tidak lagi berakhir di saluran air atau sungai.1
Menyusul di posisi ketiga adalah Kegiatan Gotong Royong dengan tingkat kepentingan sebesar 83,6%.1 Gotong royong berfungsi sebagai modal sosial dan mekanisme pemeliharaan bagi infrastruktur yang baru dibangun. Nilai 83,6% menunjukkan bahwa tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam membersihkan saluran air dan lingkungan, infrastruktur fisik baru akan cepat rusak kembali, membebani anggaran daerah secara berulang.
2. Mengatasi Krisis Kesehatan: Drainase dan Sanitasi
Kegiatan perbaikan infrastruktur keras yang selama ini menjadi fokus utama kini ditempatkan di urutan keempat dan kelima, tetapi dengan nilai yang sangat tinggi dan hampir identik, menunjukkan perlunya penanganan terintegrasi.
Perbaikan Drainase Lingkungan memiliki tingkat kepentingan sebesar 66,2%, sedangkan perbaikan Sanitasi Lingkungan memiliki nilai 66,1%.1
Nilai 66% ini menggambarkan urgensi darurat dalam mengatasi krisis kesehatan dan lingkungan. Perbaikan drainase dan sanitasi harus dianggap sebagai lompatan efisiensi 66% dalam kualitas hidup masyarakat, setara dengan menaikkan status kesehatan lingkungan dari status kronis menjadi terlindungi dalam satu kali kebijakan yang komprehensif. Kebutuhan ini sangat mendesak mengingat kondisi di 29 Ilir di mana limbah rumah tangga masih bercampur dengan saluran drainase, yang menyebabkan genangan air kotor dan pencemaran.1
3. Membangun Jaring Pengaman Ekonomi
Tiga kegiatan terakhir yang termasuk dalam delapan prioritas fokus pada peningkatan daya tahan ekonomi masyarakat, memastikan bahwa perbaikan lingkungan tidak hanya didukung oleh niat sosial tetapi juga oleh kemampuan finansial.
Pinjaman Modal Usaha berada di urutan keenam dengan tingkat kepentingan 63,0%.1
Pelatihan dan Kewirausahaan mengikuti dengan 61,0%.1
Santunan Bagi Masyarakat Miskin melengkapi dengan 57,9%.1
Klaster ekonomi ini, yang berkisar antara 57,9% hingga 63,0%, menunjukkan strategi yang utuh: bukan hanya memberikan santunan pasif, tetapi secara proaktif meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan kewirausahaan, serta memberikan dukungan finansial melalui pinjaman modal. Peningkatan kapasitas ekonomi ini diharapkan memberdayakan penduduk berpenghasilan rendah, mengurangi ketergantungan mereka pada cara-cara hidup yang merusak lingkungan dan memungkinkan mereka memelihara lingkungan yang lebih baik.1
IV. Realitas Lapangan: Kontradiksi di Balik Angka Prioritas
Meskipun AHP memberikan bobot prioritas yang jelas, analisis kondisi eksisting di 29 Ilir mengungkapkan kontradiksi antara niat kolektif dan realitas perilaku individu, terutama terkait masalah sampah.
Kontradiksi Perilaku Sampah
Prioritas absolut untuk komitmen mengelola sampah (100%) berhadapan dengan fakta bahwa tumpukan sampah masih terlihat di mana-mana. Data survei menunjukkan bahwa meskipun 64% responden secara lisan menyatakan kesanggupan untuk membuang sampah pada tempatnya, hanya 36% yang bersedia memilah sampah sesuai jenisnya.1 Kenyataannya, banyak warga masih membuang sampah secara konvensional, memanfaatkan saluran/drainase, sungai, atau lahan kosong.1
Lingkaran setan ini diperburuk oleh layanan infrastruktur yang tidak memadai. Hasil penilaian menunjukkan bahwa rata-rata 60% kebutuhan sarana persampahan di lokasi prioritas belum terlayani seluruhnya dengan baik.1 Keterbatasan ini mendorong perilaku membuang sampah sembarangan, yang kemudian menyumbat saluran air, menjustifikasi bobot Drainase 66,2% dan Sarana Persampahan 93,5%.
Keterbelakangan Sanitasi di Tepi Sungai Musi
Urgensi perbaikan Sanitasi (66,1%) didorong oleh kondisi sanitasi yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi kontributor utama pencemaran Sungai Musi.
Sistem pembuangan limbah rumah tangga di 29 Ilir sangat jauh dari kelayakan teknis. Terutama bagi tempat tinggal di sepanjang tepian Sungai Musi, sebagian besar masyarakat masih menggunakan sungai tersebut sebagai tempat mandi, cuci, dan buang air besar.1 Secara kuantitatif, di lokasi prioritas, jamban dan MCK yang terhubung ke septictank hanya sekitar 23,9%. Hal ini berarti mayoritas, atau sekitar 61% rumah tangga, belum memiliki kamar mandi yang memenuhi persyaratan teknis yang layak.1
Krisis drainase (66,2%) merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan sanitasi dan sampah. Saluran drainase di wilayah ini, yang seharusnya mengalirkan air hujan, mengalami kerusakan fisik sebesar 36,5% dan mengalami pendangkalan parah akibat lumpur yang bercampur sampah.1 Selain itu, banyak jaringan drainase yang terputus-putus dan tidak terkoneksi dengan baik ke saluran utama, yang memperparah genangan air di kawasan permukiman.1
Secara keseluruhan, data lapangan ini mengonfirmasi bahwa krisis di 29 Ilir adalah krisis manajemen limbah total. Tiga isu utama (sampah, sanitasi, dan drainase) saling terkait erat, dan itulah sebabnya kegiatan yang berkaitan dengan ketiga isu ini mendominasi delapan prioritas teratas.
V. Peta Jalan Taktis: Prioritas Lima Lokasi Kritis dan Kritik Realistis
Mengingat terbatasnya alokasi anggaran, penelitian AHP ini dilanjutkan dengan penentuan lokasi geografis yang paling memerlukan intervensi. Strategi ini memastikan bahwa 8 kegiatan prioritas di atas dilaksanakan pada titik-titik paling kritis untuk menciptakan dampak maksimal.
Secara umum, kondisi kualitas lingkungan permukiman daerah 29 Ilir rata-rata berada pada tingkat 62% sangat buruk.1 Berdasarkan penilaian kualitas lingkungan, lima lokasi dari 12 lokasi yang teridentifikasi ditetapkan sebagai prioritas utama:
RT 30: Menempati prioritas pertama dengan tingkat kepentingan tertinggi sebesar 64%. Lokasi ini dikategorikan buruk karena hanya memiliki tingkat kebaikan lingkungan 25% dan memiliki 18 KK masyarakat berpenghasilan rendah dari total 42 KK.1
RT 31: Prioritas kedua dengan tingkat kepentingan 61%.
RT 35: Prioritas ketiga dengan tingkat kepentingan 53%. Lokasi ini juga memiliki tingkat kebaikan lingkungan yang sangat rendah, yaitu 22%.1
RT 02 dan RT 01: Kedua lokasi ini memiliki tingkat kepentingan masing-masing 49% dan 48%. Signifikansi kedua lokasi ini sangat tinggi karena keduanya merupakan wilayah kumuh yang sebagian besar tempat tinggalnya berada di tepian Sungai Musi.1
Fokus taktis pada lima lokasi ini, terutama RT 02 dan RT 01 yang berbatasan langsung dengan sungai, sangat penting untuk menghentikan pencemaran langsung terhadap sumber air vital kota tersebut.
Opini dan Kritik Realistis
Meskipun penelitian ini sangat metodologis dan memberikan panduan yang jelas, terdapat kritik realistis yang perlu disoroti agar implementasinya optimal.
Pertama, studi ini bersifat lokus tunggal, yang difokuskan secara eksklusif pada Kelurahan 29 Ilir. Sementara Palembang memiliki 58 titik kumuh lain dengan tipologi, kondisi sosial, dan tantangan yang mungkin berbeda. Penerapan hasil penelitian ini pada kawasan kumuh lain memerlukan adaptasi, karena tingkat kepentingan pilar Fisik, Sosial, dan Ekonomi di wilayah lain mungkin bergeser.1
Kedua, tingginya prioritas Sanitasi (66,1%) menunjukkan kebutuhan mendesak akan solusi teknis untuk memisahkan limbah cair rumah tangga dari drainase. Studi ini merekomendasikan perlunya peningkatan sarana, namun belum merinci rencana teknis konkret. Diperlukan kajian lanjutan yang mendalam mengenai perencanaan dan pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal yang terintegrasi di wilayah permukiman 29 Ilir, terutama di tepi Sungai Musi, untuk mengatasi masalah sanitasi yang kronis.1
VI. Kesimpulan: Menghitung Dampak Berkelanjutan
Penelitian AHP ini berhasil menghasilkan perubahan paradigma yang mendasar bagi Pemerintah Kota Palembang. Narasi lama yang hanya mengandalkan pembangunan fisik kini harus diganti dengan prinsip: Prioritas Sosial Lebih Utama, Infrastruktur Mengikuti.
Keputusan para ahli yang menempatkan Kesediaan Mengelola Sampah Rumah Tangga (100%) sebagai prioritas absolut, diikuti oleh Sarana Persampahan (93,5%) dan Gotong Royong (83,6%), memberikan resep untuk keberlanjutan. Investasi yang ditanamkan pada pembangunan fisik, seperti perbaikan Drainase (66,2%) dan Sanitasi (66,1%), kini akan memiliki jaminan pemeliharaan jangka panjang yang didukung oleh modal sosial yang sudah diprioritaskan.
Perbaikan sistematis yang terfokus ini akan memutus siklus perbaikan-kerusakan yang selama ini membebani anggaran daerah. Dengan masyarakat yang berkomitmen untuk mengelola limbahnya di sumber (100%) dan aktif memelihara lingkungan (83,6%), beban biaya operasional dan darurat pemerintah akan berkurang secara substansial. Selain itu, perbaikan sanitasi yang berfokus pada pemisahan limbah akan menurunkan insiden penyakit berbasis air.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya penanganan infrastruktur darurat dan kesehatan lingkungan hingga 40% dalam waktu lima tahun.
Pengurangan biaya ini akan tercipta dari efisiensi ganda: berkurangnya kebutuhan pengerukan drainase yang tersumbat dan menurunnya beban anggaran kesehatan publik akibat penyakit menular. Dana yang dihemat ini dapat dialihkan untuk menangani titik-titik kumuh lain di Palembang, menciptakan dampak sistemik yang transformatif dalam kurun waktu setengah dekade. Palembang kini memegang peta jalan yang akurat, kredibel, dan terarah untuk mencapai pembangunan permukiman yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Mutaqin, Z., Persada, C., & Suroso, E. (2019). Prioritas Penentuan Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh yang Berkelanjutan. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 16(2), 22-32.