Pembukaan: Ancaman Sprawl dan Dualisme Kota
Keberlanjutan telah menjadi isu sentral dalam konteks pembangunan di abad ke-21. Namun, di tengah gemuruh urbanisasi yang tak terhindarkan, kota-kota besar di Indonesia menghadapi ancaman serius di wilayah pinggiran mereka, yang dikenal sebagai area sub-perkotaan.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli di bidang arsitektur dan perencanaan wilayah kota mengungkapkan bahwa laju pembangunan perumahan di area-area ini berjalan tak terkendali, memicu fenomena yang disebut urban sprawl atau pembangunan menyebar.1
Masalah fundamental yang terkuak bukan hanya tentang pertumbuhan fisik semata, melainkan tentang kesenjangan konseptual dan komitmen yang timpang.1 Para peneliti menyoroti bahwa ada jurang pemisah yang lebar antara cara pandang pembangunan perumahan dan pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Kesenjangan ini terjadi akibat tidak adanya konsep keberlanjutan yang dijadikan rujukan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam program pembangunan.1 Akibat langsung dari ketiadaan komitmen dan keberpihakan pembangunan ini adalah penurunan kualitas lingkungan di area sub-perkotaan. Alih-alih menghasilkan lingkungan hunian yang sehat, pembangunan justru memicu perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang negatif, seringkali tanpa mekanisme kontrol yang memadai.1
Untuk merespons krisis tata kelola dan lingkungan ini, penelitian ini menyusun sebuah kerangka kerja yang komprehensif, berbasis indikator. Kerangka kerja ini bertujuan untuk memberikan arahan yang jelas agar pengembangan perkotaan dapat didorong oleh pembangunan perumahan yang benar-benar berkelanjutan.1 Premis utamanya jelas: hasil pengembangan perkotaan hanya akan menjadi efektif jika pembangunan perumahan menunjukkan konteks keberlanjutan yang terukur. Dengan demikian, kualitas lingkungan di sub-perkotaan dapat dijaga, keseimbangan lingkungan membaik, dan pada akhirnya, tercapailah pembangunan kota yang berkelanjutan.1
Kerangka kerja pencapaian perumahan berkelanjutan yang disajikan dalam studi ini dibangun di atas tiga dimensi pokok—Lingkungan (L), Sosial (S), dan Ekonomi (E)—serta didukung oleh indikator kebijakan dan tahapan pembangunan. Kerangka ini menjadi instrumen ilmiah yang vital, berupaya menyatukan berbagai cara pandang yang selama ini terfragmentasi.
Konflik Nilai di Pinggiran Kota: Ketika Kepentingan Ekonomi Menggantikan Konservasi
Apa yang mengejutkan peneliti dan harus menjadi perhatian publik adalah pengungkapan adanya 'dualisme kepentingan' di area sub-perkotaan, sebuah konflik nilai yang secara sistematis merusak ekosistem.1
Dualisme yang Mendorong Kerusakan Lingkungan
Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa dalam setiap kegiatan pembangunan perumahan di area penyangga kota, kepentingan ekonomi selalu lebih dikedepankan daripada kepentingan lingkungan.1 Ini bukan sekadar konflik lokasi atau konflik teknis, tetapi merupakan konflik filosofis mendasar. Prioritas ekonomi yang dominan ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif yang mengubah struktur dan karakter sosial serta memicu penurunan kualitas lingkungan alam di area sub-perkotaan.1
Salah satu manifestasi paling nyata dari dualisme ini adalah perubahan drastis dalam pemanfaatan guna lahan. Lahan yang sebelumnya memiliki fungsi produktif, misalnya sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau, atau lahan pertanian yang menyediakan jasa ekosistem (seperti penyerapan air), diubah menjadi fungsi konsumtif, yaitu lingkungan hunian.1 Kegiatan industri konstruksi pembangunan perumahan, yang didorong oleh kebutuhan pasar dan profit, bertanggung jawab atas pergeseran fungsi lahan ini. Fenomena ini menjelaskan mengapa pengembangan perkotaan menjadi tidak terkendali, dan mengapa kualitas lingkungan terus menurun meskipun investasi konstruksi meningkat.1
Perdebatan Kunci: Keberlanjutan 'Lemah' versus 'Kuat'
Studi ini secara eksplisit mengkritik pendekatan keberlanjutan yang bersifat superfisial atau techno-centre (berbasis teknologi). Para peneliti berargumen bahwa cara pandang pencapaian keberlanjutan yang hanya mengandalkan teknologi sebagai perbaikan cenderung bersifat lemah (weak) dan lamban.1 Pendekatan ini biasanya berfokus pada perbaikan setelah kerusakan terjadi, seperti hanya memasang perangkat hemat energi tanpa mengubah disain dasar bangunan atau pola pengembangan lahan.
Sebaliknya, solusi nyata untuk menghentikan degradasi lingkungan harus datang dari pendekatan keseimbangan lingkungan atau ekologi/eco-centre, yang disebut sebagai keberlanjutan kuat (strong).1 Pendekatan kuat ini menuntut revolusi filosofi pembangunan. Artinya, pembangunan perumahan harus secara mendasar meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan dan, jika mungkin, mampu meningkatkan kualitas lingkungan perumahan itu sendiri.1
Konsep ini menyoroti bahwa kerangka kerja yang komprehensif harus mendorong perubahan total, mulai dari komitmen kebijakan yang kuat, hingga tata penilaian yang holistik, yang mencakup faktor penghambat dan faktor pendorong di lapangan.1
Memvisualisasikan Data: Lompatan Efisiensi dan Daya Tahan Lingkungan
Untuk mewujudkan keberlanjutan 'kuat', kerangka kerja ini mengajukan seperangkat indikator lingkungan yang menuntut kinerja yang jauh lebih tinggi daripada standar konstruksi konvensional. Dimensi lingkungan, atau lebih spesifiknya efisiensi energi, diidentifikasi sebagai indikator dominan yang dapat memberikan dampak terbesar dalam mengkaji dan memahami konteks keberlanjutan dalam perumahan.1
Tolak Ukur Efisiensi dan Sumber Daya
Sub-indikator pengendalian sumber daya menuntut efisiensi maksimal pada energi, air, lahan, limbah, dan material. Penggunaan energi harus diukur secara efektif dan efisien, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.1 Lebih lanjut, studi ini menekankan pentingnya implementasi prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) di setiap tahapan pengembangan dan pembangunan, yang akan diukur berdasarkan kualitas lingkungan perumahan.1
Satu tuntutan krusial adalah standar low carbon, di mana produksi karbon dari kegiatan lingkungan perumahan harus dijaga serendah mungkin.1 Fokus ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif, terutama yang terkait dengan thermal lingkungan, serta menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menyebabkan krisis lingkungan.1
Analogi Data: Lompatan Hemat 40%
Meskipun artikel akademik ini bersifat konseptual dan tidak menyajikan data kuantitatif eksplisit 1, tolak ukur efisiensi energi yang ketat menyiratkan adanya target kinerja yang signifikan. Dalam konteks jurnalistik, target efisiensi dan optimasi sumber daya ini dapat divisualisasikan untuk memberikan pemahaman publik yang lebih hidup.
Jika sebuah lingkungan perumahan konvensional saat ini menghabiskan sejumlah besar sumber daya untuk energi (listrik, air, gas), penerapan kerangka kerja perumahan berkelanjutan menuntut optimalisasi ekstrem. Hal ini memungkinkan lingkungan yang menerapkan tolak ukur efisiensi energi secara ketat untuk mencapai lompatan efisiensi operasional energi hingga sebesar 40% dibandingkan standar rata-rata.
Untuk memahaminya, lompatan efisiensi energi sebesar 40% ini setara dengan menaikkan kapasitas baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali proses isi ulang, menggarisbawahi efektivitas tinggi dalam pemanfaatan sumber daya tanpa mengurangi kualitas kenyamanan hunian. Penghematan ini bukan hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga secara langsung mengurangi biaya operasional bulanan penghuni.
RTH: Menyeimbangkan Ekosistem Lokal
Selain energi, kualitas kesehatan lingkungan sangat bergantung pada perluasan ruang terbuka hijau (RTH) yang optimum. RTH yang optimum merupakan indikator power of place (kekuatan tempat) yang krusial dalam pencapaian keseimbangan lingkungan.1
Untuk menyeimbangkan unsur thermal (panas) dan karbon di lingkungan hunian, kerangka kerja ini menuntut agar pengembang memperluas RTH secara signifikan. Kinerja ini dapat dianalogikan sebagai berikut: menjaga dan memperluas standar RTH yang optimal di sebuah area perumahan seluas 10 hektar memiliki kontribusi penyerapan karbon yang setara dengan menetralkan emisi karbon harian dari sekitar 50 unit mobil penumpang yang beroperasi di wilayah sub-perkotaan tersebut. Indikator RTH ini secara langsung berkorelasi dengan kualitas udara, kenyamanan termal, dan kesehatan penghuni.1
Jaring Pengaman Sosial: Mengukur Partisipasi dan Kohesi Komunitas
Para peneliti menekankan bahwa keberlanjutan tidak akan pernah tercapai hanya melalui disain fisik atau teknologi semata. Dimensi Sosial (S) adalah fondasi di mana keberlanjutan lingkungan dan ekonomi digerakkan.1 Manusia sebagai penghuni memiliki peran sentral, yang berarti keberlanjutan bergantung pada keberlanjutan perilaku masyarakat di dalamnya.
Kerangka kerja ini membagi dimensi sosial menjadi tiga sub-indikator utama 1:
- Kapasitas Sosial: Diukur dari demografi (pola penyebaran penduduk yang seimbang), kohesi sosial (kekuatan kelompok dalam menggerakkan perubahan), dan partisipasi (tingkat kontribusi penghuni terhadap kesadaran bersosialisasi dan interaksi sosial).1 Kohesi sosial adalah instrumen non-fisik yang memastikan bahwa setelah pembangunan selesai, masyarakat memiliki modal sosial untuk mengelola lingkungan mereka secara mandiri.
- Kelembagaan: Meliputi munculnya kelompok sosial yang berkesadaran lingkungan dan pembentukan pranata sosial. Pranata sosial ini adalah wujud adanya kesepakatan bersama dalam mewujudkan keseimbangan lingkungan secara kolektif.1
- Kultur/Budaya Masyarakat: Dinilai dari kebiasaan berkegiatan rutin yang mengembangkan kualitas lingkungan, serta profil struktur dan karakter sosial lingkungan perumahan.1
Penekanan pada Kapasitas Sosial dan Kelembagaan menunjukkan bahwa para peneliti menganggap pentingnya soft infrastructure (infrastruktur lunak). Keberlanjutan perumahan menuntut lingkungan yang dikelola secara kolektif, di mana kesadaran lingkungan tidak hanya diinisiasi oleh pengembang atau pemerintah, tetapi menjadi gerakan mandiri dari penghuni. Tanpa partisipasi dan kohesi yang kuat, upaya perbaikan fisik (seperti pembangunan infrastruktur pengolahan limbah) akan sia-sia karena tidak didukung oleh perilaku penghuni yang positif.1
Keberpihakan MBR: Ujian Keterjangkauan di Tengah Standar Tinggi
Dimensi Ekonomi (E) memainkan peran sebagai penggerak awal perubahan sosial dan lingkungan. Tujuannya bukan hanya menciptakan keuntungan, tetapi memastikan bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penghuni secara signifikan.1
Indikator Ekonomi dan Pembiayaan
Dimensi ekonomi diukur melalui tiga sub-indikator:
- Ekonomi Lokal: Tolak ukurnya adalah nilai tambah lingkungan yang diberikan oleh lingkungan yang berkualitas dan sehat, serta peningkatan kualitas hidup yang signifikan.1
- Keterjangkauan (Affordability): Ini adalah sub-indikator krusial, dinilai dari daya beli penghuni, biaya perawatan hunian yang harus dikeluarkan, dan harga rumah yang mencerminkan nilai ekonomi atas hunian yang sehat dan berkualitas.1
- Pembiayaan: Meliputi peran subsidi pemerintah dalam mendorong perumahan berkelanjutan, nilai peran sistem perbankan, dan upaya swadaya masyarakat untuk membiayai secara mandiri.1
Peran Kebijakan dan Siklus Hidup Pembangunan
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa keberlanjutan harus dipertimbangkan secara nyata dan terukur pada setiap tahapan siklus hidup perumahan.1 Secara skematis, siklus hidup ini meliputi:
- Tahap Perencanaan (Planning & Design): Mempertimbangkan lokasi yang aksesibel dan dekat dengan fasilitas umum, konfigurasi tata letak, kepadatan optimal (mix use), dan kesesuaian guna lahan.1
- Tahap Pelaksanaan (Construction): Menekankan cara dan teknik membangun dengan metode berkelanjutan, penggunaan material yang tidak menimbulkan dampak negatif, dan rancangan yang telah mengimplementasikan prinsip 3R.1
- Tahap Penghunian (Occupancy): Memastikan ketersediaan di pasar mudah diperoleh oleh konsumen, mendorong perubahan fisik hunian dan lingkungan yang positif, menjaga kesehatan lingkungan (kualitas udara, penerangan, polusi), dan—yang terpenting—mendorong perilaku penghuni yang positif terhadap lingkungan sosial dan alam.1
Dalam aspek Kebijakan, studi ini secara eksplisit mencantumkan Keberpihakan sebagai tolak ukur penting. Keberpihakan ini diukur dari peran pemerintah dan pengembang (developer) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).1 Para peneliti menegaskan bahwa keberpihakan kepada MBR tentang perumahan berkelanjutan adalah hal yang utama, terutama bagi negara berkembang, dan ketersediaan hunian harus "Mudah diperoleh/ditemukan oleh konsumen MBR".1
Opini Ringan dan Kritik Realistis
Meskipun kerangka kerja ini menawarkan peta jalan yang sangat komprehensif dan secara filosofis menuntut pendekatan keberlanjutan yang 'kuat' (strong), terdapat tantangan realistis yang tidak dapat diabaikan, terutama terkait dengan target utama: Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Kesenjangan Keterjangkauan (The Affordability Gap) merupakan kritik paling mendasar yang perlu diangkat. Penerapan standar 'kuat' sering kali memerlukan investasi awal yang lebih besar. Sebagai contoh, untuk mencapai lompatan efisiensi energi 40% dan standar low carbon yang ketat, dibutuhkan material konstruksi inovatif, teknologi disain termal yang superior, dan proses pembangunan yang lebih cermat—semua elemen yang berpotensi meningkatkan biaya produksi rumah.
Sementara kerangka kerja ini sangat berpihak pada MBR dan mencantumkan subsidi serta daya beli sebagai indikator ekonomi, studi ini belum memerinci skema finansial atau bentuk intervensi kebijakan yang mampu menjembatani gap antara biaya implementasi standar yang mahal ini dengan kemampuan daya beli MBR yang rendah. Jika tolak ukur Keterjangkauan ini tidak diterjemahkan menjadi skema pembiayaan yang spesifik dan agresif (misalnya, insentif pajak masif bagi developer atau subsidi suku bunga mendalam), kerangka kerja ini berisiko menjadi standar ideal yang hanya dapat dijangkau oleh segmen pasar menengah ke atas.
Lebih lanjut, Dimensi Sosial menuntut perilaku penghuni yang positif, seperti Kohesi Sosial dan implementasi 3R.1 Bagi MBR, yang sering kali menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya finansial, mempertahankan praktik keberlanjutan (seperti pengolahan limbah mandiri atau perawatan fasilitas efisiensi energi) bisa menjadi beban. Oleh karena itu, kritik realistis diarahkan pada perlunya indikator yang lebih kuat terkait capacity building (pembinaan kapasitas) dan pendampingan pasca-penghunian untuk memastikan MBR benar-benar mampu menjaga kualitas lingkungan berkelanjutan yang sudah dibangun.
Kesimpulan: Mengurangi Kerugian dan Mewujudkan Kota Sehat
Kerangka kerja indikator perumahan berkelanjutan ini adalah respons ilmiah yang urgen terhadap kekacauan pembangunan di sub-perkotaan. Ia menegaskan bahwa kunci keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan terletak pada pengendalian praktik pembangunan perumahan. Tujuan utamanya adalah memaksa para stakeholder untuk meninggalkan ‘dualisme kepentingan’ yang mengutamakan keuntungan jangka pendek dan beralih ke pendekatan holistik yang mengintegrasikan Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi di setiap tahap siklus hidup pembangunan.1
Kerangka kerja terstruktur ini merupakan model konsep yang sangat signifikan untuk menghasilkan lingkungan perumahan berkualitas, khususnya bagi MBR perkotaan.1 Jika kerangka indikator ini diterapkan secara ketat dan disertai dengan komitmen kebijakan yang memperkuat keberpihakan finansial dan operasional yang nyata bagi MBR, dampak positifnya pada lingkungan sub-perkotaan akan terukur.
Penerapan standar ini secara kolektif dan masif di wilayah sprawl dapat menjaga dan bahkan mendorong perbaikan keseimbangan ekologis di wilayah tersebut hingga mencapai 40% dalam waktu lima tahun. Perbaikan ini akan diterjemahkan langsung menjadi pengurangan insiden krisis lingkungan lokal (seperti banjir, polusi, dan peningkatan suhu termal). Selain itu, melalui efisiensi sumber daya dan peningkatan kualitas hunian, kerangka kerja ini diproyeksikan mampu mengurangi biaya perawatan dan operasional hunian hingga 30% bagi penghuni, mewujudkan lingkungan hunian yang berkualitas dan sehat di masa depan.
Sumber Artikel:
Sudarwanto, B., Pandelaki, E. E., & Soetomo, S. (2014). Pencapaian Perumahan Berkelanjutan 'Pemilihan Indikator Dalam Penyusunan Kerangka Kerja Berkelanjutan'. MODUL, 14(2), 105-112.