Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik IKN Nusantara sebagai Kota Paling Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

17 November 2025, 21.49

reddit.com

Pendahuluan: Jakarta yang Tak Tertolong—Harga Kegagalan Urbanistik

Wacana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur bukan sekadar keputusan politik atau ekonomi, melainkan sebuah respons mendesak terhadap krisis ekologis dan sosial-struktural yang menjerat Jakarta. Penelitian terbaru yang menganalisis rencana pembangunan IKN Nusantara menempatkan krisis di ibu kota lama sebagai faktor pendorong utama yang harus dihindari di lokasi baru. Para peneliti memaparkan bahwa Jakarta dan seluruh kawasan Jabodetabek, yang kini menjadi aglomerasi terbesar kedua di dunia setelah Tokyo dengan populasi lebih dari 35 juta jiwa, telah lama terbebani oleh gejala mega-urban overload yang parah.1

Krisis Ganda yang Mendasar

Gejala kelebihan beban ini termanifestasi dalam dua bencana kronis: kemacetan lalu lintas yang melumpuhkan dan risiko bencana hidrologis (banjir) yang diperparah oleh penurunan permukaan tanah yang dramatis. Data kuantitatif dari tahun-tahun terakhir Jakarta memberikan narasi yang kuat tentang kegagalan perencanaan spasial.

Kegagalan Infrastruktur: Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, antara tahun 2017 hingga 2019, jumlah kendaraan pribadi—termasuk sepeda motor dan mobil—meningkat tajam sebesar $12\%$ setiap tahun.1 Kesenjangan yang mengejutkan muncul ketika dibandingkan dengan upaya penanggulangan oleh pemerintah kota: peningkatan absolut jumlah dan kapasitas jalan hanya mencapai $0.01\%$ per tahun.1 Fenomena ini dapat dideskripsikan sebagai situasi di mana pihak berwenang mencoba mengatasi lonjakan lalu lintas yang meningkat $12\%$ seperti laju aliran air, namun hanya mampu memperbesar pipa saluran sebesar $0.01\%$. Kesenjangan $1.200$ kali lipat ini membuat kemacetan parah di $141$ titik kemacetan menjadi tak terhindarkan, yang berujung pada kerugian ekonomi dan polusi dalam jumlah tak terhitung.1

Krisis Tenggelam: Ancaman yang jauh lebih eksistensial bagi Jakarta adalah fenomena penurunan permukaan tanah (land subsidence). Peneliti mencatat bahwa ekstraksi air tanah yang masif untuk memenuhi permintaan hunian dan komersial menyebabkan percepatan penurunan permukaan tanah hingga mencapai $32$ cm per tahun di beberapa lokasi.1 Konsekuensi dari masalah ini sangat luas: saat ini, sebanyak $40\%$ atau sekitar $24.000$ hektar dari total lahan DKI Jakarta berada di dataran yang lebih rendah dari permukaan laut.1 Dengan berlanjutnya perubahan tata guna lahan, area rawan banjir diperkirakan dapat mencapai $45$ persen pada tahun 2030.1

Kekalahan dramatis Jakarta melawan air terlihat jelas dalam bencana banjir terparah yang pernah dialami kota tersebut, yang terjadi dari 31 Januari hingga 22 Februari 2007. Bencana tersebut merendam sekitar dua pertiga kota, dengan ketinggian air di beberapa wilayah mencapai hingga empat meter.1 Bencana ini memaksa $420.000$ orang meninggalkan rumah mereka, hampir melumpuhkan kehidupan publik, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai sekitar $\$967$ juta.1 Kerugian finansial yang mendekati satu miliar dolar dari satu peristiwa tunggal ini mempercepat rencana relokasi yang sudah lama tertunda.1

Kegagalan Daya Dukung Struktural

Krisis Jakarta bukanlah sekadar masalah teknis (jalan dan drainase), tetapi merupakan bukti kegagalan struktural dalam mengelola Daya Dukung Perkotaan (Urban Carrying Capacity - ULCC). Krisis tenggelamnya kota, kemacetan, polusi, dan kerugian finansial yang terukur adalah cerminan langsung dari kelebihan beban ekologis.1

Lebih dari itu, kegagalan ini memiliki dimensi sosial yang dalam. Permukiman informal dan tidak terdaftar di tepi sungai menyumbang sekitar $20\%$ dari area permukiman Jakarta pada tahun 2007, yang turut menyebabkan banjir besar di kawasan sekitar yang didominasi oleh komunitas yang kurang beruntung secara sosial-ekonomi.1 Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tidak seimbang dan disparitas sosial-ekonomi yang lebar di Jakarta memiliki korelasi langsung dengan kerusakan hidrologis dan bencana alam.1 Oleh karena itu, relokasi ke Nusantara adalah upaya untuk melakukan 'reset' parameter daya dukung ini di lokasi baru yang belum jenuh, dengan harapan dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan, seimbang, dan adil.

 

Nusantara: Visi Kota Hutan dan Janji Keberlanjutan

Di atas latar belakang krisis Jakarta, rencana pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan Timur dikonsepkan sebagai antitesis total. Penelitian ini menganalisis bahwa IKN dirancang bukan hanya sebagai pusat pemerintahan baru, tetapi sebagai simbol kebijakan ekologis dan lingkungan yang baru.1 Visi utamanya adalah menjadi "ibu kota yang paling hijau, paling cerdas (smartest), dan paling berkelanjutan di dunia".1

Skala Ambisi dan Pembatasan Spasial

IKN akan dibangun di atas total lahan seluas $256.142,72$ hektar, yang menunjukkan ambisi skala besar.1 Namun, kunci dari perencanaan berkelanjutan ini terletak pada pengendalian spasial yang ketat. Area Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) sengaja dibatasi hanya mencakup $6.856$ hektar.1 Pembatasan KIPP ini adalah langkah institusional yang dirancang untuk mencegah konsentrasi berlebihan yang dialami Jakarta.

Sesuai jadwal implementasi Bappenas, pembangunan akan dilakukan dalam empat fase. Fase pertama (2020-2024) fokus pada infrastruktur dasar (air, energi, transportasi rel) dan bangunan inti pemerintah.1 Fasilitas publik, ekonomi, dan sosial baru akan dibangun pada fase dua hingga empat, dan ini diarahkan ke area non-inti seluas $49.325$ hektar.1 Pemisahan fungsi ini, sejak awal, dimaksudkan untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkontrol, yang merupakan ciri kegagalan daya dukung di Jakarta.1

Visi Nusantara sebagai Forest City diwujudkan melalui komitmen terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ambisius.1 Standar Kementerian PUPR di Indonesia menetapkan minimal $9,00$ meter persegi RTH per orang. Namun, IKN mengincar standar yang jauh lebih tinggi, mencontoh beberapa kota hijau di Asia Tenggara yang merencanakan hingga $60$ meter persegi RTH per kapita untuk mendorong kelestarian lingkungan.1

Lokasi Geospasial dan Keunggulan

Lokasi IKN, yang mencakup sebagian Distrik Samboja di Kutai Kartanegara dan Distrik Sepaku di Penajam Paser Utara, dipilih karena posisi sentralnya di tengah Indonesia—diharapkan dapat memberikan keseimbangan pembangunan nasional.1 Secara fisik, IKN memiliki keunggulan mendasar dibandingkan Jakarta, yaitu risiko bencana geologis yang lebih rendah. Peta kerentanan bencana menunjukkan bahwa lokasi IKN, khususnya di Penajam Paser Utara, tidak memiliki potensi bencana banjir yang signifikan.1

Konektivitas awal juga telah dipersiapkan. Akses menuju IKN didukung oleh Jalan Tol Balikpapan-Samarinda yang berjarak sekitar $109$ kilometer, yang mempersingkat perjalanan hingga $1$ jam $30$ menit dari Balikpapan.1 Keberadaan jalan tol yang baru selesai ini, bersama dengan pembangunan jalan baru, memfasilitasi dan mempercepat mobilitas antar-regional, sebuah pelajaran yang dipetik dari kegagalan Jakarta dalam membangun infrastruktur transportasi publik yang memadai.1

 

Tulang Punggung Teknologi: AI dan IoT dalam Kota Paling Cerdas

Untuk mewujudkan visi kota terhijau dan paling berkelanjutan, IKN Nusantara tidak hanya mengandalkan perencanaan fisik, tetapi juga secara fundamental mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK).1 Konsep IKN abad ke-21 sepenuhnya akan mengadopsi teknologi baru seperti Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT), yang dirancang dengan konsep modern dan ramah lingkungan.1 TIK di sini berfungsi sebagai tulang punggung untuk mengaugmentasi daya dukung kota yang mungkin terbatas secara alami.

Integrasi TIK dan Pembangunan Berkelanjutan (SUD)

Penelitian ini memformulasikan hubungan langsung antara komponen Smart City (yang diaktifkan oleh TIK) dan elemen Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan (SUD), yang semuanya bertujuan mendukung tiga visi IKN: Urban Sustainability, Economic Growth Pole, dan National Identity.1

  1. Smart Economy & Smart Branding (Mendukung Kutub Pertumbuhan Ekonomi):
    TIK akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan mempromosikan green economy melalui inisiatif circular economy.1 Ini mencakup pengembangan platform digital untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMKM), yang bertujuan memberikan keuntungan kompetitif dan memfasilitasi investasi.1
  2. Smart Living & Smart Environment (Mendukung Urban Sustainability):
    Ini adalah dimensi TIK yang paling penting untuk mengatasi masalah Jakarta. TIK memungkinkan pemantauan real-time berbagai parameter lingkungan, seperti polusi udara dan kualitas air.1 Dalam sektor energi, penerapan smart grid sangat penting.1 Lebih lanjut, dalam sektor transportasi, pembangunan kota harus menyediakan transportasi publik yang efisien dan berkapasitas besar, yang terintegrasi dengan kota-kota sekitar, sehingga mengurangi penggunaan mobil pribadi dan menghindari masalah kemacetan Jakarta.1
  3. Smart People & Smart Society (Mendukung Identitas Nasional):
    TIK juga digunakan untuk aspek sosial-budaya, termasuk peningkatan interaksi dan sense of place secara virtual, pembukaan akses informasi, dan digitalisasi layanan publik, seperti administrasi sipil.1 Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi pembangunan masyarakat yang inklusif dan sadar teknologi.

Kebergantungan Teknologi dan Risiko

Adopsi TIK yang masif di IKN menunjukkan bahwa proyek ini adalah upaya augmentasi kapasitas. Keberhasilan IKN dalam mengatasi keterbatasan sumber daya alam dan risiko urbanisasi yang cepat sangat bergantung pada efisiensi teknologi. Jika Jakarta gagal karena kelemahan struktural yang tidak disadari, IKN berpotensi gagal jika teknologi yang menjadi fondasinya tidak berjalan sempurna.

Implikasi dari kebergantungan ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal: kebutuhan untuk meningkatkan keahlian (up-skilling) dan mengubah pola pikir masyarakat agar siap menghadapi persaingan dengan pendatang.1 Keberlanjutan IKN tidak hanya diukur dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi dari seberapa baik masyarakat dan pemerintah mampu mengelola sistem yang didorong oleh kecerdasan buatan.

 

Menelaah Daya Dukung: Ancaman Ganda Air dan Pangan

Meskipun IKN memiliki keunggulan spasial dan visi yang kuat, penelitian ini mengungkap titik kerentanan struktural yang paling mendasar: keterbatasan sumber daya alam, khususnya air dan pangan. Para peneliti menggunakan pendekatan layanan ekosistem (ecosystem services) untuk menghitung daya dukung lahan di IKN.1 Analisis ini sangat krusial mengingat tekanan luar biasa yang akan timbul dari rencana relokasi sekitar $1,5$ juta Aparatur Sipil Negara (ASN) beserta keluarga ke ibu kota baru pada tahun 2045.1

Temuan Kritis Daya Dukung Ekosistem

Analisis daya dukung lingkungan IKN menunjukkan kontradiksi menarik yang harus dikelola:

  • Daya Dukung Air dan Pangan: Daya dukung IKN diidentifikasi rendah hingga sedang untuk layanan penyediaan pangan dan air bersih.1 Ini berarti secara alami, ekosistem IKN di Sepaku dan Samboja tidak ideal untuk menopang populasi besar tanpa intervensi teknologi dan infrastruktur yang signifikan. Mayoritas lahan adalah hutan sekunder, semak, dan kebun, yang suboptimal untuk produksi pangan pokok seperti padi.1
  • Daya Dukung Mitigasi Bencana: Sebaliknya, daya dukung IKN sedang hingga tinggi untuk fungsi penguraian limbah, mitigasi bencana, dan ruang hunian.1

Secara geologis, air bersih menjadi masalah. Topografi IKN yang berkisar dari miring hingga berbukit, dipengaruhi oleh zona struktural perbukitan antiklinal dan lembah sinklinal, membuat pola aliran air menyerupai teralis.1 Formasi geologi yang didominasi oleh claystone dan shale (batuan lempung dan serpih) bersifat semi-kedap air, sehingga potensi air tanah (groundwater potential) di Distrik Sepaku sangat rendah.1

Solusi Infrastruktur: Membangun Kapasitas Buatan

Keterbatasan daya dukung air alami ini telah direspons oleh Pemerintah Nasional melalui pembangunan infrastruktur krusial, yaitu Waduk Semoi dan Intake Sepaku.1 Infrastruktur ini berfungsi sebagai arteri kehidupan buatan untuk mengkompensasi kelemahan geologis tersebut. Waduk Sepaku Semoi dirancang untuk menghasilkan $2.500$ liter per detik (L/s) dengan kapasitas penyimpanan $10$ juta meter kubik.1 Tanpa pembangunan waduk ini, visi kota layak huni tidak akan mungkin tercapai.

Paradoks Forest City

Temuan mengenai daya dukung yang rendah hingga sedang ini menyoroti paradoks dalam visi Forest City. Untuk menopang kehidupan $1,5$ juta orang, IKN harus berjuang melawan keterbatasan alam. Pembangunan infrastruktur fisik, bangunan baru, dan jalan akan menggantikan hutan sekunder yang ada, yang berpotensi menyebabkan penyusutan hutan dan penurunan stok karbon.1

Implikasinya, IKN tidak bisa hanya mengandalkan alam, tetapi harus mengadopsi strategi lingkungan yang sangat ketat: (1) Perlindungan ketat terhadap sisa hutan dan konservasi untuk tujuan carbon sequestration (penyimpanan karbon), dan (2) Pengembangan ekonomi hijau harus difokuskan pada sektor jasa dan teknologi yang ramah lingkungan, bukan pada industri padat sumber daya alam.1

 

Kritik Realistis: Mengapa Aspek Sosial Lebih Sulit Dibangun daripada Gedung?

Meskipun rencana IKN didukung oleh program pembangunan berkelanjutan (RTH luas, transportasi terintegrasi, ekonomi hijau), penelitian ini secara kritis menyoroti bahwa terdapat kekurangan yang harus segera ditindaklanjuti dalam dua area utama: mitigasi risiko bencana (terutama bencana non-geologis) dan, yang paling penting, aspek sosial.1

Risiko Bencana Sosial: Friksi Migrasi ASN vs. Lokal

Tantangan sosial yang teridentifikasi oleh peneliti sangat mendasar, berpotensi memicu 'bencana sosial' jika tidak dikelola dengan baik.1 Dengan perkiraan $1,5$ hingga $2$ juta migran (kebanyakan ASN) yang akan pindah ke IKN, terjadi pertemuan antara pendatang yang umumnya memiliki latar belakang pendidikan dan modal sosial yang tinggi, dengan komunitas lokal/adat (Dayak) dan transmigran yang telah ada.1

Jika Jakarta gagal karena menghasilkan disparitas sosial-ekonomi yang lebar, IKN menghadapi risiko serupa di tahap awal pembangunannya. Ketidaksetaraan peluang dan modal sosial dalam mengakses fasilitas dan pekerjaan di IKN dapat memicu friksi dan konflik terbuka atau tertutup.1

Dimensi Politik Daya Dukung: Daya Dukung Perkotaan (ULCC) tidak hanya mencakup daya dukung ekologis (air dan pangan), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi seperti nilai tanah, pendapatan, dan pajak.1 Ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan kepemilikan modal yang tidak merata akan meningkatkan persaingan lahan, bahkan memicu land grabbing.1 Jika urbanisasi yang sangat cepat ini melebihi daya dukung sosio-ekonomi, masalah perkotaan yang identik dengan Jakarta—seperti munculnya area kumuh (slum areas) dan perluasan kota yang tidak terencana (urban sprawl)—dapat muncul di sekitar IKN.1

Oleh karena itu, keberhasilan IKN sebagai "Smart Society" bergantung pada kemampuan Smart Governance yang kuat dan kelembagaan yang mampu merancang kebijakan inklusif. Pemerintah daerah di wilayah penyangga menghadapi tantangan besar: anggaran terbatas, kebutuhan mendesak untuk meningkatkan keahlian dan daya saing penduduk lokal, dan merubah pola pikir masyarakat agar siap beradaptasi dengan kecepatan urbanisasi.1 Kekurangan dalam aspek sosial ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia dan integrasi masyarakat di IKN memerlukan perhatian dan sumber daya yang sama intensnya dengan pembangunan infrastruktur fisiknya.

 

Pembelajaran dari Kota Dunia: Mengukuhkan Identitas Nusantara

Dalam upayanya mencapai kota berkelanjutan, Nusantara perlu mengambil pelajaran dari pengalaman relokasi ibu kota di berbagai negara lain.1 Studi komparatif memberikan panduan tentang tantangan dan peluang yang mungkin dihadapi IKN.

Astana (Kazakhstan): Relokasi ibu kota ke Astana (kini Nur-Sultan) di Kazakhstan menunjukkan betapa pentingnya mempertimbangkan aspek iklim, geografis, sosial, dan politik yang kompleks dalam konteks nasional.1 Meskipun Kazakhstan berhasil mencapai stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi regional setelah kepindahan, hal ini menyoroti bahwa keputusan relokasi harus sensitif terhadap realitas lokal.

Putrajaya (Malaysia): Putrajaya menjadi contoh ekspansi ibu kota dari Kuala Lumpur yang didorong oleh kebutuhan modernisasi dan digitalisasi.1 Putrajaya menjadi pelopor dalam perencanaan kota yang mengintegrasikan teknologi canggih dengan arsitektur yang cermat. IKN, dengan visi Smart City dan adopsi AI/IoT, dapat memetik pelajaran dari Putrajaya dalam integrasi TIK dan tata ruang.1

Nay Pyi Taw (Myanmar): Relokasi Myanmar dari Yangon ke Nay Pyi Taw didominasi oleh pertimbangan geopolitik dan sentralitas.1 Kota ini dibangun di lahan yang luas, disiapkan untuk mengakomodasi populasi besar.1 Meskipun motivasinya berbeda, pengalaman Myanmar menunjukkan bahwa ambisi pembangunan skala besar memang dimungkinkan.

Pelajaran umum yang dapat dipetik adalah bahwa IKN harus mengkonsolidasikan identitasnya: apakah ia akan menjadi simbol negara, solusi untuk masalah urbanistik lama (Jakarta), atau kota yang mencapai keseimbangan lingkungan (seperti Canberra yang bertujuan menghindari polusi dan kemacetan).1 Fokus IKN pada kombinasi Smart City dan Forest City menunjukkan pilihan yang jelas: menjadi simbol kebijakan ekologi baru yang dikontrol secara digital, sebuah model yang menghindari kebobrokan urbanistik Jakarta dan kegagalan dalam mengelola daya dukung kota.

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Analisis terhadap rencana IKN Nusantara menegaskan bahwa fondasi pembangunan berkelanjutan telah diletakkan dengan serius, didukung oleh tata ruang yang memisahkan fungsi inti pemerintahan, risiko bencana geologis yang relatif rendah, dan komitmen investasi besar dalam infrastruktur air buatan seperti Waduk Semoi dan Sepaku Intake.1 Strategi TIK dan Smart City (termasuk Smart Environment dan Smart Economy) diposisikan sebagai pendorong keberlanjutan, alat krusial untuk mengatasi kerentanan IKN yang mendasar, yaitu daya dukung sumber daya air dan pangan alami yang berada pada tingkat rendah hingga sedang.1

Keberhasilan IKN, bagaimanapun, bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi kelemahan struktural yang diidentifikasi oleh penelitian ini: celah dalam mitigasi risiko bencana (non-geologis) dan, yang paling kompleks, penanganan aspek sosial.1 Tantangan sosial yang timbul dari gelombang migrasi ASN, potensi friksi budaya, dan ketidaksetaraan peluang harus diatasi melalui program penguatan masyarakat, pendidikan, dan kebijakan inklusif. Jika aspek sosial ini gagal dikelola—artinya, jika Smart Governance tidak mampu mewujudkan Smart Society yang adil—risiko urban sprawl dan munculnya area kumuh yang merupakan ciri kegagalan Jakarta dapat terulang di sekitar wilayah penyangga IKN.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika program penguatan mitigasi risiko bencana, penjaminan daya dukung air/pangan melalui TIK, dan penguatan aspek sosial melalui tata ruang dan kebijakan inklusif diterapkan secara ketat dan komprehensif, temuan ini menunjukkan bahwa IKN dapat mengurangi biaya logistik dan kerugian finansial akibat bencana yang dialami Jakarta (seperti kerugian tahunan yang mencapai ratusan juta dolar Amerika) sekaligus menciptakan kutub pertumbuhan ekonomi baru yang seimbang dan berketahanan di Kalimantan Timur, dalam waktu lima hingga sepuluh tahun setelah operasional penuh IKN dimulai.

 

Sumber Artikel:

Rachmawati, R., Haryono, E., Ghiffari, R. A., Reinhart, H., Fathurrahman, R., Rohmah, A. A., Permatasaris, F. D., Sensuse, D. I., Sunindyo, W. D., & Kraas, F. (2024). Achieving Sustainable Urban Development for Indonesia's New Capital City. International Journal of Sustainable Development and Planning, 19(2), 443–456. https://doi.org/10.18280/ijsdp.190204