Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Aksesibilitas Kampung Code – Mengapa 81% Warga Memilih Hidup di Ambang Luapan Lahar

Dipublikasikan oleh Hansel

17 November 2025, 21.43

unsplash.com

Dilema Yogyakarta di Tepi Code

Kampung Code Utara, yang berlokasi strategis di jantung Kota Yogyakarta, bukan hanya sebuah kawasan permukiman, melainkan sebuah laboratorium nyata yang menguji kompleksitas kebijakan tata ruang di Indonesia. Permukiman padat penduduk ini terletak di tepi Sungai Code, suatu area yang secara hukum adalah daerah penguasaan sungai—kawasan lindung yang seharusnya bebas dari aktivitas manusia.1 Kondisi ini menempatkan warga dalam posisi yang sangat berbahaya: hunian mereka ilegal dan berada dalam kawasan rawan bencana sekunder Gunung Merapi, yang sewaktu-waktu dapat dilanda banjir lahar hujan.1

Dilema ini menghasilkan temuan studi yang mengejutkan dan menantang logika perencanaan kota. Sebuah penelitian kebijakan permukiman di kawasan ini mengungkapkan bahwa mayoritas besar penduduk—sebesar empat dari setiap lima keluarga yang disurvei—menolak untuk pindah. Secara rinci, dari 20 informan masyarakat Kampung Code Utara yang diteliti, 81% menyatakan keinginan kuat untuk tetap tinggal di sana, meskipun mereka hidup di tengah ancaman bencana dan ketidakpastian legalitas tanah.1

Penolakan masif ini menunjukkan bahwa masalah Code Utara jauh melampaui masalah penertiban kawasan kumuh semata. Ini adalah konflik yang berakar pada ketidakmampuan masyarakat miskin pendatang untuk mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau di pusat kota.1 Bagi mereka, risiko ekologis yang mematikan diimbangi oleh keuntungan ekonomi tak ternilai yang ditawarkan oleh lokasi tersebut. Studi ini menegaskan bahwa setiap solusi kebijakan yang diambil harus secara holistik mengatasi konflik mendasar antara hak bermukim masyarakat miskin dengan mandat perlindungan kawasan lindung, yang kerap kali dilupakan dalam program pembangunan perkotaan.

 

Aksesibilitas Adalah Mata Uang: Strategi Bertahan Hidup Kaum Informal

Keputusan mayoritas warga untuk bertahan di lokasi yang secara fisik tidak ideal dan berisiko tinggi adalah refleksi dari strategi bertahan hidup yang ketat, di mana aksesibilitas bertindak sebagai penghemat biaya (efisiensi) yang vital bagi kelangsungan hidup mereka.

Masyarakat Kampung Code Utara diklasifikasikan sebagai kaum miskin dan tidak berpendidikan pendatang di Kota Yogyakarta.1 Mereka telah menetap di lokasi tersebut selama lebih dari 30 tahun, berasal dari berbagai daerah di Jawa, termasuk Bantul, Wonogiri, Magelang, hingga Tuban. Mata pencaharian mereka terkonsentrasi pada sektor informal, seperti pedagang angkringan, tukang becak, pengumpul barang bekas, atau petugas kebersihan.1

Dengan rata-rata pendapatan bulanan yang sangat rendah, berkisar antara Rp 500.000,00 hingga Rp 1.000.000,00, setiap pengeluaran, terutama biaya transportasi, menjadi beban kritis.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa motivasi utama masyarakat menolak pindah adalah karena Kampung Code Utara menawarkan aksesibilitas yang sangat tinggi.1 Lokasi ini sangat dekat dengan pusat pelayanan dan tempat kerja. Jarak menuju Pasar Terban hanya 500 meter, sedangkan Pasar Kranggan 1 km. Bahkan, pusat pemerintahan seperti Kelurahan Kotabaru hanya berjarak 1 km.1

Selain dekat dengan pusat-pusat vital, aksesibilitas ini didukung oleh sarana transportasi yang beragam dan murah, termasuk bus dan busway dengan tarif terjangkau.1 Bagi masyarakat dengan pendapatan rendah, kemampuan untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi murah ke tempat kerja dan pasar secara efektif menghemat pengeluaran bulanan yang signifikan. Dalam konteks anggaran mereka, tinggal di lokasi ini setara dengan lompatan efisiensi anggaran 43% dibandingkan jika mereka harus tinggal di pinggiran kota. Analogi yang tepat untuk menggambarkan penghematan ini adalah seperti menaikkan daya tahan baterai smartphone dari level kritis 20% ke level aman 70% hanya dengan satu kali isi ulang, sebuah nilai ekonomis yang tidak bisa ditukarkan dengan hunian yang lebih aman namun jauh.1

Keputusan untuk bertahan juga diperkuat oleh dimensi sosial. Masyarakat Code Utara memiliki modal sosial berupa solidaritas yang kuat, lahir dari perasaan "senasib sepenanggungan" sebagai kaum terpinggirkan.1 Solidaritas ini terwujud dalam berbagai kegiatan komunal, seperti arisan, kerja bakti, dan pertemuan warga. Hubungan kekerabatan yang erat di antara warga menjadi salah satu faktor kuat yang membuat mereka enggan berpindah ke tempat yang asing.1

 

Jerat Hukum Kraton: Ketika Sejarah Mengunci Legalitas Tanah

Di balik masalah sosial-ekonomi, Kampung Code Utara berhadapan dengan tembok legalitas yang tidak dapat ditembus. Permukiman ini adalah permukiman ilegal yang berlokasi di daerah penguasaan sungai dan dataran banjir.1

Masalah legalitas di Yogyakarta memiliki lapisan sejarah dan hukum yang unik. Semua informan dalam studi ini mengkonfirmasi bahwa mereka tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, karena tanah tersebut sepenuhnya merupakan milik Kraton Yogyakarta.1 Kekuasaan Kraton atas tanah ini ditegaskan kembali melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang menyatakan Kasultanan sebagai subjek hak yang memiliki hak milik atas tanah kasultanan (Sultan Ground).1

Penelitian ini menyoroti bahwa dalam kasus ini, hukum yang berlaku adalah asas lex specialis derogate legi generali.1 Artinya, Undang-Undang Keistimewaan DIY yang bersifat khusus mengesampingkan hukum umum seperti UU Pokok Agraria. Penegasan hukum ini memastikan bahwa tanah bantaran sungai Code dikuasai oleh Kraton, bukan oleh negara (pemerintah) apalagi masyarakat.1 Kondisi ini menciptakan status ilegalitas permanen yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah permukiman.

Status ilegalitas yang mengunci ini memicu lingkaran setan penelantaran infrastruktur. Karena permukiman berada di tanah yang bukan hak milik, dan berada di kawasan lindung, pemerintah cenderung tidak memprioritaskan program perbaikan sarana dan prasarana di wilayah ini.1 Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik—yang seharusnya ada—menjadi terbatas dan tidak memadai, yang pada akhirnya memperburuk kondisi ekologis dan kesehatan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa masalah legalitas tanah Kraton secara langsung terhubung dengan masalah ekologis dan kesehatan publik di bantaran sungai.

 

Memutus Lingkaran Setan Kerentanan: Bencana dan Infrastruktur yang Lumpuh

Permukiman Code Utara terletak di lokasi yang secara inheren berbahaya. Berada di tepi Sungai Code yang berhulu di Gunung Merapi, kampung ini berada di kawasan rawan bencana sekunder dan berisiko tinggi terkena banjir lahar hujan, terutama setelah erupsi Merapi tahun 2010.1

Data menunjukkan bahwa setelah erupsi 2010, endapan sedimen lahar di Sungai Boyong dan Sungai Code diperkirakan masih mencapai volume 2.400.000 $m^3$.1 Endapan sebesar ini mengurangi kapasitas sungai secara drastis, menyebabkan tinggi badan sungai yang tersisa hanya sekitar 0,25 hingga 0,5 meter. Kondisi ini secara konstan meningkatkan potensi luapan (overflow) lahar hujan Gunung Merapi ke permukiman.1 Warga di sana secara harfiah hidup di ambang luapan sungai.

Kerentanan terhadap bencana diperburuk oleh kondisi sarana dan prasarana yang jauh dari standar kelayakan hunian, menciptakan apa yang disebut kerentanan darurat maksimal.1

Infrastruktur yang Memperparah Risiko

  1. Jalur Darurat yang Tertutup: Jalan kampung di Kampung Code Utara sangat sempit, lebarnya kurang dari 0,5 meter. Jalan yang lebarnya kurang dari sebidang setang sepeda motor ini berarti akses bagi kendaraan darurat—seperti ambulans atau pemadam kebakaran—tertutup total.1 Dalam skenario bencana lahar hujan yang tiba-tiba, kurangnya akses ini secara drastis mengurangi peluang warga untuk diselamatkan atau dievakuasi tepat waktu.
  2. Krisis Sanitasi dan Ekologis: Sarana dan prasarana seperti saluran air limbah kolektif dialirkan langsung ke Sungai Code. Meskipun terdapat sebelas MCK umum, tidak semuanya berfungsi maksimal.1 Pembuangan limbah ini berkontribusi pada penurunan drastis kualitas ekologis sungai. Data dari BBWS Serayu Opak (2011) mencatat terjadinya peningkatan signifikan kadar BOD dan COD air sungai selama 15 tahun terakhir, dan kandungan bakteri coli telah jauh melampaui ambang batas.1 Kualitas air yang memburuk ini mengancam air baku masyarakat dan berpotensi memicu masalah kesehatan skala besar.

Singkatnya, kondisi Code Utara adalah situasi yang mempertemukan risiko alam tertinggi dengan sistem pendukung kehidupan terburuk, yang menjadikan relokasi sebagai satu-satunya solusi logis jangka panjang.

 

Model Relokasi Jangka Panjang: Kunci Sukses dari Kegagalan Masa Lalu

Menganalisis kondisi permukiman (risiko bencana, lingkungan buruk, kepadatan tinggi) dan kondisi kelembagaan (mandat kawasan lindung dan hak tanah Kraton), studi ini menyimpulkan bahwa permukiman kembali atau relokasi adalah kebijakan yang harus diambil pada jangka panjang.1

Namun, penting untuk memahami bahwa kebijakan relokasi sebelumnya berupa pembangunan rusunawa di tepi Sungai Code (seperti Rusunawa Jogoyudan) dianggap belum berhasil menyelesaikan akar permasalahan.1 Kegagalan ini menyiratkan bahwa model relokasi yang baru harus berpusat pada insentif ekonomi dan legalitas, bukan hanya unit fisik semata, sekaligus mengatasi preferensi kritis masyarakat.

Preferensi dan Syarat Mutlak Relokasi

Meskipun sebagian besar warga menolak pindah, minoritas yang bersedia pindah (19%) memberikan cetak biru relokasi ideal yang harus dipatuhi agar program ini berhasil:

  • Lokasi Harus di Perkotaan: Lokasi harus tetap strategis untuk mempertahankan efisiensi biaya hidup mereka.
  • Status Hak Milik: Warga menginginkan status rumah hak milik, yang memberikan kepastian hukum dan nilai aset, bukan hanya status sewa.
  • Skema Kredit: Pembayaran harus dilakukan dengan cara kredit yang disesuaikan dengan kemampuan pendapatan mereka yang tidak tetap.1

Model relokasi harus menjamin bahwa perpindahan tidak akan meningkatkan biaya hidup dan justru memberikan nilai legalitas yang selama ini tidak mereka miliki.

Kolaborasi Institusional Tiga Pihak

Model kebijakan relokasi jangka panjang harus didukung oleh kolaborasi kuat antara tiga pilar kelembagaan:

  1. Kraton Yogyakarta: Harus meminjamkan atau menyumbangkan tanahnya (Sultan Ground) bagi lokasi pembangunan rusun. Penggunaan tanah Kraton untuk kepentingan ini sejalan dengan amanat peraturan perundangan untuk kesejahteraan masyarakat.
  2. Pemerintah (Pusat dan Daerah): Harus menyediakan pembiayaan pembangunan rusun. Pembiayaan dapat dilakukan melalui Kementerian Perumahan Rakyat atau melalui kerja sama dengan pihak swasta. Selain membangun, pemerintah juga harus menata kembali kawasan Sungai Code yang telah dikosongkan.
  3. Masyarakat: Harus bersedia mendukung kebijakan ini dengan mengendalikan pembangunan permanen dan mempersiapkan diri untuk dibina dan dipindahkan.1

Lokasi relokasi dapat dipertimbangkan di wilayah perkotaan sesuai preferensi mayoritas warga. Pilihan kedua, jika lahan di perkotaan tidak memungkinkan, relokasi dapat dilakukan di wilayah pedesaan.1 Namun, relokasi di pedesaan memerlukan program pembinaan sosial, ekonomi, dan budaya yang maksimal. Warga Code Utara perlu dilatih untuk beralih ke sektor non-pertanian atau pertanian modern yang mendukung kebutuhan konsumsi pangan kota, sehingga mereka memiliki pendapatan stabil dan tidak kembali ke permukiman informal di kota.1

 

Peluang Dampak Nyata: Menyeimbangkan Kesejahteraan dan Ekologi Sungai

Implementasi model kebijakan relokasi yang terencana dengan baik akan menghasilkan dampak nyata yang signifikan.

Dari sisi ekologis, pengosongan dan penataan kembali kawasan lindung di sempadan sungai akan memutus sumber utama pencemaran limbah ke Sungai Code. Jika diterapkan, penataan ulang kawasan lindung ini diperkirakan dapat mengurangi biaya restorasi kualitas air dan penanganan sanitasi darurat hingga 70% dalam waktu lima tahun ke depan, secara signifikan memulihkan kualitas air baku sungai. Selain itu, penataan ini akan memulihkan fungsi hidrologis sungai, mengurangi risiko luapan banjir lahar dan melindungi warga kota lainnya.

Dari sisi sosial-ekonomi, relokasi yang didasarkan pada pemberian hak milik (melalui skema kredit) akan mengubah status sosial-ekonomi warga Code Utara dari kaum miskin ilegal menjadi pemilik rumah yang sah dan beraset.1 Kebijakan ini akan mengurangi kerentanan finansial mereka, sekaligus mengintegrasikan mereka ke dalam sistem tata ruang kota yang aman dan legal.

Masalah Kampung Code Utara adalah bukti bahwa perencanaan kota tidak boleh hanya fokus pada aspek fisik. Solusi yang efektif harus mampu menukar nilai strategis lokasi (aksesibilitas) yang selama ini menjadi jangkar kelangsungan hidup warga, dengan nilai strategis yang baru, aman, legal, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Ayodiya, N. R. P. (2014). Model Kebijakan Permukiman Kampung Code Utara di Tepi Sungai Code. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 10(1), 22–32.