Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Infrastruktur air perkotaan (Urban Water Infrastructure/UWI) kini menjadi pusat perhatian dalam diskusi keberlanjutan kota dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). UWI meliputi jaringan pasokan air, pengolahan limbah, sistem drainase, bendungan, dan infrastruktur pendukung lainnya yang menopang kehidupan jutaan penduduk kota. Namun, perubahan iklim global telah menguji ketahanan sistem ini dengan menghadirkan tantangan baru: banjir ekstrem, kekeringan, kenaikan suhu, dan perubahan pola curah hujan. Paper Ahmad Ferdowsi dkk. (2024) memberikan tinjauan kritis terhadap dampak perubahan iklim pada UWI, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta strategi adaptasi yang relevan untuk masa depan kota berkelanjutan.
Infrastruktur Air Perkotaan: Fondasi SDGs dan Kehidupan Kota
UWI berperan vital dalam mewujudkan SDGs, khususnya SDG 6 (air bersih dan sanitasi), SDG 11 (kota dan permukiman berkelanjutan), dan SDG 13 (aksi iklim). Selain itu, UWI juga terkait erat dengan SDG 1 (pengentasan kemiskinan), SDG 2 (ketahanan pangan), SDG 3 (kesehatan), SDG 7 (energi bersih), hingga SDG 9 (infrastruktur industri). Infrastruktur ini tidak hanya menyediakan air minum dan sanitasi, tetapi juga mendukung pertanian urban, energi (hidroelektrik), dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan1.
Namun, banyak infrastruktur air dibangun puluhan tahun lalu tanpa mempertimbangkan variabilitas iklim masa depan. Akibatnya, sistem ini kini menghadapi risiko kegagalan yang tinggi, dengan biaya sosial dan ekonomi yang sangat besar jika terjadi bencana.
Dampak Perubahan Iklim pada Infrastruktur Air Perkotaan
1. Banjir Ekstrem dan Kekeringan
2. Kenaikan Suhu dan Dampaknya
3. Kualitas Air dan Kesehatan
4. Kerusakan Infrastruktur
5. Studi Kasus: Sistem Drainase dan Pengelolaan Banjir
Strategi Adaptasi: Dari Solusi Fisik hingga Pendekatan Berbasis Alam
1. Adaptasi pada Bendungan dan Waduk
2. Adaptasi pada Sistem Pengolahan Air dan Limbah
3. Adaptasi pada Sistem Distribusi dan Drainase
4. Adaptasi pada Infrastruktur Pelindung (Levee, Jembatan, Culvert)
5. Solusi Berbasis Alam dan Pendekatan Non-Struktural
Angka-Angka Kunci dan Studi Banding
Keterkaitan dengan Tren Global dan Industri
Kritik, Opini, dan Rekomendasi
Kelebihan Paper Ferdowsi dkk.
Tantangan dan Keterbatasan
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Kota Tangguh Iklim dengan Infrastruktur Air Adaptif
Perubahan iklim menuntut transformasi mendasar pada infrastruktur air perkotaan. Kota-kota di seluruh dunia harus bergerak dari pendekatan reaktif ke proaktif—mengintegrasikan prediksi iklim, inovasi teknologi, solusi berbasis alam, dan tata kelola kolaboratif dalam perencanaan dan pengelolaan UWI. Paper Ferdowsi dkk. menegaskan bahwa masa depan kota berkelanjutan hanya bisa dicapai jika infrastruktur air mampu beradaptasi, tangguh, dan inklusif menghadapi tantangan iklim yang kian ekstrem.
Sumber asli:
Ahmad Ferdowsi, Farzad Piadeh, Kourosh Behzadian, Sayed-Farhad Mousavi, Mohammad Ehteram. (2024). Urban water infrastructure: A critical review on climate change impacts and adaptation strategies. Urban Climate, 58, 102132.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Tantangan Unik Kawasan Pegunungan terhadap Perubahan Iklim
Kawasan pegunungan merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena karakteristik geografis dan ekosistemnya yang unik. Sekitar 13% populasi dunia, yaitu sekitar 915 juta orang, tinggal di daerah pegunungan, dengan 150 juta di antaranya berada di ketinggian lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut. Pegunungan juga menjadi habitat bagi lebih dari 85% spesies amfibi, burung, dan mamalia dunia, banyak yang endemik dan sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Selain itu, pegunungan berfungsi sebagai "menara air" yang menopang kebutuhan air bagi jutaan orang di dataran rendah1.
Namun, kondisi topografi yang terjal dan ekosistem yang rapuh membuat kawasan ini menghadapi risiko bencana yang kompleks, seperti longsor, banjir bandang, dan glacial lake outburst floods (GLOF). Data dari 1985 hingga 2014 menunjukkan bahwa di kawasan Hindu Kush Himalaya terjadi 323 bencana besar dengan kerugian ekonomi mencapai USD 44,7 miliar dan korban jiwa sebanyak 26.991 orang1.
Kerentanan Sosial dan Ekonomi di Pegunungan
Penduduk pegunungan cenderung lebih rentan secara sosial dan ekonomi dibandingkan dengan dataran rendah. Tingkat kemiskinan lebih tinggi, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur terbatas, serta isolasi geografis memperparah kerentanan mereka. Kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak seringkali paling terdampak, terutama karena keterbatasan akses informasi dan sumber daya. Migrasi penduduk usia produktif ke luar daerah menambah beban bagi perempuan dan lansia yang tertinggal, sehingga memperbesar risiko sosial dan ekonomi1.
Studi Kasus: Ketahanan Iklim di Uttarakhand, India
Uttarakhand merupakan negara bagian di India yang 93% wilayahnya berupa pegunungan Himalaya. Dengan populasi sekitar 10,1 juta jiwa, wilayah ini menjadi sumber dua sungai besar India, Gangga dan Yamuna. Ekonomi utama di sana meliputi pertanian, hortikultura, pariwisata, dan energi hidro1.
Dampak Perubahan Iklim dan Bencana
Uttarakhand telah mengalami bencana besar yang terkait dengan perubahan iklim. Pada Juni 2013, banjir bandang akibat hujan ekstrem dan mencairnya gletser Chorabari menewaskan lebih dari 5.700 orang. Pada Februari 2021, runtuhnya sebagian gletser Nanda Devi menyebabkan lebih dari 100 orang hilang. Kejadian ini menegaskan urgensi penguatan ketahanan iklim di wilayah tersebut1.
Upaya Penguatan Ketahanan Iklim
Pemerintah Uttarakhand telah memperkuat tata kelola dan kapasitas pengurangan risiko bencana melalui:
Mekanisme dan Pendekatan Penguatan Ketahanan Iklim di Pegunungan
Penguatan ketahanan iklim di kawasan pegunungan memerlukan pendekatan yang mempertimbangkan karakteristik geografis dan sosial-ekonomi unik wilayah tersebut. Beberapa mekanisme utama meliputi:
Pelajaran dari Kawasan Pegunungan Lain
Selain Uttarakhand, kawasan pegunungan di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serupa. Misalnya:
Relevansi dan Rekomendasi untuk Indonesia
Indonesia memiliki banyak kawasan pegunungan yang juga rentan terhadap perubahan iklim, seperti di Sumatera, Jawa, Papua, dan Sulawesi. Pelajaran dari Uttarakhand dan kawasan lain dapat menjadi acuan, antara lain:
Penutup
Ketahanan iklim di kawasan pegunungan menuntut pendekatan yang holistik dan kolaboratif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan ekologis. Studi kasus Uttarakhand menunjukkan bahwa penguatan tata kelola, inovasi pendanaan, pemanfaatan teknologi, dan solusi berbasis alam adalah kunci untuk menghadapi tantangan iklim yang semakin kompleks. Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengadopsi dan mengadaptasi praktik-praktik ini untuk membangun masa depan pegunungan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Kato, T., M. Rambali and V. Blanco-Gonzalez (2021), “Strengthening climate resilience in mountainous areas”, OECD Development Co-operation Working Papers, No. 104, OECD Publishing, Paris.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 Juni 2025
Ketahanan air semakin menjadi topik utama dalam diskusi pembangunan berkelanjutan dan keamanan global, terutama di kawasan rentan seperti Karibia. Wilayah ini menghadapi tantangan unik: pulau-pulau kecil dengan sumber daya air terbatas, tekanan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, urbanisasi cepat, dan ketergantungan pada sektor ekonomi seperti pariwisata dan pertanian. Paper “Water Security and Services in The Caribbean” karya Adrian Cashman (2013) dari Inter-American Development Bank menjadi rujukan penting untuk memahami kompleksitas, tantangan, dan peluang dalam pengelolaan air di Karibia1.
Artikel ini merangkum, menganalisis, dan mengkritisi temuan utama paper tersebut, memperkaya dengan studi kasus, data konkret, dan membandingkannya dengan tren global serta pengalaman kawasan lain. Dengan gaya bahasa populer, artikel ini bertujuan agar isu ketahanan air di Karibia semakin relevan, mudah dipahami, dan menjadi perhatian pembaca luas.
Apa Itu Ketahanan Air? Dimensi dan Definisi
Ketahanan air tidak sekadar ketersediaan air, tetapi mencakup empat pilar utama:
Keempat pilar ini membentuk kerangka analisis untuk memahami tantangan dan solusi pengelolaan air di Karibia1.
Faktor Pendorong Krisis Air di Karibia
1. Variabilitas Iklim dan Perubahan Iklim
Karibia, meski dikenal sebagai wilayah tropis lembab, menghadapi variabilitas curah hujan ekstrem. Rata-rata curah hujan tahunan sangat bervariasi antar negara, dari 1.030 mm di Antigua & Barbuda hingga 2.387 mm di Guyana. Namun, distribusi spasial dan temporalnya tidak merata, dengan musim kering dan basah yang jelas1.
Dampak perubahan iklim:
2. Infrastruktur dan Manajemen yang Rentan
3. Pertumbuhan Penduduk, Urbanisasi, dan Pariwisata
4. Keseimbangan Ekosistem dan Layanan Lingkungan
Studi Kasus: Dampak Nyata Krisis Air di Karibia
A. Krisis Kekeringan 2009–2010
Kekeringan 2009–2010 menjadi ujian besar bagi sistem air Karibia:
Dampak sosial-ekonomi:
B. Intrusi Salinitas di Bahama dan Jamaika
C. Dampak pada Pertanian
Solusi dan Inovasi: Menuju Ketahanan Air Berkelanjutan
1. Diversifikasi Sumber Air
2. Efisiensi dan Modernisasi Infrastruktur
3. Pengelolaan Limbah dan Daur Ulang Air
4. Adaptasi Perubahan Iklim dan Manajemen Risiko
5. Reformasi Tata Kelola dan Kelembagaan
6. Keterlibatan Swasta dan Skema Pembiayaan Inovatif
Kritik, Opini, dan Perbandingan Global
Kritik terhadap Pendekatan di Karibia
Pembelajaran dari Kawasan Lain
Peluang dan Tantangan ke Depan
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air Karibia
Dalam 50 tahun terakhir, ketahanan air di Karibia telah meningkat pesat, namun tantangan baru terus bermunculan. Krisis air di kawasan ini bukan hanya soal perubahan iklim, melainkan juga masalah tata kelola, ekonomi makro, dan kapasitas institusi. Solusi membutuhkan kombinasi inovasi teknologi, reformasi kelembagaan, keterlibatan masyarakat, dan pembiayaan kreatif.
Karibia bisa menjadi laboratorium global untuk inovasi pengelolaan air di wilayah pulau kecil dan rentan. Dengan komitmen politik, investasi yang tepat, dan kolaborasi lintas sektor, ketahanan air yang inklusif dan berkelanjutan bukanlah mimpi.
Sumber Asli :
Cashman, Adrian.
Water Security and Services in The Caribbean.
Inter-American Development Bank, Environmental Safeguards Unit, TECHNICAL NOTE No. IDB-TN-514, March 2013.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Air sebagai Medium Utama Dampak Perubahan Iklim
Dalam konteks perubahan iklim global, air adalah medium utama di mana dampak paling awal dan nyata dirasakan oleh manusia, ekosistem, dan ekonomi. Paper ini menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya air harus menjadi fokus utama adaptasi perubahan iklim, karena air adalah bagian dari masalah sekaligus solusi. Melalui ulasan multidisipliner, Sadoff dan Muller menawarkan kerangka konseptual dan respons kebijakan yang relevan untuk negara berkembang maupun maju, dengan menyoroti pentingnya investasi pada tiga pilar: informasi, institusi, dan infrastruktur.
Mengapa Air dan Keamanan Air Semakin Sentral?
Air dan Adaptasi: Framing the Issue
Perubahan iklim memengaruhi pola curah hujan, aliran sungai, recharge air tanah, dan kualitas air. Dampak ini memperbesar ketidakpastian, meningkatkan risiko banjir, kekeringan, penyakit, dan kelangkaan air. IPCC menegaskan bahwa bahkan jika mitigasi berhasil, adaptasi tetap wajib dilakukan karena perubahan iklim sudah menjadi realitas. Air menjadi “leverage point”—perubahan suhu kecil bisa mengubah debit sungai 10–40% di beberapa wilayah dan menurunkan 10–30% di wilayah lain.
Krisis air bukan hanya soal kekurangan, tapi juga kelebihan (banjir) dan kualitas (polusi, salinisasi). Negara-negara dengan variabilitas hidrologi tinggi, seperti Ethiopia, Kenya, atau negara-negara Sahel, sangat rentan: satu musim kering saja bisa memangkas pertumbuhan ekonomi tahunan hingga 10% dan menurunkan PDB hingga 38% dalam 12 tahun. Di Asia, banjir ekstrem seperti di Mumbai (2005) dan Bangladesh (2007) menyebabkan ribuan korban jiwa dan kerugian ekonomi besar.
Studi Kasus: Ethiopia, Andes, dan Lesotho Highlands
1. Ethiopia – Variabilitas Hujan dan Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi Ethiopia sangat sensitif terhadap fluktuasi curah hujan. Satu musim kering dalam 12 tahun bisa memangkas pertumbuhan ekonomi rata-rata 10%. Kapasitas penyimpanan air Ethiopia kurang dari 1% dibanding Amerika Utara, sehingga negara ini sangat rentan terhadap gagal panen dan kemiskinan siklikal. Model ekonomi menunjukkan variabilitas hidrologi bisa menurunkan potensi pertumbuhan PDB hingga 38%—dampak yang berlipat jika tidak diatasi dengan infrastruktur dan institusi yang kuat.
2. Andes (Chile–Argentina) – Dampak Pencairan Salju dan Gletser
Di Andes, 80% ketersediaan air untuk pertanian dan kota berasal dari salju dan gletser. Model iklim memproyeksikan kenaikan suhu hingga 4°C dan penurunan curah hujan 15% di beberapa wilayah pada akhir abad ke-21. Simulasi menunjukkan kenaikan suhu 3°C saja bisa menggandakan debit sungai di musim dingin, namun mengurangi debit musim panas hingga 30%. Jika penurunan curah hujan juga terjadi, debit musim panas bisa turun lebih dari 50%. Dampak ini mengancam 1,3 juta hektar pertanian di Chile dan 400.000 hektar di Argentina, serta keamanan air kota besar seperti Santiago.
3. Lesotho Highlands Water Project – Investasi Adaptasi di Tengah Ketidakpastian
Kasus investasi air untuk Johannesburg, Afrika Selatan, menyoroti dilema adaptasi: memilih antara memperluas proyek Lesotho Highlands (memanfaatkan gravitasi, rendah emisi) atau mengambil air dari sungai di timur (lebih mahal dan intensif energi). Keputusan akhirnya memilih Lesotho karena lebih rendah emisi dan ada manfaat regional, meski prediksi iklim masih penuh ketidakpastian. Studi ini menekankan perlunya desain infrastruktur yang tahan berbagai skenario iklim, bukan hanya mengandalkan prediksi model.
Kerangka Adaptasi: Tiga Pilar Investasi (3I) dan Tiga Tujuan (3E)
1. Informasi
Pengelolaan air adaptif membutuhkan data hidrologi yang akurat dan sistem monitoring yang kuat. Namun, sejak 1992, banyak negara mengalami kemunduran data hidrologi akibat pemotongan anggaran dan konflik. Data global tentang debit sungai, kualitas air, dan recharge air tanah kini banyak yang sudah usang (>30 tahun). Tanpa data, kebijakan adaptasi menjadi spekulatif dan rentan gagal.
2. Institusi
Institusi yang kuat diperlukan untuk mengelola ketidakpastian, mengintegrasikan stakeholder lintas sektor, dan menghubungkan pengambilan keputusan dari tingkat lokal hingga nasional. Kelemahan institusi membuat masyarakat dan negara lebih rentan terhadap variabilitas air, seperti terlihat di Ethiopia dan banyak negara berkembang.
3. Infrastruktur
Infrastruktur fisik (bendungan, jaringan distribusi, pengolahan limbah) sangat penting, namun harus seimbang dengan investasi “soft” seperti penguatan institusi dan informasi. Banyak negara miskin kekurangan kapasitas penyimpanan air, sehingga sangat rentan terhadap kekeringan dan banjir. Namun, pembangunan infrastruktur besar juga harus memperhatikan risiko sosial dan lingkungan, seperti relokasi penduduk dan dampak ekosistem.
Tiga Tujuan (3E): Equity, Environment, Economics
Adaptasi air harus menyeimbangkan keadilan sosial (equity), perlindungan lingkungan (environment), dan pertumbuhan ekonomi (economics). Trade-off antara ketiganya tidak bisa dihindari; seni adaptasi adalah menemukan kombinasi investasi 3I yang optimal untuk mencapai keseimbangan 3E.
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kunci
1. Pertanian
Pertanian adalah sektor terbesar pengguna air (hingga 70% pengambilan global). Di sub-Sahara Afrika, skenario terburuk bisa menurunkan pendapatan pertanian hingga 90% pada 2100 tanpa adaptasi. Di sisi lain, investasi pada irigasi, efisiensi air, dan diversifikasi tanaman bisa mengurangi risiko. Namun, petani kecil paling rentan karena minim akses asuransi, teknologi, dan data iklim.
2. Energi dan Hidroelektrik
Hidropower adalah sumber energi terbarukan terbesar dunia, namun sangat rentan terhadap fluktuasi debit air. Di Uganda, Malawi, dan Kenya, kekeringan ekstrem menyebabkan pemadaman listrik massal dan lonjakan tarif karena harus beralih ke pembangkit berbasis minyak. Di China, biaya relokasi dan mitigasi lingkungan pada proyek Three Gorges lebih tinggi dari biaya konstruksi dam itu sendiri.
3. Kota dan Industri
Urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi meningkatkan permintaan air kota dan industri. Di negara berkembang, 80% penduduk urban hidup di kota dengan infrastruktur air yang rapuh. Perubahan pola curah hujan dan banjir memperbesar biaya penyediaan air bersih, pengolahan limbah, dan perlindungan infrastruktur. Di Afrika dan Asia, populasi urban diprediksi naik dua kali lipat antara 2000–2030, memperberat tekanan pada layanan air.
4. Ekosistem dan Lingkungan
Ekosistem air (sungai, rawa, danau) sering jadi korban pertama saat air langka. Di banyak negara, tidak ada mekanisme efektif untuk menjamin “environmental flow” (aliran minimum untuk ekosistem). Kenaikan suhu, perubahan debit, dan polusi mempercepat degradasi biodiversitas dan jasa lingkungan.
Studi Kasus Lanjutan: Kontroversi Dam dan Adaptasi Multi-Sektor
Proyek-proyek besar seperti Mphanda Nkuwa di Mozambik (1.300 MW) dan Three Gorges di China menyoroti pentingnya perencanaan multi-sektor. Di Mozambik, meski risiko hidrologi rendah dan biaya murah, proyek tertunda karena kontroversi lingkungan dan sosial. Di Australia, sistem hak air di Murray-Darling Basin memungkinkan alokasi ulang air ke sektor bernilai tinggi selama kekeringan, menjaga nilai produksi pertanian meski debit turun drastis.
Tantangan Data dan Sains: Kesenjangan Pengetahuan
Salah satu tantangan utama adalah kurangnya data dan model prediksi yang andal. Model iklim global masih belum bisa memprediksi curah hujan dan debit sungai secara presisi di tingkat lokal. Banyak negara, bahkan maju, mengalami penurunan kualitas data hidrologi karena anggaran monitoring dipotong. Tanpa data, keputusan investasi adaptasi menjadi spekulatif dan berisiko.
Dilema Investasi dan Trade-off Adaptasi
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Paper ini sangat kuat dalam menggabungkan analisis sains, ekonomi, dan kebijakan. Studi kasus konkret dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin memperkaya argumen dan memberi pelajaran nyata tentang dilema dan solusi adaptasi air. Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi: lemahnya data, kapasitas institusi, dan fragmentasi kebijakan di banyak negara berkembang. Paper ini juga menyoroti perlunya inovasi pendanaan dan integrasi adaptasi dalam pembangunan nasional, bukan sekadar proyek donor.
Dibandingkan literatur lain, Sadoff dan Muller lebih menekankan pentingnya investasi jangka panjang pada sistem dan kapasitas nasional, serta perlunya solusi adaptif yang berbasis data dan kolaborasi lintas sektor-negara.
Relevansi Global dan Tren Industri
Adaptasi Air sebagai Fondasi Ketahanan Masa Depan
Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan adaptasi perubahan iklim sangat bergantung pada pengelolaan air yang adaptif, berbasis data, dan kolaboratif. Investasi pada informasi, institusi, dan infrastruktur harus seimbang, dengan kebijakan yang menyeimbangkan keadilan, lingkungan, dan ekonomi. Tanpa reformasi mendasar, negara berkembang akan semakin rentan terhadap siklus krisis air, kemiskinan, dan konflik. Namun, dengan strategi yang tepat, air bisa menjadi fondasi ketahanan, pertumbuhan, dan keberlanjutan di era perubahan iklim.
Sumber Artikel Asli
Claudia Sadoff and Mike Muller. Water Management, Water Security and Climate Change Adaptation: Early Impacts and Essential Responses. Global Water Partnership Technical Committee (TEC) Background Papers No. 14, 2009.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025
Adaptasi Infrastruktur di Era Ketidakpastian Iklim
Perubahan iklim telah mengubah paradigma perencanaan infrastruktur, terutama untuk investasi jangka panjang seperti pertahanan banjir, bendungan, dan sistem air. Paper Haasnoot dkk. (2020) menyoroti tantangan utama: bagaimana membuat keputusan investasi yang tahan banting di tengah ketidakpastian iklim dan sosial-ekonomi yang “non-stationary”—artinya, masa depan tidak bisa lagi diasumsikan serupa dengan masa lalu. Artikel ini mengulas konsep, studi kasus, dan temuan paper secara kritis, mengaitkannya dengan tren global serta memberikan opini dan rekomendasi kebijakan.
Tantangan Investasi Infrastruktur: Path-Dependency dan Risiko Lock-in
Keputusan investasi infrastruktur air biasanya bersifat jangka panjang, dengan umur operasional puluhan hingga ratusan tahun. Namun, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika ekonomi dapat membuat infrastruktur yang awalnya efektif menjadi usang atau “stranded asset”. Contoh nyata adalah Bendungan Optima di Oklahoma, AS, yang dibangun pada 1978 dengan biaya US$48 juta untuk pengendalian banjir dan suplai air, namun tidak pernah digunakan karena perubahan iklim dan ekonomi di hulu sungai. Akibatnya, terjadi “lock-in”: biaya untuk beralih ke solusi lain sangat mahal dan secara politik sulit dilakukan.
Di Belanda, Maeslant Barrier dibangun pada 1990-an dengan biaya €450 juta untuk melindungi Rotterdam dari banjir. Namun, kenaikan permukaan laut yang lebih cepat dari prediksi bisa membuat penghalang ini harus diganti 25 tahun sebelum masa pakai desain berakhir, dengan biaya penggantian sekitar €956 juta. Kasus-kasus ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dan adaptasi dalam perencanaan infrastruktur.
Adaptation Pathways: Merancang Investasi yang Fleksibel
Adaptation pathways adalah pendekatan dinamis yang merancang urutan atau “jalur” investasi adaptasi, bukan hanya satu keputusan besar di awal. Pendekatan ini memetakan berbagai pilihan yang bisa diambil seiring waktu, tergantung pada bagaimana kondisi berubah. Setiap jalur investasi memiliki “adaptation tipping point”—yaitu titik di mana solusi yang ada tak lagi memadai dan perlu diganti atau dilengkapi.
Framework ekonomi yang dikembangkan Haasnoot dkk. memperkenalkan konsep “transfer costs”—biaya yang timbul saat harus beralih dari satu jalur adaptasi ke jalur lain. Transfer costs ini mencakup biaya pembongkaran, relokasi, atau penyesuaian infrastruktur ketika skenario masa depan berubah lebih cepat atau lebih lambat dari prediksi.
Studi Kasus: Pengelolaan Risiko Banjir di Sungai Waal, Belanda
Penulis mengaplikasikan framework ini pada kasus pengelolaan banjir di Sungai Waal, Belanda. Terdapat empat opsi utama:
Dari empat opsi ini, dirancang enam jalur adaptasi, misalnya: mulai dengan low dike lalu beralih ke room for the river saat diperlukan, atau langsung membangun high dike dari awal. Setiap jalur dievaluasi berdasarkan biaya awal, biaya berulang, transfer costs, serta manfaat berupa pengurangan kerugian banjir.
Dalam skenario perubahan iklim cepat, debit sungai bisa naik dari 14.000 m³/s ke 20.000 m³/s dalam 80 tahun; pada skenario lambat, dalam 100 tahun. Setiap opsi memiliki kapasitas maksimal menahan debit tertentu sebelum terjadi banjir, yang menjadi tipping point untuk beralih ke opsi lain.
Angka-Angka Kunci dan Hasil Evaluasi Ekonomi
Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam horizon waktu 40 tahun (tanpa transfer costs), opsi low dike terlihat paling menguntungkan secara ekonomi. Namun, dalam horizon 80 tahun (dengan transfer costs karena harus beralih ke solusi lain), jalur yang dimulai dengan room for the river skala kecil lalu ditambah low dike menjadi lebih efisien. Ini menunjukkan bahwa strategi yang tampak optimal dalam jangka pendek bisa menjadi suboptimal dalam jangka panjang jika tidak memperhitungkan biaya adaptasi di masa depan.
Pelajaran Penting: Transfer Costs dan Path-Dependency
Salah satu temuan utama paper ini adalah pentingnya menghitung transfer costs dalam evaluasi ekonomi. Jika tidak diperhitungkan, keputusan investasi cenderung “terkunci” (lock-in) pada solusi awal, dan biaya beralih di masa depan bisa sangat besar. Di Belanda, misalnya, sejarah panjang pembangunan tanggul menyebabkan akumulasi aset dan populasi di daerah yang dilindungi, sehingga biaya relokasi atau pembebasan lahan untuk memberi ruang pada sungai menjadi sangat mahal.
Transfer costs juga meningkat seiring waktu karena pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Jika tidak ada kebijakan untuk mencegah pembangunan di area yang mungkin nanti dibutuhkan untuk adaptasi (misal zona banjir), maka biaya adaptasi di masa depan akan melonjak.
Manfaat Ekologis dan Sosial: Beyond Cost-Benefit
Selain manfaat ekonomi berupa pengurangan kerugian banjir, opsi “room for the river” juga memberikan co-benefits berupa peningkatan jasa ekosistem, kualitas lingkungan, dan rekreasi. Paper ini mengasumsikan manfaat tambahan sebesar 0,5%–0,7% dari kerugian banjir yang dihindari, namun penulis menekankan bahwa manfaat ekologi sering sulit dimonetisasi dan sangat tergantung pada pilihan politik serta nilai sosial.
Kritik dan Analisis Tambahan
Kekuatan Paper
Kritik
Perbandingan dengan Tren Global dan Literatur Lain
Pendekatan pathways semakin diadopsi dalam kebijakan adaptasi iklim global, seperti di Inggris (Thames Estuary 2100), Australia, dan Selandia Baru. Studi European Environment Agency (2023) juga menekankan pentingnya menghitung biaya inaction, biaya adaptasi, dan manfaat adaptasi secara holistik, termasuk triple dividend: mengurangi risiko, meningkatkan ekonomi lokal, dan memperbaiki ekosistem.
Namun, laporan I4CE (2023) menegaskan bahwa di banyak negara, estimasi biaya adaptasi masih terfragmentasi dan belum menjadi dasar utama pengambilan keputusan. Hal ini karena sulitnya memisahkan biaya adaptasi dari investasi rutin, serta banyaknya aktor dan sektor yang terlibat.
Studi Kasus Lain: Optima Dam dan Maeslant Barrier
Optima Dam di Oklahoma adalah contoh nyata kegagalan perencanaan jangka panjang yang tidak memperhitungkan perubahan iklim dan ekonomi. Bendungan ini menjadi aset “terbuang” karena perubahan kondisi hulu sungai.
Maeslant Barrier di Belanda, meski canggih, menghadapi risiko usang dini akibat kenaikan muka air laut yang lebih cepat dari prediksi. Jika penggantian dilakukan sebelum masa pakai selesai, biaya sosial dan ekonomi sangat besar, apalagi jika pelabuhan Rotterdam—salah satu pelabuhan terbesar dunia—terhambat operasionalnya.
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri
Menuju Investasi Adaptasi yang Tahan Banting dan Fleksibel
Paper Haasnoot dkk. (2020) menegaskan bahwa perencanaan infrastruktur di era perubahan iklim harus mengedepankan fleksibilitas, adaptasi bertahap, dan evaluasi ekonomi yang memasukkan transfer costs serta manfaat ekologi. Keputusan investasi hari ini membentuk masa depan selama puluhan tahun, sehingga mengabaikan ketidakpastian dan biaya adaptasi di masa depan bisa berujung pada kerugian besar dan aset yang sia-sia. Pendekatan pathways adalah jawaban strategis untuk membangun ketahanan infrastruktur, ekonomi, dan masyarakat di tengah dunia yang terus berubah.
Sumber Artikel
Investments under non-stationarity: economic evaluation of adaptation pathways, Marjolijn Haasnoot, Maaike van Aalst, Julie Rozenberg, Kathleen Dominique, John Matthews, Laurens M. Bouwer, Jarl Kind, N. LeRoy Poff. Climatic Change (2020) 161:451–463.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Adaptasi Iklim, Pariwisata, dan Tantangan Pulau Kecil
Perubahan iklim telah menjadi tantangan utama bagi pulau-pulau kecil di seluruh dunia, terutama yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Thailand, dengan ratusan pulau tropisnya, menjadi laboratorium alami untuk memahami bagaimana pelaku industri pariwisata—khususnya pemilik dan manajer akomodasi—memaknai risiko iklim dan mengambil keputusan investasi adaptasi. Disertasi Janto Simon Hess (2020) dari University College London mengupas secara mendalam persepsi, motivasi, dan hambatan investasi adaptasi perubahan iklim di dua destinasi utama: Koh Tao dan Koh Phi Phi.
Artikel ini tidak hanya relevan untuk akademisi, tetapi juga bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas yang ingin memahami dinamika nyata adaptasi iklim di sektor pariwisata pulau kecil. Dengan menggabungkan data survei, wawancara mendalam, dan analisis stakeholder, studi ini menawarkan wawasan orisinal tentang bagaimana adaptasi berjalan di lapangan—seringkali secara reaktif dan tanpa kesadaran penuh akan risiko iklim.
Pulau Kecil, Ketergantungan Pariwisata, dan Kerentanan Iklim
Karakteristik Pulau Kecil
Tantangan Adaptasi
Studi Kasus: Koh Tao dan Koh Phi Phi—Dua Wajah Pariwisata Pulau Kecil
Koh Tao: Surga Selam yang Terancam
Koh Phi Phi: Destinasi Massal dan Trauma Tsunami
Metodologi: Survei, Wawancara, dan Analisis Stakeholder
Temuan Utama: Persepsi, Adaptasi, dan Hambatan Investasi
Persepsi Risiko dan Adaptasi
Tindakan Adaptasi yang Sudah Diterapkan
Hambatan dan Insentif Investasi Adaptasi
Analisis Kritis: Dinamika Stakeholder, Kekuasaan, dan Adaptasi
Stakeholder dan Dinamika Kekuasaan
Adaptasi sebagai Proses Sosial-Ekologis
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Industri
Originalitas dan Nilai Tambah
Hubungan dengan Tren Global
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
1. Penguatan Kapasitas dan Akses Informasi
2. Insentif Investasi Adaptasi
3. Tata Kelola Kolaboratif
4. Integrasi Adaptasi dalam Strategi Bisnis
Menuju Adaptasi Iklim yang Kontekstual dan Inklusif
Studi Janto Simon Hess menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di pulau kecil tidak bisa mengandalkan solusi satu ukuran untuk semua. Adaptasi yang efektif harus berbasis pada:
Dengan mengadopsi pendekatan ini, destinasi pariwisata pulau kecil di Thailand dan dunia dapat memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim sekaligus menjaga daya saing dan keberlanjutan ekonomi.
Sumber Artikel
Janto Simon Hess. “Financing Climate Change Adaptation in Small Islands: Assessing Accommodation Suppliers’ Perceptions in Thailand.” PhD Thesis, Institute for Risk and Disaster Reduction (IRDR), University College London (UCL), 2020.