Mengurai Tantangan Integrasi Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Aceh: Dua Dekade Pasca-Tsunami

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

02 Juli 2025, 09.51

pixabay.com

Aceh, Laboratorium Kebijakan Bencana dan Iklim Indonesia

Dua puluh tahun setelah tsunami Samudra Hindia 2004 yang menewaskan 168.000 jiwa dan menyebabkan kerugian lebih dari USD 5,1 miliar di Aceh, provinsi ini menjadi laboratorium kebijakan pengurangan risiko bencana (DRR) dan adaptasi perubahan iklim (CCA) di Indonesia. Namun, di balik kemajuan masif pada infrastruktur, regulasi, dan kapasitas kelembagaan, Aceh masih menghadapi tantangan besar dalam mengintegrasikan DRR dan CCA secara efektif di level lokal. Paper Sofyan Sufri dan Jonatan Anderias Lassa (2024) mengupas secara kritis perjalanan, capaian, dan hambatan integrasi DRR-CCA di Aceh, khususnya di Banda Aceh, dengan menyoroti studi kasus, angka-angka kunci, dan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Latar Belakang: Dari Tsunami ke Ancaman Multi-Bencana

Tsunami 2004 bukan hanya bencana terbesar di awal abad ke-21, tetapi juga pemicu perubahan geomorfologi besar di pesisir Aceh. Subsiden tanah 0,5–1 meter di kawasan pantai barat, selatan, dan barat daya membuat wilayah ini makin rentan terhadap banjir pesisir, rob, dan badai. Setelah tsunami, Aceh terus dilanda bencana hidrometeorologi:

  • Banjir besar akhir 2006 melanda 767 desa di tujuh kabupaten, menewaskan 47 orang, merugikan USD 210 juta, dan berdampak pada lebih dari setengah juta jiwa.
  • Setiap tahun, Aceh mengalami banjir, longsor, erosi pantai, cuaca ekstrem, dan kekeringan yang makin intens akibat perubahan iklim.

Data menunjukkan bahwa banyak masyarakat kembali bermukim di wilayah pesisir yang rawan banjir dan subsiden, didorong harga tanah murah, akses pekerjaan, dan kedekatan keluarga, meski risiko bencana meningkat.

Kerangka Konseptual: DRR dan CCA, Dua Sektor yang Sering Terpisah

DRR dan CCA sama-sama bertujuan mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana, namun secara kelembagaan dan operasional sering berjalan sendiri-sendiri. DRR di Indonesia dikelola oleh BNPB dan BPBD/BPBA di tingkat provinsi/kabupaten, sementara CCA dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta dinas lingkungan hidup daerah.

  • DRR menangani semua jenis bahaya (geologi, hidrometeorologi, dll), fokus pada risiko saat ini dan jangka pendek.
  • CCA fokus pada bahaya terkait iklim (banjir, kekeringan, erosi, dll), dengan cakupan jangka menengah-panjang.
  • Kedua sektor menggunakan alat, pendekatan, dan istilah yang serupa (risiko, kerentanan, kapasitas adaptif, resiliensi), namun sering terjebak dalam “silo” birokrasi dan regulasi.

Studi Kasus: Banda Aceh dan Implementasi DRR-CCA

Kemajuan Kelembagaan dan Regulasi

Setelah tsunami, Aceh membentuk BPBA (2010) dan BPBD di 23 kabupaten/kota. Infrastruktur mitigasi bencana berkembang pesat:

  • 6 gedung evakuasi tsunami, 3 jalan evakuasi utama di Banda Aceh,
  • 85 taman memorial tsunami, museum tsunami, dan 11 sensor gempa,
  • 8 menara sirene (masih jauh dari ideal untuk garis pantai 800 km).

Regulasi kunci yang dihasilkan antara 2010–2022 meliputi Qanun Aceh tentang penanggulangan bencana, SOP sistem peringatan dini, rencana aksi DRR, hingga dokumen penilaian risiko terbaru (2021–2025).

Implementasi Adaptasi Iklim: ProKlim dan Tantangannya

Program Kampung Iklim (ProKlim) diperkenalkan KLHK di Aceh sejak 2012, dengan kegiatan seperti pengelolaan sampah, penghijauan, dan penguatan kapasitas adaptasi di 11 desa Banda Aceh. Namun, partisipasi masyarakat masih minim—hanya 1 dari 6 responden di Meuraxa-Lambung yang memahami ProKlim. Banyak warga mengaku tidak tahu tujuan program, merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan akhirnya tidak memiliki rasa kepemilikan.

Temuan Kunci: Empat Hambatan Integrasi DRR-CCA di Aceh

1. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi

DRR dan CCA dikelola oleh institusi berbeda, dengan budaya kerja, struktur, dan regulasi sendiri-sendiri.

  • BPBA/BPBD fokus pada penilaian risiko dan mitigasi bencana, tanpa melibatkan DLHK dalam tim penyusun.
  • DLHK lebih banyak menjalankan ProKlim yang sporadis dan terbatas pada pengurangan emisi, bukan adaptasi multi-bahaya.
  • Akibatnya, upaya DRR dan CCA sering tumpang tindih, tidak efisien, dan miskin sinergi.

2. Kurangnya Komitmen Politik

Wawancara dengan pejabat dan politisi lokal menunjukkan rendahnya kesadaran dan prioritas terhadap isu perubahan iklim.

  • Banyak pejabat masih menganggap perubahan iklim bukan isu mendesak di Aceh, lebih fokus pada respons darurat ketimbang adaptasi jangka panjang.
  • Anggaran DRR dan CCA sering kalah prioritas dibanding isu pendidikan, kesehatan, atau ekonomi.
  • Tidak ada alokasi dana khusus (earmarked) untuk integrasi DRR-CCA di tingkat kabupaten/desa.

3. Keterbatasan Pendanaan

Baik BPBA maupun DLHK mengeluhkan minimnya dana untuk DRR dan CCA, apalagi untuk integrasi keduanya.

  • BPBA mengaku kekurangan dana untuk program DRR, apalagi untuk kolaborasi lintas sektor.
  • ProKlim hanya didanai dari dana desa dan APBD/APBN, tidak ada dukungan khusus untuk integrasi dengan DRR.
  • Akibatnya, banyak program tidak berkelanjutan dan bergantung pada donor eksternal.

4. Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat yang Lemah

Partisipasi masyarakat dalam program adaptasi iklim jauh lebih rendah dibanding program DRR berbasis komunitas (CBDRR).

  • ProKlim cenderung top-down, tanpa konsultasi berarti dengan warga dalam perencanaan dan pelaksanaan.
  • Hanya 17% responden di tingkat desa yang paham ProKlim, dan banyak yang merasa tidak lagi terlibat setelah program berjalan.
  • Sebaliknya, program CBDRR seperti Desa Tangguh Bencana lebih berhasil membangun partisipasi dan rasa kepemilikan.

Studi Banding: Perbandingan dengan Daerah Lain dan Tren Global

  • Fragmentasi kelembagaan dan minimnya komitmen politik juga menjadi kendala utama di banyak negara Asia Tenggara dan Asia Selatan.
  • Studi di Sri Lanka, Filipina, dan Kenya menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA membutuhkan kepemimpinan politik, insentif fiskal, dan forum multi-pemangku kepentingan.
  • Inisiatif seperti Community-Based Climate Change Adaptation (CBCCA) terbukti lebih berkelanjutan jika mengadopsi prinsip partisipasi penuh, transfer pengetahuan lokal, dan pembagian manfaat yang adil.

Rekomendasi dan Agenda Perbaikan

  1. Perkuat Koordinasi Lintas Sektor: Bentuk task force atau forum multi-aktor di bawah Sekda untuk merumuskan kebijakan dan program integrasi DRR-CCA, dengan mandat jelas dan insentif kolaborasi.
  2. Dorong Komitmen Politik dan Anggaran: Jadikan DRR-CCA prioritas dalam rencana pembangunan daerah dan APBD, serta dorong insentif fiskal untuk program integrasi di tingkat desa.
  3. Transformasi Partisipasi Masyarakat: Terapkan pendekatan CBCCA berbasis pengalaman sukses CBDRR di Aceh, libatkan masyarakat sejak perencanaan, penilaian risiko, hingga monitoring.
  4. Penguatan Kapasitas dan Dokumentasi: Lakukan pelatihan lintas sektor, dokumentasi praktik baik, dan evaluasi berkala untuk memastikan pembelajaran berkelanjutan.
  5. Manfaatkan Dana Desa dan Program Nasional: Integrasikan DRR-CCA dalam prioritas penggunaan Dana Desa, serta sinergikan dengan ProKlim dan program Desa Tangguh Bencana.

Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang

Aceh menunjukkan bahwa integrasi DRR-CCA tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau donor, melainkan butuh perubahan budaya kelembagaan, kepemimpinan politik, dan partisipasi masyarakat. Pengalaman Aceh sangat relevan untuk provinsi rawan bencana lain di Indonesia, serta negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa:

  • Hindari silo birokrasi, dorong sinergi lintas sektor.
  • Prioritaskan edukasi dan pelibatan masyarakat agar program adaptasi benar-benar berakar dan berkelanjutan.
  • Jadikan pengalaman lokal sebagai dasar inovasi kebijakan nasional.

Penutup: Menuju Integrasi DRR-CCA yang Inklusif dan Berkelanjutan

Studi Sufri & Lassa menegaskan bahwa dua dekade pasca-tsunami, Aceh telah mengalami kemajuan besar di bidang DRR dan adaptasi iklim, namun integrasi keduanya masih terhambat oleh fragmentasi kelembagaan, lemahnya komitmen politik, keterbatasan dana, dan minimnya partisipasi masyarakat. Transformasi menuju integrasi DRR-CCA yang efektif hanya bisa dicapai dengan kepemimpinan kuat, kolaborasi lintas sektor, dan pemberdayaan komunitas sebagai aktor utama. Pelajaran dari Aceh menjadi cermin penting bagi Indonesia dan negara-negara lain dalam membangun ketangguhan iklim di era risiko multi-bencana.

Sumber asli:
Sofyan Sufri, Jonatan Anderias Lassa. (2024). Integration of disaster risk reduction and climate change adaptation in Aceh: Progress and challenges after 20 Years of Indian Ocean Tsunamis. International Journal of Disaster Risk Reduction, 113, 104894.