Perubahan Iklim

Investasi dalam kondisi non-stasioner: evaluasi ekonomi jalur adaptasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025


Adaptasi Infrastruktur di Era Ketidakpastian Iklim

Perubahan iklim telah mengubah paradigma perencanaan infrastruktur, terutama untuk investasi jangka panjang seperti pertahanan banjir, bendungan, dan sistem air. Paper Haasnoot dkk. (2020) menyoroti tantangan utama: bagaimana membuat keputusan investasi yang tahan banting di tengah ketidakpastian iklim dan sosial-ekonomi yang “non-stationary”—artinya, masa depan tidak bisa lagi diasumsikan serupa dengan masa lalu. Artikel ini mengulas konsep, studi kasus, dan temuan paper secara kritis, mengaitkannya dengan tren global serta memberikan opini dan rekomendasi kebijakan.

Tantangan Investasi Infrastruktur: Path-Dependency dan Risiko Lock-in

Keputusan investasi infrastruktur air biasanya bersifat jangka panjang, dengan umur operasional puluhan hingga ratusan tahun. Namun, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika ekonomi dapat membuat infrastruktur yang awalnya efektif menjadi usang atau “stranded asset”. Contoh nyata adalah Bendungan Optima di Oklahoma, AS, yang dibangun pada 1978 dengan biaya US$48 juta untuk pengendalian banjir dan suplai air, namun tidak pernah digunakan karena perubahan iklim dan ekonomi di hulu sungai. Akibatnya, terjadi “lock-in”: biaya untuk beralih ke solusi lain sangat mahal dan secara politik sulit dilakukan.

Di Belanda, Maeslant Barrier dibangun pada 1990-an dengan biaya €450 juta untuk melindungi Rotterdam dari banjir. Namun, kenaikan permukaan laut yang lebih cepat dari prediksi bisa membuat penghalang ini harus diganti 25 tahun sebelum masa pakai desain berakhir, dengan biaya penggantian sekitar €956 juta. Kasus-kasus ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dan adaptasi dalam perencanaan infrastruktur.

Adaptation Pathways: Merancang Investasi yang Fleksibel

Adaptation pathways adalah pendekatan dinamis yang merancang urutan atau “jalur” investasi adaptasi, bukan hanya satu keputusan besar di awal. Pendekatan ini memetakan berbagai pilihan yang bisa diambil seiring waktu, tergantung pada bagaimana kondisi berubah. Setiap jalur investasi memiliki “adaptation tipping point”—yaitu titik di mana solusi yang ada tak lagi memadai dan perlu diganti atau dilengkapi.

Framework ekonomi yang dikembangkan Haasnoot dkk. memperkenalkan konsep “transfer costs”—biaya yang timbul saat harus beralih dari satu jalur adaptasi ke jalur lain. Transfer costs ini mencakup biaya pembongkaran, relokasi, atau penyesuaian infrastruktur ketika skenario masa depan berubah lebih cepat atau lebih lambat dari prediksi.

Studi Kasus: Pengelolaan Risiko Banjir di Sungai Waal, Belanda

Penulis mengaplikasikan framework ini pada kasus pengelolaan banjir di Sungai Waal, Belanda. Terdapat empat opsi utama:

  • Menaikkan tanggul (dike) setinggi 0,5 m (low dike)
  • Menaikkan tanggul lebih tinggi (high dike)
  • Memberi ruang pada sungai (room for the river) skala kecil
  • Memberi ruang pada sungai skala besar

Dari empat opsi ini, dirancang enam jalur adaptasi, misalnya: mulai dengan low dike lalu beralih ke room for the river saat diperlukan, atau langsung membangun high dike dari awal. Setiap jalur dievaluasi berdasarkan biaya awal, biaya berulang, transfer costs, serta manfaat berupa pengurangan kerugian banjir.

Dalam skenario perubahan iklim cepat, debit sungai bisa naik dari 14.000 m³/s ke 20.000 m³/s dalam 80 tahun; pada skenario lambat, dalam 100 tahun. Setiap opsi memiliki kapasitas maksimal menahan debit tertentu sebelum terjadi banjir, yang menjadi tipping point untuk beralih ke opsi lain.

Angka-Angka Kunci dan Hasil Evaluasi Ekonomi

  • Biaya awal Maeslant Barrier: €450 juta
  • Biaya penggantian dini: €956 juta
  • Biaya pembangunan Optima Dam: US$48 juta (tidak pernah digunakan)
  • Manfaat adaptasi: Dihitung dari kerugian banjir yang dihindari, misal 56 unit/tahun untuk skenario iklim cepat dan 45 unit/tahun untuk skenario lambat
  • Pertumbuhan ekonomi: Diasumsikan 2% per tahun, mempengaruhi nilai lahan dan transfer costs
  • Discount rate: 3% untuk menghitung Net Present Value (NPV) dari setiap jalur adaptasi

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam horizon waktu 40 tahun (tanpa transfer costs), opsi low dike terlihat paling menguntungkan secara ekonomi. Namun, dalam horizon 80 tahun (dengan transfer costs karena harus beralih ke solusi lain), jalur yang dimulai dengan room for the river skala kecil lalu ditambah low dike menjadi lebih efisien. Ini menunjukkan bahwa strategi yang tampak optimal dalam jangka pendek bisa menjadi suboptimal dalam jangka panjang jika tidak memperhitungkan biaya adaptasi di masa depan.

Pelajaran Penting: Transfer Costs dan Path-Dependency

Salah satu temuan utama paper ini adalah pentingnya menghitung transfer costs dalam evaluasi ekonomi. Jika tidak diperhitungkan, keputusan investasi cenderung “terkunci” (lock-in) pada solusi awal, dan biaya beralih di masa depan bisa sangat besar. Di Belanda, misalnya, sejarah panjang pembangunan tanggul menyebabkan akumulasi aset dan populasi di daerah yang dilindungi, sehingga biaya relokasi atau pembebasan lahan untuk memberi ruang pada sungai menjadi sangat mahal.

Transfer costs juga meningkat seiring waktu karena pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Jika tidak ada kebijakan untuk mencegah pembangunan di area yang mungkin nanti dibutuhkan untuk adaptasi (misal zona banjir), maka biaya adaptasi di masa depan akan melonjak.

Manfaat Ekologis dan Sosial: Beyond Cost-Benefit

Selain manfaat ekonomi berupa pengurangan kerugian banjir, opsi “room for the river” juga memberikan co-benefits berupa peningkatan jasa ekosistem, kualitas lingkungan, dan rekreasi. Paper ini mengasumsikan manfaat tambahan sebesar 0,5%–0,7% dari kerugian banjir yang dihindari, namun penulis menekankan bahwa manfaat ekologi sering sulit dimonetisasi dan sangat tergantung pada pilihan politik serta nilai sosial.

Kritik dan Analisis Tambahan

Kekuatan Paper

  • Inovasi Metodologi: Framework EEFAP (Economic Evaluation Framework for Adaptation Pathways) memperluas analisis ekonomi klasik dengan memasukkan urutan keputusan dan transfer costs.
  • Relevansi Praktis: Studi kasus Belanda sangat aplikatif untuk negara-negara dataran rendah, pesisir, atau kawasan urban yang menghadapi risiko banjir dan perubahan iklim.
  • Fleksibilitas: Framework ini tidak memerlukan prediksi probabilitas masa depan secara presisi, sehingga cocok untuk ketidakpastian iklim yang dalam.

Kritik

  • Kesulitan Monetisasi Co-benefits: Manfaat ekologi dan sosial sering diabaikan atau sulit diukur, padahal bisa mengubah urutan prioritas investasi.
  • Keterbatasan Data: Perhitungan transfer costs dan tipping point sangat bergantung pada data lokal, yang tidak selalu tersedia di negara berkembang.
  • Pengaruh Kebijakan dan Politik: Keputusan investasi sering dipengaruhi oleh siklus politik, bukan analisis ekonomi jangka panjang.

Perbandingan dengan Tren Global dan Literatur Lain

Pendekatan pathways semakin diadopsi dalam kebijakan adaptasi iklim global, seperti di Inggris (Thames Estuary 2100), Australia, dan Selandia Baru. Studi European Environment Agency (2023) juga menekankan pentingnya menghitung biaya inaction, biaya adaptasi, dan manfaat adaptasi secara holistik, termasuk triple dividend: mengurangi risiko, meningkatkan ekonomi lokal, dan memperbaiki ekosistem.

Namun, laporan I4CE (2023) menegaskan bahwa di banyak negara, estimasi biaya adaptasi masih terfragmentasi dan belum menjadi dasar utama pengambilan keputusan. Hal ini karena sulitnya memisahkan biaya adaptasi dari investasi rutin, serta banyaknya aktor dan sektor yang terlibat.

Studi Kasus Lain: Optima Dam dan Maeslant Barrier

Optima Dam di Oklahoma adalah contoh nyata kegagalan perencanaan jangka panjang yang tidak memperhitungkan perubahan iklim dan ekonomi. Bendungan ini menjadi aset “terbuang” karena perubahan kondisi hulu sungai.

Maeslant Barrier di Belanda, meski canggih, menghadapi risiko usang dini akibat kenaikan muka air laut yang lebih cepat dari prediksi. Jika penggantian dilakukan sebelum masa pakai selesai, biaya sosial dan ekonomi sangat besar, apalagi jika pelabuhan Rotterdam—salah satu pelabuhan terbesar dunia—terhambat operasionalnya.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri

  1. Integrasi Transfer Costs dalam Analisis Investasi:
    Semua perencanaan infrastruktur jangka panjang harus menghitung biaya beralih (transfer costs) dan skenario perubahan iklim.
  2. Fleksibilitas dan Zoning Adaptif:
    Pemerintah perlu menetapkan zona adaptasi (misal, zona banjir) untuk mencegah pembangunan di area yang mungkin diperlukan untuk solusi adaptasi di masa depan.
  3. Monetisasi Co-benefits:
    Manfaat ekologi dan sosial harus dimasukkan dalam analisis ekonomi, meski sulit diukur, agar solusi berbasis alam mendapat prioritas yang layak.
  4. Horizon Evaluasi yang Panjang:
    Hindari evaluasi investasi hanya dalam horizon 20–30 tahun; gunakan horizon 80–100 tahun sesuai umur infrastruktur.
  5. Transparansi dan Partisipasi Publik:
    Libatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam perencanaan pathways untuk meningkatkan legitimasi dan keberlanjutan kebijakan.

Menuju Investasi Adaptasi yang Tahan Banting dan Fleksibel

Paper Haasnoot dkk. (2020) menegaskan bahwa perencanaan infrastruktur di era perubahan iklim harus mengedepankan fleksibilitas, adaptasi bertahap, dan evaluasi ekonomi yang memasukkan transfer costs serta manfaat ekologi. Keputusan investasi hari ini membentuk masa depan selama puluhan tahun, sehingga mengabaikan ketidakpastian dan biaya adaptasi di masa depan bisa berujung pada kerugian besar dan aset yang sia-sia. Pendekatan pathways adalah jawaban strategis untuk membangun ketahanan infrastruktur, ekonomi, dan masyarakat di tengah dunia yang terus berubah.

Sumber Artikel 

Investments under non-stationarity: economic evaluation of adaptation pathways, Marjolijn Haasnoot, Maaike van Aalst, Julie Rozenberg, Kathleen Dominique, John Matthews, Laurens M. Bouwer, Jarl Kind, N. LeRoy Poff. Climatic Change (2020) 161:451–463.

Selengkapnya
Investasi dalam kondisi non-stasioner: evaluasi ekonomi jalur adaptasi

Perubahan Iklim

Adaptasi Perubahan Iklim di Pulau Kecil : Studi Kasus dan Dinamika Investasi Akomodasi di Thailand

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Adaptasi Iklim, Pariwisata, dan Tantangan Pulau Kecil

Perubahan iklim telah menjadi tantangan utama bagi pulau-pulau kecil di seluruh dunia, terutama yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Thailand, dengan ratusan pulau tropisnya, menjadi laboratorium alami untuk memahami bagaimana pelaku industri pariwisata—khususnya pemilik dan manajer akomodasi—memaknai risiko iklim dan mengambil keputusan investasi adaptasi. Disertasi Janto Simon Hess (2020) dari University College London mengupas secara mendalam persepsi, motivasi, dan hambatan investasi adaptasi perubahan iklim di dua destinasi utama: Koh Tao dan Koh Phi Phi.

Artikel ini tidak hanya relevan untuk akademisi, tetapi juga bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas yang ingin memahami dinamika nyata adaptasi iklim di sektor pariwisata pulau kecil. Dengan menggabungkan data survei, wawancara mendalam, dan analisis stakeholder, studi ini menawarkan wawasan orisinal tentang bagaimana adaptasi berjalan di lapangan—seringkali secara reaktif dan tanpa kesadaran penuh akan risiko iklim.

Pulau Kecil, Ketergantungan Pariwisata, dan Kerentanan Iklim

Karakteristik Pulau Kecil

  • Keterbatasan sumber daya: Pulau kecil umumnya memiliki sumber daya air tawar terbatas, infrastruktur minim, dan ketergantungan tinggi pada impor barang.
  • Ketergantungan ekonomi: Pariwisata menjadi motor utama ekonomi, seperti di Thailand, di mana sektor ini menyumbang 21,2% PDB dan 15,5% lapangan kerja pada 2017.
  • Kerentanan iklim: Pulau-pulau ini sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut, erosi pantai, badai tropis, dan pemutihan karang.

Tantangan Adaptasi

  • Risiko langsung: Kerusakan infrastruktur akibat badai, banjir, dan erosi pantai.
  • Risiko tidak langsung: Penurunan daya tarik destinasi akibat kerusakan ekosistem (misal, pemutihan karang di Koh Tao).
  • Keterbatasan kapasitas: Kecilnya skala bisnis dan akses informasi membuat adaptasi seringkali bersifat reaktif, bukan strategis.

Studi Kasus: Koh Tao dan Koh Phi Phi—Dua Wajah Pariwisata Pulau Kecil

Koh Tao: Surga Selam yang Terancam

  • Profil: Pulau seluas 21 km², sekitar 500.000 wisatawan per tahun, 200 akomodasi, dan 50 sekolah selam.
  • Ekonomi: Pariwisata selam menjadi tulang punggung, dengan 1/3 sertifikasi PADI Thailand berasal dari sini.
  • Dampak Iklim: Pemutihan karang besar pada 2010, 72% karang terdampak; penurunan tutupan hutan 50% sejak 1975; kekurangan air musiman.
  • Tantangan sosial: Kepemilikan lahan didominasi warisan, pengelolaan limbah dan air masih lemah, dan penegakan hukum lingkungan minim.

Koh Phi Phi: Destinasi Massal dan Trauma Tsunami

  • Profil: Pulau 12,25 km², 1,2 juta pengunjung per tahun sebelum pandemi, 120 akomodasi, mayoritas Muslim.
  • Ekonomi: Pariwisata massal, terutama setelah film "The Beach" (2000), dengan pendapatan tahunan mencapai US$113 juta (2005).
  • Dampak Iklim & Bencana: Tsunami 2004 menghancurkan 70% infrastruktur, banjir, erosi pantai, dan kekurangan air bersih.
  • Tantangan sosial: Konsentrasi kepemilikan lahan pada 4-5 keluarga besar, konflik tata ruang pasca-tsunami, dan tekanan pada ekosistem (penutupan Maya Bay akibat over-tourism).

Metodologi: Survei, Wawancara, dan Analisis Stakeholder

  • Survei: 193 responden (112 Koh Tao, 81 Koh Phi Phi), mencakup 56–67% populasi akomodasi di kedua pulau.
  • Wawancara mendalam: 32 narasumber (28 pemilik/manajer akomodasi, 4 pakar/pemerintah).
  • Pendekatan: Mixed-method, menggabungkan data kuantitatif (frekuensi, korelasi) dan kualitatif (narasi, persepsi, motivasi).
  • Fokus: Persepsi risiko iklim, tindakan adaptasi yang sudah dilakukan, hambatan dan insentif investasi, serta pengaruh stakeholder.

Temuan Utama: Persepsi, Adaptasi, dan Hambatan Investasi

Persepsi Risiko dan Adaptasi

  • Kesadaran risiko: Mayoritas pelaku akomodasi menyadari perubahan iklim sebagai ancaman jangka panjang, namun hanya sebagian yang menganggapnya ancaman langsung terhadap bisnis.
  • Adaptasi reaktif: Investasi adaptasi lebih sering didorong oleh pengalaman langsung (misal, banjir, kekeringan, kerusakan akibat badai) daripada perencanaan strategis berbasis risiko iklim.
  • Contoh nyata:
    • Koh Tao: 59,8% akomodasi memiliki restoran/bar, 29,5% sekolah selam, 40,2% menyediakan transportasi. 27,9% properti berjarak <10 meter dari pantai, sangat rentan erosi dan banjir.
    • Koh Phi Phi: 83% limbah cair dibuang tanpa pengolahan, menyebabkan pencemaran air dan memperparah risiko kesehatan.

Tindakan Adaptasi yang Sudah Diterapkan

  • Teknis: Penggunaan tangki air hujan, sistem pengolahan air limbah sederhana, desain bangunan tahan angin/banjir, dan perlindungan pantai (seawall, vegetasi).
  • Manajerial: Diversifikasi produk (misal, menambah layanan spa, restoran), penutupan musiman saat cuaca ekstrem, dan pemasaran ulang destinasi.
  • Kolaborasi: Inisiatif komunitas seperti "Save Koh Tao" untuk rehabilitasi karang dan edukasi lingkungan.

Hambatan dan Insentif Investasi Adaptasi

  • Hambatan utama:
    • Akses informasi: 70–80% pelaku sadar perubahan iklim, tapi minim pemahaman teknis dan data lokal.
    • Keterbatasan dana: Bisnis kecil sulit mengakses kredit atau insentif fiskal untuk investasi adaptasi.
    • Penegakan hukum lemah: Rencana tata ruang dan zonasi sering gagal diterapkan akibat konflik kepentingan dan lemahnya pengawasan.
    • Ketergantungan pada pemerintah pusat: Banyak pelaku merasa tidak bisa mengandalkan pemerintah pusat untuk dukungan adaptasi.
  • Insentif potensial:
    • Pengurangan pajak: 64% responden menyatakan insentif pajak akan membantu investasi adaptasi.
    • Kolaborasi komunitas: Inisiatif lokal lebih efektif daripada intervensi top-down.

Analisis Kritis: Dinamika Stakeholder, Kekuasaan, dan Adaptasi

Stakeholder dan Dinamika Kekuasaan

  • Konsentrasi kekuasaan: Di Koh Phi Phi, 80% lahan dikuasai 4–5 keluarga besar, mempengaruhi arah pembangunan dan resistensi terhadap regulasi baru.
  • Peran informal: Jaringan sosial dan kekuatan informal seringkali lebih menentukan daripada kebijakan formal, baik dalam pengambilan keputusan investasi maupun implementasi adaptasi.
  • Kolaborasi vs. konflik: Inisiatif adaptasi yang berhasil umumnya berbasis kolaborasi lokal, bukan instruksi pemerintah pusat.

Adaptasi sebagai Proses Sosial-Ekologis

  • Adaptasi tidak selalu sadar: Banyak tindakan adaptasi dilakukan tanpa label "adaptasi iklim", melainkan sebagai respons terhadap masalah operasional (misal, kekurangan air, kerusakan pantai).
  • Peran pengalaman bencana: Pengalaman langsung seperti tsunami 2004 di Koh Phi Phi menjadi pemicu utama perubahan perilaku dan investasi adaptasi.
  • Ketergantungan pada ekosistem: Kesehatan ekosistem (karang, hutan, air tawar) sangat menentukan daya saing dan keberlanjutan bisnis akomodasi.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Industri

Originalitas dan Nilai Tambah

  • Kontribusi teoretis: Studi ini memperluas stakeholder theory dengan menunjukkan bahwa "perubahan iklim" dapat diidentifikasi sebagai stakeholder utama bagi bisnis akomodasi, meski belum diakui secara strategis oleh pelaku usaha.
  • Praktik adaptasi nyata: Berbeda dengan banyak studi yang fokus pada kebijakan makro, riset ini menyoroti adaptasi di level mikro (bisnis lokal) dan dinamika kekuasaan di pulau kecil.
  • Kritik: Studi ini kurang membahas peran teknologi baru (IoT, AI) dalam monitoring risiko iklim dan adaptasi, serta minim eksplorasi insentif keuangan inovatif (misal, blended finance, green bonds).

Hubungan dengan Tren Global

  • SDGs dan Paris Agreement: Temuan studi ini sejalan dengan agenda global yang menekankan pentingnya adaptasi berbasis komunitas dan kolaborasi multi-stakeholder.
  • Industri pariwisata global: Banyak destinasi pulau kecil di dunia menghadapi tantangan serupa—ketergantungan ekonomi, kerentanan iklim, dan dilema antara pertumbuhan dan keberlanjutan.
  • Praktik terbaik: Studi ini menegaskan pentingnya edukasi, insentif fiskal, dan penguatan kelembagaan lokal sebagai kunci sukses adaptasi.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik

1. Penguatan Kapasitas dan Akses Informasi

  • Kembangkan platform data iklim lokal yang mudah diakses pelaku usaha.
  • Libatkan universitas dan LSM dalam edukasi dan pelatihan adaptasi berbasis kebutuhan nyata.

2. Insentif Investasi Adaptasi

  • Sediakan insentif pajak dan kredit lunak untuk investasi adaptasi (misal, sistem air hujan, pengolahan limbah, desain bangunan tahan bencana).
  • Dorong skema asuransi berbasis risiko iklim untuk bisnis kecil.

3. Tata Kelola Kolaboratif

  • Perkuat peran komunitas dan asosiasi lokal dalam perencanaan dan implementasi adaptasi.
  • Fasilitasi dialog antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mengatasi konflik kepentingan.

4. Integrasi Adaptasi dalam Strategi Bisnis

  • Dorong pelaku usaha untuk memasukkan risiko iklim dalam perencanaan jangka panjang dan diversifikasi produk.
  • Promosikan sertifikasi dan standar lingkungan sebagai nilai tambah pemasaran.

Menuju Adaptasi Iklim yang Kontekstual dan Inklusif

Studi Janto Simon Hess menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di pulau kecil tidak bisa mengandalkan solusi satu ukuran untuk semua. Adaptasi yang efektif harus berbasis pada:

  • Konteks lokal: Memahami dinamika sosial, ekonomi, dan ekologi unik setiap pulau.
  • Kolaborasi multi-stakeholder: Melibatkan pelaku usaha, komunitas, pemerintah, dan pakar.
  • Inovasi dan insentif: Menggabungkan solusi teknis, manajerial, dan kebijakan yang relevan.
  • Pemberdayaan komunitas: Meningkatkan kapasitas lokal dan memperkuat kelembagaan akar rumput.

Dengan mengadopsi pendekatan ini, destinasi pariwisata pulau kecil di Thailand dan dunia dapat memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim sekaligus menjaga daya saing dan keberlanjutan ekonomi.

Sumber Artikel 

Janto Simon Hess. “Financing Climate Change Adaptation in Small Islands: Assessing Accommodation Suppliers’ Perceptions in Thailand.” PhD Thesis, Institute for Risk and Disaster Reduction (IRDR), University College London (UCL), 2020.

Selengkapnya
Adaptasi Perubahan Iklim di Pulau Kecil : Studi Kasus dan Dinamika Investasi Akomodasi di Thailand

Perubahan Iklim

Meneropong Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air: Studi Kasus General Pueyrredon, Argentina

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air Menjadi Isu Kritis?

Di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan urbanisasi pesat, dunia menghadapi krisis air yang tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga tata kelola. Permasalahan air kerap kali berakar pada lemahnya tata kelola—bukan sekadar kurangnya sumber daya fisik. Paper “Water governance challenges at a local level: implementation of the OECD Water Governance Indicator Framework in the General Pueyrredon Municipality, Buenos Aires Province, Argentina” menawarkan studi kasus mendalam tentang bagaimana kerangka tata kelola air OECD diimplementasikan di tingkat lokal, serta tantangan dan pelajaran yang dapat dipetik untuk konteks global dan Indonesia1.

Artikel ini mengupas temuan utama paper tersebut, menyoroti data dan studi kasus aktual, serta menganalisis relevansinya dengan tren industri, kebijakan, dan tantangan tata kelola air di berbagai negara. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini relevan untuk pembuat kebijakan, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada keberlanjutan sumber daya air.

Gambaran Umum: Definisi dan Kerangka Tata Kelola Air

Apa Itu Tata Kelola Air?

Tata kelola air didefinisikan sebagai serangkaian aturan, praktik, dan proses politik, institusional, serta administratif—baik formal maupun informal—yang menentukan bagaimana keputusan terkait air diambil dan diimplementasikan, bagaimana kepentingan para pemangku kepentingan diakomodasi, serta bagaimana akuntabilitas dijaga1. Tata kelola air yang efektif melibatkan:

  • Hukum dan kebijakan yang jelas.
  • Kelembagaan yang kuat dan terkoordinasi.
  • Instrumen implementasi yang adaptif dan partisipatif.

OECD Water Governance Indicator Framework

OECD mengembangkan 12 Prinsip Tata Kelola Air yang menjadi rujukan global, meliputi aspek peran dan tanggung jawab, skala pengelolaan, koherensi kebijakan, kapasitas, data dan informasi, pembiayaan, kerangka regulasi, inovasi, integritas dan transparansi, keterlibatan pemangku kepentingan, keadilan antar pengguna, serta monitoring dan evaluasi1.

Studi Kasus: General Pueyrredon Municipality (GPM), Argentina

Profil Wilayah

General Pueyrredon (GPM) adalah salah satu wilayah urban terbesar di Provinsi Buenos Aires, Argentina, dengan populasi 682.605 jiwa (2023) dan mencakup kota Mar del Plata serta sejumlah kawasan peri-urban1. Wilayah ini terkenal dengan keanekaragaman ekosistem, pertanian hortikultura, dan pertumbuhan penduduk yang pesat, namun menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan air tanah sebagai sumber utama air bersih.

Sistem Pengelolaan Air

  • Sumber utama: 97% penduduk GPM mendapat air bersih dari jaringan pipa yang dikelola OSSE (Obras Sanitarias Mar del Plata Sociedad del Estado), sementara kawasan peri-urban masih mengandalkan sumur domestik yang rentan kontaminasi1.
  • Tantangan utama: Pencemaran air tanah akibat limbah domestik, pertanian, dan penggunaan pestisida; konflik antar pengguna; serta keterbatasan infrastruktur sanitasi di area peri-urban.

Analisis Kerangka Tata Kelola Air: Temuan Kunci

1. Kerangka Kebijakan (What)

  • Kekuatan: Argentina memiliki kerangka hukum yang kuat, seperti Water Code (Law 12257/99) di tingkat provinsi, serta berbagai peraturan nasional dan lokal yang mengatur hak, kewajiban, dan pengelolaan air1.
  • Kelemahan: Banyak instrumen kebijakan yang hanya di atas kertas (partly implemented), misalnya penarikan pajak air untuk irigasi dan industri yang tidak optimal, serta deklarasi sumur air domestik yang kurang terkontrol.

2. Kelembagaan (Who)

  • Institusi kunci: OSSE (pengelolaan dan distribusi air), ADA (otoritas air provinsi), serta Komite DAS (Daerah Aliran Sungai) yang secara teori mengkoordinasikan lintas wilayah1.
  • Permasalahan: Koordinasi antar lembaga sering tumpang tindih, dengan peran yang tidak selalu jelas antara pemerintah nasional, provinsi, dan kota. Komite DAS berjalan tidak rutin.

3. Instrumen Implementasi (How)

  • Keterbatasan utama: Banyak instrumen implementasi yang hanya sebagian dijalankan, seperti sistem informasi air, mekanisme partisipasi publik, dan monitoring kualitas air1.
  • Data dan informasi: Walau ada regulasi keterbukaan data, informasi tentang kualitas air dan monitoring OSSE tidak sepenuhnya tersedia untuk publik, sehingga menghambat partisipasi masyarakat dan pengawasan.

Studi Kasus dan Data Empirik

1. Ketersediaan dan Akses Air Bersih

  • Cakupan air bersih: 97% penduduk GPM memiliki akses air pipa, namun kawasan peri-urban sangat rentan karena mengandalkan sumur dangkal yang sering tidak memenuhi standar teknis dan dekat dengan sumber kontaminasi1.
  • Kualitas air: Studi menemukan banyak sumur domestik di peri-urban tercemar limbah domestik dan pestisida, meningkatkan risiko kesehatan masyarakat.

2. Keterlibatan Pemangku Kepentingan

  • Mekanisme formal: Ada forum dengar pendapat publik dan komite pengguna air, namun partisipasi masyarakat masih minim dan cenderung formalitas1.
  • Kendala: Kurangnya akses data, minimnya edukasi, dan rendahnya pengakuan terhadap peran komunitas lokal dalam pengambilan keputusan.

3. Pembiayaan dan Investasi

  • Pendanaan: OSSE umumnya tidak kesulitan membiayai investasi, namun prioritas proyek sering lebih ditentukan oleh ketersediaan dana daripada kebutuhan teknis atau sosial1.
  • Subsidi: Ada tarif sosial air untuk kelompok rentan, namun mekanisme evaluasi kebutuhan dan efektivitas subsidi masih perlu diperkuat.

4. Monitoring dan Evaluasi

  • Sistem pengawasan: Audit dilakukan oleh lembaga provinsi dan kota, namun monitoring kualitas air dan evaluasi kebijakan sering hanya bersifat administratif, bukan substantif1.
  • Kelemahan: Kurangnya indikator kinerja yang jelas dan minimnya evaluasi berbasis hasil membuat perbaikan tata kelola berjalan lambat.

Tantangan Utama Tata Kelola Air GPM

  1. Implementasi Instrumen Lemah: Banyak kebijakan dan instrumen tata kelola hanya berjalan sebagian, terutama dalam hal data, partisipasi, dan inovasi1.
  2. Koordinasi Lintas Lembaga: Overlapping peran antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota menyebabkan kebijakan sering tidak sinkron.
  3. Keterbatasan Data dan Transparansi: Informasi air masih tersebar dan sulit diakses, menghambat partisipasi publik dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
  4. Minimnya Inovasi dan Adaptasi: Kerangka regulasi yang kaku membatasi ruang inovasi, baik dalam teknologi maupun model tata kelola.
  5. Kesenjangan Urban–Peri-Urban: Akses air dan sanitasi jauh lebih baik di pusat kota dibandingkan kawasan pinggiran, memperlebar ketimpangan sosial.

Perbandingan dengan Studi dan Praktik Global

Relevansi dan Pelajaran untuk Indonesia

  • Desentralisasi dan Fragmentasi: Seperti Argentina, Indonesia juga menerapkan desentralisasi tata kelola air, yang kerap menimbulkan fragmentasi kebijakan dan lemahnya koordinasi antar level pemerintahan.
  • Pentingnya Data dan Partisipasi: Pengalaman GPM menegaskan bahwa keterbukaan data dan partisipasi masyarakat adalah kunci tata kelola air yang efektif—isu yang juga menjadi tantangan di banyak kota Indonesia.
  • Kontekstualisasi Kebijakan: OECD menekankan pentingnya adaptasi kebijakan sesuai konteks lokal. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk menghindari “copy-paste” kebijakan tanpa memperhatikan karakteristik wilayah.

Kritik dan Opini

  • Kekuatan: Paper ini menampilkan metodologi evaluasi tata kelola air yang komprehensif dan berbasis indikator, sehingga dapat menjadi acuan diagnosis di daerah lain.
  • Kelemahan: Studi hanya menerapkan fase awal kerangka OECD (assessment kondisi awal), belum mengevaluasi perubahan dari waktu ke waktu atau konsensus antar pemangku kepentingan.
  • Kritik: Banyak rekomendasi masih bersifat normatif dan belum menyentuh akar masalah seperti politik anggaran, resistensi birokrasi, dan dinamika kekuasaan lokal.

Kaitan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • SDGs dan Hak atas Air: Tata kelola air yang baik sangat penting untuk mencapai SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan mengurangi ketimpangan akses air di wilayah urban dan peri-urban.
  • Digitalisasi dan Smart Water Management: Tren global menuju digitalisasi data air dan pemanfaatan teknologi (IoT, big data, remote sensing) perlu diadopsi untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi pengelolaan air.
  • Inovasi Tata Kelola: Model-model baru seperti water fund, payment for ecosystem services (PES), dan kolaborasi multi-pihak semakin relevan untuk mengatasi kompleksitas pengelolaan air di era perubahan iklim.
  • Green Finance dan ESG: Investasi air kini juga dinilai dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), sehingga tata kelola air yang baik menjadi prasyarat akses ke pembiayaan hijau dan investasi internasional.

Rekomendasi Strategis

  1. Penguatan Implementasi Instrumen: Fokus pada pelaksanaan nyata kebijakan dan instrumen tata kelola, bukan sekadar regulasi di atas kertas.
  2. Peningkatan Koordinasi Lintas Lembaga: Bentuk forum koordinasi tetap antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota untuk sinkronisasi kebijakan air.
  3. Transparansi dan Akses Data: Wajibkan publikasi data kualitas air, monitoring, dan hasil audit secara terbuka untuk mendorong partisipasi masyarakat.
  4. Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat: Libatkan komunitas lokal dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi pengelolaan air.
  5. Inovasi Model Bisnis dan Pembiayaan: Dorong kolaborasi dengan sektor swasta, adopsi skema PES, dan manfaatkan green finance untuk investasi air berkelanjutan.
  6. Penguatan Monitoring dan Evaluasi Berbasis Hasil: Terapkan indikator kinerja yang terukur dan evaluasi berbasis outcome, bukan sekadar output administratif.

Tata Kelola Air sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Studi kasus General Pueyrredon menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif bukan hanya soal regulasi atau institusi, tetapi juga implementasi nyata, transparansi, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan1. Tantangan fragmentasi, lemahnya data, dan minimnya inovasi adalah masalah universal yang juga dihadapi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dengan mengadopsi kerangka OECD dan menyesuaikannya dengan konteks lokal, kota-kota di Indonesia dan negara berkembang lain dapat memperkuat tata kelola air, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Tata kelola air yang baik adalah fondasi bagi masa depan yang inklusif, sehat, dan berkelanjutan.

Sumber Asli

Martín Velasco, M.J., Calderon, G., Lima, M.L., Matencón, C.L., & Massone, H.E. (2023). Water governance challenges at a local level: implementation of the OECD Water Governance Indicator Framework in the General Pueyrredon Municipality, Buenos Aires Province, Argentina. Water Policy, 25(7), 623–638.

Selengkapnya
Meneropong Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air: Studi Kasus General Pueyrredon, Argentina

Perubahan Iklim

Membangun Ketahanan Iklim dan Keamanan Air Perkotaan: Studi Kasus Sponge City Wuhan, China

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Kota Perlu Adaptasi Air dan Iklim?

Di era urbanisasi pesat dan perubahan iklim ekstrem, kota-kota dunia menghadapi tantangan ganda: banjir yang lebih sering, kekeringan, dan penurunan kualitas air. Kota-kota besar di Asia, termasuk Wuhan di Tiongkok, menjadi contoh nyata bagaimana solusi inovatif sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan dan kualitas hidup masyarakat urban. Paper “Building Climate Resilience and Water Security in Cities: Lessons from the Sponge City of Wuhan, China” membedah strategi, efektivitas, dan pelajaran penting dari program Sponge City—sebuah pendekatan berbasis alam untuk mengelola air perkotaan secara berkelanjutan.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam temuan paper tersebut, menyoroti angka-angka kunci, studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan relevansi terhadap tren global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini cocok untuk pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli masa depan kota.

Latar Belakang: Krisis Air dan Urbanisasi di Tiongkok

Fakta dan Tantangan

  • Pertumbuhan Urbanisasi Pesat: Proporsi penduduk kota di Tiongkok melonjak dari 19% pada 1980 menjadi 51% pada 2012. Dalam rentang 2000-2014, Tiongkok menyumbang 32% ekspansi lahan perkotaan dunia, setara dengan wilayah sebesar Denmark yang berubah menjadi kota1.
  • Masalah Air Serius: Separuh kota di Tiongkok tidak memenuhi standar nasional pengendalian banjir. Sekitar 80% air hujan di perkotaan menjadi limpasan, membawa limbah dan polusi ke sungai dan danau1.
  • Risiko Bencana: Antara 2004-2014, Tiongkok mengalami bencana alam terbanyak di dunia, termasuk banjir besar, tanah longsor, badai, dan kekeringan. Kerugian ekonomi akibat banjir mencapai hingga 1% PDB per tahun1.

Dampak Perubahan Iklim

  • Curah Hujan Ekstrem: Perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas hujan ekstrem, memperparah risiko banjir dan kerusakan infrastruktur1.
  • Kota di Zona Rawan: Banyak kota tumbuh di zona pesisir rendah atau dekat sungai besar, meningkatkan kerentanan terhadap banjir dan kekurangan air bersih1.

Paradigma Baru: Nature-Based Solutions dalam Tata Kelola Air

Kelemahan Infrastruktur Konvensional

Pendekatan lama mengandalkan “grey infrastructure” seperti bendungan, tanggul, dan saluran beton. Namun, solusi ini mahal, boros energi, dan sering gagal mengatasi banjir ekstrem atau polusi air1.

Solusi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions)

  • Definisi: Intervensi yang mengandalkan restorasi, perlindungan, dan pengelolaan ekosistem alami untuk mengatasi tantangan perkotaan.
  • Contoh: Taman kota, atap hijau, jalan berpori, lahan basah buatan, dan penyimpanan air hujan1.
  • Manfaat: Lebih murah, multifungsi (mengurangi banjir, meningkatkan kualitas udara, memperbaiki biodiversitas, dan menambah ruang hijau)1.

Studi Kasus: Transformasi Wuhan sebagai “Sponge City”

Kota Wuhan: Profil dan Tantangan

  • Lokasi Strategis: Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, dikenal sebagai “River City” karena seperempat wilayahnya berupa perairan. Kota ini dihuni 8,5 juta orang di dataran banjir pertemuan Sungai Yangtze dan Han1.
  • Masalah Utama: Urbanisasi memperparah banjir dan polusi air. Pada Juli 2016, hujan deras 600 mm dalam seminggu menyebabkan banjir besar, menewaskan 15 orang, merugikan 1 juta penduduk, dan kerugian ekonomi CNY 5,3 miliar (US$750 juta)1.

Implementasi Sponge City di Wuhan

  • Investasi Besar: Wuhan menerima dana CNY 500 juta (US$73 juta) per tahun (2015-2017) dari pemerintah pusat, plus komitmen dana kota CNY 10,2 miliar (US$1,4 miliar)1.
  • Skala Proyek: 389 proyek sponge city di dua distrik utama, mencakup 38,5 km²—mulai dari taman, danau buatan, kanal air, hingga atap hijau dan jalan berpori1.
  • Teknologi Kunci: Rain garden, permeable pavement, pengelolaan air hujan, danau buatan untuk menampung air limpasan, serta restorasi ekosistem sungai dan danau1.

Analisis Ekonomi: Efisiensi Biaya dan Manfaat Sosial

Perbandingan Biaya: Green vs Grey Infrastructure

  • Sponge City Programme: Total biaya CNY 14,9 miliar (US$2,1 miliar) untuk 389 proyek1.
  • Alternatif Konvensional: Upgrade sistem drainase bawah tanah diperkirakan menelan biaya CNY 18,8 miliar (US$2,7 miliar)1.
  • Efisiensi: Pendekatan berbasis alam menghemat CNY 4 miliar (US$600 juta) dibanding solusi konvensional, belum termasuk biaya tambahan jika terjadi overrun proyek besar1.

Manfaat Tambahan (Co-Benefits)

  • Kesehatan & Kesejahteraan: Taman kota dan ruang hijau memperbaiki kualitas udara, menurunkan suhu lokal hingga 3°C, serta meningkatkan kebahagiaan warga1.
  • Ekonomi Lokal: Nilai tanah di sekitar Wuhan Expo Park melonjak dari CNY 4.383 menjadi CNY 10.218 (US$631 ke US$1.471) per m² setelah proyek sponge city1.
  • Lingkungan: Vegetasi di taman menyerap 724 ton karbon per tahun, mendukung konservasi biodiversitas, dan mengurangi biaya penyiraman hingga CNY 1,5 juta (US$220.000) per tahun1.

Studi Kasus Ikonik: Wuhan Garden Expo Park & Yangtze River Beach Park

Wuhan Garden Expo Park

  • Transformasi Lahan Sampah: Taman seluas 30 km² ini dulunya adalah tempat pembuangan sampah terbesar di Asia.
  • Inovasi Air: 70% air hujan ditampung oleh rain garden, menurunkan kebutuhan air bersih untuk penyiraman dan memperbaiki kualitas air tanah1.
  • Biodiversitas: Lebih dari 400 spesies tanaman ditanam, menciptakan habitat baru dan memperkaya ekosistem kota1.

Yangtze River Beach Park

  • Efek Pendinginan: Suhu di taman ini 3°C lebih rendah dibanding area kota sekitarnya.
  • Manfaat Sosial: Terdapat 15 lapangan sepak bola, 7 kolam renang, dan 45.000 pohon, menjadikannya ruang publik multifungsi dan ikon wisata baru Wuhan1.
  • Ekonomi: Kenaikan nilai tanah di sekitar taman lebih dari dua kali lipat pasca proyek1.

Tantangan Implementasi dan Pembelajaran

Hambatan Teknis dan Kelembagaan

  • Lokasi Proyek: Banyak proyek sponge city belum menyasar pusat kota yang padat, padahal di sanalah risiko banjir dan polusi paling tinggi1.
  • Fleksibilitas Desain: Standar nasional sering kurang adaptif terhadap kondisi lokal (iklim, hidrologi, tata ruang)1.
  • Koordinasi Antarinstansi: Fragmentasi tugas antar dinas membuat proyek sering berjalan parsial, bukan terintegrasi secara regional1.

Solusi dan Rekomendasi

  • Manual Lokal: Wuhan mengembangkan pedoman desain sendiri yang lebih kontekstual, menyesuaikan standar nasional dengan kebutuhan lokal1.
  • Pendanaan Inovatif: Kolaborasi dengan BUMN dan pemanfaatan kenaikan nilai tanah (land value capture) untuk membiayai proyek baru1.
  • Keterlibatan Publik: Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pemeliharaan ruang hijau, meningkatkan rasa kepemilikan dan efektivitas pemantauan1.

Kebijakan Nasional: Kerangka Pendukung Sponge City

Strategi Pemerintah Tiongkok

  • Regulasi dan Standar: Pemerintah pusat menetapkan hukum dasar, standar wajib, serta target ambisius (20% lahan kota harus memenuhi standar sponge city pada 2020, 80% pada 2030)1.
  • Dukungan Finansial: Dana co-funding, insentif pajak, dan prioritas kredit untuk proyek sponge city1.
  • Skala Nasional: Investasi CNY 10 triliun (US$1,5 triliun) untuk 100.000 km² infrastruktur sponge city di seluruh Tiongkok1.

Rekomendasi Kebijakan untuk Negara Lain

  • Integrasi Hijau & Abu-abu: Kombinasikan solusi berbasis alam dengan infrastruktur konvensional untuk hasil optimal1.
  • Inovasi Pendanaan: Terapkan insentif fiskal, seperti earmarking tarif utilitas untuk konservasi atau skema land value capture1.
  • Eksperimen & Pembelajaran Kota-ke-Kota: Dorong proyek percontohan, pertukaran pengetahuan, dan adaptasi inovasi lintas kota1.
  • Transparansi Data: Bangun platform data terbuka untuk memantau, mengevaluasi, dan mempercepat replikasi solusi efektif1.

Analisis Kritis: Perbandingan dan Relevansi Global

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Low Impact Development (LID) di AS/Kanada: Sponge City terinspirasi LID, namun skala dan dukungan pemerintah di Tiongkok jauh lebih besar dan terkoordinasi1.
  • Sustainable Urban Drainage Systems (SUDS) di Eropa: Prinsip serupa, namun implementasi di Tiongkok lebih terintegrasi dengan kebijakan nasional dan pendanaan publik1.
  • Water Sensitive Urban Design (WSUD) di Australia: Fokus pada adaptasi lokal dan integrasi ekosistem, mirip dengan pendekatan Wuhan yang mengembangkan manual lokal1.

Kaitan dengan Tren Industri dan Urbanisasi Global

  • Smart City & Green Infrastructure: Sponge City menjadi bagian dari tren smart city, menggabungkan teknologi, data, dan solusi alami untuk mengatasi tantangan urbanisasi1.
  • ESG & Investasi Berkelanjutan: Proyek hijau seperti sponge city semakin diminati investor global karena memenuhi kriteria Environmental, Social, Governance (ESG)1.
  • Paris Agreement & SDGs: Sponge City mendukung pencapaian SDG 6 (air bersih & sanitasi), SDG 11 (kota berkelanjutan), dan SDG 13 (aksi iklim)1.

Opini dan Rekomendasi: Menuju Kota Tahan Iklim

Kekuatan Model Wuhan

  • Efisiensi Biaya: Bukti nyata bahwa investasi pada solusi berbasis alam lebih ekonomis dan multifungsi dibanding infrastruktur konvensional1.
  • Manfaat Sosial-Lingkungan: Peningkatan kualitas hidup, kesehatan, dan ekonomi lokal menjadi argumen kuat bagi replikasi model ini di kota lain1.
  • Kebijakan Terintegrasi: Dukungan regulasi, pendanaan, dan koordinasi lintas level pemerintahan menjadi kunci sukses1.

Tantangan ke Depan

  • Adaptasi Lokal: Setiap kota harus menyesuaikan desain sponge city dengan karakteristik lingkungan dan sosialnya sendiri.
  • Pendanaan Berkelanjutan: Diperlukan inovasi pembiayaan, termasuk kemitraan publik-swasta dan pemanfaatan kenaikan nilai tanah.
  • Keterlibatan Masyarakat: Partisipasi publik penting untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas jangka panjang.

Inspirasi Global dari Sponge City Wuhan

Studi kasus Sponge City Wuhan membuktikan bahwa solusi berbasis alam bukan hanya alternatif, tapi kebutuhan utama di era perubahan iklim dan urbanisasi. Dengan investasi yang lebih efisien, manfaat sosial-lingkungan yang luas, dan dukungan kebijakan yang kuat, model ini layak menjadi inspirasi bagi kota-kota di seluruh dunia—termasuk Indonesia—untuk membangun masa depan yang lebih tangguh, sehat, dan berkelanjutan.

Sumber Asli

Oates, L., Dai, L., Sudmant, A. and Gouldson, A. 2020. Building Climate Resilience and Water Security in Cities: Lessons from the sponge city of Wuhan, China. Coalition for Urban Transitions. London, UK, and Washington, DC.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Iklim dan Keamanan Air Perkotaan: Studi Kasus Sponge City Wuhan, China

Perubahan Iklim

Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Sumber Daya Vital yang Terancam

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan semua aktivitas ekonomi, terutama sektor pertanian yang menyerap sekitar 70% dari total penggunaan air global. Namun, meskipun bumi sebagian besar tertutup air, ketersediaan air tawar yang dapat digunakan sangat terbatas dan semakin terancam oleh perubahan iklim, pertumbuhan populasi, polusi, dan eksploitasi berlebihan. Paper berjudul Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies oleh Biswas et al. (2025) memberikan tinjauan kritis mengenai dampak kekurangan air secara global, dengan fokus khusus pada sektor pertanian dan perspektif India sebagai negara berkembang yang menghadapi krisis air parah.

Jenis dan Penyebab Kekurangan Air

Jenis Kekurangan Air

  • Kekurangan air fisik (Physical water scarcity): Terjadi ketika ketersediaan air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia dan ekosistem. Diperkirakan 1,2 miliar orang tinggal di wilayah yang mengalami kekurangan air fisik, terutama di daerah kering dan semi-kering.
  • Kekurangan air ekonomi (Economic water scarcity): Terjadi ketika air tersedia secara fisik, tetapi aksesnya terbatas karena infrastruktur yang buruk, manajemen yang lemah, atau masalah institusional. Diperkirakan lebih dari 1,6 miliar orang menghadapi kekurangan air jenis ini.

Penyebab Utama

  • Perubahan iklim dan kekeringan: Variabilitas cuaca yang meningkat menyebabkan penurunan curah hujan dan peningkatan frekuensi kekeringan. Antara 2001-2018, 74% bencana alam terkait air seperti banjir dan kekeringan.
  • Pertumbuhan populasi: Saat ini, 41% penduduk dunia tinggal di daerah dengan tekanan air tinggi. Proyeksi menunjukkan kebutuhan air untuk pangan akan meningkat 40-50% pada 2030.
  • Polusi air: Limbah industri, pertanian, dan domestik mencemari sumber air, mengurangi kualitas dan ketersediaan air bersih.
  • Praktik pertanian yang boros air: Sekitar 60% air irigasi hilang karena sistem irigasi yang tidak efisien dan pemilihan tanaman yang tidak sesuai dengan kondisi air setempat.

Dampak Kekurangan Air pada Pertanian dan Ketahanan Pangan

  • Kekurangan air mengancam produksi pangan global, dengan prediksi penurunan hasil panen hingga 20-30% di beberapa wilayah pada 2030-2050.
  • Contoh nyata di California, AS, kekeringan tahun 2015 menyebabkan kerugian ekonomi pertanian sebesar $1,84 miliar dan hilangnya 10.100 pekerjaan musiman.
  • Di India, lebih dari 600 juta orang menghadapi krisis air, dengan penurunan drastis ketersediaan air per kapita dari 5.177 m³ pada 1951 menjadi sekitar 1.296 m³ pada 2025. Kota-kota besar seperti Delhi dan Chennai menghadapi risiko habisnya sumber air tanah.
  • Penurunan produksi gula di India dari 28,3 juta ton (2013-2014) menjadi 21,3 juta ton (2016-2017) akibat kekeringan dan kurangnya air irigasi.
  • Perubahan pola tanam, seperti pergeseran dari padi ke tanaman yang lebih hemat air (misal jagung dan millet), mulai dilakukan sebagai strategi adaptasi.

Strategi Adaptasi dan Manajemen Air dalam Pertanian

Teknik Irigasi Efisien

  • Mikro-irigasi (drip dan sprinkler): Menghemat air hingga 60%, meningkatkan hasil panen hingga 40% pada tanaman seperti tomat dan zaitun.
  • Irigasi berbasis sensor dan pengendalian evapotranspirasi: Mengoptimalkan waktu dan jumlah irigasi, mengurangi pemborosan air.
  • Irigasi defisit dan pengeringan bergantian: Mengurangi penggunaan air tanpa mengorbankan hasil panen secara signifikan.

Praktik Pertanian Berkelanjutan

  • Pengolahan tanah konservasi: Mengurangi penggunaan air hingga 40%, meningkatkan kesuburan dan struktur tanah.
  • Rotasi tanaman dan pergantian tanaman (crop shifting): Memilih tanaman yang lebih tahan kekeringan dan sesuai kondisi air lokal.
  • Mulsa: Mengurangi evaporasi tanah dan mempertahankan kelembaban, efektif di daerah kering.
  • Penggunaan varietas tahan kekeringan: Contohnya varietas padi hemat air di China dan jagung tahan kering di Afrika.

Teknologi dan Inovasi

  • Superabsorbent polymer hydrogels: Menyimpan air di dalam tanah dan mengurangi stres tanaman.
  • Precision agriculture: Menggunakan sensor dan data satelit untuk pengelolaan air yang presisi dan efisien.
  • Sistem penampungan air hujan dan pompa tenaga surya: Meningkatkan ketersediaan air di daerah kering dan terpencil.

Kebijakan dan Manajemen Sumber Daya Air

  • Penetapan harga air dan pasar air: Mendorong penggunaan air yang efisien dan alokasi yang optimal, seperti di Australia dan Brasil.
  • Pengaturan jarak sumur dan perizinan: Mencegah eksploitasi berlebihan dan konflik antar pengguna air.
  • Penguatan tata kelola dan partisipasi komunitas: Meningkatkan kesadaran dan pengelolaan bersama sumber daya air.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Paper ini memberikan gambaran komprehensif yang menggabungkan aspek fisik, sosial, dan ekonomi dari krisis air global, dengan fokus kuat pada sektor pertanian dan negara berkembang seperti India. Pendekatan multidisipliner dan penggunaan data kuantitatif serta studi kasus nyata memperkuat argumen dan relevansi kebijakan.

Namun, tantangan implementasi strategi adaptasi tetap besar, terutama terkait biaya awal teknologi irigasi modern dan kebutuhan pelatihan petani. Selain itu, aspek kelembagaan dan politik air yang kompleks perlu lebih banyak perhatian untuk memastikan keberlanjutan.

Dibandingkan dengan literatur lain, paper ini menegaskan pentingnya integrasi antara inovasi teknologi, kebijakan harga dan pasar air, serta praktik tradisional yang adaptif. Hal ini sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan inklusif.

Menuju Pertanian Berkelanjutan di Tengah Krisis Air

Krisis air merupakan hambatan utama bagi pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan global. Dengan meningkatnya tekanan akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan pola konsumsi yang berubah, kebutuhan akan strategi adaptasi yang efektif semakin mendesak.

Paper ini menyajikan berbagai solusi praktis dan inovatif yang dapat diadopsi di berbagai wilayah, khususnya negara berkembang seperti India, untuk mengurangi dampak kekurangan air pada pertanian. Penggabungan teknologi efisien, praktik pertanian berkelanjutan, dan kebijakan yang mendukung akan menjadi kunci keberhasilan.

Upaya terkoordinasi antara pemerintah, peneliti, petani, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan ketersediaan air yang cukup bagi generasi sekarang dan mendatang.

Sumber Artikel :

Biswas, A., Sarkar, S., Das, S., Dutta, S., Roy Choudhury, M., Giri, A., Bera, B., Bag, K., Mukherjee, B., Banerjee, K., Gupta, D., & Paul, D. (2025). Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies. Cambridge Prisms: Water, 3, e4

Selengkapnya
Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Perubahan Iklim

Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Kunci Ketahanan Sistem Pangan Global

Perubahan iklim yang semakin nyata membawa tantangan besar terhadap ketersediaan air dan keberlanjutan sistem pangan dunia. Dalam konteks ini, tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama untuk membangun sistem pangan yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems (September 2021) yang disusun oleh 31 ahli global dari berbagai disiplin ilmu dan institusi internasional, mengangkat urgensi menempatkan air sebagai pusat perhatian dalam transformasi sistem pangan menghadapi masa depan iklim yang tidak pasti.

Resensi ini akan menguraikan secara komprehensif tantangan, prinsip tata kelola air yang direkomendasikan, studi kasus dan angka penting dari dokumen, serta analisis kritis dan relevansi dengan tren global dan industri.

Tantangan Tata Kelola Air dalam Sistem Pangan di Era Perubahan Iklim

Dokumen ini menegaskan bahwa meskipun produksi pangan global meningkat dan berhasil menekan harga pangan, krisis iklim dan ketidakpastian siklus air mengancam keberlanjutan sistem pangan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah:

  • Ketidakpastian dan volatilitas siklus air: Perubahan pola curah hujan, frekuensi banjir dan kekeringan yang meningkat, serta gangguan pasokan air yang berdampak langsung pada produksi dan distribusi pangan.
  • Persaingan penggunaan air: Air yang terbatas harus memenuhi kebutuhan pangan, ekosistem, energi, dan kebutuhan sosial-ekonomi lainnya.
  • Ketimpangan akses dan keadilan: Kelompok rentan, seperti petani kecil dan masyarakat miskin, seringkali paling terdampak oleh krisis air dan pangan.
  • Dampak berantai: Gangguan pada sistem air menyebabkan risiko berjenjang yang memengaruhi seluruh rantai pasok pangan, termasuk kesehatan dan gizi masyarakat.

Pandemi COVID-19 juga memperparah krisis pangan dan memperlihatkan kerentanan sistem pangan global terhadap gangguan eksternal.

Enam Prinsip Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh

Dokumen ini mengajukan enam atribut kunci yang harus diadopsi dalam tata kelola air untuk membangun sistem pangan yang tahan iklim:

  1. Memahami sistem pangan sebagai sistem terpadu
    Pendekatan sistem terpadu mengakui keterkaitan erat antara air, pangan, energi, lingkungan, dan sosial. Platform kolaborasi lintas sektor dan wilayah sangat diperlukan untuk mengelola kompleksitas ini secara adaptif.
  2. Mengadopsi tata kelola polisentris dan partisipatif
    Tata kelola yang melibatkan berbagai tingkat pemerintahan, komunitas lokal, perempuan, dan pemuda memungkinkan respons cepat dan inklusif terhadap ancaman lokal, serta memfasilitasi negosiasi dan resolusi konflik.
  3. Mendorong inovasi, pembelajaran, dan penyebaran pengetahuan
    Sistem yang tangguh harus terus berinovasi dalam teknologi, kebijakan, dan insentif, serta membangun mekanisme umpan balik untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan.
  4. Mengintegrasikan keberagaman dan redundansi
    Keanekaragaman teknik produksi dan institusi pengelolaan air meningkatkan fleksibilitas dan kapasitas adaptasi jangka pendek maupun panjang.
  5. Menjamin kesiapsiagaan sistem
    Fokus pada kesiapsiagaan melalui pemantauan data yang transparan dan akuntabel, sistem peringatan dini, dan pengembangan kapasitas adaptasi untuk menghadapi kejutan tak terduga.
  6. Merencanakan jangka panjang
    Infrastruktur keras dan lunak serta sistem tata kelola harus dirancang untuk bertahan dan beradaptasi dalam jangka waktu panjang, mengingat ketidakpastian iklim yang terus meningkat.

Studi Kasus dan Data Penting

  • Pengelolaan air tradisional yang berhasil: Sistem irigasi komunitas seperti Muang Fai di Thailand dan Subak di Bali menunjukkan prinsip tata kelola polisentris dan partisipatif yang telah bertahan selama berabad-abad.
  • Program insentif berbasis ekosistem: Payment for Ecosystem Services (PES) seperti Conservation Reserve Program di AS, Grain-to-Green di China, dan MGNREGA di India telah membantu konservasi air dan tanah, dengan potensi pendanaan global mencapai US$40 miliar per tahun.
  • Teknologi pemantauan air: Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi air real-time, seperti yang diterapkan di Maharashtra, India, membantu mengatasi eksploitasi air tanah berlebihan.
  • Dampak perubahan iklim: Risiko kehilangan lahan produktif akibat intrusi air asin di delta Asia, perubahan aliran sungai utama di Andes dan Himalaya, serta peningkatan frekuensi kekeringan di Afrika, menunjukkan urgensi tata kelola air yang adaptif.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Pendekatan tata kelola air yang diusulkan menekankan pentingnya mengatasi kompleksitas sosial-ekologis dan menghindari solusi satu dimensi seperti peningkatan efisiensi irigasi yang sering gagal ketika diterapkan secara luas. Konsep polisentris dan partisipatif sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya bersama yang inklusif dan adaptif.

Namun, tantangan nyata tetap ada dalam hal pendanaan, kapasitas institusi, dan resistensi politik terhadap reformasi tata kelola air. Inovasi teknologi dan insentif ekonomi harus dipadukan dengan penguatan kelembagaan dan pemberdayaan komunitas lokal agar efektif.

Selain itu, integrasi solusi tradisional dan modern menjadi penting agar tata kelola air tidak hanya berfokus pada teknologi tinggi, tetapi juga menghargai kearifan lokal dan praktik berkelanjutan yang telah terbukti.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis

  • Membangun kemitraan multi-sektor dan multi-level yang melibatkan pemerintah, swasta, komunitas, dan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
  • Mengembangkan sistem pemantauan dan data terbuka untuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan air.
  • Mengadopsi pendekatan berbasis ekosistem dan agroekologi untuk meningkatkan keberagaman dan ketahanan sistem pangan.
  • Meningkatkan kapasitas adaptasi dan kesiapsiagaan melalui pendidikan, pelatihan, dan sistem peringatan dini.
  • Merancang infrastruktur dan kebijakan dengan perspektif jangka panjang, mempertimbangkan ketidakpastian iklim dan dinamika sosial-ekonomi.

Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems menegaskan bahwa air adalah bahasa perubahan iklim dan pusat dari ketahanan sistem pangan masa depan. Dengan mengadopsi tata kelola air yang kompleks, inklusif, inovatif, dan berorientasi jangka panjang, kita dapat membangun sistem pangan yang tidak hanya produktif dan efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Transformasi ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, terutama perempuan, pemuda, dan komunitas lokal yang paling terdampak. Hanya dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, kita dapat menghadapi tantangan air dan pangan di era perubahan iklim yang penuh ketidakpastian.

Sumber Artikel :

Water Governance for Climate Resilient Food Systems, September 2021, Statement by 31 global practitioners and researchers, United Nations Food Systems Summit 2021.

Selengkapnya
Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim
« First Previous page 3 of 8 Next Last »