Menguatkan Ketahanan Iklim di Kawasan Pegunungan: Pendekatan dari Uttarakhand dan Pelajaran untuk Kawasan Pegunungan Lain

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

01 Juli 2025, 10.57

pixabay.com

Tantangan Unik Kawasan Pegunungan terhadap Perubahan Iklim

Kawasan pegunungan merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena karakteristik geografis dan ekosistemnya yang unik. Sekitar 13% populasi dunia, yaitu sekitar 915 juta orang, tinggal di daerah pegunungan, dengan 150 juta di antaranya berada di ketinggian lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut. Pegunungan juga menjadi habitat bagi lebih dari 85% spesies amfibi, burung, dan mamalia dunia, banyak yang endemik dan sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Selain itu, pegunungan berfungsi sebagai "menara air" yang menopang kebutuhan air bagi jutaan orang di dataran rendah1.

Namun, kondisi topografi yang terjal dan ekosistem yang rapuh membuat kawasan ini menghadapi risiko bencana yang kompleks, seperti longsor, banjir bandang, dan glacial lake outburst floods (GLOF). Data dari 1985 hingga 2014 menunjukkan bahwa di kawasan Hindu Kush Himalaya terjadi 323 bencana besar dengan kerugian ekonomi mencapai USD 44,7 miliar dan korban jiwa sebanyak 26.991 orang1.

Kerentanan Sosial dan Ekonomi di Pegunungan

Penduduk pegunungan cenderung lebih rentan secara sosial dan ekonomi dibandingkan dengan dataran rendah. Tingkat kemiskinan lebih tinggi, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur terbatas, serta isolasi geografis memperparah kerentanan mereka. Kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak seringkali paling terdampak, terutama karena keterbatasan akses informasi dan sumber daya. Migrasi penduduk usia produktif ke luar daerah menambah beban bagi perempuan dan lansia yang tertinggal, sehingga memperbesar risiko sosial dan ekonomi1.

Studi Kasus: Ketahanan Iklim di Uttarakhand, India

Uttarakhand merupakan negara bagian di India yang 93% wilayahnya berupa pegunungan Himalaya. Dengan populasi sekitar 10,1 juta jiwa, wilayah ini menjadi sumber dua sungai besar India, Gangga dan Yamuna. Ekonomi utama di sana meliputi pertanian, hortikultura, pariwisata, dan energi hidro1.

Dampak Perubahan Iklim dan Bencana

Uttarakhand telah mengalami bencana besar yang terkait dengan perubahan iklim. Pada Juni 2013, banjir bandang akibat hujan ekstrem dan mencairnya gletser Chorabari menewaskan lebih dari 5.700 orang. Pada Februari 2021, runtuhnya sebagian gletser Nanda Devi menyebabkan lebih dari 100 orang hilang. Kejadian ini menegaskan urgensi penguatan ketahanan iklim di wilayah tersebut1.

Upaya Penguatan Ketahanan Iklim

Pemerintah Uttarakhand telah memperkuat tata kelola dan kapasitas pengurangan risiko bencana melalui:

  • Koordinasi multi-level antara pemerintah pusat, negara bagian, dan komunitas lokal untuk pengelolaan risiko secara terpadu, termasuk pengelolaan sumber daya air dan mitigasi bencana.
  • Pendanaan inovatif, seperti integrasi pertimbangan ketahanan iklim dalam anggaran daerah, pendanaan adaptasi nasional, serta dukungan donor internasional. Contohnya adalah pengembangan asuransi indeks cuaca untuk petani yang menanam jahe, kentang, tomat, dan kacang polong.
  • Pengembangan data dan teknologi, termasuk pemasangan stasiun meteorologi, sistem peringatan dini, dan penggunaan teknologi geospasial untuk pemantauan risiko bencana.
  • Solusi berbasis alam, seperti rehabilitasi hutan untuk mencegah longsor dan restorasi sistem pengelolaan air tradisional, yang juga memberikan manfaat ekologis dan sosial1.

Mekanisme dan Pendekatan Penguatan Ketahanan Iklim di Pegunungan

Penguatan ketahanan iklim di kawasan pegunungan memerlukan pendekatan yang mempertimbangkan karakteristik geografis dan sosial-ekonomi unik wilayah tersebut. Beberapa mekanisme utama meliputi:

  • Tata kelola multi-level dan lintas sektor untuk memastikan kebijakan dan program yang terintegrasi antara wilayah hulu dan hilir, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk komunitas adat dan organisasi masyarakat sipil.
  • Instrumen kebijakan dan ekonomi, seperti regulasi tata ruang untuk menghindari pembangunan di daerah rawan bencana, serta program pembayaran jasa lingkungan (Payments for Ecosystem Services/PES) yang memberikan insentif bagi konservasi ekosistem oleh masyarakat lokal.
  • Pendanaan yang adaptif dan inovatif, termasuk penggabungan ketahanan iklim dalam perencanaan anggaran, fasilitasi akses ke dana iklim, dan pengembangan skema asuransi yang sesuai dengan kondisi pegunungan.
  • Monitoring, evaluasi, dan pembelajaran yang berkelanjutan untuk menyesuaikan kebijakan dan program berdasarkan data dan pengalaman lapangan.
  • Peningkatan kapasitas dan kesadaran melalui pelatihan, pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan risiko.
  • Pemanfaatan teknologi, seperti sistem peringatan dini berbasis teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi geospasial untuk pemetaan risiko dan perencanaan adaptasi1.

Pelajaran dari Kawasan Pegunungan Lain

Selain Uttarakhand, kawasan pegunungan di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serupa. Misalnya:

  • Di Andes, petani harus memindahkan lahan pertanian ke ketinggian lebih tinggi, namun tanaman tradisional seperti kentang dan oca terancam punah.
  • Di Afrika Timur, monitoring deforestasi telah mendorong program restorasi hutan yang meningkatkan produktivitas lahan.
  • Di Pegunungan Carpathians, kualitas air menurun akibat pencemaran dan over-eksploitasi, diperparah oleh perubahan iklim1.

Relevansi dan Rekomendasi untuk Indonesia

Indonesia memiliki banyak kawasan pegunungan yang juga rentan terhadap perubahan iklim, seperti di Sumatera, Jawa, Papua, dan Sulawesi. Pelajaran dari Uttarakhand dan kawasan lain dapat menjadi acuan, antara lain:

  • Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan wilayah, khususnya antara daerah hulu dan hilir dalam pengelolaan sumber daya air dan mitigasi bencana.
  • Mengembangkan dan memperluas program asuransi indeks cuaca dan pembayaran jasa lingkungan berbasis komunitas.
  • Memperkuat kapasitas data dan teknologi, termasuk pemasangan stasiun cuaca dan sistem peringatan dini yang mudah diakses masyarakat.
  • Mendorong solusi berbasis alam yang mengintegrasikan pengetahuan lokal dan tradisional.
  • Meningkatkan literasi iklim dan teknologi di sekolah dan komunitas pegunungan untuk membangun kesadaran dan kapasitas adaptasi.
  • Memastikan pendanaan yang memadai dan inovatif untuk mendukung program adaptasi dan mitigasi di pegunungan1.

Penutup

Ketahanan iklim di kawasan pegunungan menuntut pendekatan yang holistik dan kolaboratif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan ekologis. Studi kasus Uttarakhand menunjukkan bahwa penguatan tata kelola, inovasi pendanaan, pemanfaatan teknologi, dan solusi berbasis alam adalah kunci untuk menghadapi tantangan iklim yang semakin kompleks. Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengadopsi dan mengadaptasi praktik-praktik ini untuk membangun masa depan pegunungan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Sumber asli:
Kato, T., M. Rambali and V. Blanco-Gonzalez (2021), “Strengthening climate resilience in mountainous areas”, OECD Development Co-operation Working Papers, No. 104, OECD Publishing, Paris.