Korupsi Konstruksi

Menggali Peran Rule of Law dalam Pembangunan Nasional: Studi Sosio-Legal dari Global South

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Dalam lanskap global yang semakin kompleks, isu rule of law tidak lagi sekadar wacana normatif, tetapi menjadi tulang punggung bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam tesis bertajuk "Rule of Law as Instrument for National Development" oleh Abere Adamu Mekonin (2012), konsep ini diangkat dari sudut pandang sosiologi hukum untuk menunjukkan bagaimana rule of law menjadi instrumen vital dalam menjamin demokrasi, hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, hingga pemberantasan korupsi di negara-negara berkembang, khususnya kawasan Afrika Timur.

Studi ini memadukan teori modernisasi pembangunan dan pendekatan berbasis hak untuk menggambarkan keterkaitan erat antara stabilitas hukum dengan efektivitas pembangunan nasional.

Landasan Teoretis dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis dokumen serta wawancara semi-terstruktur terhadap aktor pembangunan di Afrika Timur. Pendekatan teoritisnya berakar pada Modernisation Development Theory, yang memandang pembangunan sebagai hasil dari transformasi struktural dan institusional yang didukung oleh sistem hukum yang kuat.

Penekanan diberikan pada kerangka hak-hak asasi manusia, prinsip demokrasi, dan good governance sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang harus dikawal oleh supremasi hukum.

Rule of Law sebagai Pengatur Keseimbangan Aktor Pembangunan

Dalam konteks negara berkembang, aktor pembangunan utama terdiri dari pemerintah dan warga negara. Mekonin menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan mensyaratkan adanya keseimbangan antara keduanya, yang hanya dapat dicapai melalui penegakan hukum yang adil, konsisten, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Data penting dari studi:
Dalam wawancara lapangan di Afrika Timur, terungkap bahwa mayoritas responden menyatakan ketidakpercayaan terhadap lembaga negara karena seringkali hukum tidak diterapkan secara adil. Hal ini berdampak langsung pada partisipasi publik dalam proses pembangunan.

Demokrasi dan Rule of Law: Hubungan Simbiotik

Penelitian ini menunjukkan bahwa demokrasi dan rule of law saling memperkuat. Demokrasi memberikan ruang bagi akuntabilitas dan partisipasi, sedangkan hukum berfungsi sebagai pagar yang menjamin bahwa kebebasan dan hak warga tidak dilanggar oleh kekuasaan negara.

Contoh nyata:
Di beberapa negara di Afrika Timur, pemilu yang diselenggarakan tanpa pengawasan hukum yang kuat justru menimbulkan konflik dan memperdalam krisis kepercayaan terhadap institusi negara.

Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Independen

Mekonin mengutip studi oleh Clair (2003–2004) atas 154 negara berkembang, yang menunjukkan bahwa sistem peradilan independen adalah kunci perlindungan HAM. Namun, di negara berkembang, sistem hukum kerap dipolitisasi, sehingga pelanggaran HAM sulit dituntaskan.

Fakta penting:
Burton (2005) dalam studinya atas 177 negara menunjukkan bahwa pelanggaran HAM secara sistematis lebih banyak terjadi di negara dengan indeks rule of law yang rendah.

Korupsi dan Hukum: Dua Kekuatan yang Bertolak Belakang

Korupsi menjadi hambatan utama dalam pembangunan karena melemahkan institusi dan menyerap dana publik untuk kepentingan pribadi. Mekonin mengangkat data dari World Bank yang menyebutkan bahwa lebih dari $1 triliun USD per tahun hilang akibat praktik korupsi di negara berkembang.

Studi kasus konkret:
Dalam sektor konstruksi, Nicholas Ambraseys dan Regot Bilham (2011) menunjukkan bahwa 83% korban gempa bumi dalam 30 tahun terakhir berasal dari negara korup, karena bangunan tak sesuai standar akibat penyelewengan dana publik.

Kebebasan Berekspresi sebagai Pilar Pembangunan yang Terlupakan

Kebebasan berekspresi adalah instrumen vital untuk menjaga akuntabilitas pemerintah. Mekonin menekankan bahwa ketika ekspresi publik dibungkam, peluang untuk mengoreksi kebijakan pembangunan yang keliru pun tertutup.

Sisi filosofis:
Mengutip Patrick Henry: "Give me liberty or give me death", Mekonin menekankan bahwa ekspresi adalah bentuk kemanusiaan paling hakiki yang wajib dilindungi hukum.

Institusi sebagai Pilar Rule of Law

Dalam Bab 6 tesis, Mekonin membedah dua institusi utama:

  • Pemerintah, yang harus menjalankan regulasi secara adil dan terbuka.
  • Organisasi komunitas, sebagai aktor akar rumput yang mampu mengawasi jalannya pembangunan dan menjadi jembatan partisipasi warga.

Data wawancara:
Banyak informan menyatakan bahwa organisasi masyarakat sipil lebih dipercaya dibanding lembaga negara karena dinilai lebih responsif dan transparan.

Kritik dan Rekomendasi

Penelitian ini menyuguhkan kritik tajam terhadap negara-negara berkembang yang belum menjadikan hukum sebagai fondasi kebijakan pembangunan. Banyak program pembangunan yang gagal karena abai terhadap prinsip-prinsip hukum dan keadilan sosial.

Opini penulis (Mekonin):
Negara-negara Global South seharusnya mencontoh negara-negara dengan sistem hukum mapan dalam menegakkan demokrasi dan hak warga, bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi nominal.

Kesimpulan

Penegakan rule of law bukan sekadar formalitas legal, melainkan fondasi utama yang menjamin bahwa pembangunan berjalan secara inklusif, adil, dan berkelanjutan. Tanpa sistem hukum yang independen dan dipercaya, pembangunan hanya akan melayani segelintir elit, meninggalkan mayoritas rakyat dalam kemiskinan dan ketidakadilan.

Pesan utama:
Rule of law bukan pelengkap, tapi syarat mutlak untuk pembangunan nasional yang bermartabat.

Sumber asli:
Mekonin, A. A. (2012). Rule of Law as Instrument for National Development. Two Years Master’s Thesis in Development Studies (Major: Sociology of Law), Faculty of Social Sciences, Lund University.

Selengkapnya
Menggali Peran Rule of Law dalam Pembangunan Nasional: Studi Sosio-Legal dari Global South

Korupsi Konstruksi

Korupsi dalam Tata Kelola Risiko Bencana: Ancaman Tersembunyi di Balik Krisis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


 Pendahuluan 

Korupsi sering kali dianggap sebagai masalah yang hanya merugikan ekonomi atau politik, tetapi dampaknya meluas hingga ke tata kelola bencana. Artikel ini mengkaji bagaimana korupsi melemahkan mitigasi, respons, dan pemulihan bencana, serta menyoroti studi kasus dari berbagai belahan dunia. Dengan menganalisis paper Corruption and the Governance of Disaster Risk oleh David Alexander, kita akan melihat bagaimana korupsi memperburuk kerentanan masyarakat dan menghambat pembangunan berkelanjutan

 Definisi dan Bentuk Korupsi dalam Bencana 

Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk: 

- Grand Corruption: Korupsi skala besar, seperti penggelapan dana rekonstruksi. 

- Petty Corruption: Sogokan kecil untuk mempercepat akses bantuan. 

- Political Corruption: Kebijakan yang menguntungkan elite, seperti pembangunan infrastruktur tanpa standar keamanan. 

Contoh nyata terlihat di Taiwan (2016), di mana gempa bumi mengungkap bangunan yang dibangun dengan material substandar (kaleng minyak bekas) akibat korupsi, menyebabkan 105 kematian (Zaldivar et al., 2016). 

 Dampak Korupsi pada Manajemen Bencana 

 1. Melemahkan Standar Konstruksi 

Korupsi dalam industri konstruksi sering kali mengabaikan kode bangunan anti-bencana. Studi oleh Ambraseys dan Bilham (2011) menunjukkan bahwa negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki lebih banyak korban jiwa akibat gempa, karena bangunan mudah runtuh. 

Studi Kasus: 

- Gempa Italia (1980): Mafia Camorra menguasai proyek rekonstruksi, menggunakan pasir laut berkadar garam tinggi yang merusak struktur beton (Saviano, 2006). 

- Rana Plaza, Bangladesh (2013): Runtuhnya pabrik garmen menewaskan 1.134 orang akibat tekanan korporasi multinasional untuk memotong biaya (Ansary & Barua, 2015). 

 2. Penyaluran Bantuan yang Tidak Efektif 

Bantuan kemanusiaan sering disalahgunakan atau tidak tepat sasaran: 

- Haiti (2010): Hanya 0,38% dana bantuan internasional yang sampai ke pemerintah lokal, sementara sebagian besar dikembalikan ke negara donor (Farmer, 2012). 

- Myanmar (Cyclone Nargis, 2008): Junta militer membatasi akses bantuan dan menggunakan dana untuk kepentingan politik (McLachlan-Bent & Langmore, 2011). 

 3. Eksploitasi oleh Kejahatan Terorganisir 

Mafia memanfaatkan kekacauan pascabencana untuk: 

- Pasar gelap: Menjual barang bantuan dengan harga tinggi. 

- Trafficking: Eksploitasi manusia dan narkoba, seperti di Iran pascagempa Bam (2003), di mana 50% pria dan 25% wanita menjadi pecandu heroin (Tait, 2006). 

 Solusi: Transparansi dan Hak Asasi Manusia 

Untuk memerangi korupsi, penulis menyarankan: 

1. Transparansi Anggaran: Audit publik terhadap dana bencana. 

2. Partisipasi Masyarakat: Melibatkan korban dalam perencanaan rekonstruksi. 

3. Penegakan Hukum: Sanksi berat untuk pelanggar standar konstruksi. 

Contoh Sukses: 

- Chile (2010): Sistem pembangunan tahan gempa yang ketat mengurangi korban jiwa meski gempa berkekuatan 8,8 SR. 

 Kritik dan Relevansi Kontemporer 

- Keterbatasan Indeks Korupsi: Transparency International dinilai bias karena mengabaikan korupsi legal (seperti lobi) di negara maju (De Maria, 2008). 

- Disaster Capitalism: Naomi Klein (2008) mengkritik eksploitasi bencana untuk keuntungan korporasi, seperti privatisasi layanan publik pascatsunami Aceh. 

 Kesimpulan 

Korupsi bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga memperdalam kerentanan bencana. Solusinya terletak pada akuntabilitas, transparansi, dan pemberdayaan masyarakat. Tanpa perubahan sistemik, siklus bencana dan korupsi akan terus berulang. 

Sumber :  Alexander, D. (2017). Corruption and the Governance of Disaster Risk. Oxford Research Encyclopedia of Natural Hazard Science. DOI: 10.1093/acrefore/9780199389407.013.253. 

Selengkapnya
Korupsi dalam Tata Kelola Risiko Bencana: Ancaman Tersembunyi di Balik Krisis

Korupsi Konstruksi

Mengungkap Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Faktor, Dampak, dan Solusi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Industri konstruksi merupakan pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun juga rentan terhadap praktik korupsi. Paper berjudul "Critical Factors Contributing to Corruption in Construction Industry" oleh Rumaizah Mohd Nordin dkk. (2011) mengkaji faktor-faktor kritis yang mendorong korupsi di sektor ini, serta solusi untuk memeranginya. Berikut analisis mendalam dari temuan tersebut, diperkaya dengan studi kasus dan data terkini. 

 Faktor Kritis Penyebab Korupsi dalam Konstruksi 

 1. Faktor Langsung dan Tidak Langsung (Tanzi, 1998) 

- Faktor Langsung: 

  - Regulasi dan perizinan: Monopoli kekuasaan oleh pejabat dalam mengeluarkan izin memicu suap. 

  - Pajak dan pengeluaran publik: Proyek fiktif atau mark-up anggaran untuk keuntungan pribadi. 

  Contoh: Di Malaysia, 30% kasus korupsi konstruksi terkait manipulasi tender (Transparency International, 2011). 

- Faktor Tidak Langsung: 

  - Upah rendah pegawai pemerintah: Memicu penerimaan suap untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

  - Transparansi rendah: Aturan yang tidak jelas atau tidak diumumkan secara terbuka. 

 2. Variabel Lingkungan, Individu, dan Perusahaan (Neelankavil, 2002) 

- Lingkungan: Konsentrasi kekuasaan, ketimpangan ekonomi, dan kurangnya persaingan. 

- Individu: Keserakahan, tekanan finansial, dan moral rendah. 

- Perusahaan internasional: Ekspansi pasar melalui suap untuk memenangkan proyek. 

 3. Kompleksitas Proyek (Rahim, 2010) 

Proses konstruksi yang panjang dan melibatkan banyak pihak memudahkan korupsi di setiap tahap, seperti: 

- Tahap perencanaan: Mark-up anggaran. 

- Tahap tender: Kolusi antar kontraktor. 

- Tahap pelaksanaan: Penggunaan material substandar. 

 Dampak Korupsi pada Industri Konstruksi 

- Kerugian ekonomi: Biaya proyek membengkak hingga 20–30% (Kenny, 2009). 

- Risiko keselamatan: Bangunan tidak memenuhi standar akibat pengurangan material. 

- Reputasi industri: Malaysia kehilangan investasi asing senilai $2 miliar/tahun akibat ketidaktransparanan (Sohail & Cavill, 2006). 

 Solusi Pencegahan Korupsi 

1. Integrity Pact (IP): 

   - Kontrak anti-suap antara pemerintah dan kontraktor. 

   - Di Jerman, IP mengurangi kasus korupsi konstruksi hingga 40% (Transparency International, 2011). 

2. Whistleblower Protection Act: 

   - Melindungi pelapor korupsi, seperti di Malaysia sejak 2010. 

3. Transparansi Proyek: 

   - Publikasi dokumen tender secara daring, seperti diterapkan di Singapura. 

 Kritik dan Rekomendasi 

- Kekurangan penelitian: Paper ini hanya berbasis literatur, perlu studi lapangan untuk validasi. 

- Peran teknologi: Blockchain dan AI bisa menjadi solusi modern untuk memantau proyek. 

 Kesimpulan 

Korupsi dalam konstruksi dipicu oleh faktor sistemik dan individu, tetapi dapat dikurangi melalui transparansi, regulasi ketat, dan partisipasi masyarakat. Implementasi Integrity Pact dan perlindungan whistleblower adalah langkah awal yang krusial. 

Sumber :  Nordin, R. M., Takim, R., & Nawawi, A. H. (2011). Critical Factors Contributing to Corruption in Construction Industry. 2011 IEEE Symposium on Business, Engineering and Industrial Applications (ISBEIA). 

Selengkapnya
Mengungkap Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Faktor, Dampak, dan Solusi

Korupsi Konstruksi

Korupsi Menghancurkan Transportasi Jalan: Strategi, Dampak, dan Solusi di Negara Berkembang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Korupsi di Sektor Transportasi Jalan: Tantangan Besar Negara Berkembang

Korupsi bukan hanya sekadar pelanggaran hukum—ia adalah penyakit sistemik yang melumpuhkan pembangunan. Dalam sektor transportasi jalan, khususnya di negara berkembang, korupsi menjadi penghambat besar bagi efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan sosial. Dokumen "Fighting Corruption in the Road Transport Sector: Lessons for Developing Countries" oleh Niklas Sieber yang diterbitkan oleh GIZ memberikan penjabaran mendalam tentang betapa masif dan merusaknya korupsi dalam proyek transportasi, serta strategi untuk mendeteksi dan mencegahnya.

Korupsi dan Dampaknya terhadap Ekonomi dan Sosial

World Bank menyebutkan korupsi sebagai salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Data menunjukkan bahwa korupsi bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi hingga 1% per tahun, dan merugikan negara sebesar USD 1 triliun per tahun hanya dari praktik suap. IMF juga mencatat penurunan investasi sebesar 5% di negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi.

Efek domino korupsi mencakup:

  • Penurunan pendapatan nasional
  • Distorsi keputusan pengeluaran publik
  • Kerusakan lingkungan
  • Menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan

Studi Kasus: Dampak Nyata Korupsi dalam Proyek Transportasi

1. Jerman – Tragedi Arsip Kota Köln

Proyek konstruksi jalur kereta bawah tanah menyebabkan runtuhnya gedung arsip kota, menewaskan dua orang dan menghancurkan dokumen bersejarah. Investigasi menemukan bahwa 80% baja penyangga tidak dipasang karena dijual sebagai besi tua untuk keuntungan pribadi.

2. Indonesia – Proyek Jalan Nasional

Penelitian oleh Kenny (2007) menyebutkan bahwa setiap USD 1 material konstruksi yang dicuri dapat menurunkan efisiensi proyek sebesar USD 3.41. Ini menunjukkan bahwa pencurian material lebih merusak daripada inflasi biaya kontrak.

3. Zimbabwe – Suap Polisi di Jalanan

Operator bus mengaku bahwa 25% dari pendapatan harian mereka dihabiskan untuk menyuap polisi. Hal ini menyebabkan kenaikan tarif, layanan yang menurun, dan beban tambahan pada masyarakat miskin.

Mengapa Transportasi Rentan terhadap Korupsi?

Beberapa faktor utama penyebab kerentanan adalah:

  • Anggaran besar (10–20% dari anggaran nasional)
  • Kompleksitas pengadaan barang dan jasa
  • Lemahnya kontrol administratif dan teknis
  • Intervensi politik dan praktik patronase

Korupsi muncul dalam berbagai bentuk:

  • Suap pada saat tender dan lelang
  • Manipulasi spesifikasi proyek
  • Sertifikasi palsu pada kualitas material
  • Pembengkakan biaya proyek hingga 20–30%
  • Penundaan kontrak lebih dari 7 bulan (indikator korupsi menurut World Bank)

Hubungan Langsung antara Korupsi dan Kemiskinan

Laporan dari UNCTAD dan Transparency International menunjukkan bahwa:

  • Masyarakat miskin membayar suap proporsional lebih besar dibandingkan orang kaya
  • Korupsi dalam pelayanan publik seperti SIM, sertifikasi kendaraan, dan izin trayek sangat memukul penduduk miskin
  • Studi di Afrika Barat menunjukkan bahwa pengurangan biaya transportasi (termasuk suap) sebesar 10% bisa meningkatkan harga jual hasil tani hingga 13%

Upaya Deteksi: Tanda-Tanda Merah (Red Flags)

World Bank dan studi oleh Alexeeva dkk. mengidentifikasi beberapa indikator kuat terjadinya korupsi, seperti:

  • Perbedaan harga kontrak lebih dari 20% dibanding estimasi insinyur
  • Proyek hanya memiliki 1–2 peserta tender
  • Waktu penyelesaian proyek molor lebih dari 30%
  • Selisih harga pemenang tender dan peserta terdekat hanya 2%

Strategi Pencegahan Korupsi: Solusi dari Hulu ke Hilir

1. Reformasi Sektor Publik

  • Perencanaan transportasi partisipatif
  • Evaluasi ekonomi yang realistis
  • Pemisahan fungsi pengambil kebijakan dan pelaksana proyek

2. Keterlibatan Masyarakat Sipil

  • Penguatan whistleblower system
  • Transparansi anggaran dan tender melalui media daring
  • Pelibatan LSM dan komunitas dalam pengawasan proyek

3. Peran Sektor Swasta

  • Implementasi Integrity Pacts
  • Audit internal dan eksternal independen
  • Sertifikasi sistem manajemen integritas

4. Reformasi Internasional

  • Organisasi seperti GIZ, World Bank, dan USAID memberikan panduan dan alat seperti Anticorruption WORKS, pelatihan, dan asesmen risiko untuk proyek di negara mitra.

Studi Tambahan: Korupsi dalam Industri Truk di India

Transparency International India mencatat:

  • Setiap truk membayar suap tahunan sebesar INR 79.920 (±EUR 1.450)
  • Total suap nasional dari sektor ini mencapai lebih dari EUR 4 miliar
  • 60% pemberhentian di jalan adalah hasil pemerasan, yang menambah waktu tempuh hingga 11 jam per hari.

Kesimpulan: Korupsi Harus Diperangi secara Terstruktur

Korupsi dalam sektor transportasi jalan bukan hanya merugikan ekonomi, tapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat, merusak infrastruktur, dan memperburuk ketimpangan sosial. Strategi pencegahan harus dilakukan dengan pendekatan sistemik, partisipatif, dan berbasis data. Reformasi kelembagaan, transparansi publik, dan keterlibatan komunitas adalah kunci untuk menciptakan sistem transportasi yang adil dan berkelanjutan di negara berkembang.

Sumber:
Sieber, N. (2011). Fighting Corruption in the Road Transport Sector: Lessons for Developing Countries. GIZ, Sustainable Urban Transport Technical Document #10.

Selengkapnya
Korupsi Menghancurkan Transportasi Jalan: Strategi, Dampak, dan Solusi di Negara Berkembang

Korupsi Konstruksi

E-Procurement dan Green Procurement: Kunci Sukses Supply Chain Berkelanjutan di Malaysia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


 Pendahuluan 

Dalam era digital, e-procurement (pengadaan elektronik) telah menjadi alat kritis untuk mencapai efisiensi operasional dan keberlanjutan lingkungan. Penelitian oleh Singh dan Chan (2022) mengungkap bagaimana adopsi e-procurement berdampak signifikan pada green procurement (pengadaan hijau) di perusahaan Malaysia yang bersertifikat ISO 14001. Studi ini tidak hanya menyoroti manfaat teknologi tetapi juga memberikan panduan bagi pelaku industri dan pembuat kebijakan untuk memperkuat praktik supply chain berkelanjutan. 

 E-Procurement dan Green Procurement: Apa Hubungannya? 

E-procurement mengacu pada penggunaan teknologi digital untuk proses pengadaan, seperti e-tendering, e-sourcing, dan e-ordering. Sementara itu, green procurement berfokus pada pembelian produk/jasa yang ramah lingkungan. Kombinasi keduanya menciptakan supply chain yang efisien dan berkelanjutan. 

 Temuan Utama Penelitian 

1. 86% peningkatan kinerja green procurement setelah adopsi e-procurement. 

2. E-sourcing dan e-ordering memiliki dampak paling signifikan (β = 0.881 dan 0.021). 

3. E-reverse auction dan e-tendering kurang berpengaruh, mungkin karena kompleksitas implementasi. 

 Studi Kasus: Implementasi di Perusahaan Malaysia 

Penelitian ini melibatkan 152 responden dari 55 perusahaan ISO 14001 di Johor, Malaysia. Hasilnya menunjukkan: 

- E-informing (mean = 4.443) dan e-tendering (mean = 4.306) paling banyak digunakan. 

- 86% varians green procurement dijelaskan oleh adopsi e-procurement (R² = 0.868). 

- Perusahaan yang menggunakan e-procurement melaporkan pengurangan biaya operasional hingga 42%. 

 Manfaat E-Procurement untuk Keberlanjutan 

1. Pengurangan Penggunaan Kertas: Proses digital mengurangi limbah kertas. 

2. Efisiensi Waktu dan Biaya: Transaksi lebih cepat, mengurangi emisi karbon dari logistik. 

3. Transparansi: Meminimalkan korupsi dan meningkatkan akuntabilitas. 

 Tantangan dan Rekomendasi 

 Kendala Implementasi 

- Kurangnya pelatihan bagi karyawan. 

- Resistensi budaya terhadap perubahan sistem manual ke digital. 

 Solusi 

- Pelatihan intensif untuk staf procurement. 

- Insentif pemerintah untuk adopsi teknologi hijau. 

 Kritik dan Analisis Tambahan 

Meski penelitian ini komprehensif, ada beberapa celah: 

1. Sampel terbatas pada perusahaan besar (250+ karyawan), sehingga kurang mewakili UKM. 

2. E-reverse auction dinilai kurang efektif, padahal di negara lain (seperti Yunani) terbukti sukses. 

Perbandingan dengan Penelitian Lain: 

- Walker & Brammer (2012) menemukan hubungan kuat antara e-procurement dan sustainability di sektor publik Eropa. 

- Ramkumar & Jenamani (2015) menekankan perlunya integrasi big data untuk optimasi green procurement. 

Kesimpulan 

Adopsi e-procurement adalah langkah strategis untuk mencapai green procurement dan kinerja supply chain berkelanjutan. Perusahaan Malaysia telah membuktikan bahwa teknologi ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). 

Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya: 

- Eksplorasi dampak blockchain dan IoT pada green procurement. 

- Studi komparatif antara negara berkembang dan maju. 

Sumber :  Singh, P. K., & Chan, S. W. (2022). The Impact of Electronic Procurement Adoption on Green Procurement towards Sustainable Supply Chain Performance-Evidence from Malaysian ISO Organizations. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 8(2), 61. 

Selengkapnya
E-Procurement dan Green Procurement: Kunci Sukses Supply Chain Berkelanjutan di Malaysia

Korupsi Konstruksi

Korea Selatan Bangun Kota Cerdas untuk Ketahanan Energi dan Tata Kelola Modern

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pengantar
Transformasi digital kota melalui pengembangan Smart City bukan sekadar tren teknologi, melainkan strategi negara. Dalam disertasi doktoral Yirang Lim berjudul Impacts of Smart City Development: Experience of South Korea dari Erasmus University Rotterdam, diuraikan secara empiris dampak pengembangan kota cerdas di Korea Selatan terhadap keberlanjutan perkotaan, transisi energi, dan perubahan tata kelola. Melalui empat studi utama, Lim menyusun indeks, membandingkan kota cerdas dan non-cerdas, serta mengevaluasi transisi energi dan dinamika tata kelola berdasarkan data nasional dan kota seperti Seoul, Sejong, dan Songdo.

Smart City dan Dimensi Dampaknya
Kota cerdas bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan keberlanjutan melalui pemanfaatan ICT, IoT, dan data real-time. Lim memetakan dampak pengembangan kota cerdas dalam lima dimensi utama:

  • Ekonomi: peningkatan efisiensi layanan publik dan pertumbuhan ekonomi lokal.
  • Lingkungan: transisi energi, pengurangan emisi CO2, dan efisiensi energi.
  • Sosial: partisipasi warga dan kesetaraan sosial.
  • Tata Kelola: transparansi, keterlibatan warga, dan reformasi kebijakan.
  • Teknologi: penggunaan infrastruktur digital untuk pelayanan pintar.

Studi Literatur dan 16 Dampak Utama
Lim mengidentifikasi 12 dampak positif dan 4 negatif dari 55 publikasi akademik.
Dampak positif: peningkatan efisiensi, keterlibatan warga, kualitas hidup, pelindungan lingkungan, inovasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Dampak negatif: polarisasi sosial, pelanggaran privasi, dan hilangnya kebebasan sipil.
Menariknya, sebagian besar dampak negatif ditemukan di negara menengah, sedangkan negara maju lebih menekankan sisi positif.

Smart City Impact Index dan Temuan Empiris
Lim menyusun Smart City Impact Index (SCII) untuk membandingkan 42 kota di Korea antara tahun 2008 dan 2018. Hasilnya:

  • Kota cerdas generasi kedua (post-2014) menunjukkan skor tertinggi dalam indeks dampak.
  • Kota non-cerdas konsisten mencetak skor terendah.
  • Terjadi kesenjangan signifikan antar kota, terutama dalam aspek sosial dan tata kelola.
  • Pengaruh positif ditemukan pada peningkatan partisipasi warga dan kepuasan pendapatan.
  • Namun, juga ditemukan penurunan pada persepsi transparansi dan privasi, terutama di kota berteknologi tinggi namun kurang partisipatif.

Transisi Energi dan Peran Kota Cerdas
Melalui Smart Energy Transition Index (SETI), Lim menunjukkan kontribusi kota cerdas pada transisi energi di Korea Selatan.

  • Kota cerdas generasi kedua menempati posisi teratas dalam kinerja transisi energi.
  • Faktor penting: populasi, kemandirian finansial, dan area urbanisasi.
  • Penggunaan energi terbarukan, pengelolaan energi digital, dan kebijakan lokal menjadi penggerak utama.
  • Sebaliknya, kota dengan infrastruktur pintar tapi tanpa perencanaan matang tetap mencetak skor rendah.

Tata Kelola Kolaboratif dan Perubahan Peran Pemerintah
Bab terakhir fokus pada transformasi model tata kelola:

  • Fase awal (2008–2013): model pasar dengan dominasi pemerintah.
  • Fase menengah (2014–2018): adopsi model multilevel dan kemitraan.
  • Fase lanjut (2019–2023): menuju tata kelola kolaboratif dengan pelibatan akademisi, sektor swasta, dan masyarakat.
    Kota seperti Seoul, Songdo, dan Sejong menunjukkan pola transisi dari top-down ke partisipatif. Namun, peran pemerintah tetap dominan, yang disebut Lim sebagai “kolaborasi yang diarahkan negara” (state-guided collaboration).

Studi Kasus dan Angka Kunci

  • 42 kota administratif terlibat dalam proyek smart city Korea.
  • Kota generasi dua memberikan layanan pintar di sektor kesehatan, pariwisata, dan administrasi publik.
  • Terdapat penurunan partisipasi warga berpendidikan rendah dalam smart city tertentu.
  • Transisi energi lebih efektif di kota yang menginovasikan kebijakan dan melibatkan warga.

Kritik dan Rekomendasi
Lim menyoroti perlunya:

  • Evaluasi lintas sektor agar pengembangan kota cerdas tidak hanya fokus pada teknologi, tapi juga pemberdayaan sosial.
  • Kebijakan nasional dan internasional yang mengatur standar kolaborasi dan partisipasi warga.
  • Model tata kelola dinamis, di mana kota bisa memilih pendekatan berdasarkan fase perkembangan.
  • Penguatan aspek privasi data dan perlindungan sipil.

Kesimpulan
Pengembangan kota cerdas di Korea Selatan bukan hanya perihal infrastruktur dan teknologi, melainkan soal transformasi sosial, tata kelola, dan lingkungan. Dengan menyusun dua indeks dan mengevaluasi lintas sektor, Lim menunjukkan bahwa keberhasilan kota cerdas terletak pada kombinasi antara inovasi teknologi dan inklusivitas kebijakan. Untuk negara berkembang, model Korea bisa menjadi acuan namun perlu disesuaikan dengan budaya lokal dan kapasitas institusional.

Sumber:
Lim, Yirang. Impacts of Smart City Development: Experience of South Korea. Erasmus University Rotterdam, 2021.

Selengkapnya
Korea Selatan Bangun Kota Cerdas untuk Ketahanan Energi dan Tata Kelola Modern
« First Previous page 8 of 8