Pendahuluan
Korupsi sering kali dianggap sebagai masalah yang hanya merugikan ekonomi atau politik, tetapi dampaknya meluas hingga ke tata kelola bencana. Artikel ini mengkaji bagaimana korupsi melemahkan mitigasi, respons, dan pemulihan bencana, serta menyoroti studi kasus dari berbagai belahan dunia. Dengan menganalisis paper Corruption and the Governance of Disaster Risk oleh David Alexander, kita akan melihat bagaimana korupsi memperburuk kerentanan masyarakat dan menghambat pembangunan berkelanjutan.
Definisi dan Bentuk Korupsi dalam Bencana
Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk:
- Grand Corruption: Korupsi skala besar, seperti penggelapan dana rekonstruksi.
- Petty Corruption: Sogokan kecil untuk mempercepat akses bantuan.
- Political Corruption: Kebijakan yang menguntungkan elite, seperti pembangunan infrastruktur tanpa standar keamanan.
Contoh nyata terlihat di Taiwan (2016), di mana gempa bumi mengungkap bangunan yang dibangun dengan material substandar (kaleng minyak bekas) akibat korupsi, menyebabkan 105 kematian (Zaldivar et al., 2016).
Dampak Korupsi pada Manajemen Bencana
1. Melemahkan Standar Konstruksi
Korupsi dalam industri konstruksi sering kali mengabaikan kode bangunan anti-bencana. Studi oleh Ambraseys dan Bilham (2011) menunjukkan bahwa negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki lebih banyak korban jiwa akibat gempa, karena bangunan mudah runtuh.
Studi Kasus:
- Gempa Italia (1980): Mafia Camorra menguasai proyek rekonstruksi, menggunakan pasir laut berkadar garam tinggi yang merusak struktur beton (Saviano, 2006).
- Rana Plaza, Bangladesh (2013): Runtuhnya pabrik garmen menewaskan 1.134 orang akibat tekanan korporasi multinasional untuk memotong biaya (Ansary & Barua, 2015).
2. Penyaluran Bantuan yang Tidak Efektif
Bantuan kemanusiaan sering disalahgunakan atau tidak tepat sasaran:
- Haiti (2010): Hanya 0,38% dana bantuan internasional yang sampai ke pemerintah lokal, sementara sebagian besar dikembalikan ke negara donor (Farmer, 2012).
- Myanmar (Cyclone Nargis, 2008): Junta militer membatasi akses bantuan dan menggunakan dana untuk kepentingan politik (McLachlan-Bent & Langmore, 2011).
3. Eksploitasi oleh Kejahatan Terorganisir
Mafia memanfaatkan kekacauan pascabencana untuk:
- Pasar gelap: Menjual barang bantuan dengan harga tinggi.
- Trafficking: Eksploitasi manusia dan narkoba, seperti di Iran pascagempa Bam (2003), di mana 50% pria dan 25% wanita menjadi pecandu heroin (Tait, 2006).
Solusi: Transparansi dan Hak Asasi Manusia
Untuk memerangi korupsi, penulis menyarankan:
1. Transparansi Anggaran: Audit publik terhadap dana bencana.
2. Partisipasi Masyarakat: Melibatkan korban dalam perencanaan rekonstruksi.
3. Penegakan Hukum: Sanksi berat untuk pelanggar standar konstruksi.
Contoh Sukses:
- Chile (2010): Sistem pembangunan tahan gempa yang ketat mengurangi korban jiwa meski gempa berkekuatan 8,8 SR.
Kritik dan Relevansi Kontemporer
- Keterbatasan Indeks Korupsi: Transparency International dinilai bias karena mengabaikan korupsi legal (seperti lobi) di negara maju (De Maria, 2008).
- Disaster Capitalism: Naomi Klein (2008) mengkritik eksploitasi bencana untuk keuntungan korporasi, seperti privatisasi layanan publik pascatsunami Aceh.
Kesimpulan
Korupsi bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga memperdalam kerentanan bencana. Solusinya terletak pada akuntabilitas, transparansi, dan pemberdayaan masyarakat. Tanpa perubahan sistemik, siklus bencana dan korupsi akan terus berulang.
Sumber : Alexander, D. (2017). Corruption and the Governance of Disaster Risk. Oxford Research Encyclopedia of Natural Hazard Science. DOI: 10.1093/acrefore/9780199389407.013.253.