Industri Kontruksi

Digitalisasi Metode Konstruksi dalam Proyek Gedung Tinggi: Peluang, Strategi, dan Tantangan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Transformasi digital di sektor konstruksi telah menjadi keharusan, terutama pada proyek-proyek kompleks seperti gedung bertingkat tinggi. Artikel karya Daniel Maranatha Silitonga, Stefanus Yobel Hendrawan, dan Oei Fuk Jin dari Universitas Tarumanagara membahas secara mendalam bagaimana teknologi digital mulai mengubah pola kerja konvensional dalam industri konstruksi, khususnya pada proyek high-rise building.

Artikel ini penting dibahas karena menyentuh langsung realitas yang tengah berkembang: meningkatnya kebutuhan akan efisiensi, kecepatan, dan keamanan dalam proses konstruksi di tengah urbanisasi yang pesat. Melalui pendekatan literatur sistematis dan tinjauan aplikasi teknologi di lapangan, artikel ini menyusun peta perkembangan digitalisasi dan bagaimana penerapannya dapat diadaptasi secara strategis.

Pentingnya Digitalisasi untuk Proyek Gedung Bertingkat

Gedung tinggi, menurut definisi Engineering Design Consultant (EDC), merupakan bangunan yang memiliki tinggi minimum 35 meter. Struktur seperti ini memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang presisi karena menyangkut banyak aspek: desain modular, keselamatan kerja, pengendalian waktu dan biaya, serta integrasi sistem MEP (mekanikal, elektrikal, dan pemipaan).

Digitalisasi di sektor ini berperan besar dalam menjawab kebutuhan tersebut. Melalui pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), artificial intelligence (AI), visualisasi realitas virtual, hingga robotika dan otomasi, berbagai tantangan dalam pelaksanaan proyek menjadi lebih terukur dan terkendali.

Tiga Pilar Teknologi Konstruksi Digital

Artikel ini mengelompokkan teknologi digital ke dalam tiga pilar besar:

1. Konstruksi 4.0

BIM adalah salah satu teknologi utama yang banyak digunakan dalam proyek high-rise. Penerapan BIM 4D misalnya, diterapkan di proyek College Road London setinggi 49 lantai untuk memastikan urutan kerja berjalan sesuai jadwal. Sementara itu, BIM 5D pada proyek Central Park di Johor Bahru, Malaysia, digunakan untuk menyatukan informasi biaya secara langsung dalam model visual. Sedangkan BIM 6D dalam proyek Capitol Tower di Houston digunakan untuk analisis efisiensi energi, yang terbukti 25 persen lebih baik dari standar umum.

IoT juga mulai banyak digunakan, contohnya dalam proyek perumahan di Hongkong, di mana RFID dipasang pada alat dan pekerja untuk melacak progres kerja dan logistik secara real time. AI, meskipun masih berkembang, digunakan untuk pengenalan pola kerja dan prediksi potensi keterlambatan. Teknologi awan seperti Autodesk BIM 360 dan Trimble Connect juga semakin umum untuk kolaborasi lintas tim, bahkan dalam proyek lintas negara.

2. Robotisasi Konstruksi

Perkembangan teknologi robotik menawarkan solusi pada pekerjaan-pekerjaan berulang dan berisiko tinggi. Salah satu contoh penggunaannya adalah exoskeleton untuk pekerja konstruksi, yang membantu mengurangi cedera fisik akibat pekerjaan berat, seperti studi yang dilakukan di Jepang dan Hongkong. Drone juga mulai banyak digunakan untuk monitoring proyek dari udara, baik untuk inspeksi visual maupun dokumentasi progres pekerjaan. Di Indonesia, penelitian oleh Tjandra dkk. menunjukkan bahwa drone mulai diadopsi, meskipun masih banyak tantangan dari sisi keahlian pengguna.

3. Otomatisasi Metode Konstruksi

Konsep sistem konstruksi otomatis mulai berkembang, mengadaptasi pendekatan industri manufaktur. Salah satu contohnya adalah Automated Building Construction System (ABCS) oleh Obayashi Corporation di Jepang, yang terbukti mampu memangkas kebutuhan tenaga kerja. Sistem lain seperti SMART dari Shimizu juga berhasil mengurangi waktu kerja hingga 50 persen dan limbah konstruksi hingga 70 persen. Kajima dengan sistem AMURAD-nya bahkan memungkinkan pembangunan dari atas ke bawah, yang lebih efisien dalam lingkungan padat penduduk.

Studi Kasus dan Aplikasi Nyata

Berbagai studi kasus disoroti dalam artikel ini untuk menunjukkan penerapan nyata teknologi digital di proyek high-rise. Di antaranya:

  • Proyek renovasi hotel 19 lantai di Toledo, Ohio, yang menggunakan pemindaian LiDAR untuk mendapatkan dokumen as-built secara cepat dan akurat.
  • Proyek rumah susun di Hongkong yang menggunakan RFID dalam manajemen logistik material.
  • Skanska di Houston yang memanfaatkan BIM untuk perencanaan fasilitas dan efisiensi energi.

Studi-studi ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga meningkatkan akurasi, keamanan, dan bahkan keberlanjutan proyek.

Tantangan Implementasi

Meski potensi keuntungannya besar, artikel ini juga menggarisbawahi sejumlah hambatan implementasi. Di antaranya adalah infrastruktur internet yang belum merata, tingginya biaya lisensi perangkat lunak, kurangnya tenaga kerja yang mampu mengoperasikan teknologi canggih, dan kesenjangan dalam interoperabilitas antar sistem.

Di Indonesia, misalnya, riset Khasani (2018) mencatat bahwa adopsi BIM masih berada di angka 67,46 persen. Masalah terbesar adalah belum adanya standar nasional dan keterbatasan SDM yang paham implementasinya.

Strategi untuk Masa Depan

Untuk menjawab tantangan tersebut, penulis menyarankan strategi transformasi digital melalui pendekatan bertahap. Dimulai dari pengenalan teknologi secara sederhana, kemudian diikuti dengan akomodasi pada praktik kerja eksisting, amplifikasi hasil positif, hingga penguatan melalui kebijakan dan pelatihan berkelanjutan.

Model ini menekankan pentingnya dukungan dari seluruh stakeholder proyek, baik di level manajemen maupun pelaksana di lapangan. Pemerintah, asosiasi profesional, dan institusi pendidikan juga perlu terlibat aktif dalam membangun ekosistem digital konstruksi yang kuat.

Kesimpulan

Digitalisasi metode konstruksi pada proyek gedung bertingkat tinggi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis untuk menjawab tantangan efisiensi, produktivitas, dan keselamatan kerja. Artikel ini memberi gambaran yang komprehensif dan aplikatif tentang bagaimana teknologi-teknologi seperti BIM, IoT, AI, drone, hingga sistem konstruksi otomatis mulai digunakan secara nyata di berbagai proyek besar.

Bagi Indonesia, peluang adopsi teknologi ini sangat besar, terutama mengingat pertumbuhan kota-kota besar dan banyaknya proyek high-rise yang sedang dibangun. Tantangannya tinggal pada kesiapan infrastruktur, pengembangan SDM, dan penyusunan kebijakan strategis jangka panjang.

Sumber asli artikel:

Silitonga, D. M., Hendrawan, S. Y., & Jin, O. F. (2024). Digitalisasi Metode Konstruksi pada Proyek High-Rise Building. JMTS: Jurnal Mitra Teknik Sipil, Vol. 7, No. 3, Agustus 2024, hlm. 795–806.

 

Selengkapnya
Digitalisasi Metode Konstruksi dalam Proyek Gedung Tinggi: Peluang, Strategi, dan Tantangan

Industri Kontruksi

Pengaruh Supplier Relationship Management terhadap Kinerja Proyek Konstruksi Jalan di Wajir County, Kenya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Dalam industri konstruksi jalan yang sarat risiko dan kompleksitas, pengelolaan rantai pasokan bukan sekadar soal logistik. Salah satu pendekatan kunci untuk meningkatkan kinerja proyek adalah melalui Supplier Relationship Management (SRM), yang tidak hanya memfasilitasi aliran barang dan jasa, tetapi juga menciptakan ekosistem kolaboratif yang saling menguntungkan. Artikel “Supplier Relationship Management and Performance of Road Construction Projects” karya Ibrahim D.Y. dan Mutuku M.K. membedah secara mendalam bagaimana praktik SRM memengaruhi efektivitas proyek konstruksi jalan di Wajir County, Kenya.

Latar Belakang dan Relevansi Penelitian

Penelitian ini berangkat dari tantangan nyata yang dihadapi sektor publik Kenya dalam proyek pembangunan jalan, khususnya di wilayah terpencil seperti Wajir County. Dengan menggunakan pendekatan teori stewardship sebagai landasan teoritis—yang menekankan pentingnya pengelolaan organisasi berbasis tanggung jawab kolektif—studi ini menyoroti bagaimana kolaborasi dengan pemasok berdampak langsung terhadap output proyek.

Pengumpulan data dilakukan melalui survei semi-terstruktur yang menyasar 50 responden, terdiri dari 5 manajer proyek dan 45 anggota tim proyek dari Departemen Jalan dan Transportasi Wajir County.

Temuan Kunci: SRM dan Performa Proyek Konstruksi

a. Pertukaran Ide dan Umpan Balik yang Meningkatkan Operasional

Sebanyak 40,9% responden setuju bahwa hubungan yang positif dengan pemasok memungkinkan terjadinya pertukaran ide dan feedback secara berkala, yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi operasional. Nilai rata-rata dari tanggapan ini adalah 3.7 (dari skala 5), dengan standar deviasi yang rendah (0.98), menunjukkan konsistensi jawaban.

b. Efisiensi Biaya

36,4% responden menyatakan bahwa hubungan yang baik dengan pemasok berdampak pada pengurangan biaya. Hal ini menunjukkan adanya penghematan operasional yang nyata, yang diperkuat oleh rata-rata skor 3.66.

c. Identifikasi dan Eliminasi Limbah

SRM juga memungkinkan pemerintah daerah mengidentifikasi akar penyebab limbah dan merancang solusi untuk mengeliminasinya. Hal ini terbukti dari 31,8% responden yang sangat setuju dengan pernyataan ini, dengan skor rata-rata 3.73.

d. Komunikasi yang Lebih Baik

Peningkatan komunikasi internal dan eksternal dalam proyek adalah dampak positif lainnya. Meski hanya 15,9% yang sangat setuju, skor rata-rata 3.34 menandakan adanya pengaruh sedang dari SRM terhadap komunikasi yang lebih efektif antara pihak internal dan pemasok.

e. Penguatan Rantai Pasokan

Sebanyak 34,1% responden mengamini bahwa strategi SRM memperkuat rantai pasokan proyek, ditandai oleh skor rata-rata 3.75. Ini menunjukkan bahwa SRM tidak hanya bermanfaat secara mikro tetapi juga berdampak sistemik terhadap kesinambungan proyek.

Analisis Regresi: SRM sebagai Prediktor Signifikan Kinerja Proyek

Studi ini menggunakan analisis regresi linier untuk mengukur pengaruh SRM terhadap kinerja proyek. Hasilnya menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0.432—indikator hubungan positif yang cukup kuat antara SRM dan performa proyek. R-squared sebesar 0.187 berarti 18,7% variasi dalam performa proyek dapat dijelaskan oleh variabel SRM.

Dengan nilai F-statistik 9.647 dan p-value 0.003, model ini secara statistik signifikan. Regresi menunjukkan koefisien SRM sebesar 0.635 (p = 0.003), menandakan bahwa setiap peningkatan satu unit dalam SRM akan menaikkan skor performa proyek sebesar 0.635 poin, ceteris paribus.

Studi Kasus: Wajir County sebagai Laboratorium Implementasi SRM

Wajir County menjadi contoh menarik untuk mengamati dinamika SRM di kawasan dengan tantangan geografis dan logistik tinggi. Pemerintah daerah berhasil menciptakan hubungan jangka panjang dengan pemasok, yang kemudian berdampak pada pengurangan konflik kontraktual, penyediaan material tepat waktu, serta peningkatan transparansi dalam pengadaan barang.

Di wilayah yang sering diabaikan dalam prioritas nasional, pencapaian ini menjadi bukti bahwa pendekatan manajemen relasi dapat menjadi instrumen kebijakan pembangunan daerah yang efektif.

Pembelajaran bagi Indonesia: Apa yang Bisa Diadopsi?

Meski konteks geografis dan sosial berbeda, Indonesia memiliki kemiripan dalam karakteristik proyek konstruksi jalan—sering kali tersebar di daerah terpencil dengan keterbatasan infrastruktur logistik. Beberapa poin kunci dari studi ini yang dapat diadopsi antara lain:

  • Penerapan evaluasi pemasok secara berkala untuk memastikan kesesuaian dan kinerja.
  • Pembangunan sistem komunikasi digital antara penyedia dan pelaksana proyek untuk mempercepat aliran informasi.
  • Pelatihan pengadaan untuk pemerintah daerah, agar dapat lebih memahami pentingnya hubungan kolaboratif, bukan transaksional, dengan pemasok.

Kritik dan Saran terhadap Studi

Studi ini memberikan kontribusi signifikan dalam pemahaman peran SRM dalam proyek konstruksi. Namun, terdapat beberapa catatan:

  1. Keterbatasan Geografis: Studi hanya dilakukan di satu county; hasilnya bisa jadi tidak representatif untuk wilayah lain.
  2. Jumlah Responden: Sampel 50 orang cukup kecil untuk generalisasi nasional.
  3. Dimensi Kualitatif Minim: Meskipun ada wawancara semi-terstruktur, eksplorasi mendalam terhadap dinamika hubungan antarpihak belum sepenuhnya tergali.

Akan sangat menarik jika studi lanjutan memasukkan metode kualitatif seperti studi etnografis proyek, atau perbandingan antar-county, untuk memperkuat validitas ekternal temuan.

Penutup: Hubungan yang Baik Bukan Sekadar Nilai Tambah, Melainkan Keputusan Strategis

Artikel ini menunjukkan dengan jelas bahwa SRM bukan sekadar strategi relasional, tetapi merupakan pilar dari keberhasilan proyek konstruksi. Dengan membangun hubungan yang saling percaya dan terbuka antara pemilik proyek dan pemasok, efisiensi, akurasi, dan keberlanjutan proyek dapat ditingkatkan secara signifikan.

Untuk organisasi pemerintah maupun swasta, terutama di sektor konstruksi yang kompleks dan penuh tantangan, praktik SRM layak dijadikan investasi jangka panjang. Ia bukan hanya menjanjikan efisiensi teknis, tetapi juga menciptakan lingkungan kolaboratif yang mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan kualitas proyek, serta memperkuat integritas sistem pengadaan.

Sumber asli artikel:
Ibrahim, D. Y., & Mutuku, M. K. (2022). Supplier relationship management and performance of road construction projects. The Strategic Journal of Business & Change Management, 9(4), 1515–1523.

 

Selengkapnya
Pengaruh Supplier Relationship Management terhadap Kinerja Proyek Konstruksi Jalan di Wajir County, Kenya

Industri Kontruksi

Enterprise Architecture dalam Software Manajemen Konstruksi: Kunci Transformasi Digital Sektor Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Industri konstruksi Indonesia tengah memasuki era transformasi digital seiring dengan tingginya pertumbuhan pasar dan kompleksitas proyek. Berdasarkan laporan Mordor Intelligence (2024), pasar konstruksi Indonesia diprediksi tumbuh dari USD 284 miliar di tahun 2024 menjadi hampir USD 408 miliar di 2029, dengan pertumbuhan tahunan mencapai 7,5%. Lonjakan ini didorong oleh proyek-proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta investasi infrastruktur dari kerja sama bilateral senilai USD 649 juta. Dalam konteks ini, penggunaan teknologi informasi—terutama software manajemen konstruksi—menjadi sangat krusial.

Artikel karya R. Wahyu Indra Susatyo, Eko Indrajit, dan Erick Dazki dari Universitas Pradita berjudul "Enterprise Architecture in the Construction Management Software using the Business Model Canvas" yang dipublikasikan dalam jurnal Sinkron (Vol. 8, No. 3, 2024) mengulas secara mendalam bagaimana pendekatan Enterprise Architecture (EA), khususnya framework TOGAF dan bahasa pemodelan ArchiMate, dapat menjadi fondasi penting dalam pengembangan dan optimalisasi software manajemen konstruksi berbasis cloud seperti Procore.

Urgensi dan Konteks: Tantangan dalam Manajemen Proyek Konstruksi

Dengan tingginya kompleksitas proyek, keterlibatan banyak pihak, serta tekanan efisiensi dan keberlanjutan, proyek konstruksi saat ini membutuhkan pengelolaan data, proses, dan sumber daya secara terintegrasi. Software manajemen konstruksi seperti Procore®, PlanGrid®, atau Progresi® menawarkan platform untuk kontrol biaya, pelacakan progres, pengelolaan dokumen, serta koordinasi multi-stakeholder. Namun, studi ini menilai bahwa tanpa arsitektur perusahaan yang matang, perangkat lunak ini belum optimal dalam menjawab kebutuhan industri yang terus berkembang.

Tujuan Penelitian dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif melalui:

  • Studi literatur (untuk mendalami konsep EA, TOGAF, dan BMC).
  • Observasi dan analisis terhadap software Procore®.

Hasilnya kemudian dipetakan ke dalam kerangka TOGAF yang mencakup delapan domain arsitektur, serta diterjemahkan dalam model bisnis menggunakan Business Model Canvas (BMC).

Studi Kasus: Arsitektur Enterprise pada Software Procore®

1. Business Architecture (dengan pendekatan BMC)

  • Value Proposition: Platform terpusat berbasis web dan cloud yang real-time dan terintegrasi.
  • Customer Segments: Kontraktor, manajemen konstruksi, arsitek, pengembang.
  • Customer Relationships: Dukungan 24/7, pelatihan offline dan daring, fitur community.
  • Channels: Website, email, media sosial, konferensi tahunan, rekomendasi pelanggan lama.
  • Key Activities: Interaksi awal, registrasi, penggunaan fitur, dukungan pelanggan.
  • Key Resources: Cloud server, tim developer, support teknis dan manajer akun.
  • Key Partnerships: Mitra teknologi pihak ketiga, konsultan konstruksi.
  • Cost Structure: Riset dan pengembangan, pemasaran, cloud hosting.
  • Revenue Stream: Langganan berbasis volume proyek dan biaya implementasi.

2. Application Architecture

Aplikasi dibagi menjadi lima komponen besar:

  • Management: CRM, HRIS, sistem keuangan, revenue, dan dashboard produk.
  • Suppliers/Partners: Sistem manajemen vendor dan sistem penilaian kinerja rekanan.
  • Core Process: Monitoring server, manajemen akun, sistem komunitas, dan LMS.
  • Back Office: Manajemen SDM internal, sistem tiket, dan manajemen dokumen.
  • Customer: Pre-construction, project execution, workforce & financial management, hingga construction intelligence dan support center.

3. Information Architecture

Terdapat lima klasifikasi database:

  • Management: CRM, billing, revenue.
  • Suppliers: Data vendor dan penilaian rekanan.
  • Support: Sistem komunitas dan tiket.
  • Core Process: Akun pengguna, dokumen proyek, data pembelajaran.
  • Customer: Data tender, progres proyek, HR proyek, dan laporan.

4. Technology Architecture

Dirancang dengan tiga server cloud AWS®:

  • Server 1: Melayani CRM, keuangan, revenue.
  • Server 2: Menjalankan fitur customer (pre-construction hingga intelligence).
  • Server 3: Mendukung pelatihan dan pusat bantuan (support center, LMS, komunitas).

Akses ke server disesuaikan dengan zona pengguna: manajemen dan support melalui VPN, pelanggan dan vendor melalui koneksi internet aman.

Inovasi: Penggunaan ArchiMate sebagai Visualisasi EA

Model enterprise architecture divisualisasikan menggunakan ArchiMate, yang mencakup seluruh alur pengguna: dari login, penggunaan fitur, interaksi dengan support, hingga output layanan. Visualisasi ini memperjelas relasi antar entitas digital dan memetakan dependensi antara proses bisnis dan infrastruktur teknologi. Ini merupakan pendekatan baru yang belum digunakan luas di penelitian sejenis.

Kelebihan dan Nilai Tambah Studi

  1. Pendekatan komprehensif: Menggabungkan TOGAF dan BMC dalam satu kerangka.
  2. Implementatif: Berdasarkan observasi software nyata (Procore) dan disesuaikan dengan konteks Indonesia.
  3. Model reusable: Arsitektur EA yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan teknologi dan proses bisnis.
  4. Kontribusi terhadap Smart Construction: Mendukung prinsip revolusi industri 4.0 dan konstruksi berbasis cloud.

Tantangan Implementasi dan Saran Pengembangan

  • Banyak perusahaan konstruksi kecil-menengah belum memiliki SDM IT yang memahami EA.
  • Perlu ada kolaborasi lintas stakeholder (teknis, manajerial, regulasi) agar arsitektur bisa diadopsi luas.
  • Regulasi pemerintah terkait sistem informasi konstruksi belum cukup mendukung integrasi EA.

Penulis merekomendasikan:

  • Pelatihan dan literasi EA untuk sektor konstruksi.
  • Standardisasi platform manajemen proyek nasional.
  • Integrasi sistem manajemen konstruksi dengan database pemerintah untuk proyek infrastruktur publik.

Kesimpulan

Artikel ini menegaskan bahwa perancangan arsitektur enterprise untuk software manajemen konstruksi merupakan langkah strategis dalam menyongsong era smart construction. Dengan mengintegrasikan TOGAF, BMC, dan ArchiMate, perusahaan konstruksi dapat:

  • Meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas proses manajemen proyek.
  • Memastikan keselarasan antara kebutuhan bisnis dan kapabilitas teknologi.
  • Mendorong transformasi digital yang sistematis dan terukur.

Pendekatan ini tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga dapat dijadikan model bagi negara berkembang lain dengan industri konstruksi yang tengah berkembang pesat.

Sumber Asli

Susatyo, R. W. I., Indrajit, E., & Dazki, E. (2024). Enterprise Architecture in the Construction Management Software using the Business Model Canvas. Sinkron: Jurnal dan Penelitian Teknik Informatika, Vol. 8(3).

 

Selengkapnya
Enterprise Architecture dalam Software Manajemen Konstruksi: Kunci Transformasi Digital Sektor Konstruksi Indonesia

Industri Kontruksi

Meningkatkan Efisiensi Proyek Konstruksi: Strategi Kolaborasi Contractor-Supplier Berdasarkan Studi Kasus di Swedia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Industri konstruksi modern dituntut untuk lebih efisien, cepat, dan responsif terhadap perubahan kebutuhan klien. Namun faktanya:

  • 75% biaya kontraktor berasal dari pembelian material dan jasa,
  • Material waste bisa mencapai 30–35% dari total biaya konstruksi,
  • Supply chain di konstruksi kerap terfragmentasi, menyebabkan inefisiensi besar.

Di sinilah pentingnya membangun hubungan kuat antara kontraktor dan pemasok. Studi ini menekankan bahwa pengelolaan hubungan berbasis high-involvement bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menekan pemborosan biaya proyek.

Studi Kasus: Woody Angered dan Serneke di Gothenburg, Swedia

Studi dilakukan pada proyek renovasi apartemen di Näverlursgatan, Gothenburg. Dua perusahaan terlibat:

  • Woody Angered: Supplier material konstruksi besar, bagian dari jaringan nasional.
  • Serneke: Salah satu kontraktor terkemuka di Swedia dengan omzet 3 miliar SEK pada 2015.

Dalam proyek ini, Woody memasok sekitar 80% kebutuhan material Serneke di Gothenburg, namun tanpa kontrak jangka panjang formal—sebuah hubungan yang disebut "frequent but traditional."

Data Survei:

  • Jumlah wawancara: 11 (dengan berbagai posisi, dari manajer proyek hingga pekerja lapangan).
  • Metode penelitian: Kualitatif, semi-terstruktur, dengan analisis berbasis model High-Involvement Relationships (HIR).

Hasil Temuan: Dimensi-Dimensi Hubungan Contractor-Supplier

Penelitian ini menganalisis hubungan Woody-Serneke melalui enam dimensi HIR, berikut rangkumannya:

1. Longevity (Durasi Hubungan)

Hubungan telah terjalin selama bertahun-tahun, meski tanpa formalisasi perjanjian jangka panjang. Hubungan lebih didasarkan pada kepercayaan pribadi daripada kontrak hukum.

2. Adaptations (Penyesuaian)

Woody sering melakukan penyesuaian logistik untuk memenuhi kebutuhan proyek Serneke, namun belum ada investasi sistem bersama (seperti integrasi IT).

3. Dependence (Ketergantungan)

Serneke cukup bergantung pada Woody untuk kecepatan pengiriman dan fleksibilitas layanan. Namun, ketergantungan formal minim karena tidak ada kontrak eksklusif.

4. Interactions (Interaksi)

Interaksi intens terjadi secara informal, dengan banyak komunikasi personal antar individu. Namun, koordinasi formal antar organisasi masih lemah.

5. Relationship Atmosphere (Suasana Hubungan)

Hubungan didominasi kepercayaan personal, namun rentan terhadap konflik kecil akibat kurangnya struktur formal.

6. Mutual Orientation (Orientasi Bersama)

Kedua belah pihak menunjukkan kesadaran akan kebutuhan satu sama lain, tetapi belum maksimal dalam menyelaraskan tujuan jangka panjang.

Studi Kasus Angka: Mengapa Ini Penting?

  • Biaya material: Material menyumbang 40–45% dari total biaya proyek.
  • Potensi Waste: Dengan supply chain terfragmentasi, waste material dapat mencapai 10%–21% dari total volume material, tergantung jenis.
  • Lead Time: Tanpa kolaborasi formal, ketidakteraturan pengiriman bisa menambah lead time hingga 15–20%.

Artinya, hanya dengan meningkatkan kualitas hubungan contractor-supplier, potensi penghematan waktu dan biaya bisa sangat signifikan.

Analisis Kritis: Kelebihan dan Kekurangan Hubungan Woody-Serneke

Kelebihan:

  • Kepercayaan personal yang kuat,
  • Fleksibilitas layanan dari Woody,
  • Konsistensi suplai material meski tanpa kontrak jangka panjang.

Kekurangan:

  • Minimnya perjanjian formal membuat hubungan rawan perubahan tiba-tiba,
  • Kurangnya integrasi teknologi menghambat visibilitas supply chain,
  • Potensi inefisiensi dalam jangka panjang karena tidak adanya standar prosedur kolaboratif.

Rekomendasi Strategis: Membangun Hubungan Contractor-Supplier yang Lebih Efektif

Berdasarkan analisis studi ini, penulis merekomendasikan langkah-langkah berikut:

1. Membuat Perjanjian Jangka Panjang Bertahap

  • Dimulai dengan Intermediate Partnering: Kontrak setengah formal untuk proyek-proyek besar tertentu sebelum beranjak ke kolaborasi penuh.

2. Menambahkan Nilai Tambah dari Pemasok

  • Supplier seperti Woody bisa memperluas layanan, misalnya dengan prefabrikasi atau pengelolaan stok onsite.

3. Mengintegrasikan Teknologi Supply Chain

  • Penerapan sistem ERP sederhana yang menghubungkan Serneke dan Woody akan mempercepat komunikasi dan mengurangi kesalahan pengiriman.

4. Meningkatkan Transfer Pengetahuan

  • Pelatihan bersama antara kontraktor dan pemasok untuk meningkatkan pemahaman teknis satu sama lain.

Hubungan dengan Tren Global: Mengapa Ini Semakin Relevan?

Dengan meningkatnya tren Digital Construction dan Lean Construction, dunia konstruksi kini bergerak ke arah:

  • Kolaborasi supply chain berbasis cloud,
  • Integrated Project Delivery (IPD),
  • Kontrak berbasis kinerja bersama.

Negara seperti Inggris telah memulai penerapan "Supply Chain Collaboration Charters" untuk semua proyek pemerintah, mewajibkan prinsip high-involvement partnership.

Artinya, temuan studi ini tidak hanya relevan untuk Swedia, tapi juga menjadi pelajaran penting untuk industri konstruksi Indonesia yang ingin meningkatkan daya saingnya di tingkat global.

Kesimpulan: Contractor-Supplier Relationship Bukan Lagi Sekadar Urusan Harga

Studi ini membuktikan bahwa membangun hubungan yang kuat dan terstruktur antara kontraktor dan pemasok dapat memberikan:

  • Efisiensi biaya dan waktu,
  • Kualitas proyek yang lebih baik,
  • Pengurangan risiko supply chain,
  • Inovasi berkelanjutan.

Namun, keberhasilan hubungan ini membutuhkan:

  • Perjanjian yang jelas,
  • Investasi pada teknologi dan SDM,
  • Mindset kolaboratif jangka panjang.

Meningkatkan hubungan contractor-supplier adalah langkah fundamental bagi industri konstruksi untuk memasuki era baru: konstruksi yang lebih ramping, cepat, dan cerdas.

Sumber Artikel Asli: Roham Nikinosheri, Filip Staxäng. (2016). Contractor-supplier relationships in the construction industry: A case study. Chalmers University of Technology, Department of Technology Management and Economics, Division of Service Management and Logistics.

Selengkapnya
Meningkatkan Efisiensi Proyek Konstruksi: Strategi Kolaborasi Contractor-Supplier Berdasarkan Studi Kasus di Swedia

Industri Kontruksi

Optimalisasi Critical Chain Project Management (CCPM) pada Proyek Konstruksi: Studi Kasus Gudang Polowijo di Tuban

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Critical Chain Project Management (CCPM) dikembangkan berdasarkan Theory of Constraints oleh Eliyahu M. Goldratt pada tahun 1997. CCPM berbeda dari metode konvensional seperti Critical Path Method (CPM) karena berfokus pada pengelolaan sumber daya dan menghilangkan berbagai bentuk pemborosan waktu, seperti multitasking berlebihan dan waktu aman berlebih (safety time) dalam setiap aktivitas proyek.

Dengan kata lain, CCPM tidak hanya menyusun urutan kegiatan, tetapi juga mengatur bagaimana sumber daya digunakan secara optimal agar proyek selesai lebih cepat dan biaya dapat ditekan.

Studi Kasus: Proyek Pembangunan Gudang Polowijo di Tuban

Penelitian ini mengambil studi kasus proyek pembangunan gudang di Desa Wadung, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Proyek ini dikerjakan oleh CV Bonang Raya dengan nilai kontrak Rp 4,5 miliar, dan direncanakan berlangsung selama 98 hari kalender, dari 23 Maret 2021 hingga 28 Juni 2021.

Dalam rencana awal, biaya tenaga kerja langsung diperkirakan mencapai Rp 682.400.000. Namun, penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan CCPM, ada peluang besar untuk mengoptimalkan biaya dan durasi proyek secara bersamaan.

Langkah-Langkah Implementasi CCPM dalam Proyek

Pertama, jadwal proyek disusun kembali dengan memotong 50% durasi masing-masing aktivitas menggunakan metode cut and paste. Tujuannya adalah menghilangkan waktu cadangan yang tidak perlu, yang sering kali justru memperlambat proyek akibat hukum Parkinson dan sindrom mahasiswa (student syndrome).

Kedua, penelitian ini juga menata ulang aktivitas agar menghindari multitasking. Setiap pekerja difokuskan untuk menyelesaikan satu tugas sebelum beralih ke tugas lain, guna mengurangi inefisiensi akibat peralihan fokus kerja.

Ketiga, feeding buffer ditambahkan pada jalur non-kritis. Buffer ini berfungsi untuk melindungi jalur kritis dari gangguan akibat keterlambatan aktivitas di jalur non-kritis.

Keempat, project buffer dipasang di akhir jalur kritis. Buffer ini bertindak sebagai pelindung terhadap risiko keterlambatan proyek secara keseluruhan.

Setelah seluruh langkah implementasi selesai, analisis biaya tenaga kerja dilakukan kembali untuk melihat efisiensi yang diperoleh.

Hasil Implementasi CCPM: Efisiensi Nyata dalam Durasi dan Biaya

Penerapan CCPM menghasilkan perubahan drastis pada durasi proyek. Semula dijadwalkan memakan waktu 98 hari, proyek dapat dipangkas menjadi hanya 61 hari. Ini berarti percepatan waktu hingga sekitar 37,76 persen dari rencana awal.

Dari sisi biaya tenaga kerja langsung, terjadi penghematan besar. Dengan CCPM, biaya tenaga kerja turun dari Rp 682.400.000 menjadi Rp 511.035.000. Artinya, proyek berhasil menghemat sekitar 25,11 persen dari anggaran tenaga kerja semula.

Penghematan waktu dan biaya ini menunjukkan bahwa penerapan CCPM bukan hanya sekadar teori, melainkan terbukti memberikan hasil nyata yang dapat diukur secara kuantitatif.

Studi Kasus Angka: Buffer Management untuk Mengontrol Proyek

Buffer management menjadi bagian penting dari CCPM. Dalam proyek ini, project buffer sebesar 11,5 hari diterapkan untuk melindungi jalur kritis. Buffer ini kemudian dibagi menjadi tiga zona:

  • Zona hijau untuk konsumsi buffer antara 0 hingga 3,83 hari, menandakan kondisi aman.
  • Zona kuning untuk konsumsi buffer antara 3,83 hingga 7,67 hari, sebagai sinyal waspada.
  • Zona merah untuk konsumsi buffer di atas 7,67 hari, menandakan perlunya tindakan segera.

Dengan pembagian zona ini, manajer proyek dapat memonitor kemajuan proyek secara real-time dan mengambil tindakan korektif bila proyek mulai melenceng dari jadwal.

Mengapa CCPM Lebih Unggul Dibandingkan CPM?

Dibandingkan metode CPM konvensional, CCPM memiliki beberapa keunggulan nyata:

Pertama, CCPM lebih realistis terhadap keterbatasan sumber daya. CPM cenderung mengabaikan kenyataan bahwa pekerja, alat, dan material tidak selalu tersedia dalam jumlah tak terbatas.

Kedua, CCPM menghindari efek multitasking yang justru memperlambat proyek. Dengan fokus satu tugas satu waktu, produktivitas tenaga kerja meningkat drastis.

Ketiga, CCPM memberikan pendekatan proaktif terhadap risiko keterlambatan dengan penggunaan buffer, bukan sekadar reaktif saat masalah sudah terjadi.

Tantangan Implementasi CCPM

Meski banyak keunggulan, implementasi CCPM di proyek nyata tidak selalu mudah. Tantangan utama yang dihadapi antara lain:

  • Perubahan budaya kerja, karena pekerja dan manajer proyek harus beralih dari kebiasaan multitasking ke fokus tunggal.
  • Kebutuhan akan pelatihan khusus agar semua pihak memahami konsep buffer management dan critical chain.
  • Perlu dukungan penuh dari manajemen puncak, agar penerapan CCPM mendapat prioritas di lapangan.

Namun, dengan hasil nyata yang diperlihatkan dalam studi kasus ini, tantangan tersebut seharusnya bisa diatasi dengan komitmen dan strategi yang tepat.

Hubungan dengan Tren Global: Lean Construction dan Digitalisasi

Optimalisasi proyek melalui CCPM sangat sejalan dengan tren global menuju Lean Construction. Kedua pendekatan ini sama-sama bertujuan mengurangi pemborosan, meningkatkan produktivitas, dan mempercepat penyelesaian proyek.

Lebih jauh, CCPM juga sangat kompatibel dengan penggunaan teknologi digital di sektor konstruksi. Misalnya, penggunaan software seperti Microsoft Project atau Primavera dapat mempermudah perencanaan berbasis critical chain dan buffer management.

Dengan semakin berkembangnya konsep Building Information Modeling (BIM) dan Construction 4.0, penerapan CCPM menjadi semakin relevan untuk proyek-proyek masa depan yang mengedepankan kecepatan, ketepatan, dan efisiensi.

Opini dan Kritik: Peluang Riset dan Implementasi Lanjut

Penelitian Sugiyanto dan Khairul Insan membuka jalan penting bagi optimasi proyek konstruksi di Indonesia. Namun, ada beberapa catatan untuk pengembangan lebih lanjut.

Studi ini baru menguji penerapan CCPM di satu proyek skala menengah. Perlu penelitian lanjutan di berbagai tipe proyek, mulai dari gedung bertingkat, jalan raya, hingga proyek infrastruktur besar, untuk menguji konsistensi hasil.

Selain itu, integrasi penuh dengan teknologi berbasis cloud, Internet of Things (IoT), dan Artificial Intelligence (AI) dalam pengelolaan buffer masih sangat mungkin dikembangkan di masa depan.

Kesimpulan: CCPM, Solusi Masa Depan Manajemen Proyek Konstruksi

Penerapan Critical Chain Project Management terbukti memberikan dampak besar pada proyek pembangunan Gudang Polowijo: mempercepat penyelesaian proyek hingga 37,76 persen dan menghemat biaya tenaga kerja hingga 25,11 persen.

Dalam era konstruksi modern yang menuntut kecepatan, efisiensi, dan ketepatan, CCPM bukan hanya metode alternatif. Ia adalah fondasi yang solid untuk membangun masa depan industri konstruksi yang lebih ramping, cepat, dan adaptif terhadap perubahan.

Bagi kontraktor, konsultan, maupun pemilik proyek, sekarang adalah waktu terbaik untuk mulai menerapkan CCPM secara luas di setiap proyek baru.

Sumber Artikel Asli:
Sugiyanto dan Khairul Insan. (2022). Optimalisasi Metode Critical Chain Project Management Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi. Rang Teknik Journal, Vol. 5, No. 2.

Selengkapnya
Optimalisasi Critical Chain Project Management (CCPM) pada Proyek Konstruksi: Studi Kasus Gudang Polowijo di Tuban

Industri Kontruksi

Mengoptimalkan Proyek Konstruksi dengan Work Sampling dan Value Stream Mapping: Studi Kasus Lean Construction di Mumbai

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Dalam sepuluh tahun terakhir, industri konstruksi India mengalami pertumbuhan luar biasa. Namun, pertumbuhan ini juga memunculkan tantangan baru, seperti tingginya tingkat pemborosan, keterlambatan proyek, dan persaingan ketat dengan pemain internasional.

Fakta mengejutkan, menurut Dr. Tariq Ahmed dari University of Michigan, tingkat pemborosan di proyek konstruksi bisa mencapai 50% hingga 60%. Ini meliputi pemborosan waktu, biaya, material, desain yang buruk, hingga hubungan kerja yang tidak efisien.

Lean Construction, yang diadaptasi dari prinsip Lean Manufacturing, hadir untuk mengatasi masalah tersebut. Filosofi ini berfokus pada menghilangkan segala bentuk waste, memenuhi kebutuhan pelanggan, dan mencapai kesempurnaan operasional dengan sumber daya seminimal mungkin.

Studi Kasus: Work Sampling dan Value Stream Mapping pada Proyek RCC di Mumbai

Penelitian ini dilakukan di sebuah proyek konstruksi di Mumbai, India, khususnya pada pekerjaan beton bertulang (RCC) di lantai layanan. Fokus utama penelitian adalah mengukur tingkat produktivitas pekerja serta mengidentifikasi waste dalam proses kerja untuk kemudian mengusulkan perbaikan.

Untuk mencapai tujuan ini, tiga alat Lean Construction diterapkan secara sistematis, yaitu:

  • Work Sampling (WS): Mengobservasi aktivitas pekerja secara acak untuk mengkategorikan kegiatan sebagai Value-Added (VA), Non-Value Added but Necessary (NVAN), dan Non-Value Added (NVA).
  • Daily Progress Report (DPR): Memonitor produktivitas harian pekerja.
  • Value Stream Mapping (VSM): Menganalisis aliran kerja dari material dan aktivitas untuk mengidentifikasi area yang penuh waste dan merancang perbaikan.

Temuan Utama dari Work Sampling

Work Sampling yang dilakukan selama satu bulan melibatkan 20 pekerja dalam aktivitas RCC. Setiap hari dilakukan antara 5 hingga 10 observasi dengan durasi masing-masing 20 hingga 60 menit.

Observasi ini menghasilkan klasifikasi aktivitas sebagai berikut:

  • Aktivitas Value-Added (VA) adalah semua kegiatan yang langsung berkontribusi pada pembangunan struktur, seperti pengecoran, pemasangan tulangan, atau pengikatan bekisting.
  • Aktivitas Non-Value Added but Necessary (NVAN) termasuk kegiatan seperti pengangkutan material ke lokasi kerja atau pengaturan alat.
  • Aktivitas Non-Value Added (NVA) adalah aktivitas yang benar-benar tidak memberi kontribusi nilai, seperti waktu tunggu karena material belum tersedia atau pekerja menganggur.

Melalui observasi ini, ditemukan bahwa sebagian besar waktu yang hilang di lapangan disebabkan oleh aktivitas NVA seperti menunggu material, koordinasi yang buruk, dan perpindahan lokasi kerja yang tidak efisien.

Value Stream Mapping: Membongkar Waste dalam Siklus Pengerjaan Slab

Value Stream Mapping (VSM) digunakan untuk memetakan proses eksisting dalam pembangunan slab seluas 265 meter persegi. Proses kerja mencakup serangkaian aktivitas, mulai dari pemesanan baja tulangan, pemotongan dan pembengkokan baja, pemasangan starter, kolom, balok, hingga pengecoran dan curing.

Dari pemetaan proses ini ditemukan bahwa dalam kondisi normal:

  • Pemesanan baja tulangan dilakukan 11 hari sebelum pelaksanaan,
  • Pengiriman baja ke lapangan memakan waktu 7 hari,
  • Pemotongan dan pembengkokan baja membutuhkan 2 hari untuk 5 pekerja,
  • Pemindahan baja ke area kerja membutuhkan 2 hari untuk 2 pekerja,
  • Pemasangan starter, kolom, balok, dan slab memakan waktu gabungan sekitar 10 hari,
  • Pengecoran dilakukan dalam 1 hari dengan melibatkan 32 pekerja,
  • Proses curing berlangsung selama minimal 7 hari.

Dalam kondisi ini, satu siklus slab membutuhkan waktu 15 hari untuk diselesaikan.

Namun, setelah menerapkan analisis Value Stream Mapping dan mengidentifikasi titik-titik pemborosan, penelitian ini mengusulkan beberapa inovasi seperti:

  • Penggunaan steel pre-fabrication untuk starter dan kolom,
  • Optimalisasi pengangkutan material,
  • Pemesanan material secara lebih terkoordinasi.

Dengan perubahan tersebut, siklus pengerjaan slab berhasil dipangkas menjadi 13 hari, menghemat waktu sebanyak 2 hari per slab.

Dampak Ekonomi dan Pertimbangan Tambahan

Memangkas 2 hari dari setiap siklus pengerjaan slab memberikan dampak besar, terutama untuk proyek besar dengan banyak unit slab. Namun, inovasi seperti penggunaan pre-fabricated steel memerlukan tambahan biaya, termasuk sewa tower crane untuk pemasangan kolom.

Dalam analisis studi kasus ini, kenaikan biaya dari penggunaan pre-fabricated steel diestimasi 8–10% lebih mahal daripada baja konvensional. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa efisiensi waktu yang diperoleh lebih besar daripada biaya tambahan yang dikeluarkan.

Selain itu, nilai jual sisa potongan baja (scrap) juga harus diperhitungkan untuk mengoptimalkan total biaya material.

Keunggulan Lean Construction Dibandingkan Metode Tradisional

Studi ini menguatkan berbagai keunggulan Lean Construction dibandingkan pendekatan tradisional, antara lain:

  • Fokus pada aliran kerja, bukan hanya pada aktivitas individu. Hal ini menghasilkan efisiensi yang lebih menyeluruh dalam proyek.
  • Mengutamakan penyesuaian terhadap permintaan (pull system) dibandingkan sekadar mendorong jadwal berdasarkan ketersediaan material atau tenaga kerja.
  • Pengendalian produksi berbasis kinerja aktual, bukan hanya terhadap jadwal dan anggaran.
  • Mengurangi multitasking yang tidak efektif, sehingga mendorong konsistensi dan stabilitas aliran kerja.

Dalam metode tradisional, seringkali kontrol hanya dilakukan terhadap waktu dan biaya, sehingga produktivitas sesungguhnya sering terabaikan. Lean Construction menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap dinamika lapangan.

Kritik dan Saran untuk Pengembangan Lebih Lanjut

Studi ini memberikan kontribusi penting dalam mengilustrasikan penerapan praktis Lean Construction di proyek nyata. Namun, ada beberapa peluang pengembangan:

  • Penerapan Lean Construction di proyek yang lebih kompleks, seperti bangunan bertingkat tinggi atau proyek infrastruktur besar, perlu diuji untuk melihat konsistensi efektivitasnya.
  • Integrasi teknologi digital seperti BIM 5D dan real-time tracking dalam Value Stream Mapping dapat meningkatkan akurasi identifikasi waste dan prediksi perbaikan.
  • Studi tentang perubahan budaya organisasi akibat penerapan Lean juga diperlukan, mengingat resistensi perubahan merupakan hambatan besar dalam implementasi lapangan.

Kesimpulan: Lean Construction, Work Sampling, dan Value Stream Mapping, Solusi Nyata Masa Kini

Penerapan Work Sampling dan Value Stream Mapping dalam proyek RCC di Mumbai membuktikan bahwa Lean Construction bukan sekadar teori, melainkan strategi praktis untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi pemborosan, dan mempercepat siklus proyek.

Dengan mengurangi durasi pengerjaan slab dari 15 hari menjadi 13 hari, serta memperjelas area-area pemborosan, studi ini membuktikan bahwa perubahan kecil dalam manajemen proyek bisa membawa dampak besar.

Ke depan, adopsi Lean Construction harus menjadi bagian integral dari semua proyek konstruksi modern, terutama di tengah era digitalisasi dan tuntutan efisiensi global yang semakin tinggi.

Sumber Artikel Asli:
Vinod Chavan, Ashish P. Waghmare, Dr. Nagesh Shelke, Gaurav Vispute. (2021). Work Sampling and Value Stream Mapping of Lean Construction. IRE Journals, Volume 4 Issue 7.

Selengkapnya
Mengoptimalkan Proyek Konstruksi dengan Work Sampling dan Value Stream Mapping: Studi Kasus Lean Construction di Mumbai
« First Previous page 8 of 11 Next Last »