Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Dalam beberapa dekade terakhir, proyek konstruksi skala besar telah menjadi indikator penting dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Namun, seiring bertambahnya kompleksitas proyek, muncul tantangan besar yang tidak dapat dihindari, yaitu risiko. Artikel karya Nasser Alsaadi dan Norhayatizakuan yang berjudul “The Impact of Risk Management Practices on the Performance of Construction Projects” memusatkan kajiannya pada keterkaitan antara praktik manajemen risiko dan kinerja proyek konstruksi di Oman, dengan hasil empiris yang menegaskan pentingnya pendekatan proaktif dalam menghadapi ketidakpastian di sektor ini.
Urgensi Penerapan Manajemen Risiko dalam Industri Konstruksi
Penelitian ini menyoroti kenyataan bahwa industri konstruksi merupakan tulang punggung pembangunan infrastruktur modern, sekaligus rentan terhadap berbagai jenis risiko. Di Oman, meskipun pembangunan sedang tumbuh pesat dengan proyek-proyek besar di sektor gas, pariwisata, dan infrastruktur dasar, masih banyak perusahaan konstruksi yang menjalankan proyek secara intuitif tanpa pendekatan manajemen risiko yang sistematis.
Hal ini berdampak serius pada kinerja proyek—diukur melalui tiga parameter utama: ketepatan waktu, efisiensi biaya, dan kualitas hasil pekerjaan. Para peneliti mencatat bahwa ketidaksiapan dalam menghadapi risiko menyebabkan peningkatan kegagalan proyek dari tahun ke tahun di Oman, yang pada akhirnya merugikan perusahaan secara finansial dan reputasi.
Studi Kasus dan Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dengan menyasar perusahaan-perusahaan konstruksi di Oman yang terdaftar pada Oman Tender Board, dari kategori “grade excellent” hingga “grade second”. Sebanyak 400 kuesioner didistribusikan dan 376 valid dikembalikan. Data dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM), dengan pengolahan statistik yang menyoroti keterkaitan antara empat faktor manajemen risiko—identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, dan respons terhadap risiko—terhadap kinerja proyek.
Hasil statistik menunjukkan bahwa seluruh indikator memiliki nilai critical ratio (C.R.) di atas 1.96, dan signifikansi di bawah 0.05. Artinya, hubungan antar variabel valid secara statistik dan signifikan. Sebagai contoh, hubungan antara risk evaluation dan risk response memiliki nilai C.R. sebesar 5.727, menunjukkan kekuatan hubungan yang tinggi antara evaluasi risiko dengan strategi respons.
Manajemen Risiko sebagai Faktor Penentu Keberhasilan Proyek
Artikel ini menekankan bahwa keberhasilan proyek tidak semata-mata bergantung pada aspek teknis atau pembiayaan, melainkan juga pada kemampuan manajerial dalam mengantisipasi dan mengelola risiko. Dalam konteks Oman, mayoritas perusahaan masih mengandalkan pengalaman subjektif tanpa sistem yang baku. Risiko lebih sering dihindari daripada ditangani, yang memperburuk masalah jangka panjang.
Penerapan manajemen risiko yang efektif memungkinkan perusahaan untuk:
Pembelajaran dari Literatur dan Teori Pendukung
Penulis mengutip berbagai teori dan pendekatan yang mendukung gagasan bahwa manajemen risiko harus dipahami sebagai proses siklikal dan kolaboratif. Model risk management yang digunakan merujuk pada pendekatan dari Hillson (2020) dan Bazin (2017) yang mencakup empat tahap utama: identifikasi risiko, analisis, evaluasi, dan respons. Proses ini dinamis, dan semakin terintegrasi dengan sistem komunikasi serta pengambilan keputusan, semakin besar dampak positifnya terhadap performa proyek.
Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya peran manajer proyek yang memiliki kompetensi tinggi dalam mengelola risiko. Tanpa keterampilan ini, proyek akan cenderung gagal memenuhi target waktu, biaya, dan kualitas, bahkan dengan dukungan sumber daya yang memadai.
Temuan dan Implikasi Praktis
Analisis data dari 376 responden menunjukkan bahwa praktik manajemen risiko secara signifikan meningkatkan kinerja proyek konstruksi. Ditemukan bahwa keempat elemen manajemen risiko memiliki hubungan korelatif yang kuat satu sama lain, dan semuanya berdampak positif terhadap keberhasilan proyek. Nilai RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) sebesar 0.044 dan CFI (Comparative Fit Index) sebesar 0.960 menunjukkan bahwa model yang digunakan memiliki tingkat kecocokan yang sangat baik dengan data.
Implikasi praktis dari temuan ini sangat luas, terutama bagi negara-negara berkembang yang tengah giat membangun infrastruktur. Penulis menyarankan perlunya kebijakan strategis dari pemerintah dan pemangku kepentingan industri konstruksi untuk:
Kritik dan Rekomendasi
Meskipun artikel ini berhasil menjawab pertanyaan utama penelitian, yaitu bagaimana manajemen risiko memengaruhi kinerja proyek di Oman, terdapat beberapa kekurangan yang bisa diperbaiki dalam penelitian selanjutnya. Pertama, cakupan penelitian masih terbatas pada Oman, padahal hasilnya bisa lebih kuat jika dibandingkan dengan negara-negara Teluk lainnya. Kedua, meskipun metode kuantitatif memberikan validitas statistik, pendekatan kualitatif seperti wawancara mendalam dengan manajer proyek akan memberikan wawasan yang lebih kontekstual.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan dilakukan studi lintas negara di kawasan Timur Tengah atau Asia Tenggara, dengan mempertimbangkan faktor budaya organisasi dan regulasi pemerintah yang memengaruhi penerapan manajemen risiko. Penelitian juga bisa dikembangkan dengan menambahkan variabel lain seperti penggunaan teknologi (misalnya Building Information Modeling/BIM) dalam mitigasi risiko.
Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi Global
Saat ini, sektor konstruksi global tengah menghadapi tantangan ganda: meningkatnya tekanan biaya dan ketidakpastian rantai pasok akibat faktor geopolitik dan perubahan iklim. Dalam konteks ini, penerapan manajemen risiko bukan lagi pilihan melainkan keharusan. Artikel ini memberikan dasar teoretis dan empiris yang kuat tentang bagaimana pendekatan ini tidak hanya mengurangi kerugian, tetapi juga menciptakan keunggulan kompetitif.
Penting juga dicatat bahwa praktik manajemen risiko saat ini semakin berbasis data dan otomatisasi. Di beberapa negara maju, sistem manajemen risiko telah terintegrasi dengan perangkat lunak proyek seperti Primavera atau MS Project yang dipadukan dengan analitik prediktif. Jika Oman dan negara-negara berkembang lainnya mampu mengadopsi inovasi ini, mereka akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan.
Kesimpulan
Resensi ini menegaskan bahwa artikel karya Nasser Alsaadi dan Norhayatizakuan menyuguhkan kontribusi penting dalam pemahaman tentang hubungan antara praktik manajemen risiko dan performa proyek konstruksi. Dengan studi kasus di Oman, mereka berhasil membuktikan secara statistik bahwa penerapan manajemen risiko yang sistematis memiliki dampak signifikan terhadap kesuksesan proyek, baik dari segi waktu, biaya, maupun kualitas.
Secara keseluruhan, artikel ini menjadi rujukan penting bagi akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan yang ingin memahami dan mengimplementasikan manajemen risiko sebagai alat strategis dalam industri konstruksi. Dengan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis bukti, diharapkan praktik manajemen risiko dapat menjadi budaya baru yang mendukung keberhasilan proyek-proyek infrastruktur, terutama di negara-negara berkembang.
Sumber Artikel:
Alsaadi, Nasser & Norhayatizakuan. "The Impact of Risk Management Practices on the Performance of Construction Projects." Revista de Estudios Empresariales. Segunda Época, Volumen 39-4, 2020.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juni 2025
Pembangunan infrastruktur menjadi tulang punggung dalam upaya percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu proyek terbesar yang sedang digarap pemerintah Indonesia adalah Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS), sebuah jaringan jalan bebas hambatan sepanjang lebih dari 2.800 km yang menghubungkan wilayah-wilayah utama di Pulau Sumatra. Salah satu ruas kunci dari proyek ini adalah ruas Lampung–Palembang yang terbentang sepanjang 361 kilometer dan mendapat perhatian khusus karena kompleksitas tantangan hukum dan teknis yang dihadapinya. Artikel karya Angga Dwian Prakoso, Sami’an, dan Sarwono Hardjomuljadi ini mengulas secara mendalam penerapan hukum konstruksi dalam proyek JTTS, terutama pada aspek legal, administratif, serta risiko hukum yang muncul dalam pelaksanaan proyek.
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan fokus utama pada regulasi nasional, penerapan standar internasional seperti FIDIC, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Hasil dari kajian ini tidak hanya memberi gambaran tentang masalah di lapangan tetapi juga menyajikan rekomendasi konkret untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan proyek infrastruktur ke depan.
Salah satu temuan penting dalam artikel ini adalah pengaruh besar masalah pembebasan lahan terhadap keterlambatan proyek. Meski pemerintah telah menetapkan dasar hukum melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pada praktiknya proyek JTTS menghadapi penolakan dari masyarakat terkait nilai kompensasi. Penundaan ini memicu domino efek terhadap tahapan konstruksi, mengingat pembebasan lahan seharusnya diselesaikan sebelum kegiatan fisik dimulai. Contohnya, kelambatan pada beberapa seksi menyebabkan molornya waktu konstruksi hingga berbulan-bulan dari target awal.
Di sisi lain, pendanaan juga menjadi tantangan besar. Meski proyek ini mendapatkan suntikan dana dari negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp28,8 triliun pada 2023 dan Rp18,6 triliun pada 2024, namun proses pencairannya tidak selalu lancar. Keterlambatan ini menyebabkan terhambatnya progres proyek dan memicu konflik antar pihak pelaksana, termasuk kontraktor dan subkontraktor. Sebagai contoh, sengketa pembayaran antara kontraktor utama dan subkontraktor terjadi karena perbedaan klaim volume pekerjaan dan ketidaksesuaian progres pembayaran, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kontrak kerja yang berlaku.
Terkait aspek lingkungan, proyek ini juga menjadi sorotan karena dugaan pelanggaran terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Keluhan masyarakat terhadap pencemaran sungai akibat limbah konstruksi menjadi isu yang harus segera ditangani. Hal ini memperlihatkan adanya celah dalam sistem pengawasan lingkungan oleh instansi terkait. Diperlukan peningkatan kapasitas pemantauan serta implementasi sistem pelaporan digital untuk memastikan setiap kegiatan proyek ramah lingkungan.
Penerapan hukum konstruksi dalam proyek ini tidak lepas dari peran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi serta peraturan turunannya. Peraturan ini mengharuskan adanya kepastian hukum dalam setiap aspek proyek, mulai dari penyusunan kontrak, kepatuhan teknis, hingga manajemen risiko. Dalam proyek JTTS, penggunaan kontrak lumpsum dan multiyears dipilih sebagai strategi mitigasi terhadap fluktuasi harga material dan jadwal kerja. Penggunaan standar internasional seperti FIDIC juga membantu dalam pengelolaan risiko hukum dan teknis karena memberikan kejelasan hak dan kewajiban setiap pihak serta menyederhanakan penyelesaian sengketa.
Namun demikian, efektivitas penerapan peraturan ini masih dipertanyakan. Salah satu indikatornya adalah masih tingginya kasus kecelakaan kerja di lapangan yang menunjukkan kurangnya pelatihan keselamatan kerja (K3). Meskipun telah ada Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, namun pelaksanaannya belum optimal. Laporan dari Badan Pengawas Konstruksi menunjukkan bahwa banyak pekerja lapangan belum dibekali pelatihan K3 yang memadai, sehingga risiko kecelakaan masih tinggi.
Permasalahan lainnya adalah ketidakpastian regulasi yang berubah di tengah pelaksanaan proyek. Misalnya, kebijakan baru dalam hal pajak dan pengadaan tanah mengharuskan kontraktor menyesuaikan biaya operasional, yang kemudian berdampak pada keseluruhan rencana proyek. Ketidaksesuaian ini menimbulkan potensi sengketa yang berujung pada mediasi, arbitrase, bahkan litigasi, sebagaimana beberapa kasus yang disebutkan dalam artikel.
Untuk menangani berbagai konflik yang timbul, proyek ini mengandalkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui tiga jalur utama, yaitu mediasi, arbitrase, dan litigasi. Dalam banyak kasus, seperti konflik pembayaran, mediasi menjadi metode yang paling sering digunakan karena lebih cepat dan murah. Namun, dalam konflik yang melibatkan mitra internasional, arbitrase dianggap lebih tepat karena memberikan keputusan final dalam waktu yang lebih singkat dibanding proses pengadilan biasa.
Artikel ini juga menyampaikan bahwa akar dari berbagai persoalan hukum di proyek ini berasal dari perencanaan yang kurang matang, lemahnya koordinasi antar pihak, dan pengawasan yang belum maksimal. Studi kelayakan dan analisis risiko yang dangkal menyebabkan penyesuaian besar-besaran harus dilakukan saat proyek berjalan. Kelemahan koordinasi antara kontraktor, pemilik proyek, dan instansi pemerintah memperburuk pengambilan keputusan, sedangkan lemahnya pengawasan membuat pelanggaran regulasi tidak segera tertangani.
Sebagai solusi, artikel ini menawarkan beberapa rekomendasi strategis. Pertama, optimalisasi perencanaan proyek dengan memperkuat studi kelayakan dan menyusun regulasi teknis yang lebih ringkas dan sinkron. Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan hukum konstruksi dan standar teknis secara rutin. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk meminimalkan konflik teknis dan meningkatkan akurasi perencanaan. Terakhir, penerapan sistem pengawasan digital berbasis blockchain untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan proyek.
Jika dilihat dari perspektif luas, studi ini sangat relevan dengan tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini, di mana proyek-proyek besar sering kali terhambat bukan oleh aspek teknis, tetapi karena konflik hukum dan kelemahan regulasi. Artikel ini memberikan gambaran konkret bagaimana hukum konstruksi dapat dan seharusnya menjadi alat kontrol, bukan justru menjadi sumber masalah baru.
Dalam konteks tren global, penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dan transparansi dalam proyek infrastruktur mulai menjadi syarat mutlak. Dengan demikian, upaya integrasi antara hukum konstruksi, teknologi informasi, dan tata kelola proyek modern seperti yang disarankan dalam studi ini dapat menjadi model rujukan untuk proyek lain di Indonesia maupun negara berkembang lainnya.
Secara keseluruhan, artikel ini sangat kaya informasi dan analisis kritis. Dengan menyertakan data konkret seperti panjang ruas tol (361 km), nilai investasi (Rp22 triliun), serta detail masalah dan solusi hukum yang dihadapi, artikel ini tidak hanya bermanfaat secara akademis tetapi juga praktis. Penggunaan pendekatan multidisipliner antara hukum, manajemen proyek, dan teknologi menjadi kekuatan utama dari tulisan ini. Di saat pembangunan infrastruktur nasional semakin dipacu, kajian seperti ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap proyek tidak hanya selesai tepat waktu, tetapi juga berjalan dalam koridor hukum yang sehat, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel Asli
Angga Dwian Prakoso, Sami’an, & Sarwono Hardjomuljadi. (2025). Efektivitas Penerapan Hukum Konstruksi pada Proyek Infrastrukstur Nasional: Studi Kasus Ruas Jalan Tol Lampung-Palembang. Jurnal Ilmiah Hukum dan Hak Publik, Vol. 5, No. 3, Januari 2025.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Pandemi sebagai Pendorong Inovasi di Dunia Konstruksi
Pandemi COVID-19 bukan hanya mengubah tatanan sosial dan ekonomi global, tetapi juga menjadi titik balik bagi banyak sektor, termasuk industri konstruksi di Indonesia. Sektor ini, yang semula sangat bergantung pada interaksi langsung di lapangan, kini dipaksa melakukan adaptasi besar-besaran untuk bertahan. Salah satu strategi kunci yang diangkat dalam Buletin Bina Konstruksi Edisi 5 Tahun 2020 adalah transformasi metode pelatihan dan pembinaan tenaga kerja konstruksi menjadi sistem berbasis digital dan hybrid.
Dalam situasi krisis ini, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian PUPR tidak tinggal diam. Mereka melakukan reposisi kebijakan dengan mengembangkan sistem pelatihan daring, mengaktifkan Mobile Training Unit (MTU), hingga memperketat protokol kesehatan untuk pelatihan konvensional di zona hijau.
Realitas Krisis SDM Konstruksi di Masa Pandemi
Turunnya Target Pembinaan Tenaga Kerja
Salah satu data paling mencolok dari buletin ini adalah penurunan tajam target pembinaan tenaga kerja konstruksi dari 243.000 orang menjadi hanya 113.940 orang selama pandemi. Penurunan ini bukan sekadar statistik, tapi sinyal darurat yang mengungkap GAP besar antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja bersertifikat di lapangan.
Ancaman Jangka Panjang
Kesenjangan ini dapat berdampak jangka panjang, mulai dari proyek infrastruktur mangkrak, tingginya angka kecelakaan kerja karena tenaga tidak terlatih, hingga kegagalan mencapai target pembangunan nasional. Oleh karena itu, pelatihan dan sertifikasi kompetensi menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar formalitas administratif.
Strategi Inovatif Pelatihan di Era New Normal
Metode Hybrid: Daring dan Konvensional
Melalui Surat Edaran Dirjen Bina Konstruksi No. 107/SE/Dk/2020, diterapkan enam metode pelatihan yang mencakup daring, blended learning, dan tatap muka terbatas di zona hijau. Ini menciptakan model hybrid yang fleksibel dan adaptif terhadap kondisi lokal.
Studi Kasus:
Di Jakarta, pelatihan beton pracetak dan keselamatan konstruksi berhasil dilaksanakan secara kombinasi. Hasilnya, lebih dari 1.100 peserta mengikuti pelatihan ini, dan beberapa langsung direkrut oleh PT Indonesia Pondasi Jaya.
E-Learning: Efisiensi dan Tantangannya
Metode daring memungkinkan penyelenggaraan pelatihan lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Namun, seperti disoroti dalam buletin, tantangan terbesar adalah keterbatasan literasi digital dan infrastruktur internet, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
MTU – Solusi Mobilisasi dan Akses Sertifikasi
Apa Itu MTU dan Mengapa Penting?
Mobile Training Unit (MTU) adalah unit pelatihan keliling berbasis kendaraan yang dilengkapi alat peraga, koneksi internet, dan modul pelatihan. Selama pandemi, MTU menjadi jembatan emas bagi pelatihan di daerah yang tidak memiliki akses ke balai pelatihan.
Keunggulan MTU di Lapangan
Mobilitas tinggi: Menjangkau proyek terpencil dan kantong-kantong tenaga kerja.
Fleksibilitas zona: Hanya beroperasi di zona hijau dengan protokol ketat.
Sarana lengkap: Dilengkapi peralatan pelatihan praktis, tenda, dan fasilitas audio visual.
Efektivitas Lapangan
MTU memungkinkan pelatihan langsung di lokasi proyek. Tenaga kerja seperti tukang las, operator alat berat, hingga mekanik bisa mendapat pelatihan praktis dan uji kompetensi langsung. Hal ini sangat krusial untuk jabatan kerja yang tak bisa disubstitusi dengan pelatihan daring.
Peran Standar SKKNI dalam Mutu SDM Konstruksi
Apa Itu SKKNI dan Mengapa Krusial?
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah landasan hukum dan teknis yang mendefinisikan indikator unjuk kerja dan kurikulum berbasis kompetensi. Hingga 2020, sudah tersedia 213 SKKNI untuk 338 jabatan kerja di sektor konstruksi.
Fakta Penting:
121 SKKNI masih dalam tahap rancangan.
136 SKKNI dari yang sudah ada perlu diperbarui.
SKKNI dirancang melalui proses panjang: pemetaan, perumusan, pra-konvensi, verifikasi, dan konvensi nasional.
Dampak Langsung Terhadap Dunia Usaha
Tenaga kerja bersertifikat sesuai SKKNI lebih mudah diserap industri karena mereka memiliki kompetensi yang jelas, terukur, dan standar nasional. Hal ini juga menurunkan angka kecelakaan kerja dan meningkatkan produktivitas proyek.
Evaluasi Metode Pelatihan Daring
Faktor Penentu Keberhasilan
SDM Digital Literate: Penyelenggara dan peserta harus menguasai teknologi.
Sarana & Prasarana: Ketersediaan internet dan perangkat memadai.
Metodologi Pelatihan: Harus interaktif, tidak hanya sekadar presentasi pasif.
Tantangan dan Rekomendasi ke Depan
Tantangan
Ketimpangan infrastruktur digital.
Kesenjangan kompetensi antara pekerja terampil dan ahli.
Kebutuhan akan kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi konstruksi (Building Information Modelling, Smart Construction, dll).
Rekomendasi Strategis
Pembangunan Pusat Pelatihan Virtual Nasional: Untuk menyatukan modul pelatihan dari seluruh balai.
Insentif bagi Dunia Usaha: Perusahaan yang menyerap tenaga bersertifikat diberi potongan pajak atau subsidi pelatihan.
Kolaborasi Multi-pihak: Inovasi pelatihan harus melibatkan BUMN, universitas, asosiasi konstruksi, dan industri teknologi.
Kesimpulan: Momen Pembenahan Menuju SDM Konstruksi Unggul
Krisis pandemi seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan, tetapi sebagai katalis untuk perubahan mendasar. Direktorat Jenderal Bina Konstruksi telah membuka jalan dengan menerapkan sistem pelatihan berbasis teknologi, MTU, dan standardisasi SKKNI. Namun, keberlanjutan program ini bergantung pada komitmen seluruh pemangku kepentingan, baik dari sektor publik maupun swasta.
Penutup:
Jika Indonesia ingin menjadi kekuatan infrastruktur di Asia Tenggara, investasi terbesar bukan hanya pada jalan tol atau gedung pencakar langit, melainkan pada manusia yang membangunnya.
Sumber Referensi
Buletin Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Edisi 5 Tahun 2020: Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi di Tengah Masa Pandemi.
Akses: https://binakonstruksi.pu.go.id atau melalui DOI/arsip jurnal kementerian terkait jika tersedia.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa BIM Menjadi Kebutuhan Mendesak di Era Digital
Di tengah transformasi digital yang mengubah berbagai sektor industri, dunia konstruksi menghadapi tantangan kompleks terkait kolaborasi, efisiensi, dan kualitas hasil kerja. Dalam konteks ini, Building Information Modelling (BIM) muncul sebagai paradigma baru yang menjanjikan revolusi menyeluruh dalam desain, pelaksanaan, hingga pemeliharaan bangunan. Namun, meski potensinya besar, implementasi BIM masih menghadapi banyak hambatan. Disertasi doktoral Bilal Succar yang berjudul "Building Information Modelling: conceptual constructs and performance improvement tools" menjadi salah satu karya monumental yang menjelaskan secara sistematis konsep, kerangka, serta alat ukur kinerja BIM.
Disertasi ini tidak hanya menyajikan teori, tetapi juga menawarkan perangkat praktis untuk menilai dan meningkatkan performa BIM dalam skala individu, organisasi, hingga industri. Melalui resensi ini, kita akan menelaah secara kritis isi disertasi tersebut, menghubungkannya dengan studi kasus dan tren terkini dalam industri konstruksi, serta mengeksplorasi dampak nyata dari gagasan Succar.
Kerangka Konseptual BIM: Membangun Struktur Pengetahuan yang Terorganisir
Salah satu kontribusi utama Succar adalah penyusunan kerangka konseptual BIM yang terdiri dari tiga sumbu utama:
X-Axis (Fields): Menyatakan aktor dan aktivitas dalam domain BIM: teknologi, proses, dan kebijakan.
Y-Axis (Stages): Tahapan kemampuan BIM (pre-BIM, isolated BIM, integrated BIM, dan beyond BIM).
Z-Axis (Lenses): Perspektif analisis seperti individu, organisasi, atau pasar.
Melalui model tiga sumbu ini, Succar menciptakan representasi visual yang memudahkan pemetaan posisi dan kemajuan para pelaku industri dalam perjalanan transformasi digitalnya. Pendekatan ini sangat relevan mengingat adopsi BIM sering kali berbeda antar pemangku kepentingan.
Selain kerangka ini, Succar mengembangkan berbagai model visual dan taksonomi untuk menyederhanakan konsep-konsep kompleks, seperti BIM maturity matrix dan BIM capability stages. Pendekatan ini telah digunakan oleh berbagai institusi, termasuk pemerintah Australia, sebagai dasar dalam merancang strategi adopsi BIM secara nasional.
Alat Ukur Kinerja BIM: Menuju Evaluasi yang Terstruktur
Succar membedakan antara dua konsep penting:
Capability: Kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Maturity: Sejauh mana kemampuan tersebut telah berkembang.
Disertasi ini mengembangkan lima metrik kinerja BIM:
Object (apa yang diukur)
Target (tujuan pencapaian)
Unit (satuan ukur)
Scale (tingkat skala pengukuran)
Benchmark (standar pembanding)
Pendekatan ini penting karena banyak organisasi yang telah mengklaim "menggunakan BIM", namun tidak memiliki standar evaluasi yang obyektif. Succar menyusun metrik ini berdasarkan tinjauan literatur dan fokus grup internasional yang melibatkan 70 pakar BIM dari berbagai negara.
Studi Kasus Nyata: Implementasi BIM di Berbagai Negara
Dalam salah satu artikelnya, Succar dan kolega membandingkan tingkat kematangan BIM di delapan negara melalui analisis publikasi resmi dan pedoman industri. Negara-negara seperti Inggris dan Finlandia menunjukkan kematangan tinggi karena memiliki kebijakan nasional, standar interoperabilitas, dan program pelatihan berkelanjutan. Di sisi lain, negara berkembang umumnya masih terjebak pada tahapan adopsi individu atau proyek skala kecil.
Hal ini menunjukkan bahwa kerangka dan alat yang ditawarkan Succar memiliki potensi diterapkan lintas konteks dan dapat disesuaikan dengan kondisi lokal.
Kritik dan Opini: Keunggulan dan Ruang Pengembangan
Kelebihan:
Komprehensif: Succar tidak hanya berhenti pada konsep, tetapi menawarkan alat yang dapat digunakan secara langsung.
Fleksibel: Framework dapat diperluas dan dimodifikasi sesuai kebutuhan proyek, organisasi, atau negara.
Berbasis Empiris: Data diperoleh dari kombinasi literatur, pengalaman industri, dan validasi oleh pakar global.
Kelemahan:
Kompleksitas Model: Beberapa taksonomi dan model mungkin sulit dipahami oleh praktisi non-akademik.
Kurangnya Studi Longitudinal: Disertasi ini lebih fokus pada pengembangan kerangka, bukan pada evaluasi dampak jangka panjang implementasinya.
Implikasi Praktis dan Keterkaitan dengan Tren Industri
Tren global seperti smart cities, green building, dan integrated project delivery (IPD) sangat memerlukan platform kolaboratif seperti BIM. Dengan pendekatan visual dan sistematis, framework Succar dapat:
Membantu organisasi menyusun roadmap digitalisasi.
Menjadi dasar dalam pengembangan standar nasional BIM.
Digunakan oleh akademisi untuk menyusun kurikulum pelatihan BIM.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, di mana transformasi digital sektor konstruksi masih dalam tahap awal, adopsi kerangka seperti milik Succar bisa menjadi akselerator penting.
Kesimpulan: Menuju Ekosistem BIM yang Terstruktur dan Inklusif
Disertasi Bilal Succar adalah karya referensial yang tidak hanya menggambarkan potensi BIM sebagai teknologi, tetapi menempatkannya dalam kerangka konseptual dan praktis yang jelas. Kekuatan utama dari karya ini adalah kemampuannya menggabungkan teori, praktik, dan visualisasi dalam satu kesatuan.
Untuk menghadapi tantangan adopsi BIM yang kompleks dan multidimensional, industri konstruksi memerlukan lebih dari sekadar perangkat lunak; ia memerlukan kerangka kerja seperti yang ditawarkan Succar. Dengan pendekatan ini, BIM tidak lagi menjadi jargon teknologi, tetapi menjadi bahasa bersama dalam membangun masa depan industri konstruksi yang lebih kolaboratif, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber
Succar, B. (2013). Building Information Modelling: conceptual constructs and performance improvement tools. University of Newcastle. DOI: 10.13140/RG.2.1.1565.4807
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Sektor konstruksi global, sebuah industri yang menjadi tulang punggung perekonomian banyak negara, kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Proyek-proyek yang semakin masif, integrasi teknologi yang lebih canggih, serta tuntutan keberlanjutan dan pengurangan emisi karbon (CO_2) yang kian mendesak, menuntut pendekatan baru yang lebih adaptif dan efisien. Di tengah dinamika ini, proses penawaran tender, sebagai gerbang awal proyek, memegang peranan krusial. Sebuah keputusan yang salah pada tahap tender dapat memicu dampak berantai, mulai dari kerugian finansial hingga kegagalan proyek secara keseluruhan. Dalam konteks inilah, penelitian yang dilakukan oleh Linda Cusumano dari Chalmers University of Technology menawarkan perspektif segar: bagaimana kecerdasan buatan (AI) dan pendekatan berbasis data (data-driven) dapat merevolusi desain tender untuk mencapai hasil yang lebih optimal dan berorientasi pada produksi.
Paradigma Baru dalam Desain Tender Konstruksi
Secara tradisional, desain tender dalam industri konstruksi seringkali didasarkan pada intuisi, pengalaman masa lalu yang terbatas, dan data yang terfragmentasi. Pendekatan ini, meskipun telah teruji dalam skala tertentu, menjadi kurang relevan di era proyek mega dan persyaratan kompleks. Keterbatasan ini seringkali menyebabkan estimasi yang tidak akurat, risiko yang tidak teridentifikasi, dan pada akhirnya, proyek yang melampaui anggaran atau waktu. Linda Cusumano dalam tesisnya menggarisbawahi urgensi untuk beralih dari metode konvensional ke pendekatan yang lebih ilmiah dan prediktif.
Tesis ini mengeksplorasi potensi machine learning (ML) dan optimasi untuk menciptakan kerangka kerja desain tender yang adaptif. Tujuannya adalah untuk secara otomatis menghasilkan estimasi harga proyek dan mengeksplorasi opsi desain alternatif guna menemukan solusi optimal dalam konteks biaya dan efisiensi produksi. Bayangkan sebuah sistem di mana, dengan masukan data proyek yang akurat, AI dapat memprediksi biaya, mengidentifikasi potensi risiko, dan bahkan mengusulkan modifikasi desain yang akan menghemat waktu dan sumber daya. Ini bukan lagi fiksi ilmiah, melainkan sebuah potensi nyata yang coba diwujudkan dalam penelitian ini.
Tantangan Historis dan Evolusi Digitalisasi
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor yang paling lambat dalam mengadopsi inovasi digital dibandingkan sektor lain seperti manufaktur atau perbankan. Ini bukan tanpa alasan; sifat proyek konstruksi yang unik, dengan setiap proyek memiliki karakteristik yang berbeda (sering disebut sebagai "prototipe tunggal"), ditambah dengan ketergantungan pada tenaga kerja manual, telah menjadi penghambat utama. Fragmentasi data, kurangnya standarisasi, dan budaya industri yang cenderung konservatif juga berkontribusi pada perlambatan ini.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, gelombang digitalisasi mulai terasa di industri konstruksi. Penerapan Building Information Modeling (BIM), digital twins, sensor IoT, dan teknologi cloud computing telah membuka pintu bagi pengumpulan dan analisis data dalam skala besar. Data-data ini, yang sebelumnya tersebar dan tidak terstruktur, kini berpotensi menjadi "emas" bagi pengembangan solusi berbasis AI. Transformasi ini menjadi landasan bagi gagasan "konstruksi 4.0," di mana data bukan lagi sekadar informasi, melainkan aset strategis untuk pengambilan keputusan yang lebih cerdas.
Metode Penelitian: Membangun Jembatan antara Data dan Desain
Penelitian ini mengambil pendekatan data-driven yang kuat, berakar pada pengumpulan dan analisis data historis dari proyek konstruksi. Metode utama yang digunakan adalah machine learning dan optimasi, sebuah kombinasi yang memungkinkan sistem untuk "belajar" dari pengalaman masa lalu dan "memprediksi" hasil di masa depan. Data yang digunakan mencakup berbagai parameter proyek, mulai dari karakteristik desain, jenis material, durasi pekerjaan, hingga biaya aktual.
Secara teknis, prosesnya melibatkan:
Pengumpulan Data: Mengumpulkan data proyek yang relevan dari berbagai sumber, termasuk dokumen tender, laporan proyek, dan basis data perusahaan. Kualitas dan kelengkapan data sangat krusial dalam tahapan ini.
Pra-pemrosesan Data: Membersihkan, menormalisasi, dan mengubah data ke dalam format yang sesuai untuk analisis ML. Ini mungkin termasuk penanganan nilai yang hilang, identifikasi outlier, dan rekayasa fitur.
Pengembangan Model Machine Learning: Membangun dan melatih model ML (misalnya, regresi, random forest, atau neural networks) untuk memprediksi biaya atau waktu berdasarkan karakteristik proyek.
Optimasi: Mengembangkan algoritma optimasi yang dapat mengeksplorasi berbagai kombinasi desain dan parameter proyek untuk menemukan solusi yang optimal berdasarkan tujuan yang ditetapkan (misalnya, biaya terendah, waktu tercepat, atau keseimbangan antara keduanya).
Validasi Model: Menguji performa model dengan data baru untuk memastikan akurasi dan generalisasinya.
Pendekatan ini berfokus pada dua aspek utama:
Estimasi Harga Proyek yang Lebih Akurat: Dengan menganalisis pola dari proyek-proyek sebelumnya, model AI dapat memberikan estimasi biaya yang lebih presisi, mengurangi risiko cost overrun dan memastikan keuntungan yang lebih realistis.
Desain Berorientasi Produksi: Tidak hanya tentang estimasi biaya, tetapi juga tentang bagaimana desain dapat dioptimalkan untuk mempermudah proses konstruksi di lapangan. Ini berarti mempertimbangkan ketersediaan material, metode pemasangan, dan efisiensi tenaga kerja sejak tahap tender.
Peran Kunci Kecerdasan Buatan dalam Desain Tender
Kecerdasan buatan, khususnya machine learning, menawarkan kemampuan untuk mengidentifikasi pola kompleks dalam kumpulan data besar yang sulit atau bahkan mustahil dideteksi oleh manusia. Dalam konteks desain tender, ini berarti AI dapat:
Mendeteksi Anomali dan Risiko Tersembunyi: Dengan membandingkan proyek baru dengan data historis, AI dapat menandai potensi risiko yang mungkin terlewatkan oleh estimator manusia, seperti perubahan harga material yang tiba-tiba atau kondisi lokasi yang tidak terduga.
Mengoptimalkan Alokasi Sumber Daya: Berdasarkan data historis tentang penggunaan material dan tenaga kerja, AI dapat merekomendasikan alokasi sumber daya yang paling efisien untuk proyek baru, mengurangi pemborosan dan meningkatkan produktivitas.
Meningkatkan Proses Pengambilan Keputusan: Dengan menyediakan estimasi yang lebih akurat dan skenario desain yang dioptimalkan, AI memberdayakan pengambil keputusan untuk membuat pilihan yang lebih terinformasi dan strategis selama proses tender. Ini dapat mengarah pada penawaran yang lebih kompetitif dan proyek yang lebih menguntungkan.
Mendukung Desain Inovatif: Dengan kemampuan untuk mensimulasikan berbagai skenario desain, AI dapat mendorong inovasi dengan mengidentifikasi konfigurasi desain yang tidak konvensional namun efisien, yang mungkin tidak terpikirkan oleh perencana manusia.
Studi Kasus dan Implikasi Praktis
Meskipun tesis ini bersifat konseptual dan metodologis, implikasi praktisnya sangat luas. Bayangkan sebuah perusahaan konstruksi yang menerima ribuan tawaran tender setiap tahun. Dengan sistem yang diusulkan, mereka dapat:
Menanggapi Tender Lebih Cepat: Proses estimasi yang otomatis memungkinkan perusahaan untuk merespons permintaan tender dengan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya, meningkatkan peluang untuk memenangkan kontrak.
Meningkatkan Margin Keuntungan: Estimasi yang lebih akurat dan desain yang dioptimalkan untuk produksi dapat secara signifikan meningkatkan margin keuntungan proyek.
Mengurangi Risiko Proyek: Dengan identifikasi risiko yang lebih baik dan kemampuan untuk memprediksi masalah potensial, perusahaan dapat mengambil langkah mitigasi lebih awal, mengurangi kemungkinan keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Membangun Basis Data Pengetahuan yang Berharga: Setiap proyek baru yang diselesaikan akan menambah data ke dalam sistem, memperkaya basis pengetahuan AI dan meningkatkan akurasi prediksinya di masa depan. Ini menciptakan siklus pembelajaran berkelanjutan yang berharga.
Secara lebih spesifik, dalam konteks industri konstruksi di Indonesia, di mana proyek infrastruktur sedang gencar-gencarnya, penerapan pendekatan data-driven ini akan sangat relevan. Misalnya, pada proyek pembangunan ibu kota baru, Nusantara, di mana skala dan kompleksitasnya sangat tinggi, penggunaan AI dalam desain tender dapat membantu dalam:
Estimasi Biaya yang Presisi untuk Proyek Multi-Tahun: Dengan data historis proyek serupa di berbagai kondisi geografis dan material, AI dapat memberikan proyeksi biaya yang lebih akurat untuk proyek-proyek jangka panjang.
Optimasi Penggunaan Sumber Daya Lokal: AI dapat dilatih dengan data tentang ketersediaan material lokal, kapasitas tenaga kerja, dan kondisi geografis untuk mengoptimalkan desain tender agar sesuai dengan konteks regional, mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan efisiensi logistik.
Mitigasi Risiko Lingkungan dan Sosial: Dengan menganalisis data dampak lingkungan dan sosial dari proyek-proyek sebelumnya, AI dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah sejak dini dan mengusulkan desain yang meminimalkan risiko tersebut, sesuai dengan standar keberlanjutan.
Tantangan dan Batasan
Meskipun menjanjikan, penerapan AI dalam desain tender tidak datang tanpa tantangan. Beberapa di antaranya meliputi:
Kualitas dan Ketersediaan Data: Keberhasilan model AI sangat bergantung pada kualitas, kuantitas, dan relevansi data historis. Data yang tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak terstruktur akan menghasilkan prediksi yang tidak valid. Mengintegrasikan data dari berbagai sistem dan memastikan konsistensinya adalah tugas yang rumit.
Kompleksitas Model: Mengembangkan dan memelihara model AI yang kompleks membutuhkan keahlian teknis yang tinggi, yang mungkin belum banyak tersedia di industri konstruksi.
Penerimaan Industri: Budaya konservatif di industri konstruksi dapat menjadi penghalang bagi adopsi teknologi baru. Edukasi dan demonstrasi nilai tambah yang jelas diperlukan untuk mengatasi resistensi ini.
Privasi Data dan Keamanan: Mengelola sejumlah besar data proyek, termasuk informasi sensitif, menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data.
Bias dalam Data: Jika data historis mengandung bias (misalnya, proyek-proyek sebelumnya hanya dilakukan dengan metode tertentu), model AI dapat mengulang bias tersebut dalam rekomendasinya.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini, seperti banyak studi perintis lainnya, membuka jalan bagi eksplorasi lebih lanjut. Namun, ada beberapa aspek yang dapat diperdalam atau dibandingkan dengan penelitian serupa:
Fokus pada Algoritma Spesifik: Tesis ini secara umum membahas penggunaan machine learning dan optimasi. Akan sangat bermanfaat jika disertakan perbandingan performa beberapa algoritma ML yang berbeda untuk jenis data konstruksi tertentu. Misalnya, apakah random forest lebih cocok untuk data kategori, atau apakah neural networks lebih baik untuk data numerik kompleks?
Studi Kasus Empiris yang Lebih Luas: Meskipun tesis ini memberikan kerangka kerja yang kuat, implementasi dan validasi model pada sejumlah studi kasus proyek nyata akan memperkuat argumennya. Ini akan memberikan bukti empiris yang lebih kuat tentang efektivitas pendekatan ini dalam berbagai skenario proyek.
Integrasi dengan BIM dan Digital Twins: Bagaimana model AI yang diusulkan dapat secara mulus berintegrasi dengan platform BIM dan digital twins yang sudah ada? Sinergi antara teknologi ini akan menjadi kunci untuk mencapai ekosistem digital yang komprehensif dalam konstruksi. Beberapa penelitian, seperti Ma et al. (2018), telah membahas manajemen kualitas konstruksi berbasis sistem kolaboratif menggunakan BIM dan indoor positioning, yang menunjukkan potensi integrasi data dari berbagai sumber.
Aspek Keberlanjutan: Meskipun tesis ini menyebutkan tuntutan keberlanjutan, eksplorasi lebih lanjut tentang bagaimana AI dapat mengoptimalkan desain tender untuk meminimalkan dampak lingkungan (misalnya, penggunaan material daur ulang, pengurangan limbah, atau optimasi energi) akan menambah nilai signifikan.
Masa Depan Desain Tender: Menuju Otomasi dan Prediksi yang Lebih Baik
Penelitian Linda Cusumano ini merupakan langkah penting menuju masa depan di mana desain tender tidak lagi menjadi proses yang berbasis tebak-tebakan, melainkan proses yang didukung oleh data, prediksi yang akurat, dan optimasi yang canggih. Potensi untuk mengurangi risiko, meningkatkan efisiensi, dan mendorong inovasi dalam industri konstruksi sangatlah besar.
Namun, keberhasilan adopsi teknologi ini akan sangat bergantung pada kolaborasi antara akademisi, praktisi industri, dan pembuat kebijakan. Perusahaan konstruksi perlu berinvestasi dalam infrastruktur data dan pelatihan karyawan. Institusi pendidikan harus mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan di bidang data science dan AI untuk konstruksi. Dan pemerintah harus menciptakan lingkungan regulasi yang mendukung inovasi.
Pada akhirnya, visi yang disajikan dalam tesis ini adalah tentang industri konstruksi yang lebih cerdas, lebih efisien, dan lebih berkelanjutan. Dengan memanfaatkan kekuatan data dan kecerdasan buatan, kita dapat membangun tidak hanya infrastruktur fisik yang lebih baik, tetapi juga proses yang lebih baik untuk mewujudkannya. Tesis ini menjadi sebuah pengingat akan ungkapan T. S. Eliot yang dikutip di awal paper: "Di mana kehidupan yang hilang dalam hidup? Di mana kebijaksanaan yang hilang dalam pengetahuan? Di mana pengetahuan yang hilang dalam informasi?" Dengan pendekatan data-driven, kita berpotensi mengubah informasi menjadi pengetahuan, dan pengetahuan menjadi kebijaksanaan, untuk masa depan konstruksi yang lebih cerah.
Sumber Artikel:
Cusumano, L. (2023). Data-driven and production-oriented tendering design using artificial intelligence (Licentiate thesis, Chalmers University of Technology). Diakses dari https://research.chalmers.se/publication/537840/file/537840_Fulltext-min.pdf
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Pendahuluan:
Mengurai Kompleksitas Metode Pengadaan Konstruksi
Industri konstruksi global terus berkembang, didorong oleh proyek-proyek yang semakin kompleks dan kebutuhan untuk efisiensi yang lebih tinggi. Dalam konteks
ini, metode pengadaan konstruksi memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu proyek. Artikel ilmiah ini menyelidiki secara mendalam metode "design and build" sebagai alternatif dari metode tradisional, serta potensinya untuk diterapkan dalam industri konstruksi Kroasia.
Metode "design and build" muncul sebagai respons terhadap tantangan dalam metode tradisional yang seringkali memisahkan fungsi desain dan konstruksi. Pemisahan ini dapat menyebabkan kurangnya integrasi antar tahapan proyek, menghambat inovasi, dan mengurangi efisiensi keseluruhan. "Design and build" menawarkan pendekatan terintegrasi di mana satu entitas bertanggung jawab atas desain dan konstruksi, menciptakan single-point responsibility yang diharapkan dapat menyederhanakan proses dan meminimalkan kesalahpahaman.
Esensi Metode "Design and Build": Integrasi sebagai Kunci
Inti dari metode "design and build" adalah integrasi antara desain dan konstruksi di bawah satu tanggung jawab. Dalam model ini, kontraktor umumnya memegang kendali atas seluruh proses, mulai dari perancangan hingga penyelesaian fisik proyek. Struktur organisasi proyek dalam "design and build" memperlihatkan hubungan langsung antara klien dan kontraktor, yang kemudian mengelola tim desain, subkontraktor, dan pemasok.
Artikel ini mengidentifikasi tiga cara utama kontraktor "design and build" mengatur kegiatan mereka:
"Pure" Design and Build: Kontraktor memiliki semua keahlian desain dan konstruksi internal untuk menangani semua aspek proyek.
"Integrated" Design and Build: Kontraktor memiliki tim inti desainer dan manajer proyek, tetapi juga menggunakan tenaga ahli eksternal sesuai kebutuhan.
"Fragmented" Design and Build: Kontraktor menggunakan konsultan desain eksternal dan manajer proyek internal untuk mengawasi proyek, yang berpotensi menimbulkan tantangan koordinasi serupa dengan metode tradisional.
Perbedaan dalam pendekatan ini memengaruhi tingkat integrasi dan efisiensi proyek secara keseluruhan.
Menimbang Keuntungan dan Kerugian "Design and Build"
Metode "design and build" menawarkan sejumlah keuntungan potensial:
Single-point responsibility: Klien hanya perlu berurusan dengan satu entitas, mengurangi beban administrasi dan menyederhanakan komunikasi.
Kepastian biaya: Jika spesifikasi klien jelas, biaya proyek akhir dapat diprediksi dengan lebih akurat.
Efisiensi waktu: Integrasi desain dan konstruksi memungkinkan overlapping tahapan proyek, mempercepat penyelesaian.
Integrasi yang lebih baik: Metode ini mendorong kolaborasi antara desainer dan kontraktor sejak awal proyek.
Namun, "design and build" juga memiliki kekurangan:
Kesulitan dalam brief klien: Klien mungkin kesulitan menyusun brief yang komprehensif dan jelas, yang dapat menyebabkan masalah dalam evaluasi proposal.
Komitmen desain awal: Klien harus menyetujui konsep desain pada tahap awal, sebelum detailnya selesai.
Tantangan dalam variasi: Perubahan desain setelah kontrak dapat sulit dinilai biayanya karena tidak adanya bill of quantities.
Persaingan terbatas: Jumlah perusahaan yang menawarkan layanan "design and build" mungkin lebih sedikit, mengurangi persaingan.
Variabilitas kinerja: Keberhasilan proyek sangat bergantung pada jenis organisasi "design and build" (pure, integrated, atau fragmented).
Kurangnya kontrol desain: Klien memiliki kontrol lebih sedikit atas detail desain dibandingkan dengan metode tradisional
Evolusi Tahapan Proyek: Pergeseran Paradigma dalam "Design and Build"
Artikel ini juga menyoroti perbedaan dalam tahapan proyek antara metode tradisional dan "design and build," mengacu pada model tujuh fase yang diusulkan oleh Hughes (1991):
Inception
Feasibility
Scheme design
Detail design
Contract
Construction
Commissioning
Perbedaan utama terletak pada waktu pemilihan kontraktor. Dalam metode tradisional, kontraktor dipilih setelah tahap desain selesai, sedangkan dalam "design and build," kontraktor terlibat sejak awal. Hal ini berdampak signifikan pada jenis dokumen yang digunakan untuk pemilihan kontraktor dan urutan tahapan proyek.
Konsep Buildability/Constructability: Meningkatkan Efisiensi Proyek
Buildability atau constructability adalah konsep penting dalam industri konstruksi yang menekankan integrasi pengetahuan konstruksi ke dalam proses desain. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan efisiensi, mengurangi risiko, dan meningkatkan hasil proyek.
Artikel ini menyoroti bagaimana metode "design and build" dapat mendukung buildability dengan:
Menyederhanakan pengaturan kontrak.
Mendorong integrasi desain dan konstruksi.
Meningkatkan komunikasi antar stakeholder.
Meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi durasi proyek.
Mengurangi biaya proyek.
Meningkatkan kinerja proyek.
Meminimalkan perubahan proyek.
Penerapan "Design and Build" di Kroasia: Tantangan dan Peluang
Artikel ini juga menganalisis potensi penerapan metode "design and build" dalam industri konstruksi Kroasia. Industri konstruksi Kroasia didominasi oleh metode tradisional, yang menyebabkan kurangnya integrasi antar tahapan proyek dan stakeholder.
Riset yang dikutip dalam artikel menunjukkan bahwa proyek konstruksi di Kroasia seringkali mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Sebuah studi tahun 1996 menemukan bahwa 66% proyek mengalami keterlambatan, dan 17% melebihi anggaran.
Studi lain pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 78% proyek terlambat rata-rata 60%, dan 81% melebihi anggaran rata-rata 32% hanya dalam tahap konstruksi.
Artikel ini berpendapat bahwa adopsi metode "design and build" dapat membantu mengatasi tantangan ini dengan meningkatkan integrasi dan penerapan buildability.
Namun, terdapat hambatan untuk adopsi yang luas di Kroasia, termasuk peraturan hukum yang membatasi penerapan model "design and build" murni. Artikel ini merekomendasikan perubahan pada peraturan untuk membuka jalan bagi penerapan metode yang lebih efisien.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Terintegrasi
Artikel ini secara komprehensif mengeksplorasi metode "design and build" dan potensinya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proyek konstruksi. Metode ini menawarkan banyak keuntungan dibandingkan metode tradisional, terutama dalam hal integrasi, efisiensi waktu, dan kepastian biaya.
Meskipun adopsi "design and build" di Kroasia masih terbatas, tren industri yang berkembang dan kebutuhan akan solusi yang lebih efisien menunjukkan potensi yang signifikan untuk pertumbuhan di masa depan. Perubahan regulasi dan pengembangan kerangka hukum yang mendukung akan sangat penting untuk memfasilitasi adopsi yang lebih luas dan memaksimalkan manfaat metode ini.
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan wawasan berharga tentang manfaat dan tantangan penerapan metode "design and build," serta implikasinya untuk industri konstruksi, khususnya di Kroasia.
Sumber
Turina, N., Radujković, M., & Car-Pušić, D. (2009). "DESIGN AND BUILD" IN COMPARISON WITH THE TRADITIONAL PROCUREMENT METHOD AND THE POSSIBILITY OF ITS APPLICATION IN THE CROATIAN CONSTRUCTION INDUSTRY. Journal of Civil Engineering and Management, 15(1), 75–81.