Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bukan lagi sekadar kepatuhan terhadap regulasi, melainkan menjadi aspek vital dalam keberlangsungan proyek konstruksi, terutama proyek bangunan gedung tinggi. Indonesia memiliki regulasi yang cukup kuat seperti PP No. 50 Tahun 2012 dan Kepmenaker No. 386 Tahun 2014, namun implementasinya sering kali tidak maksimal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kecelakaan kerja masih menjadi momok utama yang merugikan tidak hanya pekerja, tapi juga produktivitas dan reputasi perusahaan konstruksi.
Artikel yang ditulis oleh Retna Kristiana (Universitas Mercu Buana) dan Slamet (PT. Rekagriya Mitra Buana) ini mencoba membedah penyebab utama kecelakaan kerja di salah satu proyek besar di Jakarta Barat, yaitu pembangunan Taman Anggrek Residence oleh PT. Pulauintan. Penelitian ini tidak hanya mendeteksi penyebab, tetapi juga memberikan rekomendasi mitigasi risiko secara sistematis, menjadikannya relevan baik bagi akademisi, praktisi konstruksi, hingga pengambil kebijakan.
Metodologi: Memotret Realita Lapangan Lewat Skala Likert
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode scoring berdasarkan skala Likert 1–5 terhadap 27 indikator penyebab kecelakaan kerja. Responden terdiri dari empat kelompok utama:
Studi kasus dilakukan pada proyek Taman Anggrek Residence yang berlokasi di Jakarta Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara, memastikan keakuratan serta kedalaman informasi. Skor akhir kemudian dikonversikan ke dalam persentase untuk menentukan dominasi tiap indikator.
Hasil Penelitian: Tingkah Laku Ceroboh Menjadi Biang Keladi
Faktor Utama: Manusia, Alat, dan Kondisi Kerja
Dari total 27 indikator yang diteliti, hasil riset mengungkap bahwa penyebab dominan berasal dari faktor manusia. Indikator paling mencolok adalah A.3 – tingkah laku dan kebiasaan yang ceroboh, dengan skor mencapai:
Hal ini memperkuat teori Mulyadi (2015) bahwa 80% kecelakaan kerja disebabkan oleh faktor manusia.
Faktor Tambahan: Kondisi Alat dan Lingkungan Kerja
Selain itu, faktor alat dan kondisi kerja juga memiliki kontribusi besar. Sebagai contoh:
Studi Kasus: Taman Anggrek Residence, Jakarta Barat
Proyek Taman Anggrek Residence menjadi laboratorium nyata dalam riset ini. Meskipun PP No. 5 Tahun 2012 sudah diberlakukan, ditemukan bahwa dokumentasi K3 belum tersedia dan implementasinya di lapangan masih sangat minim.
Distribusi Skor Responden Kontraktor:
Respon Tim Pengawas/Owner:
Tim Konsultan:
Direct Contractor (DC):
Analisis Kritis: Ketika Budaya Kerja Gagal Ditanamkan
Fakta bahwa tingkah laku ceroboh menjadi penyebab utama mengindikasikan bahwa budaya keselamatan belum tertanam kuat. Pelatihan, SOP, dan poster K3 mungkin sudah ada, namun tidak cukup jika tidak ada pengawasan ketat dan sanksi tegas.
Studi ini membuktikan bahwa faktor manusia bukan sekadar kesalahan individu, tapi kegagalan sistemik: tidak adanya pembinaan, minimnya evaluasi berkala, serta absennya reward and punishment yang efektif.
Rekomendasi Mitigasi: Tindakan Tegas, Evaluasi Ketat
Penulis menawarkan berbagai mitigasi risiko yang konkret, antara lain:
Untuk Faktor Manusia (A.3 dan A.7)
Untuk Alat-Alat Kerja (B.2 dan B.7)
Untuk Kondisi Kerja (C.3)
Implikasi Industri Konstruksi di Indonesia
Riset ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi merefleksikan realita nasional. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, industri konstruksi masih menjadi penyumbang utama angka kecelakaan kerja di Indonesia. Jika penyebabnya adalah faktor manusia, maka intervensi edukatif dan regulatif menjadi keharusan.
Studi ini seharusnya memicu perubahan struktural:
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Jika dibandingkan dengan studi oleh Bayu et al. (2015) yang meneliti proyek PT. Waskita Karya, temuan serupa juga muncul: ketidakdisiplinan dan lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama. Namun, penelitian Kristiana dan Slamet memiliki keunggulan dalam mengaitkan hasil riset langsung dengan tindakan mitigasi yang spesifik.
Kesimpulan: Dari Teori ke Aksi Nyata
Penelitian ini menyimpulkan bahwa:
Dengan demikian, untuk menurunkan angka kecelakaan kerja, solusi tidak bisa hanya berhenti pada regulasi. Diperlukan komitmen jangka panjang, pelatihan berkelanjutan, dan sanksi yang tegas agar K3 menjadi budaya, bukan sekadar dokumen formal.
Saran SEO dan Arah Pengembangan Artikel Selanjutnya
Untuk meningkatkan jangkauan artikel ini di mesin pencari:
Sumber Artikel Asli
Retna Kristiana & Slamet. 2018. Identifikasi Penyebab Kecelakaan Kerja pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung Tinggi. Jurnal Forum Mekanika, Vol. 7 No. 1. ISSN 2356-1491.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Proyek konstruksi kerap kali menghadapi tantangan berupa keterlambatan waktu pelaksanaan, yang berdampak langsung pada peningkatan biaya, rusaknya reputasi, hingga penurunan kepercayaan dari pemangku kepentingan. Dalam artikel ilmiah berjudul “Analisis HOR dalam Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Waktu Konstruksi PT. SERTIMA pada Proyek Drainase”, Bagas Pratama dan rekan-rekannya dari Universitas Primagraha mengangkat sebuah studi kasus konkret tentang proyek drainase di Kp. Simenjangan RW 04, Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Sari, dan menggunakan pendekatan House of Risk (HOR) untuk mengidentifikasi serta mengurangi risiko keterlambatan yang terjadi dalam proyek tersebut.
Artikel ini tidak hanya menyoroti akar permasalahan dalam proyek tersebut, tetapi juga memetakan risiko secara sistematis, memberikan bobot prioritas terhadap penyebab keterlambatan, serta menawarkan strategi mitigasi yang bisa diterapkan dalam konteks nyata.
Tantangan Umum dalam Proyek Konstruksi Drainase
Proyek drainase sering kali menghadapi kendala teknis dan non-teknis yang kompleks. Dalam kasus PT Serang Timur Abhinaya (PT SERTIMA), peneliti menemukan bahwa berbagai faktor menjadi penyebab keterlambatan, termasuk ketidaksesuaian dokumen awal seperti RAB, cuaca buruk, keterlambatan pengadaan material, kekurangan tenaga kerja, dan komunikasi yang tidak efektif antar tim proyek. Ini mencerminkan bahwa manajemen risiko tidak bisa hanya berfokus pada satu aspek teknis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor manajerial dan operasional secara menyeluruh.
Penerapan Metode House of Risk (HOR)
Pendekatan House of Risk yang digunakan dalam studi ini terdiri dari dua tahap: HOR-1 untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan agen risiko, serta HOR-2 untuk menentukan strategi mitigasi yang paling efektif berdasarkan analisis risiko sebelumnya. Melalui wawancara mendalam, observasi lapangan, diskusi kelompok terfokus (FGD), serta tinjauan pustaka, penulis berhasil mengumpulkan data kualitatif yang relevan.
HOR-1 digunakan untuk mengukur Aggregate Risk Potential (ARP) dari setiap agen risiko. Proses ini dilakukan dengan menilai tingkat keparahan (severity) dan probabilitas kejadian (occurrence) dari masing-masing risiko serta hubungan korelatifnya. Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor seperti cuaca buruk (A3), kesulitan pengadaan material (A5), kesalahan penjadwalan pekerjaan utama (A13), dan kurangnya kompetensi kontraktor (A15) menjadi agen risiko dengan nilai ARP tertinggi.
Misalnya, risiko cuaca buruk (A3) memiliki nilai severity sebesar 5 dan occurrence sebesar 5, menjadikannya sebagai risiko tertinggi dengan ARP sebesar 225. Ini berarti bahwa cuaca buruk memberikan dampak signifikan terhadap keterlambatan proyek dan membutuhkan perhatian khusus dalam strategi mitigasi.
Studi Kasus: Proyek Drainase Kp. Simenjangan
Dalam proyek drainase yang diteliti, para peneliti mengidentifikasi tujuh kejadian risiko utama yang menyumbang lebih dari 80% potensi keterlambatan proyek berdasarkan analisis diagram Pareto. Risiko-risiko tersebut meliputi:
Faktor-faktor ini menjadi prioritas utama dalam penyusunan strategi mitigasi di tahap HOR-2.
Strategi Mitigasi Berbasis HOR-2
Setelah agen risiko diprioritaskan berdasarkan ARP, peneliti kemudian merancang tujuh tindakan mitigasi yang diuji efektivitasnya (TEk) berdasarkan total ARP dan kesulitan pelaksanaannya (Dk). Strategi yang terbukti paling efektif berdasarkan nilai TEk tertinggi adalah:
Strategi lain seperti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, pelatihan komunikasi tim, penjadwalan ulang pekerjaan, dan perbaikan sistem rekrutmen pekerja juga termasuk dalam daftar mitigasi, meski memiliki nilai efektivitas yang lebih rendah.
Kontribusi Akademik dan Praktis
Salah satu kekuatan dari artikel ini adalah penggunaan metodologi HOR yang sistematis dan berbasis data nyata. Penulis tidak hanya menyajikan teori, tetapi juga menerapkannya langsung pada kasus aktual yang mencerminkan kondisi umum proyek konstruksi di Indonesia. Dengan merangkum dan menyederhanakan pemetaan risiko melalui HOR-1 dan menyusun langkah mitigasi pada HOR-2, artikel ini memberikan panduan yang aplikatif untuk manajer proyek dan pihak-pihak yang terlibat dalam sektor konstruksi.
Selain itu, pendekatan berbasis data dengan memperhitungkan severity, occurrence, dan korelasi risiko membuat hasil analisis menjadi lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Integrasi diagram Pareto dalam menganalisis ARP juga membantu dalam visualisasi dan prioritisasi risiko secara lebih jelas.
Kritik dan Saran Pengembangan
Walaupun artikel ini sangat bermanfaat, terdapat beberapa hal yang bisa menjadi bahan pengembangan lebih lanjut. Pertama, pendekatan HOR yang digunakan terbatas pada satu proyek saja. Akan sangat menarik jika pendekatan ini diuji pada berbagai jenis proyek konstruksi lain—seperti proyek gedung bertingkat, jembatan, atau jalan raya—untuk melihat apakah pola risikonya berbeda. Kedua, integrasi teknologi seperti BIM (Building Information Modeling) dalam proses mitigasi belum dibahas. Menggabungkan manajemen risiko dengan teknologi digital bisa menjadi langkah signifikan dalam efisiensi proyek modern.
Selanjutnya, aspek keberlanjutan juga belum terlalu banyak disorot. Risiko-risiko seperti limbah konstruksi atau dampak lingkungan lain yang sering kali muncul dalam proyek drainase bisa menjadi tambahan penting dalam kajian risiko proyek ke depan.
Relevansi Terhadap Tren Industri Konstruksi
Industri konstruksi saat ini tengah didorong untuk semakin adaptif dan responsif terhadap risiko, terutama dalam kondisi pasca-pandemi dan menghadapi ketidakpastian iklim. Oleh karena itu, pendekatan manajemen risiko berbasis HOR sangat relevan untuk memastikan keberlangsungan proyek tanpa mengalami pembengkakan biaya atau ketidakefisienan.
Peningkatan adopsi metode proaktif dalam identifikasi risiko seperti HOR juga dapat menjadi acuan dalam sertifikasi proyek dan audit kinerja kontraktor di masa depan. Ini sekaligus menjadikan artikel ini sebagai referensi strategis bagi pengambil kebijakan, pelaku industri, dan akademisi.
Secara keseluruhan, artikel ini merupakan kontribusi yang berarti dalam literatur manajemen proyek, khususnya di bidang konstruksi infrastruktur. Dengan pendekatan HOR, tim peneliti berhasil mengidentifikasi risiko utama dalam proyek drainase PT SERTIMA dan mengembangkan strategi mitigasi yang realistis, aplikatif, dan berbasis data. Studi ini tidak hanya menjelaskan permasalahan, tetapi juga menawarkan solusi terstruktur yang bisa direplikasi pada proyek-proyek lain di masa mendatang. Hal ini tentu menjadi langkah maju dalam penguatan praktik manajemen risiko di sektor konstruksi nasional.
Sumber artikel asli:
Bagas Pratama, Ilham Maulana, Muhamad Hilal Maulana, Zacky Irchamny. “Analisis HOR dalam Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Waktu Konstruksi PT. SERTIMA pada Proyek Drainase.” Jurnal Manuhara, Vol. 3 No. 1, Tahun 2025, Hal. 343–354.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Dalam dunia konstruksi modern, pembengkakan biaya atau cost overruns menjadi momok yang tak kunjung hilang. Masalah ini tidak hanya memengaruhi performa proyek dalam aspek keuangan, namun juga mencerminkan kegagalan manajerial, perencanaan, dan pengawasan yang kompleks. Artikel karya Friedrich Adescanius Suryawinata yang diterbitkan dalam Journal of Sustainable Construction, Vol. 4, No. 1 (Oktober 2024), menyoroti fenomena ini dengan pendekatan sistematik yang jarang ditemukan dalam literatur serupa. Dengan menggunakan metode Systematic Literature Review (SLR), artikel ini mengidentifikasi faktor-faktor dominan penyebab cost overruns dalam proyek konstruksi gedung serta strategi mitigasinya.
Problematika Cost Overruns dalam Proyek Gedung
Industri konstruksi memegang peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi global. Namun, keberhasilan proyek konstruksi sangat bergantung pada tiga indikator utama: mutu, waktu, dan biaya. Sayangnya, pembengkakan biaya menjadi hambatan utama yang sering kali tidak terhindarkan. Dalam konteks proyek gedung, kompleksitas pekerjaan dan banyaknya stakeholder yang terlibat memperbesar kemungkinan terjadinya deviasi anggaran.
Penulis mengutip bahwa di negara-negara berkembang, pembengkakan biaya bisa mencapai 50 hingga 100 persen dari anggaran awal. Bahkan, dari data yang dikumpulkan, sembilan dari sepuluh proyek konstruksi selama 70 tahun terakhir mengalami pembengkakan biaya, dengan rerata global sebesar 28%. Di Jerman, rata-rata mencapai 78%, di Kanada 82%, dan di Afrika Selatan bervariasi antara 5 hingga 94%. Di Zambia, proyek-proyek mengalami pembengkakan biaya sebesar 50%, sementara di Eropa 25,7% dan Amerika Utara 23,6%. Angka-angka ini menunjukkan urgensi untuk mengidentifikasi dan memitigasi akar masalah secara sistematis.
Metode dan Pendekatan: Systematic Literature Review
Keunggulan utama dari artikel ini terletak pada pendekatan metodologis yang digunakan, yakni SLR. Dalam prosesnya, penulis mengidentifikasi dan menelaah 15–20 artikel terakreditasi yang diterbitkan antara tahun 2010 hingga 2024. Kata kunci pencarian seperti “cost overruns”, “building construction”, dan “systematic literature review” menjadi basis kurasi literatur yang digunakan.
Artikel-artikel yang digunakan tidak dibatasi pada satu pendekatan metodologis, melainkan mencakup metode kuantitatif, kualitatif, hingga mixed-method. Penulis kemudian mengelompokkan sumber berdasarkan tahun terbit dan jenis proyek yang dikaji, mulai dari rumah sakit, gedung perkantoran, perumahan, hotel hingga gedung publik.
Tujuh Faktor Utama Penyebab Cost Overruns
Dari hasil analisis literatur, ditemukan tujuh faktor dominan yang menjadi akar pembengkakan biaya dalam proyek konstruksi gedung:
Studi Kasus: Proyek Gedung di Semarang dan Vietnam
Artikel ini mengangkat studi kasus proyek pembangunan gedung di Semarang (Indonesia) yang menunjukkan bagaimana pekerjaan tambah dan keterlambatan desain meningkatkan total biaya hingga 22% dari anggaran awal. Proyek rumah sakit di Vietnam menjadi contoh lainnya, di mana estimasi yang tidak akurat dan penarikan modal publik yang lambat menghambat jadwal konstruksi dan menambah biaya sebesar 18%.
Selain itu, proyek gedung pemerintah di Ghana mengalami cost overruns hingga 35% akibat manajemen proyek yang buruk dan seringnya terjadi perubahan desain.
Strategi Mitigasi: Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati
Penulis mengusulkan 16 strategi mitigasi berdasarkan referensi silang dari berbagai studi terdahulu. Di antaranya:
Dari pengalaman proyek di Nigeria dan Mesir, disebutkan bahwa proses tender yang tidak transparan dan pemilihan kontraktor yang tidak kompeten menjadi sumber kerugian negara. Di sisi lain, proyek yang mengandalkan manajemen proyek profesional dan perencanaan matang menunjukkan efisiensi biaya yang signifikan.
Kritik dan Implikasi Praktis
Salah satu keunggulan artikel ini adalah cakupan literaturnya yang luas, melintasi negara, jenis proyek, dan pendekatan penelitian. Namun, kekurangan utamanya terletak pada absennya validasi lapangan atau wawancara terhadap pelaku industri secara langsung. Artikel ini murni berbasis literatur, sehingga kurang menggambarkan dinamika terkini di proyek nyata.
Meski demikian, artikel ini memberikan kontribusi besar dalam menawarkan kerangka berpikir sistematik tentang pembengkakan biaya proyek konstruksi. Strategi mitigasi yang dirangkum cukup relevan untuk diterapkan dalam praktik profesional, baik oleh kontraktor, konsultan, maupun manajer proyek di sektor swasta dan publik.
Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini
Dalam era pasca-pandemi dan ketidakpastian ekonomi global, perencanaan biaya yang akurat menjadi lebih penting dari sebelumnya. Banyak proyek infrastruktur didanai dari utang publik atau kerjasama internasional yang menuntut akuntabilitas tinggi. Oleh karena itu, pendekatan mitigasi yang diajukan dalam artikel ini sangat relevan, terutama dalam proyek-proyek pembangunan nasional seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang melibatkan anggaran raksasa.
Selain itu, dengan meningkatnya digitalisasi dalam industri konstruksi, penggunaan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) dan manajemen risiko berbasis AI dapat menjadi pelengkap dari strategi-strategi konvensional yang dijelaskan dalam artikel.
Kesimpulan
Artikel ini menyajikan gambaran komprehensif tentang penyebab dan solusi dari pembengkakan biaya dalam proyek konstruksi gedung. Dengan mengidentifikasi tujuh faktor dominan dan mengajukan strategi mitigasi berbasis literatur global, artikel ini tidak hanya menjadi referensi akademis tetapi juga panduan praktis yang bisa diadaptasi oleh profesional konstruksi.
Bagi pengambil kebijakan, kontraktor, maupun konsultan, artikel ini bisa menjadi cermin untuk mengevaluasi kembali sistem manajemen biaya yang diterapkan. Ke depan, pendekatan SLR yang digunakan juga layak dijadikan standar dalam riset-riset sejenis yang berfokus pada pengendalian biaya dan manajemen risiko konstruksi.
Sumber artikel asli (dalam bahasa aslinya):
Suryawinata, Friedrich Adescanius. "Analisis Faktor-Faktor Penyebab Cost Overruns Proyek Konstruksi Gedung: Kajian Literatur Sistematis." Journal of Sustainable Construction, Vol. 4, No. 1, Oktober 2024, hlm. 77–88. Universitas Katolik Parahyangan. DOI: https://doi.org/10.26593/josc.v4i1.8157.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Dalam beberapa dekade terakhir, proyek konstruksi skala besar telah menjadi indikator penting dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Namun, seiring bertambahnya kompleksitas proyek, muncul tantangan besar yang tidak dapat dihindari, yaitu risiko. Artikel karya Nasser Alsaadi dan Norhayatizakuan yang berjudul “The Impact of Risk Management Practices on the Performance of Construction Projects” memusatkan kajiannya pada keterkaitan antara praktik manajemen risiko dan kinerja proyek konstruksi di Oman, dengan hasil empiris yang menegaskan pentingnya pendekatan proaktif dalam menghadapi ketidakpastian di sektor ini.
Urgensi Penerapan Manajemen Risiko dalam Industri Konstruksi
Penelitian ini menyoroti kenyataan bahwa industri konstruksi merupakan tulang punggung pembangunan infrastruktur modern, sekaligus rentan terhadap berbagai jenis risiko. Di Oman, meskipun pembangunan sedang tumbuh pesat dengan proyek-proyek besar di sektor gas, pariwisata, dan infrastruktur dasar, masih banyak perusahaan konstruksi yang menjalankan proyek secara intuitif tanpa pendekatan manajemen risiko yang sistematis.
Hal ini berdampak serius pada kinerja proyek—diukur melalui tiga parameter utama: ketepatan waktu, efisiensi biaya, dan kualitas hasil pekerjaan. Para peneliti mencatat bahwa ketidaksiapan dalam menghadapi risiko menyebabkan peningkatan kegagalan proyek dari tahun ke tahun di Oman, yang pada akhirnya merugikan perusahaan secara finansial dan reputasi.
Studi Kasus dan Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dengan menyasar perusahaan-perusahaan konstruksi di Oman yang terdaftar pada Oman Tender Board, dari kategori “grade excellent” hingga “grade second”. Sebanyak 400 kuesioner didistribusikan dan 376 valid dikembalikan. Data dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM), dengan pengolahan statistik yang menyoroti keterkaitan antara empat faktor manajemen risiko—identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, dan respons terhadap risiko—terhadap kinerja proyek.
Hasil statistik menunjukkan bahwa seluruh indikator memiliki nilai critical ratio (C.R.) di atas 1.96, dan signifikansi di bawah 0.05. Artinya, hubungan antar variabel valid secara statistik dan signifikan. Sebagai contoh, hubungan antara risk evaluation dan risk response memiliki nilai C.R. sebesar 5.727, menunjukkan kekuatan hubungan yang tinggi antara evaluasi risiko dengan strategi respons.
Manajemen Risiko sebagai Faktor Penentu Keberhasilan Proyek
Artikel ini menekankan bahwa keberhasilan proyek tidak semata-mata bergantung pada aspek teknis atau pembiayaan, melainkan juga pada kemampuan manajerial dalam mengantisipasi dan mengelola risiko. Dalam konteks Oman, mayoritas perusahaan masih mengandalkan pengalaman subjektif tanpa sistem yang baku. Risiko lebih sering dihindari daripada ditangani, yang memperburuk masalah jangka panjang.
Penerapan manajemen risiko yang efektif memungkinkan perusahaan untuk:
Pembelajaran dari Literatur dan Teori Pendukung
Penulis mengutip berbagai teori dan pendekatan yang mendukung gagasan bahwa manajemen risiko harus dipahami sebagai proses siklikal dan kolaboratif. Model risk management yang digunakan merujuk pada pendekatan dari Hillson (2020) dan Bazin (2017) yang mencakup empat tahap utama: identifikasi risiko, analisis, evaluasi, dan respons. Proses ini dinamis, dan semakin terintegrasi dengan sistem komunikasi serta pengambilan keputusan, semakin besar dampak positifnya terhadap performa proyek.
Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya peran manajer proyek yang memiliki kompetensi tinggi dalam mengelola risiko. Tanpa keterampilan ini, proyek akan cenderung gagal memenuhi target waktu, biaya, dan kualitas, bahkan dengan dukungan sumber daya yang memadai.
Temuan dan Implikasi Praktis
Analisis data dari 376 responden menunjukkan bahwa praktik manajemen risiko secara signifikan meningkatkan kinerja proyek konstruksi. Ditemukan bahwa keempat elemen manajemen risiko memiliki hubungan korelatif yang kuat satu sama lain, dan semuanya berdampak positif terhadap keberhasilan proyek. Nilai RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) sebesar 0.044 dan CFI (Comparative Fit Index) sebesar 0.960 menunjukkan bahwa model yang digunakan memiliki tingkat kecocokan yang sangat baik dengan data.
Implikasi praktis dari temuan ini sangat luas, terutama bagi negara-negara berkembang yang tengah giat membangun infrastruktur. Penulis menyarankan perlunya kebijakan strategis dari pemerintah dan pemangku kepentingan industri konstruksi untuk:
Kritik dan Rekomendasi
Meskipun artikel ini berhasil menjawab pertanyaan utama penelitian, yaitu bagaimana manajemen risiko memengaruhi kinerja proyek di Oman, terdapat beberapa kekurangan yang bisa diperbaiki dalam penelitian selanjutnya. Pertama, cakupan penelitian masih terbatas pada Oman, padahal hasilnya bisa lebih kuat jika dibandingkan dengan negara-negara Teluk lainnya. Kedua, meskipun metode kuantitatif memberikan validitas statistik, pendekatan kualitatif seperti wawancara mendalam dengan manajer proyek akan memberikan wawasan yang lebih kontekstual.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan dilakukan studi lintas negara di kawasan Timur Tengah atau Asia Tenggara, dengan mempertimbangkan faktor budaya organisasi dan regulasi pemerintah yang memengaruhi penerapan manajemen risiko. Penelitian juga bisa dikembangkan dengan menambahkan variabel lain seperti penggunaan teknologi (misalnya Building Information Modeling/BIM) dalam mitigasi risiko.
Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi Global
Saat ini, sektor konstruksi global tengah menghadapi tantangan ganda: meningkatnya tekanan biaya dan ketidakpastian rantai pasok akibat faktor geopolitik dan perubahan iklim. Dalam konteks ini, penerapan manajemen risiko bukan lagi pilihan melainkan keharusan. Artikel ini memberikan dasar teoretis dan empiris yang kuat tentang bagaimana pendekatan ini tidak hanya mengurangi kerugian, tetapi juga menciptakan keunggulan kompetitif.
Penting juga dicatat bahwa praktik manajemen risiko saat ini semakin berbasis data dan otomatisasi. Di beberapa negara maju, sistem manajemen risiko telah terintegrasi dengan perangkat lunak proyek seperti Primavera atau MS Project yang dipadukan dengan analitik prediktif. Jika Oman dan negara-negara berkembang lainnya mampu mengadopsi inovasi ini, mereka akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan.
Kesimpulan
Resensi ini menegaskan bahwa artikel karya Nasser Alsaadi dan Norhayatizakuan menyuguhkan kontribusi penting dalam pemahaman tentang hubungan antara praktik manajemen risiko dan performa proyek konstruksi. Dengan studi kasus di Oman, mereka berhasil membuktikan secara statistik bahwa penerapan manajemen risiko yang sistematis memiliki dampak signifikan terhadap kesuksesan proyek, baik dari segi waktu, biaya, maupun kualitas.
Secara keseluruhan, artikel ini menjadi rujukan penting bagi akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan yang ingin memahami dan mengimplementasikan manajemen risiko sebagai alat strategis dalam industri konstruksi. Dengan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis bukti, diharapkan praktik manajemen risiko dapat menjadi budaya baru yang mendukung keberhasilan proyek-proyek infrastruktur, terutama di negara-negara berkembang.
Sumber Artikel:
Alsaadi, Nasser & Norhayatizakuan. "The Impact of Risk Management Practices on the Performance of Construction Projects." Revista de Estudios Empresariales. Segunda Época, Volumen 39-4, 2020.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juni 2025
Pembangunan infrastruktur menjadi tulang punggung dalam upaya percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu proyek terbesar yang sedang digarap pemerintah Indonesia adalah Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS), sebuah jaringan jalan bebas hambatan sepanjang lebih dari 2.800 km yang menghubungkan wilayah-wilayah utama di Pulau Sumatra. Salah satu ruas kunci dari proyek ini adalah ruas Lampung–Palembang yang terbentang sepanjang 361 kilometer dan mendapat perhatian khusus karena kompleksitas tantangan hukum dan teknis yang dihadapinya. Artikel karya Angga Dwian Prakoso, Sami’an, dan Sarwono Hardjomuljadi ini mengulas secara mendalam penerapan hukum konstruksi dalam proyek JTTS, terutama pada aspek legal, administratif, serta risiko hukum yang muncul dalam pelaksanaan proyek.
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan fokus utama pada regulasi nasional, penerapan standar internasional seperti FIDIC, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Hasil dari kajian ini tidak hanya memberi gambaran tentang masalah di lapangan tetapi juga menyajikan rekomendasi konkret untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan proyek infrastruktur ke depan.
Salah satu temuan penting dalam artikel ini adalah pengaruh besar masalah pembebasan lahan terhadap keterlambatan proyek. Meski pemerintah telah menetapkan dasar hukum melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pada praktiknya proyek JTTS menghadapi penolakan dari masyarakat terkait nilai kompensasi. Penundaan ini memicu domino efek terhadap tahapan konstruksi, mengingat pembebasan lahan seharusnya diselesaikan sebelum kegiatan fisik dimulai. Contohnya, kelambatan pada beberapa seksi menyebabkan molornya waktu konstruksi hingga berbulan-bulan dari target awal.
Di sisi lain, pendanaan juga menjadi tantangan besar. Meski proyek ini mendapatkan suntikan dana dari negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp28,8 triliun pada 2023 dan Rp18,6 triliun pada 2024, namun proses pencairannya tidak selalu lancar. Keterlambatan ini menyebabkan terhambatnya progres proyek dan memicu konflik antar pihak pelaksana, termasuk kontraktor dan subkontraktor. Sebagai contoh, sengketa pembayaran antara kontraktor utama dan subkontraktor terjadi karena perbedaan klaim volume pekerjaan dan ketidaksesuaian progres pembayaran, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kontrak kerja yang berlaku.
Terkait aspek lingkungan, proyek ini juga menjadi sorotan karena dugaan pelanggaran terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Keluhan masyarakat terhadap pencemaran sungai akibat limbah konstruksi menjadi isu yang harus segera ditangani. Hal ini memperlihatkan adanya celah dalam sistem pengawasan lingkungan oleh instansi terkait. Diperlukan peningkatan kapasitas pemantauan serta implementasi sistem pelaporan digital untuk memastikan setiap kegiatan proyek ramah lingkungan.
Penerapan hukum konstruksi dalam proyek ini tidak lepas dari peran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi serta peraturan turunannya. Peraturan ini mengharuskan adanya kepastian hukum dalam setiap aspek proyek, mulai dari penyusunan kontrak, kepatuhan teknis, hingga manajemen risiko. Dalam proyek JTTS, penggunaan kontrak lumpsum dan multiyears dipilih sebagai strategi mitigasi terhadap fluktuasi harga material dan jadwal kerja. Penggunaan standar internasional seperti FIDIC juga membantu dalam pengelolaan risiko hukum dan teknis karena memberikan kejelasan hak dan kewajiban setiap pihak serta menyederhanakan penyelesaian sengketa.
Namun demikian, efektivitas penerapan peraturan ini masih dipertanyakan. Salah satu indikatornya adalah masih tingginya kasus kecelakaan kerja di lapangan yang menunjukkan kurangnya pelatihan keselamatan kerja (K3). Meskipun telah ada Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, namun pelaksanaannya belum optimal. Laporan dari Badan Pengawas Konstruksi menunjukkan bahwa banyak pekerja lapangan belum dibekali pelatihan K3 yang memadai, sehingga risiko kecelakaan masih tinggi.
Permasalahan lainnya adalah ketidakpastian regulasi yang berubah di tengah pelaksanaan proyek. Misalnya, kebijakan baru dalam hal pajak dan pengadaan tanah mengharuskan kontraktor menyesuaikan biaya operasional, yang kemudian berdampak pada keseluruhan rencana proyek. Ketidaksesuaian ini menimbulkan potensi sengketa yang berujung pada mediasi, arbitrase, bahkan litigasi, sebagaimana beberapa kasus yang disebutkan dalam artikel.
Untuk menangani berbagai konflik yang timbul, proyek ini mengandalkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui tiga jalur utama, yaitu mediasi, arbitrase, dan litigasi. Dalam banyak kasus, seperti konflik pembayaran, mediasi menjadi metode yang paling sering digunakan karena lebih cepat dan murah. Namun, dalam konflik yang melibatkan mitra internasional, arbitrase dianggap lebih tepat karena memberikan keputusan final dalam waktu yang lebih singkat dibanding proses pengadilan biasa.
Artikel ini juga menyampaikan bahwa akar dari berbagai persoalan hukum di proyek ini berasal dari perencanaan yang kurang matang, lemahnya koordinasi antar pihak, dan pengawasan yang belum maksimal. Studi kelayakan dan analisis risiko yang dangkal menyebabkan penyesuaian besar-besaran harus dilakukan saat proyek berjalan. Kelemahan koordinasi antara kontraktor, pemilik proyek, dan instansi pemerintah memperburuk pengambilan keputusan, sedangkan lemahnya pengawasan membuat pelanggaran regulasi tidak segera tertangani.
Sebagai solusi, artikel ini menawarkan beberapa rekomendasi strategis. Pertama, optimalisasi perencanaan proyek dengan memperkuat studi kelayakan dan menyusun regulasi teknis yang lebih ringkas dan sinkron. Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan hukum konstruksi dan standar teknis secara rutin. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk meminimalkan konflik teknis dan meningkatkan akurasi perencanaan. Terakhir, penerapan sistem pengawasan digital berbasis blockchain untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan proyek.
Jika dilihat dari perspektif luas, studi ini sangat relevan dengan tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini, di mana proyek-proyek besar sering kali terhambat bukan oleh aspek teknis, tetapi karena konflik hukum dan kelemahan regulasi. Artikel ini memberikan gambaran konkret bagaimana hukum konstruksi dapat dan seharusnya menjadi alat kontrol, bukan justru menjadi sumber masalah baru.
Dalam konteks tren global, penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dan transparansi dalam proyek infrastruktur mulai menjadi syarat mutlak. Dengan demikian, upaya integrasi antara hukum konstruksi, teknologi informasi, dan tata kelola proyek modern seperti yang disarankan dalam studi ini dapat menjadi model rujukan untuk proyek lain di Indonesia maupun negara berkembang lainnya.
Secara keseluruhan, artikel ini sangat kaya informasi dan analisis kritis. Dengan menyertakan data konkret seperti panjang ruas tol (361 km), nilai investasi (Rp22 triliun), serta detail masalah dan solusi hukum yang dihadapi, artikel ini tidak hanya bermanfaat secara akademis tetapi juga praktis. Penggunaan pendekatan multidisipliner antara hukum, manajemen proyek, dan teknologi menjadi kekuatan utama dari tulisan ini. Di saat pembangunan infrastruktur nasional semakin dipacu, kajian seperti ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap proyek tidak hanya selesai tepat waktu, tetapi juga berjalan dalam koridor hukum yang sehat, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel Asli
Angga Dwian Prakoso, Sami’an, & Sarwono Hardjomuljadi. (2025). Efektivitas Penerapan Hukum Konstruksi pada Proyek Infrastrukstur Nasional: Studi Kasus Ruas Jalan Tol Lampung-Palembang. Jurnal Ilmiah Hukum dan Hak Publik, Vol. 5, No. 3, Januari 2025.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Produktivitas sebagai Kunci Efisiensi Industri Konstruksi
Di tengah tantangan efisiensi dan margin keuntungan yang makin menipis, industri konstruksi global menghadapi persoalan klasik: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Casey Kuykendall, dalam tesis masternya di University of Florida (2007), menawarkan pendekatan analitis untuk mengidentifikasi dan memberi bobot pada 12 faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja konstruksi.
Melalui survei terhadap kontraktor papan atas dari daftar ENR Top 400 dan penerapan metode Delphi, penelitian ini bertujuan untuk menyusun alat bantu praktis bagi manajer proyek agar dapat menilai dan meningkatkan produktivitas sejak tahap perencanaan.
Metodologi: Delphi Method dan Survei Terarah
Penelitian ini menyebarkan kuesioner kepada 200 perusahaan dari daftar ENR Top 400 (2006) untuk menilai bobot relatif dari 12 faktor produktivitas, dengan total bobot 100%. Metode Delphi digunakan agar para ahli memberikan penilaian secara independen, menghindari pengaruh diskusi kelompok. Respon yang masuk sebanyak 24 (tingkat respons 12%).
Faktor-faktor utama yang diidentifikasi:
Manajemen Alat
Manajemen Peralatan
Akses Lokasi
Keterampilan Manajemen
Keselamatan Kerja
Pengendalian Mutu
Penjadwalan
Pelatihan dan Keterampilan Pekerja
Usia Pekerja
Suhu dan Kelembapan
Motivasi Pekerja
Komunikasi Dua Arah
Setiap responden diminta memberi bobot berdasarkan pengalaman industri mereka. Analisis lanjutan dilakukan terhadap mean, median, modus, serta deviasi dan variansi.
Analisis Tambahan: Interpretasi Data dan Implikasinya
Hasil studi mengonfirmasi bahwa aspek manajerial dan perencanaan jauh lebih berdampak dibanding faktor biologis seperti usia atau cuaca. Misalnya, ketidakefisienan manajemen dapat memicu efek berantai: keterlambatan penjadwalan, rework, kehilangan alat, hingga kecelakaan kerja.
Studi juga menunjukkan bahwa manajemen proyek tidak hanya tentang jadwal dan anggaran, tetapi juga tentang mengelola manusia, motivasi, komunikasi, dan pelatihan berkelanjutan.
Kuykendall mengusulkan agar hasil bobot ini diterjemahkan ke dalam alat evaluasi berupa:
Lembar kerja berbasis aktivitas
Skor 1-10 untuk tiap aspek
Perhitungan nilai akhir berdasarkan bobot × nilai skor
Dengan demikian, alat ini bisa menjadi checklist bagi manajer proyek sejak tahap prakontruksi.
Kritik dan Rekomendasi
Kekuatan Penelitian:
Menggunakan basis industri (ENR Top 400) yang kredibel
Metode Delphi memastikan independensi pendapat
Fokus pada penerapan praktis (tool evaluasi)
Kelemahan:
Tingkat respons hanya 12%, membuat generalisasi menjadi lemah
Tidak ada uji lintas wilayah (iklim ekstrem Florida vs New York, misalnya)
Korelasi antara variabel demografis (usia, posisi jabatan) dan bobot tak signifikan
Rekomendasi:
Lakukan studi lanjutan dengan segmentasi wilayah
Libatkan pekerja lapangan dan supervisor, tidak hanya manajer proyek
Uji alat evaluasi produktivitas ini di proyek nyata sebagai pilot project
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Temuan Kuykendall selaras dengan studi McTague (2002) di Alberta, Kanada, yang juga menyoroti pentingnya pelatihan, manajemen, dan komunikasi sebagai penentu utama produktivitas. Namun, berbeda dengan temuan Teicholz (2004) yang menyebutkan adanya penurunan produktivitas konstruksi selama 40 tahun terakhir, Kuykendall fokus pada pencegahan sejak awal proyek.
Selain itu, penelitian dari Cox, Issa & Collins (1998) menunjukkan bahwa investasi pelatihan pekerja memberikan ROI hingga 42% peningkatan produktivitas—memperkuat argumen Kuykendall soal urgensi pelatihan formal.
Dampak Praktis: Menuju Alat Ukur Produktivitas yang Relevan
Dengan bobot faktor yang terdefinisi, kontraktor dapat:
Mengalokasikan sumber daya pada aspek paling berdampak
Melakukan audit produktivitas berkala
Menyusun strategi mitigasi untuk faktor kritis seperti motivasi dan keterampilan
Secara keseluruhan, tesis ini menjadi fondasi awal yang sangat menjanjikan untuk membangun sistem evaluasi produktivitas konstruksi yang aplikatif, terukur, dan berbasis data.
Sumber:
Kuykendall, C. J. (2007). Key Factors Affecting Labor Productivity in the Construction Industry. Thesis. University of Florida.
Tersedia di repositori resmi: https://ufdc.ufl.edu/UFE0021513