Ekonomi

Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP

Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa hari setelah dilantik, Menteri Keuangan Purbaya langsung meluncurkan kebijakan yang memicu perdebatan: memindahkan dana mengendap pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah. Langkah ini dianggap berani — bahkan nekad oleh sebagian kalangan — karena menyentuh langsung jantung sistem keuangan. Tujuannya jelas: agar uang negara tidak lagi “tidur” di rekening BI, tetapi bergerak ke sektor riil, memicu kredit, dan mendongkrak pertumbuhan.

Purbaya membawa target ambisius. Tahun ini ia ingin pertumbuhan ekonomi kembali menembus di atas 6%, level yang pernah kita nikmati pada era Presiden SBY. Selanjutnya, ia berkomitmen mewujudkan janji Presiden Prabowo: membawa Indonesia menuju pertumbuhan 8% dalam beberapa tahun ke depan. Mungkinkah?

📌

Belajar dari Masa Lalu

Kilas balik ke periode 2007–2011, Indonesia memang sempat menikmati pertumbuhan di kisaran 6–6,5%. Kombinasi harga komoditas yang melambung, stabilitas makro, dan reformasi fiskal memberi ruang gerak besar bagi pemerintah kala itu. Namun konteks saat ini berbeda. Dunia sedang menghadapi perlambatan ekonomi global, suku bunga tinggi, serta ketidakpastian geopolitik. Singkatnya, kita tak bisa lagi mengandalkan keberuntungan siklus komoditas.

Maka, strategi Purbaya harus berbeda: bertumpu pada inovasi fiskal, penyaluran kredit produktif, dan transformasi struktural yang nyata.

📌

Senjata Baru: Dana Rp200 Triliun

Poin kuncinya adalah bagaimana mengelola dana Rp200 triliun yang selama ini mengendap di BI. Sri Mulyani sebelumnya enggan memindahkannya, karena alasan kehati-hatian fiskal dan stabilitas moneter. Purbaya memilih jalan berbeda: dana ini diparkir di bank BUMN dengan mandat menyalurkan ke sektor produktif.

Risikonya tentu ada. Jika bank hanya menggunakan dana ini untuk membeli surat utang atau ditempatkan kembali ke instrumen aman, maka tak ada bedanya dengan dibiarkan tidur di BI. Namun jika diarahkan dengan presisi, dana ini bisa menjadi “bensin” bagi mesin ekonomi.

5️⃣🚩

Lima Sektor Prioritas

Pemerintah menetapkan lima sektor prioritas sebagai tujuan penyaluran kredit produktif. Pilihan ini bukan kebetulan, karena kelimanya dianggap punya multiplier effect tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja:

1. UMKM dan koperasi: Tulang punggung perekonomian, menyerap lebih dari 97% tenaga kerja. Tambahan kredit akan langsung mengalir ke konsumsi rumah tangga dan memperkuat daya beli.

2. Industri manufaktur & hilirisasi: Mesin industrialisasi, kunci substitusi impor dan peningkatan nilai tambah dalam negeri.

3. Pertanian, perikanan, dan pangan: Penopang ketahanan pangan, sekaligus faktor penentu stabilitas inflasi.

4. Energi terbarukan & infrastruktur hijau: Investasi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas dan mempersiapkan transisi energi.

5. Digital & teknologi: Pendorong transformasi struktural, membuat UMKM naik kelas dan meningkatkan daya saing global.

🚩📊

Simulasi / Skenario Dampak

Dengan baseline pertumbuhan Indonesia di sekitar 5,2%, seberapa besar tambahan yang bisa dihasilkan? Beberapa simulasi konservatif menunjukkan bahwa dengan dana Rp200 triliun, leverage kredit 1,5–2 kali lipat, dan multiplier sektoral, tambahan pertumbuhan yang mungkin tercipta adalah sekitar 1,5–2 poin persentase.

Artinya, pertumbuhan bisa terdongkrak dari baseline 5,2% menjadi 6,6–7,2% hanya dalam tahun pertama, asalkan penyaluran dilakukan cepat dan tepat sasaran.

Untuk jangka menengah, jika proyek manufaktur dan infrastruktur hijau sudah rampung, dampaknya bisa lebih besar. Pada tahun kedua dan ketiga, pertumbuhan berpotensi mendekati 8%, terutama jika dibarengi reformasi struktural dan dukungan investasi swasta.

📌

Syarat Keberhasilan

Tentu saja, target ini tidak bisa dicapai hanya dengan menaruh dana di bank. Ada sejumlah syarat penting yang menentukan apakah strategi ini sukses atau justru berisiko gagal:

1. Leverage efektif: Dana pemerintah harus mampu menarik dana tambahan dari sektor swasta, lembaga pembiayaan internasional, hingga green bonds. Tanpa leverage, dampaknya akan terbatas.

2. Pengendalian risiko kredit: Pemerintah perlu berbagi risiko dengan bank melalui penjaminan selektif, agar bank berani menyalurkan kredit ke sektor produktif yang dianggap berisiko tinggi.

3. Larangan parkir ulang: Bank tidak boleh sekadar memarkir dana ini kembali ke surat utang negara. Harus ada aturan ketat bahwa dana benar-benar mengalir ke sektor riil.

4. Pipeline proyek siap dibiayai: Proyek manufaktur, pangan, hingga energi terbarukan harus sudah siap secara perizinan dan studi kelayakan, sehingga dana bisa langsung terserap.

5. Monitoring dan transparansi: Publik perlu tahu realisasi penyaluran, sektor yang mendapat pembiayaan, jumlah tenaga kerja tercipta, hingga dampak ke emisi karbon.

📌📊

Strategi Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Untuk target jangka pendek menembus 6% pertumbuhan tahun ini, strategi yang paling masuk akal adalah fokus pada UMKM, koperasi, dan sektor pangan. Kedua sektor ini punya efek cepat karena sifatnya padat karya dan langsung menyentuh konsumsi masyarakat.

Sementara untuk target jangka menengah mencapai 8%, strategi harus bergeser ke manufaktur dan infrastruktur hijau. Keduanya memang butuh waktu lebih lama karena proses konstruksi dan industrialisasi tidak bisa instan, tetapi begitu beroperasi, kontribusinya besar terhadap PDB.

📌

Risiko yang Harus Dijaga

Setiap kebijakan besar pasti membawa risiko. Pertama, risiko moral hazard jika bank atau debitur menggunakan dana tidak sesuai tujuan. Kedua, risiko inflasi jika penyaluran terlalu cepat ke konsumsi tanpa diimbangi produksi. Ketiga, risiko stabilitas moneter, karena dana yang keluar dari BI membuat kontrol likuiditas lebih menantang.

Namun risiko bisa diminimalkan dengan tata kelola yang ketat, transparansi, dan koordinasi erat dengan BI dan OJK.

✍️

Penutup: Antara Realisme dan Harapan

Target pertumbuhan 6% lebih pada tahun ini mungkin bisa dicapai dengan kombinasi kebijakan fiskal ekspansif dan penyaluran kredit produktif. Target 8% jelas lebih menantang, tapi bukan mustahil jika industrialisasi, hilirisasi, dan transisi energi benar-benar dijalankan.

Menteri Keuangan Purbaya sudah menyalakan mesin. Kini pertanyaannya bukan lagi apakah dana Rp200 triliun bisa menggerakkan ekonomi, melainkan apakah kita mampu mengarahkan energi ini ke jalur yang benar. Jika berhasil, Indonesia akan mengulang bahkan melampaui capaian era keemasan SBY, kali ini dengan fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

.

Selengkapnya
Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi

Dar-Der-Dor Likuiditas: Membongkar Filsafat Ekonomi di Balik Jurus Purbaya

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

 

☕  Teori besar ekonomi dibedah dengan bahasa warung kopi supaya rakyat ikut paham dan bisa menagih kebijakan yang adil.

🍃

Pembuka: Dari Warung Kopi ke Ruang Rapat

Purbaya Yudi Sadewa, Menteri Keuangan yang belakangan sering viral, punya cara unik menjelaskan ekonomi: bukan dengan grafik rumit, melainkan logika warung kopi. Baginya, ekonomi itu seperti irigasi. Air harus mengalir sampai ke sawah. Kalau airnya berhenti di bendungan, padi tak tumbuh, dapur pun sepi. Begitu pula ekonomi: kalau uang negara menumpuk di Bank Indonesia (BI) dan bank lebih suka menaruh dana di BI, arus ke rakyat dan pengusaha mengecil. Maka sawah (usaha) mengering, pendapatan seret, dan harga-harga terasa menekan.

Esai ini mencoba membedah jurus dar-der-dor Purbaya dengan alur yang rapi: (Dar) masalahnya apa, (Der) solusinya bagaimana, (Dor) risikonya apa dan bagaimana diantisipasi. Sepanjang jalan, kita kaitkan dengan teori ekonomi — tanpa membuat dahi berkerut.

.

🎯🏇

Dar — Masalah: Likuiditas Tersumbat dan Mesin Ganda yang Tak Sinkron

Inti masalah: uang beredar (likuiditas) tidak mengalir sampai ke sektor riil karena dua simpul:

1. Fiskal: Pemerintah menarik pajak, tetapi sebagian dana “parkir” di BI—aliran ke proyek, gaji, dan belanja barang/jasa tertunda;

2. Moneter: BI memberi imbal hasil menarik bagi simpanan bank (aman, tanpa risiko), sehingga bank cenderung menaruh dana di BI daripada menyalurkan kredit.

Dalam bahasa irigasi : pintu air di hulu dibuka setengah, pintu di hilir ditutup rapat. Sawah di tengah kekeringan.

Landasan teoritis yang nyambung:

▪️ Keynesian: saat permintaan lemah, pemerintah harus mendorong belanja agar produksi dan kerja bangkit.

▪️ Endogenous money: uang “lahir” ketika bank memberi kredit; jika insentif bank buruk, kelahiran uang terhambat.

Kait ke Purbaya: Ia menyimpulkan, jika kita ingin dagang laku, gaji naik, dan usaha hidup, maka sumbatan itu harus dibuka. Bukan dengan pidato, tapi dengan mengubah arus uang.

.

🎯🏇

Der — Solusi: Memindahkan Dana Pemerintah ke Perbankan (Bagaimana Cara Kerjanya?)

Apa yang dilakukan: Purbaya memindahkan sebagian dana pemerintah dari rekening di BI ke bank-bank umum. Ini bukan mencetak uang baru atau menambah utang, melainkan merelokasi kas yang sudah ada agar bisa diakses sistem perbankan. Begitu dana masuk bank, biaya dana (cost of fund/CoF) turun, likuiditas longgar, dan bank lebih berani menyalurkan kredit.

Gambarannya :

- Sebelum: Bendungan penuh air di hulu (BI), sawah kering di hilir (usaha/rumah tangga).

- Sesudah: Pintu air dibuka, air mengalir ke jaringan parit (bank), lalu ke petak-petak sawah (UMKM, industri, rumah tangga) melalui kredit dan pembayaran pemerintah.

Mengapa ini masuk akal secara teori?

Financial accelerator: ketika likuiditas mengalir, neraca perusahaan menguat, bunga efektif turun, investasi menjadi layak, lalu muncul putaran balik—produksi dan kerja bertambah.

Contoh konkret (skenario realistis):

▪️ UMKM: bengkel motor yang tertahan membeli kompresor baru karena bunga menurun 1–2 poin; kapasitas servis naik, menyerap dua karyawan tambahan.

▪️ Konstruksi kecil: kontraktor lokal mendapat pembayaran proyek pemerintah lebih cepat, sehingga tidak perlu berutang jangka pendek mahal; proyek terselesaikan tepat waktu, upah buruh terbayar.

*Catatan teoritis MMT* 

Mazhab MMT mengingatkan: negara berdaulat tak kehabisan uang dalam mata uangnya sendiri; yang penting kapasitas riil dan kontrol inflasi. Purbaya tidak sedang menjalankan MMT, tetapi efeknya mirip di permukaan: ia memastikan uang bekerja di ekonomi, bukan tidur di brankas. Batasnya jelas: ia tetap memakai bank dan anggaran yang ada — bukan belanja defisit tanpa rem.

.

🎯🏇

Dor — Risiko: Dari Pesta Kredit ke Pusing Kepala (dan Antisipasinya)

Risiko utama: Kalau arus air terlalu deras tanpa pagar, sawah bisa tergenang dan tanaman busuk. Dalam ekonomi, ini berarti utang tumbuh cepat di sektor yang salah — properti spekulatif, kredit konsumtif berlebih, atau pinjaman yang ditopang euforia.

Peringatan teoritis: Minsky mengingatkan, stabilitas panjang memupuk rasa aman palsu: standar kredit longgar, leverage (tingkat penggunaan utang) naik, lalu satu guncangan kecil bisa memicu krisis.

Skenario sederhana:

- Bunga global naik; rupiah melemah; biaya impor bahan baku naik.

- Debitur yang marginnya tipis mulai goyah; bank menaikkan provisi (cadangan kerugian penurunan nilai/CKPN) ; kredit baru melambat.

- Jika kredit sebelumnya menumpuk di properti konsumtif, harga bisa stagnan/anjlok; NPL (kredit macet) merayap.

Antisipasi (yang harus jalan beriringan):

- Rem makroprudensial: batas LTV/DTI dinamis (loan-to-value/debt-to-income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan), buffer permodalan siklikal (countercyclical capital buffer/CCyB), uji ketahanan sektor properti & konsumsi.

- Arahkan kredit: insentif bagi kredit produktif (mesin, logistik, energi bersih), bukan hanya kredit konsumsi.

- Transparansi kas negara: aturan jelas porsi kas di BI vs bank untuk menghindari kesan “fiscal dominance” dan menjaga kredibilitas moneter.

.

👉

Contoh Kasus Imajinatif: Tiga Bulan Mengalir

▪️Bulan Pertama: Pemerintah memindahkan sebagian dana ke bank umum. Bank mulai punya ruang longgar untuk kredit baru. Beberapa pengusaha kecil mendapat pinjaman modal kerja lebih cepat, tanpa harus menunggu tender baru.

▪️Bulan Kedua: Arus dana terasa di lapangan. Proyek infrastruktur mulai jalan lebih lancar karena pembayaran lebih cepat. Permintaan bahan bangunan meningkat, toko material lokal kembali sibuk.

▪️Bulan Ketiga: Konsumsi meningkat. Warung makan di sekitar proyek ikut ramai, pendapatan sopir truk naik, dan belanja rumah tangga mulai pulih. Ekonomi kecil-kecilan menggeliat. Dari kas negara ke bank, dari bank ke pelaku usaha, dan akhirnya ke dapur rakyat.

Skenario ini tentu sederhana, tapi membantu membayangkan bagaimana “uang mengalir” itu sebenarnya terjadi — tidak seperti keajaiban, tapi seperti air yang sabar mencari jalannya sendiri.

.

✍️

Checklist Pembaca: Sudahkah Arus Ekonomi Sampai ke Tempatmu?

1. Warung di sekitar tempatmu ramai lagi? Kalau iya, itu tanda arus likuiditas mulai terasa.

2. Pinjaman bank lebih mudah atau bunga lebih rendah? Artinya, uang pemerintah di bank sudah mulai bekerja.

3. Proyek pemerintah di daerahmu cepat selesai dan bayarannya lancar? Itu tanda sistem fiskal lebih cair.

Kalau tiga pertanyaan ini dijawab “ya”, berarti kebijakan dar-der-dor tidak berhenti di headline. Tapi kalau belum, ya tugas publik adalah menagih: jangan sampai air ekonomi berhenti di tengah jalan.

.

🇮🇩

Konteks Indonesia: Kenapa Arus Sampai Hilir Itu Krusial?

Indonesia hidup dari jutaan UMKM dan usaha keluarga. Mereka peka terhadap arus kas harian. Satu perubahan kecil pada bunga pinjaman atau kecepatan pembayaran pemerintah bisa membedakan antara tutup warung dan tambah karyawan. Karena itu, kebijakan yang memperlancar arus sampai hilir lebih terasa ketimbang kebijakan yang berhenti di hulu.

Di sisi lain, Indonesia juga rentan terhadap guncangan eksternal (harga komoditas, arus modal, suku bunga global). Maka jurus Purbaya harus ditemani pagar risiko — bukan untuk mematikan aliran, melainkan mengarahkannya ke lahan yang tepat.

.

✍️

Pandangan Alternatif: Biar Diskusinya Seimbang

🔹Monetarist /Neo-Wicksellian: yang penting bukan seberapa banyak air, tapi ketinggian permukaan (suku bunga kebijakan relatif terhadap r*). Jika r* tinggi (karena risiko/inflasi), sekadar mengalirkan air tidak menjamin panen.

🔹MMT/Post-Keynesian: masalah bukan airnya saja, tapi jaringan irigasi (kapasitas riil). Kalau saluran pecah (logistik jelek, hukum jaminan lemah), air terbuang percuma.

🔹Public choice: awasi agar kebijakan tak jadi rejeki nomplok untuk yang dekat kekuasaan. Transparansi penting supaya air tidak dialihkan ke “kolam pribadi”.

.

📌

Rekomendasi Praktis (Supaya “Cuan Bersama” Bukan Slogan)

1. Kunci di Hilir: percepat pembayaran pemerintah, sederhanakan K/L/D (Kementerian/Lembaga/Daerah) pemesanan barang/jasa, dan pastikan kredit UMKM produktif mengalir (mesin, inventori, digitalisasi).

2. Pasang Pagar: tetapkan batas LTV/DTI siklikal, buffer modal bank antarsiklus, dan lakukan stress test (uji ketahanan) sektor padat kredit (properti, konsumsi).

3. Aturan Kas yang Jelas: publikasikan koridor kas pemerintah—berapa porsi minimal di BI dan di bank—agar pasar paham ini rule-based, bukan sekadar manuver.

4. Ukur yang Penting: selain pertumbuhan kredit, pantau produktivitas, kenaikan pekerjaan formal, dan sebaran geografis kredit—indikator kualitas, bukan hanya kuantitas.

5. Keadilan Akses: perluas penjaminan kredit untuk usaha kecil yang layak namun kekurangan agunan; perkuat sistem informasi debitur agar bank berani menilai risiko UMKM.

.

✍️

Penutup: Ekonomi yang Mengalir Sampai Dapur

Pada akhirnya, filosofi Purbaya bisa disebut Keynesianisme praktis: buka sumbatan, biarkan arus uang mengalir sampai hilir, dan jaga agar aliran itu tidak berubah menjadi banjir. Teori boleh rumit, tetapi kita pegang ukurannya yang sederhana: apakah air (uang) betul-betul sampai ke sawah (rakyat)?

Ekonomi boleh tumbuh, tetapi kalau warung kecil belum ramai dan pekerja belum merasakan gaji yang naik, kebijakan belum tuntas. Bila arusnya sampai, kita tidak hanya merayakan angka di layar — kita merayakan dapur yang kembali mengepul.

.

🛜

Endnotes

[1] Keynes, J.M. The General Theory of Employment, Interest and Money (1936).

[2] Moore, B. Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money (1988).

[3] Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework (1999).

[4] Wray, L. Randall. Modern Money Theory (2015).

[5] Minsky, H. Stabilizing an Unstable Economy (1986).

.

📖

Glosarium Sederhana

Likuiditas — Air dalam irigasi ekonomi: harus mengalir, bukan menggenang.

Fiskal — Cara pemerintah mengelola dompet: pajak dan belanja.

Moneter — Cara bank sentral mengatur bunga dan uang beredar.

Endogenous money — Uang “lahir” ketika bank memberi kredit.

Financial accelerator — Efek penguat: saat likuiditas mengalir, investasi dan kerja ikut naik.

Minsky moment — Saat pesta utang mendadak berubah jadi pusing krisis.

Fiscal dominance — Saat kebijakan fiskal “mendikte” bank sentral.

r* — Tingkat bunga alamiah; patokan kasar apakah bunga sekarang terlalu tinggi/terlalu rendah.

LTV/DTI — Loan-to-Value/Debt-to-Income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan; dipakai otoritas untuk mengendalikan ekspansi kredit.

K/L/D — Kementerian/Lembaga/Daerah; singkatan untuk entitas pemerintah pusat–daerah.

NPL — Non-Performing Loan atau kredit macet: cicilan tertunggak melewati batas tertentu.

CoF (Cost of Fund) — Biaya dana perbankan; makin rendah, makin mudah bank menurunkan bunga kredit.

CCyB — Countercyclical Capital Buffer: penyangga modal tambahan bank pada masa ekspansi agar tahan banting saat siklus berbalik.

Stress test — Uji ketahanan bank/sektor terhadap skenario buruk (bunga naik, rupiah melemah, harga aset turun).

Leverage — Tingkat penggunaan utang dibanding modal/pendapatan; makin tinggi, makin rentan terhadap guncangan.

Public choice — Perspektif ekonomi-politik yang menelaah bagaimana kepentingan birokrasi/politik bisa memengaruhi kebijakan.

.

📚

Pustaka Belajar

Keynes, J.M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money.

Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. (1999). The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework.

Minsky, H. (1986). Stabilizing an Unstable Economy.

Wray, L. Randall. (2015). Modern Money Theory.

Moore, B. (1988). Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money.

Borio, C. (2014). The Financial Cycle and Macroeconomics: What Have We Learnt?

Selengkapnya
Dar-Der-Dor Likuiditas: Membongkar Filsafat Ekonomi di Balik Jurus Purbaya

Ekonomi

EKONOMI ITU SEBETULNYA PERCAKAPAN (Catatan Perjalanan Saya Membaca Pasar sebagai Ekosistem Komunikasi & Psikologi)

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

📌

Pembuka: Ekonomi, Obrolan, dan Emosi Kita

Ada masa ketika saya kira ekonomi itu semata soal angka. Soal kurs, inflasi, PDB. Tapi semakin sering saya mengamati orang antre BBM, panik belanja masker, atau mendadak euforia saham gorengan, saya makin yakin: ekonomi itu lebih mirip obrolan warung kopi ketimbang mesin kalkulator.

Pasar hidup karena kita percaya cerita, karena kita terpengaruh emosi, karena kita ingin diakui tetangga atau komunitas online. Ekonomi, dengan kata lain, adalah ekosistem komunikasi dan psikologi.

Saya tahu ini bukan ide jatuh dari langit. Sejarah panjang pemikiran sudah menyinggung hal ini. Mari kita lihat bersama, sambil saya ajak ngobrol dari Adam Smith sampai fiqh muamalah, lalu kita hubungkan ke Elon Musk, kripto, sampai hustle culture startup.

.

📌

Adam Smith dan Perasaan Moral yang Masih Hidup di Bursa Saham

Banyak yang ingat Smith lewat “tangan tak terlihat.” Tapi Smith juga menulis Theory of Moral Sentiments. Ia bilang, manusia itu bukan hanya makhluk egois, melainkan juga makhluk yang peduli pada pandangan orang lain. Kita beli, jual, nabung, bukan sekadar demi laba, tapi juga demi pengakuan sosial.

Coba lihat hari ini: kita masih menyebut “sentimen pasar.” Saham bisa naik hanya karena “suasana hati kolektif” investor. Itu moral sentiments dalam bentuk baru.

.

📌

Ibn Khaldun dan Asabiyyah: Solidaritas Bikin Ekonomi Jalan

Ibn Khaldun, jauh sebelum ekonomi modern lahir, sudah bicara soal asabiyyah — kohesi sosial. Baginya, peradaban berdiri di atas solidaritas. Kalau solidaritas rapuh, ekonomi pun ambruk.

Membaca Khaldun seperti membaca grup WhatsApp keluarga: kalau masih akur, gotong-royong jalan, rejeki terbagi. Begitu mulai saling curiga, komunikasi pecah, pasar jadi rapuh.

.

📌

Marx dan Fetisisme: Barang Bicara Seperti Manusia

Marx bikin saya sadar : harga itu bukan fakta netral. Ada ideologi di dalamnya. Ia menulis tentang fetisisme komoditas: barang seolah punya nilai “alami,” padahal ia hasil relasi sosial.

Hari ini kita lihat fenomena serupa. Kripto bisa melonjak hanya karena meme “to the moon.” Itu Marx versi Twitter. Harga jadi bahasa, bukan angka semata.

.

📌

Weber dan Schumpeter: Etos dan Spirit yang Menggerakkan

Weber bilang, kapitalisme modern lahir dari etika kerja religius: disiplin, hemat, rajin. Itu komunikasi budaya yang membentuk psikologi kolektif.

Schumpeter menambahkannya dengan spirit pengusaha: berani ambil risiko, bikin cerita baru, mengubah status quo lewat creative destruction. Apa bedanya dengan jargon startup masa kini? Pitch deck founder yang memesona investor adalah seni komunikasi sekaligus psikologi optimisme.

.

📌

Fiqh Muamalah: Pasar Sebagai Amanah

Dalam tradisi Islam, pasar bukan ruang kosong. Ia ruang penuh etika.

- Ijab-qabul = komunikasi yang bikin akad sah.

- Larangan gharar & tadlis = melindungi psikologi kepercayaan dari ketidakpastian dan penipuan.

- Hisbah = pengawas pasar, mirip regulator hari ini.

- Pasar Madinah = prototipe marketplace tanpa monopoli dan tanpa pajak berlebihan.

- Riba = komunikasi sepihak yang eksploitatif — seperti pinjaman online berbunga mencekik.

- Ridha & tawakkal = psikologi spiritual: transaksi harus bikin hati tenang, bukan cemas.

Al-Ghazali mengingatkan perdagangan itu ibadah sosial. Ibn Taymiyyah menulis soal harga wajar. Asy-Syatibi dengan maqasid-nya menegaskan tujuan syariah: melindungi harta, akal, dan jiwa dari kerusakan.

Kalau dipikir, semua itu adalah upaya membangun ekologi trust.

 

📌

Jembatan Benang Merah

Kalau saya rangkum:

- Smith → moral sentiments.

- Khaldun → asabiyyah.

- Marx → ideologi.

- Weber → etos budaya.

- Schumpeter → spirit inovasi.

- Fiqh muamalah → ridha, trust, amanah.

Semuanya mengaku: ekonomi bukan sekadar kalkulasi. Ekonomi adalah komunikasi dan psikologi.

.

📌

Dunia Kita Hari Ini

Sekarang kita hidup di era meme, hoaks, Elon Musk nge-tweet Dogecoin, orang mengejar pensiun dini lewat investasi kilat.

- Sentimen pasar? Masih hidup, cuma lewat grafik candlestick.

- Asabiyyah? Berganti jadi social trust dan komunitas online.

- Fetisisme Marx? Wujudnya saham gorengan atau kripto.

- Etos Weber & spirit Schumpeter? Reinkarnasinya hustle culture startup.

- Hisbah? Bentuk barunya adalah OJK, BI, atau regulator digital yang menjaga agar marketplace tak dipenuhi dark pattern dan penipuan.

.

✍️

Catatan untuk Indonesia

Di negeri kita, percakapan ini terasa nyata :

- Ekonomi syariah tumbuh, tapi masih butuh kejelasan komunikasi akad biar orang benar-benar percaya.

- Pinjaman online marak, tapi tanpa “hisbah digital” bisa menjebak psikologi orang kecil.

- Semangat startup ada, tapi tanpa regulasi komunikasi, creative destruction bisa berubah jadi predatoris.

.

🗣️✍️

Penutup: Ekonomi Sebagai Percakapan Besar

Semakin lama saya belajar, semakin yakin: ekonomi adalah percakapan besar manusia tentang nilai, makna, dan masa depan. Dari Madinah abad ke-7 sampai Silicon Valley abad ke-21, pasar hanya hidup jika ada komunikasi yang jujur dan psikologi kolektif yang sehat.

Jadi, ketika kita bicara pembangunan atau kebijakan ekonomi, jangan hanya sibuk menghitung angka. Kita juga perlu mengurus bahasa pasar (informasi yang jelas, jujur) dan emosi pasar (rasa aman, ridha, kepercayaan). Tanpa itu semua, ekonomi hanyalah angka kosong.

.

📖📚

Glosarium Mini

Sentimen pasar

Perasaan kolektif pelaku pasar (optimisme, ketakutan, euforia) yang bisa menggerakkan harga saham, kripto, atau komoditas — sering lebih kuat daripada logika fundamental.

Moral sentiments

Konsep Adam Smith tentang perasaan simpati dan empati manusia yang ikut mengatur perilaku ekonomi, bukan hanya kepentingan pribadi.

Asabiyyah

Istilah Ibn Khaldun untuk solidaritas atau kohesi sosial yang membuat masyarakat kuat dan ekonomi berkembang. Kalau melemah, peradaban ikut runtuh.

Fetisisme komoditas

Gagasan Karl Marx: barang dagangan seolah punya “nilai” sendiri, padahal nilai itu sebenarnya lahir dari hubungan sosial (pekerja, produksi). Kini sering muncul dalam bentuk “nilai” kripto atau meme stocks yang hanya digerakkan hype.

Creative destruction

Konsep Joseph Schumpeter tentang siklus kapitalisme: inovasi baru menggusur yang lama. Startup baru bisa menghancurkan bisnis mapan, tapi sekaligus menciptakan peluang.

Hustle culture

Budaya kerja ekstrem ala startup: kerja keras, tidur sedikit, selalu produktif. Disebut juga “budaya nge-gas terus,” sering dipandang glamor tapi juga bisa menekan psikologi pekerja.

Ijab-qabul

Dialog singkat “saya jual – saya beli” dalam akad transaksi. Simbol komunikasi dan kerelaan dalam jual beli menurut fiqh Islam.

Gharar

Ketidakpastian atau ketidakjelasan berlebihan dalam transaksi, misalnya jual barang yang tidak jelas ukurannya atau belum ada wujudnya. Dilarang dalam fiqh karena bisa merusak kepercayaan.

Tadlis

Penipuan atau menyembunyikan cacat barang dalam jual beli. Misalnya menjual ponsel rusak tapi bilang masih mulus.

Hisbah

Lembaga pengawas pasar dalam tradisi Islam klasik. Tugasnya mirip regulator hari ini: memastikan timbangan benar, harga transparan, dan pedagang jujur.

Riba

Tambahan (bunga) yang bersifat menekan dan eksploitatif dalam pinjaman. Dalam Islam, riba diharamkan karena dianggap merugikan pihak lemah dan menciptakan ketidakadilan.

Maqāṣid al-syarī‘ah

Konsep Asy-Syatibi tentang tujuan syariah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam ekonomi, berarti aturan harus menjaga kemaslahatan publik dan melindungi pihak rentan.

Ridha

Kerelaan hati dalam transaksi. Tanpa ridha, jual beli dianggap batil dalam fiqh muamalah.

Tawakkal

Sikap spiritual yang benar: berusaha sekuat tenaga terlebih dahulu, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah ﷻ. Inilah makna tawakkal yang ditekankan Al-Qur’an (QS. Āli ‘Imrān [3]:159). Tawakkal menumbuhkan ketenangan psikologis dalam aktivitas ekonomi — orang berdagang atau berinvestasi tetap realistis, tapi tidak diliputi rasa cemas berlebih.

.

Selengkapnya
EKONOMI ITU SEBETULNYA PERCAKAPAN (Catatan Perjalanan Saya Membaca Pasar sebagai Ekosistem Komunikasi & Psikologi)

Ekonomi

ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Uang, Klik, dan Kepercayaan

Di sebuah ruang redaksi kecil di Yogyakarta, seorang jurnalis bercerita lirih,

> “Kami ingin menulis berita yang jujur, tapi kalau tidak viral, kami tidak bisa bertahan.”

Kalimat sederhana itu merangkum dilema eksistensial jurnalisme digital: integritas butuh waktu, sedangkan iklan butuh klik. Ekonomi klik menempatkan media pada posisi sulit. Setiap artikel adalah pertarungan antara etika dan algoritma. Yang paling cepat menang, bukan yang paling benar. Namun, pertanyaannya:

Apakah kita harus memilih antara bertahan hidup dan bertahan bermoral?

Apakah jurnalisme etis selalu berarti jurnalisme miskin?

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa jawabannya: tidak. Masih ada jalan tengah antara trafik dan integritas — sebuah paradigma baru yang disebut etika ekonomi klik.

 

1. Krisis Model Lama: Ketika Iklan Menjadi Tuan

Sampai satu dekade lalu, model bisnis media sederhana: konten → pembaca → iklan → pendapatan.

Namun setelah dua raksasa, Google dan Meta, menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital global, media kehilangan kendali atas sirkulasi uang dan perhatian.

Menurut laporan Pew Research (2022), hanya 15–20% pendapatan iklan digital yang benar-benar kembali ke media pembuat konten. Sisanya diserap oleh platform melalui sistem lelang otomatis dan algoritma rekomendasi. Di Indonesia, efeknya lebih terasa: portal berita menumpuk konten ringan demi page view, sementara media lokal kesulitan membiayai liputan investigatif yang mahal. Kita menghadapi apa yang disebut Victor Pickard (2020) sebagai “market failure of journalism.” Dalam sistem ini, setiap klik adalah transaksi kecil — tapi tidak ada nilai tambah sosial di baliknya. Kita menghasilkan “lalu lintas” tanpa arah, bukan literasi yang mencerahkan.

 

2. Membangun Ekonomi Kepercayaan

Namun tidak semua media menyerah pada logika klik.

Beberapa mulai bereksperimen dengan model berbasis kepercayaan (trust-based journalism).

🔹 The Guardian

Menolak paywall sejak 2016 dan mengandalkan donasi sukarela pembaca.

Kini memiliki lebih dari 1,5 juta pendukung aktif dan membukukan laba.

Mereka menjual nilai, bukan sensasi:

> “Support the journalism you can trust.”

🔹 ProPublica

Dibiayai oleh sumbangan lembaga dan publik, semua data investigasi dibuka gratis.

Mereka menukar eksklusivitas dengan kolaborasi: berita mereka dipakai ratusan media lokal.

🔹 The Conversation

Menjembatani ilmuwan dan jurnalis, menulis dengan bahasa sederhana tanpa clickbait.

Pendekatannya: slow journalism for fast minds.

Contoh-contoh itu membuktikan bahwa trust bisa menjadi currency baru.

Kepercayaan menghasilkan loyalitas, dan loyalitas menghasilkan keberlanjutan.

 

3. Prinsip Etika Baru dalam Ekonomi Klik

Bagaimana prinsip ini bisa diterapkan di konteks media Indonesia?

Ada empat rumusan etika ekonomi klik yang dapat menjadi pedoman redaksi dan regulator:

1. Transparansi sebagai Modal Dasar

Media harus terbuka tentang sumber pendapatan dan proses editorialnya.

Pembaca berhak tahu apakah berita ditulis murni informatif atau berbayar (sponsored content).

Kejujuran finansial adalah bentuk pertama dari kejujuran editorial.

> “Kalau pembaca tak tahu siapa yang membayar berita,

> mereka takkan tahu siapa yang sedang berbicara kepada mereka.”

2. Nilai Sosial sebagai Keuntungan Utama

Setiap berita harus mengandung manfaat publik — bukan sekadar menarik perhatian.

Media perlu menilai keberhasilan bukan hanya lewat traffic analytics, tapi juga impact metrics:

apakah berita ini mendorong debat sehat, kebijakan baru, atau perubahan perilaku positif?

Model seperti Solutions Journalism Network (SJN) di AS menunjukkan bahwa

berita yang konstruktif lebih mungkin dibagikan secara organik dibanding berita sensasional.

3. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan

Daripada bersaing dalam sensasi, media bisa saling menguatkan lewat kolaborasi data dan liputan.

Contoh: proyek lintas redaksi “IndonesiaLeaks” yang menyatukan investigasi korupsi.

Kolaborasi seperti ini menurunkan biaya, meningkatkan dampak, dan menjaga etika.

4. Literasi Pembaca sebagai Tanggung Jawab Redaksi

Media tidak bisa menunggu publik menjadi cerdas; media harus ikut mencerdaskan publik.

Program literasi media — seperti rubrik “Belajar dari Judul” atau “Fakta vs Framing” — dapat memperkuat kepercayaan dua arah.

Seperti kata Jay Rosen (2006) dalam esainya yang terkenal :

> “Audience are not consumers anymore — they are the public.”

> Pembaca bukan target; mereka bagian dari ekosistem kejujuran.

 

5. Klik yang Punya Nurani

Etika ekonomi klik berarti mengembalikan klik ke makna moralnya. Klik bukan sekadar tindakan konsumsi, tapi tanda kepercayaan mikro. Setiap klik adalah “ya kecil” dari pembaca kepada media:

“Ya, saya percaya pada niatmu memberi tahu saya sesuatu yang penting.”

Jika kepercayaan itu dikhianati berkali-kali, pembaca akan berhenti mengklik — dan yang hilang bukan sekadar trafik, tapi kredibilitas. Karena itu, ekonomi jurnalisme masa depan harus beralih dari attention economy ke trust economy. Dari sekadar menghitung jumlah klik menjadi menakar kualitas hubungan antara media dan pembacanya.

 

5. Model “Clickworth Ecosystem”

Untuk menyeimbangkan idealisme dan bisnis, kita bisa membayangkan model tiga lapis berikut:

1. Lapisan Konten:

Produksi berita berbasis verifikasi dan kebermanfaatan.

Hindari “factory news,” perbanyak explanatory journalism.

2. Lapisan Komunitas:

Bangun forum diskusi pembaca, buletin, atau membership yang mendorong partisipasi.

Gunakan data untuk memahami kebutuhan sosial, bukan memanipulasi preferensi emosional.

3. Lapisan Keberlanjutan:

Kombinasikan donasi pembaca, iklan etis, dan kemitraan dengan lembaga pendidikan atau sains.

Ukur keberhasilan dengan trust score, bukan click score.

> Dalam ekosistem ini, “klik” menjadi pintu masuk menuju relasi, bukan akhir dari transaksi.

 

6. Harapan di Tengah Algoritma

Teknologi tidak harus jadi musuh jurnalisme; ia bisa menjadi alat kebenaran jika diarahkan dengan nurani. AI, misalnya, bisa membantu redaksi menganalisis bias, memeriksa fakta, atau mengukur kepercayaan publik secara real time. Yang dibutuhkan bukan perang melawan mesin, melainkan reprogramming moral: menjadikan integritas sebagai parameter algoritma. Bayangkan jika suatu hari “berita yang paling dipercaya” diberi peringkat lebih tinggi daripada “berita yang paling banyak diklik.” Itulah cita-cita ekonomi klik yang beradab — tempat nilai dan trafik tidak lagi bertentangan, tetapi saling memperkuat.

 

✍️

Penutup – Menyusuri Jalan Tengah

Di ujung serial “Menggugah, Bukan Menggoda”, satu pelajaran utama tersisa :  Jurnalisme tidak akan mati karena kurang klik, tetapi karena kehilangan makna.

Ekonomi klik telah mengajarkan kita bahwa perhatian manusia bisa dibeli. Namun jurnalisme sejati mengingatkan bahwa kepercayaan tidak bisa. Etika baru ini tidak menghapus pasar, tapi menginsankan pasar. Ia mengajak kita menulis berita bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dipercayai. Maka, biarlah media masa depan bukan hanya menghitung klik, tetapi juga menghitung hati yang disentuh dan pikiran yang tercerahkan.

 

📚

Referensi & Bacaan Pendukung

Victor Pickard – Democracy Without Journalism? (2020)

Pew Research Center – State of the News Media 2022

Jay Rosen – The People Formerly Known as the Audience (2006)

Solutions Journalism Network – Restoring Trust in News (2020)

The Guardian – Annual Report on Reader Contributions (2023)

Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism (2019)

Reuters Institute – Paying for News Report (2024)

 

🚧

sby, 08-10-2025

Selengkapnya
ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik

Ekonomi

Menavigasi Ketidakpastian: Prospek Ekonomi Global 2025 Menurut OECD

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Oktober 2025


Perekonomian global pada 2024 menunjukkan ketahanan yang relatif kuat, namun tanda-tanda perlambatan mulai tampak menjelang 2025. Menurut laporan OECD Economic Outlook Interim Report (2025), pertumbuhan global masih bertahan di kisaran 3,2% pada 2024, tetapi diperkirakan menurun menjadi 3,1% pada 2025 dan 3,0% pada 2026. Fenomena ini mencerminkan meningkatnya ketegangan perdagangan, fragmentasi geopolitik, serta tekanan inflasi yang belum sepenuhnya mereda.

Kenaikan tarif antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Kanada, dan Meksiko menambah ketidakpastian di pasar global. OECD memperingatkan bahwa eskalasi proteksionisme dan kebijakan fiskal yang tidak terkoordinasi dapat memperlambat investasi serta menekan daya beli rumah tangga. Sementara itu, inflasi di banyak negara anggota G20 tetap berada di atas target bank sentral, menunjukkan bahwa proses disinflation berlangsung lebih lambat dari perkiraan.

Dalam konteks ini, laporan OECD menyoroti pentingnya kebijakan moneter yang hati-hati, disiplin fiskal yang konsisten, serta kerja sama internasional untuk menghindari spiral ketidakpastian ekonomi.

 

Dinamika Global: Antara Ketahanan dan Perlambatan

Laporan OECD Economic Outlook Interim Report (Maret 2025) menggambarkan situasi ekonomi global yang paradoksal — di satu sisi menunjukkan ketahanan, di sisi lain menampakkan tanda-tanda pelemahan struktural. Pertumbuhan global yang masih stabil pada angka 3,2% di tahun 2024 seolah menjadi bukti bahwa sistem ekonomi dunia berhasil bertahan dari guncangan pandemi, inflasi, dan konflik geopolitik. Namun di balik angka itu, terdapat fragilitas mendalam yang bersumber dari ketimpangan pemulihan, fragmentasi rantai pasok, dan kebijakan perdagangan yang semakin terpolarisasi.

1. Ketahanan yang Bersumber dari Konsumsi dan Adaptasi Teknologi

OECD menilai bahwa ketahanan global terutama ditopang oleh kekuatan konsumsi rumah tangga di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Korea Selatan. Kenaikan pendapatan riil, disertai dengan pelonggaran pasar tenaga kerja, mendorong stabilitas konsumsi meski tingkat suku bunga masih tinggi. Selain itu, adaptasi cepat terhadap teknologi digital dan otomatisasi memungkinkan sektor jasa tetap tumbuh bahkan ketika sektor manufaktur melambat.

Faktor ini menjelaskan mengapa kontraksi industri di Eropa dan Jepang tidak serta-merta menekan pertumbuhan global secara keseluruhan. Namun OECD mengingatkan bahwa ketahanan ini bersifat siklikal, bukan struktural — konsumsi yang menopang ekonomi dunia saat ini belum diimbangi peningkatan produktivitas dan investasi jangka panjang. Jika tren ini berlanjut, dunia berisiko menghadapi fase “slow growth equilibrium”, yaitu pertumbuhan rendah yang berkelanjutan tanpa pendorong produktivitas baru.

2. Perlambatan Investasi dan Tekanan Geopolitik

Di sisi lain, data OECD menunjukkan perlambatan signifikan dalam investasi modal tetap global, terutama di negara-negara G7.
Kombinasi suku bunga tinggi, ketegangan geopolitik, dan ketidakpastian kebijakan perdagangan menahan keputusan investasi korporasi besar. Sektor manufaktur global mengalami kontraksi selama empat kuartal berturut-turut hingga awal 2025, sementara indikator kepercayaan bisnis turun ke level terendah sejak 2020.

Selain itu, fragmentasi geopolitik semakin mengubah pola perdagangan internasional. Perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang kembali meningkat di akhir 2024, serta kebijakan reshoring di Eropa dan Amerika Utara, memicu terbentuknya blok-blok ekonomi baru berbasis kepentingan strategis. OECD memperingatkan bahwa tren regionalisasi ekstrem ini dapat menurunkan efisiensi rantai pasok global hingga 2–3% dari PDB dunia dalam jangka menengah.

Meskipun tujuan kebijakan ini adalah meningkatkan ketahanan domestik, konsekuensinya adalah biaya logistik yang lebih tinggi, penurunan perdagangan lintas wilayah, dan meningkatnya inflasi struktural. Dengan kata lain, dunia sedang menghadapi bentuk baru dari “proteksionisme modern” — bukan dengan tarif langsung, tetapi melalui kebijakan strategis dan regulasi domestik yang mempersempit arus barang dan teknologi.

3. Inflasi yang Belum Terkendali Sepenuhnya

Salah satu temuan utama OECD adalah bahwa inflasi inti tetap tinggi di banyak negara maju. Meskipun tekanan harga energi dan pangan mulai mereda, kenaikan upah nominal dan biaya produksi tetap menjaga inflasi di atas target. Pada 2025, inflasi rata-rata negara G20 masih berkisar 4,6%, jauh di atas target umum 2–3%.

OECD menekankan adanya pergeseran sumber inflasi: dari sisi penawaran (supply-driven inflation) selama krisis energi dan pandemi, kini beralih ke sisi permintaan dan upah. Peningkatan biaya tenaga kerja di sektor jasa menyebabkan kenaikan harga yang lebih persisten, terutama di negara dengan pasar tenaga kerja yang ketat seperti Amerika Serikat dan Australia.

Bagi bank sentral, kondisi ini menciptakan dilema kebijakan: menurunkan suku bunga terlalu cepat berisiko memicu inflasi baru, tetapi mempertahankannya terlalu lama dapat menekan pertumbuhan dan investasi. Karena itu, OECD menyarankan strategi “monetary patience” — kebijakan bertahap yang menjaga kredibilitas anti-inflasi sambil menghindari guncangan permintaan.

4. Ketimpangan Pemulihan dan Risiko Negara Berkembang

Sementara negara maju masih mampu menopang pertumbuhan melalui konsumsi dan kebijakan fiskal, negara berkembang menghadapi kondisi yang lebih menantang. Peningkatan biaya pinjaman global membatasi ruang fiskal, sementara harga komoditas yang tidak stabil mengancam stabilitas neraca perdagangan. Beberapa negara Afrika dan Amerika Latin mulai menunjukkan tekanan utang publik yang meningkat.

Namun, Asia menjadi pengecualian penting. India, Indonesia, dan Vietnam masih menunjukkan pertumbuhan PDB di atas 5%, didorong oleh ekspansi industri domestik dan kebijakan fiskal yang hati-hati. OECD memandang Asia sebagai “jangkar pertumbuhan global baru” — kawasan yang mampu menyeimbangkan perlambatan Barat dan ketidakpastian geopolitik Timur Tengah.

Meski demikian, laporan tersebut menegaskan bahwa ketergantungan Asia terhadap ekspor teknologi dan bahan mentah masih menjadi risiko, terutama jika fragmentasi global semakin dalam. Kemandirian inovasi dan diversifikasi ekspor menjadi syarat utama bagi ketahanan jangka panjang kawasan ini.

5. Tantangan Struktural di Tengah Siklus Ketahanan

Secara keseluruhan, OECD menilai ekonomi global sedang memasuki fase ketahanan semu (resilient stagnation) — fase di mana indikator makro tampak stabil, tetapi fondasi pertumbuhan belum cukup kuat. Produktivitas global stagnan, investasi lemah, dan ketimpangan antarnegara meningkat. Sementara itu, transisi energi dan digitalisasi yang belum merata menciptakan tekanan baru terhadap biaya produksi dan struktur tenaga kerja.

Oleh karena itu, OECD mendorong negara-negara untuk berinvestasi dalam produktivitas jangka panjang, bukan hanya kebijakan jangka pendek. Kombinasi antara inovasi teknologi, reformasi pasar tenaga kerja, dan tata kelola fiskal yang disiplin dianggap sebagai kunci untuk keluar dari fase ketahanan semu menuju pertumbuhan berkelanjutan.

Singkatnya, dinamika global menjelang pertengahan dekade ini mencerminkan keseimbangan rapuh antara ketahanan ekonomi dan perlambatan struktural. Ekonomi dunia berhasil menahan gejolak, tetapi belum menemukan mesin pertumbuhan baru. Jika kebijakan global tetap bersifat defensif dan terfragmentasi, dunia bisa menghadapi masa stagnasi panjang stabil namun tanpa kemajuan signifikan. Sebaliknya, dengan koordinasi internasional dan orientasi pada produktivitas, dekade ini masih dapat menjadi awal baru bagi transformasi ekonomi global yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

 

Laporan OECD Economic Outlook Interim Report (2025) memperlihatkan bahwa dunia tengah memasuki periode ekonomi yang penuh ketidakpastian — bukan hanya karena fluktuasi jangka pendek, tetapi karena perubahan struktural yang memengaruhi arah pertumbuhan global. Pertumbuhan masih berlanjut, namun fondasinya mulai bergeser: dari ekspansi berbasis globalisasi menuju efisiensi regional, inovasi teknologi, dan ketahanan sistemik.

Dalam konteks ini, negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan yang lebih kompleks.
Ketika negara maju mengalihkan perhatian pada proteksi industri dan kemandirian energi, ruang ekspor dan investasi bagi negara berkembang menjadi lebih sempit. Namun, justru di tengah keterbatasan ini terdapat peluang strategis — untuk menyusun ulang model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan tahan terhadap gejolak eksternal.

Bagi Indonesia, pembelajaran utamanya jelas.

Pertama, disiplin makroekonomi dan kredibilitas kebijakan publik harus dijaga sebagai fondasi stabilitas.
Kedua, fokus pembangunan perlu bergeser dari konsumsi jangka pendek ke penguatan produktivitas struktural, melalui investasi di pendidikan, riset, dan digitalisasi industri.
Ketiga, diversifikasi ekonomi—baik melalui hilirisasi komoditas maupun pengembangan sektor hijau—harus menjadi prioritas agar ketergantungan terhadap pasar global tidak terlalu besar.

Ketahanan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa kebijakan yang konsisten mampu melindungi perekonomian dari gejolak eksternal. Namun, ketahanan saja tidak cukup untuk menghadapi dunia yang sedang berubah cepat. Diperlukan strategi transformasi yang lebih menyeluruh: menghubungkan stabilitas jangka pendek dengan visi jangka panjang menuju produktivitas, keberlanjutan, dan daya saing global.

Menavigasi ketidakpastian berarti beradaptasi tanpa kehilangan arah. Selama kebijakan ekonomi Indonesia tetap berpijak pada efisiensi fiskal, peningkatan produktivitas, dan inovasi berkelanjutan, maka krisis global tidak lagi menjadi ancaman, melainkan panggilan untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional menuju 2030.

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2024). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

International Monetary Fund. (2024). World Economic Outlook: Navigating divergent recoveries. Washington, DC: IMF.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2025). OECD Economic Outlook, Interim Report: Steering through uncertainty. Paris: OECD Publishing.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2024). Economic policy reforms 2024: Going for growth. Paris: OECD Publishing.

World Bank. (2024). Global Economic Prospects: Balancing growth and stability. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Menavigasi Ketidakpastian: Prospek Ekonomi Global 2025 Menurut OECD

Ekonomi

Menatap 2030: Tantangan dan Arah Baru Daya Saing Ekonomi Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Oktober 2025


Dunia sedang berada pada persimpangan besar transformasi ekonomi. Menjelang 2030, peta daya saing global tidak lagi ditentukan semata oleh kekuatan industri atau stabilitas finansial, melainkan oleh kemampuan negara beradaptasi terhadap perubahan teknologi, demografi, dan lingkungan. Laporan terbaru World Economic Forum (2025) berjudul Global Economic Futures: Competitiveness in 2030 menggambarkan bahwa dekade ini akan menjadi masa redefinisi terhadap makna “daya saing” — dari sekadar efisiensi ekonomi menuju ketahanan sistemik dan kemampuan berinovasi secara berkelanjutan.

Pandemi global, disrupsi rantai pasok, dan percepatan digitalisasi telah memperlihatkan bahwa ekonomi modern tidak lagi dapat bertumpu pada keunggulan biaya atau sumber daya alam. Sebaliknya, kualitas institusi, kesiapan teknologi, kapasitas inovasi, dan inklusi sosial kini menjadi pilar utama yang menentukan keberhasilan jangka panjang. Negara yang gagal menyeimbangkan keempat faktor ini akan tertinggal, bahkan jika memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara nominal.

Indonesia menghadapi tantangan dan peluang besar dalam lanskap baru ini. Sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia, Indonesia memiliki potensi demografis dan pasar domestik yang kuat, namun juga harus beradaptasi dengan dinamika global yang semakin kompleks — termasuk otomatisasi industri, transisi energi hijau, dan persaingan inovasi berbasis kecerdasan buatan (AI).
Kunci keberhasilan menuju 2030 bukan hanya mempercepat pertumbuhan, tetapi membangun struktur ekonomi yang tangguh, adaptif, dan inklusif.

Laporan WEF menekankan bahwa daya saing masa depan akan bergeser ke arah “systemic competitiveness” — konsep yang menggabungkan produktivitas ekonomi, ketahanan sosial, dan kemampuan teknologi dalam satu ekosistem. Artinya, negara harus mampu mengelola bukan hanya apa yang diproduksi, tetapi bagaimana nilai diciptakan dan didistribusikan di tengah perubahan global yang cepat. Dalam konteks ini, peningkatan produktivitas nasional, investasi pada modal manusia, dan penguatan tata kelola menjadi tiga fondasi utama bagi transformasi ekonomi Indonesia.

Pendekatan baru terhadap daya saing ini tidak hanya menuntut inovasi di sektor swasta, tetapi juga reformasi kebijakan publik yang lebih adaptif dan kolaboratif. Pemerintah perlu berperan bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai katalis ekosistem inovasi — mendorong riset, memperkuat keterampilan digital, dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak meninggalkan kelompok masyarakat manapun.

Dengan arah global yang bergerak menuju keberlanjutan, digitalisasi, dan inklusivitas, dekade menuju 2030 akan menjadi ujian bagi kapasitas Indonesia untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan ketahanan. Ekonomi masa depan tidak lagi dimenangkan oleh yang terbesar, tetapi oleh yang paling gesit, berpengetahuan, dan berkelanjutan.

 

Tren Global: Redefinisi Daya Saing di Era Pasca-Disrupsi

Daya saing global kini berada dalam fase redefinisi mendasar. Jika pada dekade 1990–2010 kekuatan ekonomi ditentukan oleh efisiensi biaya dan liberalisasi perdagangan, maka menjelang 2030, indikatornya telah bergeser menjadi inovasi, resiliensi, dan keberlanjutan. Laporan Global Economic Futures dari World Economic Forum (2025) mencatat bahwa daya saing tidak lagi hanya bergantung pada seberapa cepat suatu negara tumbuh, tetapi seberapa tangguh ia bertahan dan beradaptasi di tengah disrupsi.

Tiga poros utama membentuk wajah baru kompetisi global ini:

1. Revolusi Teknologi dan Otomatisasi Inklusif

Kecerdasan buatan (AI), machine learning, dan otomatisasi telah mengubah lanskap industri lebih cepat dari prediksi awal.
WEF memperkirakan bahwa lebih dari 40% pekerjaan di negara berkembang akan terdampak otomatisasi parsial pada 2030, tetapi pada saat yang sama muncul peluang baru di bidang desain algoritma, analisis data, dan rekayasa sistem cerdas. Daya saing ke depan ditentukan oleh kemampuan negara untuk memadukan inovasi teknologi dengan kesiapan tenaga kerja.

Negara-negara yang berhasil mengintegrasikan teknologi dengan pelatihan vokasi, riset terapan, dan kewirausahaan digital menunjukkan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan. Sebaliknya, negara yang menekankan adopsi teknologi tanpa transformasi pendidikan justru mengalami “productivity paradox” — teknologi meningkat, tapi manfaat ekonominya stagnan karena keterampilan manusianya tertinggal.

2. Transisi Energi dan Keberlanjutan Sebagai Aset Kompetitif

Keberlanjutan kini bukan beban, melainkan sumber daya saing baru. WEF menyoroti bahwa negara yang berinvestasi dalam energi bersih dan infrastruktur rendah karbon bukan hanya menekan emisi, tetapi juga menciptakan basis industri baru yang efisien dan berdaya tahan.
Transisi hijau membuka peluang investasi global senilai lebih dari USD 3 triliun pada 2030 — mencakup energi terbarukan, kendaraan listrik, dan teknologi penyimpanan karbon.

Indonesia, dengan potensi energi surya, panas bumi, dan biomassa yang besar, memiliki peluang strategis untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi hijau Asia. Namun, daya saing di bidang ini menuntut koordinasi lintas sektor: antara industri, lembaga riset, dan kebijakan publik. Negara yang mampu menghubungkan inovasi energi dengan kebijakan industri akan unggul dalam rantai pasok global hijau masa depan.

3. Pergeseran Geopolitik dan Regionalisasi Ekonomi

Selain faktor teknologi dan lingkungan, dinamika geopolitik juga mengubah peta daya saing dunia. Fragmentasi rantai pasok global akibat ketegangan perdagangan dan konflik geopolitik telah mendorong regionalisasi ekonomi baru. Negara tidak lagi berlomba hanya untuk ekspor global, tetapi membangun ekosistem ekonomi regional yang tangguh melalui kerja sama strategis dan integrasi rantai pasok domestik.

Bagi kawasan Asia Tenggara, ini berarti memperkuat kerja sama antarnegara ASEAN dalam riset, logistik, dan manufaktur berbasis teknologi tinggi.WEF mencatat bahwa daya saing kolektif kawasan akan meningkat jika negara-negara ASEAN berhasil membangun “connected competitiveness” — kemampuan untuk saling melengkapi dalam inovasi dan kapasitas produksi, bukan saling bersaing secara biaya rendah.

Tren-tren ini menegaskan bahwa daya saing masa depan bukan sekadar hasil dari efisiensi, tetapi dari kapasitas adaptasi sistemik.
Negara yang mampu memanfaatkan teknologi secara cerdas, berinvestasi pada energi hijau, dan menjaga stabilitas geopolitik akan memimpin era pasca-disrupsi.Sementara itu, bagi Indonesia, momentum 2030 menjadi titik krusial untuk membangun daya saing berbasis inovasi dan keberlanjutan, bukan sekadar ekspansi ekonomi jangka pendek.

 

Posisi dan Tantangan Daya Saing Indonesia Menjelang 2030

Dalam lanskap daya saing global yang semakin kompleks, Indonesia menempati posisi transisi strategis — berada di antara ekonomi berkembang besar dengan potensi demografis tinggi dan tantangan struktural yang masih signifikan.
Menurut laporan World Economic Forum (2025), daya saing Indonesia menunjukkan peningkatan stabil dalam hal stabilitas makroekonomi, pasar domestik, dan infrastruktur digital, tetapi masih menghadapi hambatan di aspek inovasi, produktivitas tenaga kerja, serta efektivitas tata kelola.

Perjalanan menuju 2030 akan menjadi ujian bagi kemampuan Indonesia dalam mengonversi kekuatan demografi dan sumber daya alam menjadi keunggulan berbasis pengetahuan dan teknologi.

1. Produktivitas Nasional yang Belum Proporsional dengan Potensi

Selama satu dekade terakhir, Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil di kisaran 5 persen per tahun.
Namun, pertumbuhan ini sebagian besar masih didorong oleh konsumsi domestik dan ekspor komoditas, bukan peningkatan produktivitas sektor industri dan jasa bernilai tambah tinggi. Kesenjangan antara output dan efisiensi tenaga kerja masih cukup lebar, menandakan perlunya transformasi menuju ekonomi berbasis produktivitas dan inovasi.

Dalam konteks global, WEF menempatkan Indonesia di kelompok negara dengan “efficiency-driven economy” — tahap di mana efisiensi pasar dan infrastruktur menjadi pendorong utama, tetapi belum mencapai tingkat “innovation-driven” seperti Korea Selatan atau Jerman. Untuk naik kelas, Indonesia perlu memperkuat sistem riset terapan, teknologi industri, dan kolaborasi akademi–bisnis agar dapat menghasilkan inovasi yang berkelanjutan.

2. Kesiapan Teknologi dan Transformasi Digital

Laporan WEF menyoroti bahwa salah satu faktor paling menentukan daya saing masa depan adalah “technological readiness.”
Indonesia memiliki kemajuan signifikan di bidang digitalisasi konsumen — terlihat dari pertumbuhan e-commerce, fintech, dan ekonomi digital yang telah menyumbang lebih dari USD 80 miliar terhadap PDB pada 2024.

Namun, digitalisasi di tingkat industri dan pemerintah masih belum merata. Banyak sektor manufaktur dan layanan publik belum sepenuhnya terintegrasi dengan teknologi otomasi, data analytics, atau kecerdasan buatan.
Kesenjangan digital antarwilayah juga masih besar: sebagian besar infrastruktur data dan konektivitas terkonsentrasi di Jawa.

Kondisi ini menunjukkan bahwa daya saing digital Indonesia masih bersifat konsumtif, bukan produktif.
Artinya, negara harus beralih dari sekadar pengguna teknologi menjadi pencipta nilai digital (digital value creator) melalui investasi riset, pengembangan perangkat lunak, dan industri berbasis data.

3. Kualitas Sumber Daya Manusia dan Keterampilan Masa Depan

Sumber daya manusia (SDM) adalah pilar daya saing yang paling menentukan dalam dekade mendatang. Indonesia memiliki bonus demografi yang langka — sekitar 70% penduduk berada pada usia produktif. Namun, laporan WEF menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dan kesiapan keterampilan kerja (future skills readiness) masih menjadi tantangan besar.

Indikator kompetensi digital, kemampuan berpikir kritis, dan literasi teknologi Indonesia masih berada di bawah rata-rata OECD. Jika tidak ditingkatkan, bonus demografi ini justru dapat berubah menjadi “beban struktural,” di mana jumlah tenaga kerja besar tidak diimbangi dengan kualitas dan relevansi keterampilan. Program peningkatan vokasi, reskilling, dan lifelong learning menjadi kunci untuk menutup kesenjangan ini. Investasi pada pendidikan teknologi, sains terapan, dan kewirausahaan digital akan menentukan apakah tenaga kerja Indonesia dapat menjadi motor inovasi, bukan sekadar pengguna sistem ekonomi baru.

4. Institusi, Tata Kelola, dan Kepastian Kebijakan

Selain faktor ekonomi dan teknologi, daya saing juga sangat bergantung pada kualitas tata kelola. WEF menilai bahwa transparansi, birokrasi, dan kepastian regulasi masih menjadi titik lemah Indonesia. Kecepatan dalam mengadaptasi kebijakan baru sering kali terhambat oleh koordinasi antarinstansi dan ketidakkonsistenan implementasi di tingkat daerah.

Di era ekonomi global yang bergerak cepat, fleksibilitas kebijakan menjadi bagian penting dari daya saing nasional.
Negara-negara seperti Singapura dan Finlandia menunjukkan bahwa inovasi kebijakan — misalnya melalui regulatory sandbox dan reformasi cepat — dapat menjadi faktor kunci menarik investasi dan talenta global.
Indonesia perlu membangun ekosistem kebijakan yang lebih eksperimental, berbasis data, dan berorientasi hasil (outcome-based governance).

5. Daya Saing Hijau dan Transisi Energi

Menjelang 2030, kompetisi global tidak hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang kemampuan negara menjaga keberlanjutan lingkungan. Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam ekonomi hijau Asia, namun juga menghadapi dilema antara kebutuhan energi fosil dan komitmen dekarbonisasi. WEF menilai bahwa transformasi menuju energi terbarukan akan menjadi indikator baru dari daya saing negara — bukan hanya karena efisiensi, tetapi juga karena persepsi global terhadap keberlanjutan.

Dengan potensi besar di sektor surya, air, dan panas bumi, Indonesia dapat membangun basis daya saing hijau yang menghubungkan investasi lingkungan dengan inovasi industri. Namun, hal ini memerlukan strategi yang konsisten: reformasi subsidi energi, insentif investasi hijau, serta penguatan teknologi penyimpanan dan efisiensi energi.

Secara keseluruhan, daya saing Indonesia menjelang 2030 ditentukan oleh kemampuan bertransformasi — bukan sekadar bertumbuh. Produktivitas, inovasi, dan keberlanjutan harus menjadi satu kesatuan yang membentuk fondasi baru pembangunan nasional. Dengan kebijakan yang tepat dan koordinasi lintas sektor yang kuat, Indonesia dapat naik dari posisi ekonomi efisiensi menuju ekonomi inovasi — menjadi salah satu pusat pertumbuhan dan daya saing global di kawasan Asia.

 

Arah Strategis Indonesia Menuju Daya Saing 2030

Menghadapi perubahan global yang cepat dan penuh ketidakpastian, Indonesia membutuhkan strategi daya saing jangka panjang yang lebih adaptif, inovatif, dan kolaboratif. WEF menekankan bahwa daya saing modern tidak hanya mencerminkan kekuatan ekonomi saat ini, tetapi juga kapasitas negara untuk mengantisipasi masa depan — membangun sistem yang mampu belajar, berinovasi, dan beradaptasi secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini, arah strategis Indonesia menuju 2030 dapat dirumuskan melalui lima agenda utama berikut:

1. Mendorong Transformasi Produktivitas Melalui Inovasi Teknologi

Produktivitas tetap menjadi fondasi daya saing. Namun, di era pasca-disrupsi, peningkatan produktivitas tidak bisa lagi mengandalkan ekspansi tenaga kerja atau eksploitasi sumber daya alam. Fokus harus beralih ke inovasi berbasis teknologi dan efisiensi sistemik.

Pemerintah dapat memperkuat ekosistem inovasi nasional dengan:

  • Meningkatkan investasi riset dan pengembangan (R&D) hingga minimal 1% dari PDB;

  • Memperkuat kemitraan universitas–industri untuk riset terapan;

  • Memberi insentif bagi startup teknologi dan deep-tech enterprises; serta

  • Mengintegrasikan digitalisasi dalam rantai nilai industri melalui AI, Internet of Things (IoT), dan data-driven manufacturing.

Langkah ini bukan hanya meningkatkan produktivitas per sektor, tetapi juga memperluas ruang pertumbuhan ekonomi baru berbasis pengetahuan.

2. Mengembangkan Talenta Digital dan SDM Adaptif

Sumber daya manusia menjadi faktor pembeda utama dalam daya saing global. Meningkatkan kualitas tenaga kerja berarti menyiapkan masyarakat untuk pekerjaan masa depan, bukan sekadar memenuhi pasar tenaga kerja hari ini.

Indonesia perlu mengembangkan kebijakan National Skills Acceleration Framework — kerangka percepatan keterampilan nasional — yang mencakup:

  • Revitalisasi pendidikan vokasi dan politeknik,

  • Program reskilling di bidang data, AI, dan teknologi energi,

  • Insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan karyawan, dan

  • Integrasi platform pembelajaran digital untuk lifelong learning.

Melalui kebijakan ini, Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi sebagai bonus inovasi, bukan sekadar surplus tenaga kerja.

3. Membangun Ekosistem Kebijakan yang Lincah dan Berbasis Data

Keunggulan daya saing tidak hanya lahir dari sektor swasta, tetapi juga dari pemerintahan yang efisien, responsif, dan berbasis bukti. Arah kebijakan harus bergeser dari pendekatan administratif menjadi governance-as-an-enabler — tata kelola yang mendorong eksperimen, transparansi, dan inovasi publik.

Reformasi birokrasi digital, pemangkasan prosedur, dan sistem perizinan otomatis dapat meningkatkan kecepatan pengambilan keputusan ekonomi. Selain itu, penggunaan data analytics dan real-time policy feedback akan memungkinkan kebijakan lebih adaptif terhadap perubahan global.

Negara-negara dengan regulasi fleksibel terbukti mampu meningkatkan kepercayaan investor dan kelincahan ekonomi di tengah krisis global. Indonesia perlu menempuh arah serupa agar daya saingnya tetap relevan di tengah dinamika global yang cepat.

4. Mendorong Ekonomi Hijau dan Ketahanan Energi

Transisi menuju ekonomi hijau bukan sekadar komitmen lingkungan, melainkan strategi daya saing baru.
Negara yang berinvestasi lebih awal pada energi terbarukan dan efisiensi sumber daya akan menjadi pemimpin rantai pasok global masa depan.

Indonesia dapat menegaskan posisinya dengan mempercepat:

  • Investasi energi surya, panas bumi, dan bioenergi,

  • Pengembangan industri penyimpanan energi (baterai, hydrogen),

  • Skema insentif pajak untuk industri rendah karbon, dan

  • Sertifikasi hijau bagi ekspor manufaktur.

Selain itu, penerapan ekonomi sirkular dapat memperkuat ketahanan bahan baku industri, menurunkan biaya produksi, dan menciptakan lapangan kerja hijau. Dengan langkah-langkah ini, daya saing Indonesia akan berbasis keberlanjutan, bukan sekadar biaya rendah.

5. Memperkuat Posisi Indonesia dalam Ekosistem Regional dan Global

Dunia menuju era di mana kerja sama regional menjadi penentu utama daya saing. Indonesia perlu memainkan peran lebih besar dalam ekonomi kawasan ASEAN, terutama dalam integrasi rantai pasok dan inovasi lintas negara.

Fokus strateginya mencakup:

  • Peningkatan konektivitas logistik digital di Asia Tenggara,

  • Harmonisasi regulasi teknologi dan data antarnegara ASEAN,

  • Penguatan kemitraan riset hijau dan teknologi manufaktur berkelanjutan, serta

  • Diplomasi ekonomi aktif untuk menarik investasi strategis dari mitra G20.

Dengan pendekatan kolaboratif ini, Indonesia tidak hanya berkompetisi di tingkat nasional, tetapi juga menjadi pusat gravitasi ekonomi regional.

 

Kesimpulan

Daya saing global 2030 bukan hanya tentang efisiensi ekonomi, tetapi tentang kemampuan beradaptasi terhadap perubahan struktur dunia. Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi kekuatan ekonomi besar — pasar domestik, sumber daya alam, dan populasi produktif. Namun, keunggulan ini baru akan bermakna jika diubah menjadi nilai ekonomi berbasis inovasi, keterampilan, dan keberlanjutan.

Dengan menempatkan produktivitas, SDM, tata kelola, dan transisi hijau sebagai empat fondasi utama, Indonesia dapat menatap 2030 sebagai era kebangkitan daya saing nasional yang sejati bukan hanya tumbuh, tetapi juga tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2024). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2023). Future of productivity and inclusive growth. Paris: OECD Publishing.

United Nations Industrial Development Organization. (2023). The role of innovation and industrial policy in enhancing competitiveness. Vienna: UNIDO.

World Bank. (2024). The changing nature of work in Southeast Asia: Skills, automation, and the digital economy. Washington, DC: World Bank Group.

World Economic Forum. (2025). Global Economic Futures: Competitiveness in 2030. Geneva: World Economic Forum.

World Economic Forum. (2024). Future of Jobs Report 2024. Geneva: World Economic Forum.

 

 

Selengkapnya
Menatap 2030: Tantangan dan Arah Baru Daya Saing Ekonomi Global
« First Previous page 4 of 7 Next Last »