Dalam satu dekade terakhir, ekonomi sirkular telah berkembang dari sekadar konsep lingkungan menjadi fondasi baru bagi sistem ekonomi global yang berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang. Ketika dunia menghadapi tekanan sumber daya, perubahan iklim, dan meningkatnya limbah industri, muncul kesadaran bahwa model ekonomi linear — yang berlandaskan produksi massal, konsumsi cepat, dan pembuangan besar-besaran — telah mencapai batasnya. Model tersebut berhasil menciptakan kemakmuran material, tetapi juga meninggalkan jejak ekologis yang mengancam stabilitas sosial dan ekonomi dunia.
Sebagai respons, ekonomi sirkular hadir dengan tujuan yang lebih holistik: mempertahankan nilai material dalam sistem ekonomi selama mungkin, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan meminimalkan dampak lingkungan di seluruh siklus hidup produk. Namun, untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip tersebut benar-benar terwujud, dibutuhkan sistem pengukuran yang dapat diandalkan, terstandar, dan terintegrasi lintas negara. Di sinilah peran penting Conference of European Statisticians (CES) melalui panduannya Guidelines for Measuring Circular Economy (Part A, Chapter 5).
Panduan ini bukan sekadar pedoman teknis, melainkan kerangka konseptual untuk menyatukan pendekatan pengukuran ekonomi sirkular di tingkat global. Di dalamnya dijelaskan bagaimana ekonomi sirkular dapat dikuantifikasi melalui indikator material, sosial, dan ekonomi, serta bagaimana pengukuran tersebut harus diselaraskan dengan sistem statistik internasional seperti System of National Accounts (SNA), System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), dan Framework for the Development of Environment Statistics (FDES). Tujuan akhirnya adalah menciptakan bahasa statistik bersama yang memungkinkan perbandingan lintas negara dan mendukung perumusan kebijakan berbasis bukti.
Kebutuhan akan bahasa statistik yang seragam ini muncul karena selama bertahun-tahun, negara-negara menggunakan definisi dan indikator ekonomi sirkular yang berbeda-beda. Beberapa fokus pada daur ulang limbah, sementara yang lain menekankan efisiensi sumber daya atau perpanjangan masa pakai produk. Perbedaan ini menyulitkan evaluasi global atas kemajuan transisi menuju ekonomi sirkular, sekaligus menghambat kolaborasi internasional dalam pengelolaan sumber daya dan perdagangan bahan sekunder.
Bagi Indonesia, permasalahan ini bukan sekadar akademik, melainkan strategis. Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menghadapi tekanan besar untuk meningkatkan produktivitas ekonomi sambil mengurangi jejak ekologisnya. Program seperti Making Indonesia 4.0, Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular, dan Strategi Pembangunan Rendah Karbon (LCDI) semuanya mengandalkan data yang akurat dan indikator yang konsisten untuk menilai kemajuan. Tanpa sistem pengukuran yang terintegrasi dan selaras dengan standar global, sulit bagi Indonesia untuk menilai efektivitas kebijakannya, mengidentifikasi area perbaikan, atau membandingkan kemajuan dengan negara lain.
Lebih jauh, pengukuran ekonomi sirkular bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga instrumen transformasi kebijakan. Indikator yang tepat memungkinkan pembuat kebijakan menilai apakah kebijakan fiskal benar-benar mendorong penggunaan bahan daur ulang, apakah inovasi industri mengurangi intensitas material, dan apakah perubahan perilaku konsumen berkontribusi terhadap pengurangan limbah nasional. Dengan demikian, sistem pengukuran sirkularitas menjadi jembatan antara konsep dan implementasi, antara visi pembangunan berkelanjutan dan langkah-langkah konkret di lapangan.
Panduan CES memberikan peta jalan bagi pembangunan sistem pengukuran tersebut. Bab 5 secara khusus menjelaskan kerangka konseptual pengukuran yang dapat diterapkan di berbagai tingkatan — mulai dari makro (nasional dan regional), meso (industri dan rantai pasok), hingga mikro (perusahaan dan produk). Kerangka ini juga menunjukkan bagaimana sirkularitas dapat diukur tidak hanya dari sisi material, tetapi juga dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terintegrasi.
Oleh karena itu, memahami pendekatan pengukuran yang diuraikan oleh CES menjadi langkah penting bagi negara seperti Indonesia yang tengah memperkuat kebijakan ekonomi hijau. Dengan menerapkan sistem indikator yang berbasis pada standar internasional, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan akurasi data dan efektivitas kebijakan, tetapi juga memposisikan diri sebagai pelopor ekonomi sirkular di kawasan Asia-Pasifik.
Dimensi dan Tingkatan Pengukuran Ekonomi Sirkular
Panduan Conference of European Statisticians (CES) menegaskan bahwa ekonomi sirkular tidak dapat diukur secara tunggal atau linear. Transisi menuju sistem ekonomi yang berkelanjutan mencakup berbagai aktivitas, aktor, dan hasil yang berlapis — mulai dari efisiensi penggunaan material hingga perubahan pola konsumsi masyarakat. Karena itu, pengukuran ekonomi sirkular harus mempertimbangkan beragam dimensi dan tingkatan analisis, agar hasilnya mampu menangkap realitas ekonomi secara utuh dan terukur.
1. Dimensi Material, Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
CES membagi pengukuran ekonomi sirkular ke dalam empat dimensi utama:
-
Dimensi Material mencakup aliran sumber daya alam, bahan baku sekunder, dan limbah. Indikatornya dapat berupa material footprint, recycling rate, atau secondary raw materials ratio.
Tujuannya adalah menilai seberapa efisien suatu negara memanfaatkan sumber daya dan seberapa besar proporsi bahan yang kembali ke siklus produksi. -
Dimensi Ekonomi mengukur dampak kegiatan sirkular terhadap pertumbuhan, nilai tambah, dan produktivitas.
Misalnya, berapa kontribusi industri daur ulang terhadap PDB, atau seberapa besar efisiensi biaya yang dihasilkan dari model bisnis berbasis sirkularitas. -
Dimensi Sosial berfokus pada penciptaan lapangan kerja dan perubahan perilaku masyarakat.
Transisi ke ekonomi sirkular sering menciptakan jenis pekerjaan baru — seperti teknisi perbaikan, pengelola limbah elektronik, atau inovator bahan ramah lingkungan.
Di sisi lain, ia juga menuntut peningkatan literasi dan kesadaran publik terhadap konsumsi berkelanjutan. -
Dimensi Lingkungan menilai dampak sirkularitas terhadap penurunan emisi, konservasi ekosistem, dan efisiensi energi.
Indikator seperti GHG emissions avoided through recycling atau energy intensity per unit of material use membantu mengukur sejauh mana kegiatan sirkular mendukung agenda mitigasi perubahan iklim.
Keempat dimensi ini saling melengkapi, bukan berdiri sendiri. Sebuah kebijakan bisa meningkatkan indikator ekonomi, tetapi belum tentu signifikan secara lingkungan. Oleh karena itu, CES menekankan perlunya pendekatan multidimensi agar hasil pengukuran tidak hanya menunjukkan efisiensi ekonomi, tetapi juga keseimbangan sosial dan ekologis.
2. Tingkatan Pengukuran: Mikro, Meso, dan Makro
Selain berdasarkan dimensi, CES juga memperkenalkan tiga tingkatan pengukuran sirkularitas — sebuah kerangka yang memungkinkan integrasi data dari level perusahaan hingga nasional:
-
Tingkat Mikro (Perusahaan dan Produk)
Fokus pada kegiatan individu atau korporasi, seperti tingkat daur ulang bahan, umur pakai produk, atau proporsi bahan baku sekunder.
Contoh: perusahaan manufaktur elektronik dapat mengukur rasio komponen yang dapat digunakan kembali dibandingkan yang harus dibuang.
Data mikro ini penting karena menjadi dasar akumulasi indikator di tingkat nasional. -
Tingkat Meso (Rantai Pasok dan Ekosistem Industri)
Mengukur sirkularitas dalam skala sektoral atau wilayah industri.
Misalnya, kawasan industri hijau di Batam atau Cikarang dapat dianalisis berdasarkan tingkat simbiosis industrinya — sejauh mana limbah satu perusahaan menjadi input bagi perusahaan lain.
Tingkatan ini membantu pemerintah melihat efektivitas kebijakan klaster industri dan kolaborasi lintas sektor. -
Tingkat Makro (Nasional dan Regional)
Merupakan agregasi dari berbagai aktivitas sirkular di seluruh sektor ekonomi.
Indikatornya dapat berupa rasio penggunaan bahan sekunder terhadap total konsumsi material nasional (domestic material consumption), kontribusi ekonomi sirkular terhadap PDB, atau intensitas emisi per unit nilai tambah.
Di tingkat ini, data dari SNA dan SEEA menjadi krusial untuk membangun gambaran nasional yang menyeluruh.
Keterkaitan antar-tingkatan ini bersifat vertikal dan dinamis. Artinya, perubahan di tingkat mikro — seperti inovasi teknologi daur ulang — dapat memengaruhi indikator makro nasional jika datanya terintegrasi secara sistematis. Sebaliknya, kebijakan di tingkat makro (misalnya insentif fiskal untuk bahan sekunder) dapat memperkuat kegiatan sirkular di tingkat perusahaan.
3. Implikasi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, pendekatan berlapis ini sangat relevan untuk mengatasi masalah keterbatasan data lintas sektor.
Selama ini, statistik ekonomi nasional lebih berfokus pada indikator makro seperti PDB atau nilai ekspor, sedangkan data mikro perusahaan sering tersebar di berbagai kementerian.
Pendekatan CES menawarkan cara untuk menghubungkan keduanya melalui sistem data hierarchy yang konsisten dan interoperabel.
Sebagai contoh, data mikro dari laporan keberlanjutan perusahaan (ESG reporting) dapat digunakan untuk memperkaya indikator meso dan makro ekonomi sirkular nasional.
Demikian pula, data limbah industri dan material sekunder dari KLHK atau Kemenperin dapat diintegrasikan dengan supply-use tables di BPS, menghasilkan indikator yang lebih representatif.
Dalam konteks kebijakan, pemahaman terhadap tingkatan pengukuran ini akan membantu pemerintah menyusun strategi transisi sirkular yang lebih terarah. Alih-alih membuat kebijakan seragam di semua sektor, Indonesia dapat menyesuaikan intervensi sesuai skala: memperkuat insentif inovasi di tingkat mikro, mendorong kolaborasi industri di tingkat meso, dan mengatur instrumen fiskal serta indikator nasional di tingkat makro.
Dengan demikian, sistem pengukuran berlapis ini tidak hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga mekanisme koordinasi antarlevel pembangunan — menghubungkan pelaku usaha, industri, dan negara dalam satu arah transformasi ekonomi yang berkelanjutan.
Keterkaitan dengan Kerangka Statistik Internasional
Salah satu keunggulan utama dari panduan Conference of European Statisticians (CES) adalah kemampuannya menyatukan berbagai sistem statistik internasional yang selama ini berjalan terpisah. Alih-alih menciptakan kerangka baru yang berdiri sendiri, CES menekankan pentingnya integrasi dan interoperabilitas antara sistem ekonomi, lingkungan, dan sosial yang telah diakui secara global. Pendekatan ini menjadikan pengukuran ekonomi sirkular lebih efisien, komprehensif, dan relevan dengan kebutuhan kebijakan lintas sektor.
1. Hubungan dengan SEEA (System of Environmental-Economic Accounting)
System of Environmental-Economic Accounting (SEEA) merupakan kerangka resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghubungkan data ekonomi dengan data lingkungan. Melalui SEEA, negara dapat menilai bagaimana kegiatan ekonomi memengaruhi sumber daya alam dan sebaliknya — bagaimana kondisi lingkungan memengaruhi keberlanjutan ekonomi.
CES menempatkan SEEA sebagai tulang punggung pengukuran ekonomi sirkular. Indikator seperti material flow accounts (MFA), waste accounts, dan environmental goods and services sector (EGSS) menjadi dasar untuk menghitung efisiensi penggunaan sumber daya dan potensi daur ulang material. Misalnya, melalui MFA, dapat dihitung total material yang masuk ke perekonomian (input), yang digunakan, dan yang keluar sebagai limbah (output). Data ini krusial untuk menentukan tingkat sirkularitas material suatu negara.
Bagi Indonesia, adopsi SEEA telah dimulai melalui kolaborasi antara BPS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun, penerapan penuh masih terbatas pada beberapa modul seperti air accounts dan energy accounts. Melalui kerangka CES, integrasi SEEA dapat diperluas untuk mencakup material flow accounts, sehingga mendukung pengukuran yang lebih komprehensif atas kinerja ekonomi sirkular nasional.
2. Hubungan dengan SNA (System of National Accounts)
System of National Accounts (SNA) adalah dasar bagi semua pengukuran ekonomi makro, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tambah, dan produktivitas. Dalam konteks ekonomi sirkular, SNA menyediakan struktur untuk mengukur kontribusi kegiatan sirkular terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Panduan CES mendorong integrasi antara SNA dan SEEA agar nilai ekonomi dari kegiatan sirkular — seperti industri daur ulang, jasa perbaikan, atau perdagangan bahan sekunder — dapat dicatat secara eksplisit dalam statistik nasional. Misalnya, perusahaan yang menghasilkan nilai tambah melalui pemanfaatan kembali material seharusnya tercatat dalam value added by circular sectors, bukan hanya sebagai industri manufaktur konvensional.
Integrasi ini penting karena selama ini banyak kegiatan ekonomi sirkular yang “tidak terlihat” dalam statistik resmi. Contohnya, aktivitas remanufacturing atau refurbishing sering diklasifikasikan sebagai kegiatan jasa umum atau reparasi, sehingga kontribusinya terhadap PDB dan produktivitas nasional tidak terukur dengan tepat. Dengan memperluas cakupan SNA melalui pendekatan CES, Indonesia dapat memperlihatkan nilai ekonomi nyata dari transisi menuju sirkularitas.
3. Hubungan dengan FDES (Framework for the Development of Environment Statistics)
Framework for the Development of Environment Statistics (FDES) berfungsi sebagai panduan untuk pengumpulan data lingkungan yang komprehensif, mencakup tema seperti tanah, air, udara, energi, dan limbah. Dalam konteks CES, FDES melengkapi SEEA dengan menyediakan basis data lingkungan mentah yang menjadi input bagi analisis ekonomi sirkular.
CES merekomendasikan agar data dari FDES digunakan untuk memvalidasi dan memperkaya indikator sirkularitas. Sebagai contoh, data FDES tentang emisi gas rumah kaca dari sektor industri dapat digunakan untuk menilai dampak kegiatan sirkular terhadap penurunan emisi nasional. Demikian pula, data mengenai kualitas air dan tingkat pencemaran dapat mengukur sejauh mana praktik daur ulang atau efisiensi sumber daya mengurangi tekanan lingkungan.
Indonesia telah mengembangkan FDES melalui Statistik Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang diterbitkan oleh BPS dan KLHK.
Namun, keterhubungan antara SLHI dengan data ekonomi (SNA dan SEEA) masih terbatas. Melalui adopsi kerangka CES, keterpaduan data ini dapat diperkuat, sehingga menghasilkan satu sistem statistik terintegrasi untuk ekonomi hijau dan sirkular.
4. Implikasi Integrasi Bagi Indonesia
Integrasi antara CES, SEEA, SNA, dan FDES memberikan peluang strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas kebijakan berbasis data. Dalam konteks nasional, integrasi ini akan membantu:
-
Menilai sejauh mana kebijakan industri hijau atau insentif fiskal berdampak pada efisiensi material dan emisi;
-
Menentukan sektor-sektor prioritas yang paling potensial untuk transisi ke ekonomi sirkular;
-
Mengukur dampak ekonomi sirkular terhadap ketenagakerjaan, investasi, dan produktivitas nasional;
-
Menyusun dashboard indikator nasional yang dapat digunakan dalam RPJMN dan laporan SDGs.
Selain manfaat kebijakan, integrasi ini juga memperkuat transparansi internasional dan daya saing ekonomi Indonesia.
Dengan mengadopsi sistem pengukuran yang sejalan dengan standar global, Indonesia dapat lebih mudah melaporkan kemajuan pada forum internasional seperti UN Environment Assembly dan G20 Sustainable Finance Working Group, sekaligus menarik investasi hijau dari lembaga keuangan global.
5. Membangun Sinergi Kelembagaan dan Teknologi Data
Agar integrasi ini berhasil, Indonesia perlu memperkuat sinergi antar-lembaga statistik dan memperluas penggunaan teknologi digital.
Pendekatan CES menekankan pentingnya data interoperability, yang memungkinkan pertukaran informasi lintas instansi secara otomatis melalui platform berbasis digital. BPS, KLHK, dan Bappenas dapat mengembangkan National Circular Economy Data Platform yang menghubungkan data ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam satu sistem berbagi informasi.
Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti big data analytics, satellite monitoring, dan IoT sensors dapat membantu melengkapi kekurangan data tradisional, terutama dalam memantau aliran material dan emisi secara real time. Langkah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi statistik, tetapi juga membuka jalan bagi inovasi kebijakan yang berbasis data dinamis.
Kerangka CES dengan demikian berfungsi bukan hanya sebagai panduan teknis, melainkan sebagai mekanisme strategis untuk memperkuat tata kelola statistik nasional. Dengan mengaitkan ekonomi sirkular pada SNA, SEEA, dan FDES, Indonesia dapat membangun fondasi statistik yang tidak hanya menggambarkan kinerja ekonomi, tetapi juga arah transformasi menuju keberlanjutan yang menyeluruh.
Tantangan Implementasi di Negara Berkembang
Walaupun panduan Conference of European Statisticians (CES) memberikan fondasi konseptual yang kuat untuk pengukuran ekonomi sirkular, penerapannya di negara berkembang menghadapi beragam hambatan. Masalah yang muncul tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mencakup dimensi kelembagaan, struktural, hingga budaya kebijakan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi besar di Global South menghadapi tantangan yang serupa, di mana kebutuhan akan data yang akurat berhadapan dengan keterbatasan kapasitas dan koordinasi antarinstansi.
1. Keterbatasan Infrastruktur dan Kualitas Data
Salah satu kendala utama adalah ketimpangan kapasitas statistik nasional. Banyak negara berkembang masih bergantung pada sistem pengumpulan data manual dan bersifat sektoral, sehingga sulit mengintegrasikan informasi lintas kementerian. Dalam konteks ekonomi sirkular, data yang dibutuhkan tidak hanya berasal dari sektor ekonomi, tetapi juga lingkungan, energi, dan sosial — yang sering kali menggunakan format dan metodologi berbeda.
Indonesia, misalnya, memiliki data limbah industri dari KLHK, data energi dari ESDM, dan data ekonomi dari BPS, namun belum ada sistem terpadu yang menggabungkan seluruh informasi ini ke dalam satu kerangka pengukuran. Keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur teknologi informasi, serta standar klasifikasi yang belum seragam memperparah situasi ini.
Selain itu, data informal dari kegiatan daur ulang skala kecil atau rumah tangga sering kali tidak tercatat dalam statistik resmi.
Padahal sektor informal memainkan peran signifikan dalam sirkularitas material, terutama dalam pengumpulan dan pengolahan limbah plastik, elektronik, dan logam. Tanpa mekanisme inklusi data bagi sektor ini, indikator nasional akan bias ke arah industri besar, sehingga mengaburkan kontribusi nyata dari masyarakat dan UMKM.
2. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi Antarinstansi
Tantangan kedua terletak pada fragmentasi kelembagaan. Ekonomi sirkular bersifat lintas sektor — mencakup aspek lingkungan, industri, energi, dan perdagangan — namun tata kelola datanya sering kali bersifat silo. Setiap kementerian memiliki mandat dan sistem data sendiri yang tidak selalu terhubung atau sinkron.
Misalnya, Kementerian Perindustrian memantau produksi industri daur ulang, sementara KLHK mengelola data limbah dan emisi, dan Bappenas memantau indikator keberlanjutan dalam konteks RPJMN. Tanpa mekanisme koordinasi lintas lembaga yang kuat, pengukuran ekonomi sirkular menjadi tumpang tindih, tidak efisien, dan sulit dievaluasi secara nasional.
CES menekankan pentingnya pembentukan platform koordinasi nasional untuk statistik sirkularitas. Bagi Indonesia, hal ini dapat diwujudkan melalui pembentukan National Circular Economy Data Council — lembaga lintas kementerian yang berfungsi menyusun metodologi, menyelaraskan definisi, serta mengawasi implementasi indikator. Dewan semacam ini juga dapat menjadi mitra koordinasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta.
3. Keterbatasan Kapasitas SDM dan Literasi Statistik
Selain infrastruktur dan kelembagaan, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi kendala yang krusial.
Pengukuran ekonomi sirkular membutuhkan keahlian lintas disiplin — ekonomi, teknik lingkungan, statistik, hingga ilmu material.
Namun, di banyak lembaga publik dan daerah, keahlian ini masih terbatas.
Tanpa peningkatan literasi statistik, data yang dikumpulkan berisiko tidak konsisten atau tidak memenuhi standar internasional.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan program pelatihan teknis berkelanjutan bagi analis data dan perencana kebijakan, misalnya melalui Circular Economy Statistics Training Series yang melibatkan BPS, universitas, dan lembaga internasional seperti UNECE atau OECD. Langkah ini tidak hanya memperkuat kapasitas analisis, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya data dalam mendukung transisi ekonomi hijau.
4. Pendanaan dan Keberlanjutan Sistem Data
Sistem statistik yang kuat membutuhkan pendanaan yang konsisten dan jangka panjang. Sayangnya, di banyak negara berkembang, kegiatan statistik lingkungan sering bergantung pada proyek donor internasional yang bersifat sementara.
Ketika pendanaan berakhir, kegiatan pengumpulan data pun berhenti, dan sistem tidak berkelanjutan.
Untuk mengatasi hal ini, CES merekomendasikan agar negara mengalokasikan anggaran nasional khusus untuk statistik ekonomi sirkular. Dana ini dapat diambil dari porsi green budgeting atau pendapatan pajak lingkungan, sehingga keberlanjutan sistem data tidak tergantung pada bantuan luar negeri. Indonesia dapat mencontoh pendekatan Green Statistics Fund yang diterapkan di Eropa, di mana sebagian hasil pajak karbon dialokasikan untuk pengembangan data keberlanjutan.
5. Ketidaksiapan Industri dan Sektor Swasta
Di luar ranah pemerintah, tantangan lain datang dari sektor swasta. Banyak perusahaan, terutama skala menengah dan kecil, belum siap melaporkan data yang relevan untuk pengukuran sirkularitas, seperti penggunaan bahan sekunder, efisiensi energi, atau emisi yang dihindari melalui inovasi produk. Sebagian perusahaan juga menganggap pelaporan lingkungan sebagai beban administratif tambahan, bukan investasi strategis.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan insentif — misalnya memberikan keringanan pajak atau prioritas akses pembiayaan bagi perusahaan yang bersedia menerapkan pelaporan sirkularitas berbasis data. Selain itu, pemerintah dapat mendorong digital reporting system yang mudah diakses, sehingga pelaku usaha kecil pun dapat berkontribusi tanpa terbebani oleh kompleksitas birokrasi.
6. Kesenjangan Teknologi dan Akses Digital
Tantangan terakhir menyangkut akses terhadap teknologi dan digitalisasi data. Banyak daerah di Indonesia masih menghadapi keterbatasan infrastruktur digital, yang membuat proses pelaporan data lambat dan tidak akurat. Padahal, CES menekankan pentingnya pemanfaatan big data, remote sensing, dan IoT untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pengumpulan data sirkularitas.
Membangun sistem data sirkular nasional berarti juga membangun ekosistem digital yang terintegrasi. Investasi pada jaringan data terbuka, interoperabilitas sistem antarinstansi, dan penggunaan AI-driven analytics dapat menjadi terobosan bagi pengukuran yang lebih cepat, murah, dan inklusif.
Menjadikan Tantangan sebagai Peluang
Tantangan-tantangan di atas menunjukkan bahwa transisi menuju sistem pengukuran sirkularitas bukanlah proses teknis semata, melainkan transformasi institusional dan budaya data. Dengan mengadopsi panduan CES, negara berkembang seperti Indonesia memiliki peluang untuk membangun sistem statistik yang bukan hanya lebih akurat, tetapi juga lebih adaptif terhadap kebutuhan kebijakan modern.
Jika dikelola dengan strategi yang konsisten, tantangan ini justru dapat menjadi momentum untuk menciptakan tata kelola data yang transparan, berbasis kolaborasi, dan mendukung inovasi lintas sektor — menjadikan ekonomi sirkular bukan sekadar konsep ideal, tetapi kenyataan yang terukur.
Penutup
Ekonomi sirkular telah berkembang dari ide konseptual menjadi arah strategis pembangunan global yang menggabungkan efisiensi ekonomi, keseimbangan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Namun, keberhasilan implementasinya tidak hanya bergantung pada inovasi industri atau teknologi, melainkan pada kemampuan negara untuk mengukurnya secara akurat dan konsisten.
Tanpa sistem pengukuran yang kuat, ekonomi sirkular akan tetap menjadi wacana abstrak, bukan kebijakan yang bisa dievaluasi dan ditingkatkan.
Panduan Conference of European Statisticians (CES) memberikan pijakan penting bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk membangun sistem pengukuran yang terstruktur dan berbasis pada standar internasional. Dengan menghubungkan System of National Accounts (SNA), System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), dan Framework for the Development of Environment Statistics (FDES), kerangka CES menjembatani data ekonomi dan lingkungan ke dalam satu kesatuan analisis yang koheren. Pendekatan ini bukan hanya menyederhanakan pelaporan, tetapi juga mendorong integrasi lintas kebijakan dan sektor.
Bagi Indonesia, penerapan kerangka CES membawa dua manfaat strategis.
Pertama, ia memperkuat dasar ilmiah bagi kebijakan ekonomi hijau dan transisi industri, dengan menyediakan indikator yang dapat mengukur efektivitas kebijakan terhadap sirkularitas material, emisi, dan produktivitas sumber daya.
Kedua, ia meningkatkan daya saing global dengan memperkuat transparansi dan kredibilitas data, yang menjadi syarat penting dalam kerja sama internasional dan investasi berkelanjutan.
Meski demikian, keberhasilan implementasi membutuhkan komitmen yang lebih dari sekadar teknis. Diperlukan reformasi kelembagaan untuk mengurangi tumpang tindih antarinstansi, investasi dalam infrastruktur digital dan statistik, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Lebih penting lagi, diperlukan perubahan paradigma: dari melihat data sebagai beban administratif, menuju melihatnya sebagai instrumen strategis pembangunan nasional.
Dalam konteks ini, pengukuran ekonomi sirkular tidak hanya berfungsi sebagai alat akuntabilitas, tetapi juga sebagai kompas kebijakan menuju masa depan ekonomi Indonesia yang tangguh, efisien, dan berkeadilan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip CES dan menyesuaikannya dengan konteks domestik, Indonesia berpeluang menjadi pelopor regional dalam pembangunan ekonomi berbasis sirkularitas — bukan hanya dalam praktik, tetapi juga dalam sistem pengukuran yang menjadi pondasinya.
Daftar Pustaka
Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part A (Chapter 5). Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Circular Economy Indicators and Policy Frameworks. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Measuring Circularity: From Concepts to Indicators. Nairobi: UNEP.
World Bank. (2023). Greening Data Systems: Building Statistical Capacity for Circular Economy in Developing Countries. Washington, DC: World Bank Group.