Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 Desember 2025
1. Pendahuluan: Mengapa Agenda Keberlanjutan Harus Dimulai dari Fiskal
Konsumsi dan produksi berkelanjutan sering dibahas melalui perubahan perilaku, inovasi teknologi, atau standar lingkungan. Namun pendekatan-pendekatan tersebut kerap mengabaikan faktor penentu paling mendasar: sinyal harga yang dibentuk oleh kebijakan fiskal. Selama sistem pajak dan subsidi masih mendorong penggunaan sumber daya murah dan membebani tenaga kerja, upaya keberlanjutan akan terus melawan arus insentif ekonomi.
Kebijakan fiskal memiliki posisi strategis karena memengaruhi hampir seluruh keputusan ekonomi—apa yang diproduksi, bagaimana cara memproduksi, dan apa yang dikonsumsi. Dalam konteks ini, reformasi fiskal bukan sekadar penyesuaian instrumen keuangan negara, melainkan alat utama untuk mengarahkan transformasi ekonomi menuju efisiensi sumber daya.
Artikel ini merujuk pada materi Fiscal Reforms for Sustainable Consumption and Production, yang menekankan perlunya pergeseran dari sistem fiskal konvensional menuju pendekatan yang menghargai produktivitas sumber daya. Inti argumennya adalah sederhana tetapi fundamental: selama tenaga kerja dikenai pajak lebih berat dibandingkan eksploitasi sumber daya, ekonomi akan terus memilih jalur yang tidak berkelanjutan.
Dengan pendekatan analitis, artikel ini membahas reformasi fiskal sebagai fondasi konsumsi dan produksi berkelanjutan. Fokusnya bukan pada rincian teknis instrumen, tetapi pada logika kebijakan yang menjelaskan mengapa pergeseran dari pajak tenaga kerja ke pajak sumber daya menjadi krusial dalam agenda transisi berkelanjutan.
2. Mengapa Sistem Pajak Konvensional Gagal Mendorong Efisiensi Sumber Daya
Sistem pajak konvensional dirancang terutama untuk memaksimalkan penerimaan negara dan mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis produksi. Dalam kerangka ini, pajak tenaga kerja dan konsumsi menjadi sumber utama penerimaan, sementara penggunaan sumber daya alam sering kali dikenai pajak rendah atau bahkan disubsidi. Struktur ini menciptakan distorsi insentif yang merugikan keberlanjutan.
Ketika tenaga kerja mahal secara fiskal dan sumber daya relatif murah, pelaku ekonomi terdorong menggantikan tenaga kerja dengan energi, material, dan input alam lainnya. Hasilnya adalah pola produksi yang intensif sumber daya, rendah efisiensi, dan beremisi tinggi. Dalam jangka panjang, struktur pajak semacam ini justru melemahkan daya saing ekonomi karena ketergantungan pada input yang semakin langka.
Kegagalan ini bersifat struktural, bukan insidental. Sistem pajak konvensional tidak memasukkan biaya lingkungan dan sosial ke dalam harga. Dampak seperti polusi, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim menjadi eksternalitas yang tidak tercermin dalam keputusan pasar. Selama biaya-biaya ini tidak diinternalisasi, efisiensi sumber daya akan selalu kalah dibandingkan solusi murah jangka pendek.
Selain itu, subsidi terhadap energi dan bahan baku tertentu memperparah masalah. Subsidi yang dimaksudkan untuk melindungi konsumen atau industri sering kali justru menghambat inovasi dan memperpanjang ketergantungan pada teknologi usang. Dalam konteks ini, kegagalan sistem pajak konvensional bukan hanya soal desain fiskal, tetapi juga ketidakselarasan antara tujuan ekonomi dan keberlanjutan.
3. Reformasi Pajak Ekologis dan Pergeseran Beban Fiskal
Inti dari reformasi fiskal untuk konsumsi dan produksi berkelanjutan adalah pergeseran beban pajak. Alih-alih membebani tenaga kerja dan aktivitas produktif, sistem fiskal diarahkan untuk mengenakan pajak pada penggunaan sumber daya dan pencemaran. Pendekatan ini dikenal sebagai reformasi pajak ekologis dan bertujuan menyelaraskan sinyal harga dengan tujuan keberlanjutan.
Pergeseran ini memiliki dua efek kebijakan yang saling memperkuat. Pertama, pajak sumber daya dan emisi meningkatkan biaya relatif aktivitas yang boros dan merusak lingkungan, sehingga mendorong efisiensi dan inovasi. Kedua, pengurangan pajak tenaga kerja atau pajak produktif lainnya dapat meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan daya saing ekonomi. Dengan kata lain, reformasi pajak ekologis tidak harus dipahami sebagai beban tambahan, tetapi sebagai realokasi insentif ekonomi.
Namun implementasi reformasi ini menuntut kehati-hatian desain. Pajak sumber daya yang diterapkan tanpa kompensasi dapat berdampak regresif, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Oleh karena itu, reformasi fiskal yang efektif biasanya disertai mekanisme daur ulang pendapatan, seperti pengurangan pajak lain, transfer sosial, atau investasi pada layanan publik. Pendekatan ini membantu menjaga legitimasi sosial kebijakan.
Lebih jauh, reformasi pajak ekologis menantang paradigma lama kebijakan fiskal. Keberhasilannya tidak diukur semata dari penerimaan negara, tetapi dari perubahan perilaku ekonomi yang dihasilkan. Dalam kerangka ini, fiskal menjadi alat transformasi struktural, bukan sekadar instrumen pembiayaan anggaran.
4. Cap-and-Trade, Subsidi, dan Tantangan Politik Reformasi Fiskal
Selain pajak, instrumen fiskal lain seperti cap-and-trade berperan penting dalam mendorong efisiensi sumber daya dan pengendalian emisi. Dengan menetapkan batas penggunaan atau emisi dan memungkinkan perdagangan izin, cap-and-trade menciptakan sinyal kelangkaan yang fleksibel. Pelaku ekonomi memiliki insentif untuk berinovasi, karena efisiensi langsung diterjemahkan menjadi keuntungan finansial.
Namun efektivitas cap-and-trade sangat bergantung pada desain kebijakan dan integritas institusional. Batas yang terlalu longgar atau alokasi izin yang tidak transparan dapat melemahkan dampak kebijakan. Selain itu, integrasi dengan sistem pajak dan regulasi lain menjadi penting agar instrumen fiskal tidak saling meniadakan.
Isu subsidi merupakan tantangan politik terbesar dalam reformasi fiskal. Subsidi energi dan sumber daya sering kali dipertahankan atas nama stabilitas harga dan perlindungan sosial. Padahal, subsidi tersebut menciptakan distorsi besar terhadap efisiensi dan menguras ruang fiskal. Penghapusan atau reformasi subsidi menghadapi resistensi politik yang kuat, meskipun manfaat jangka panjangnya jelas.
Dalam konteks ini, reformasi fiskal untuk SCP bukan sekadar persoalan teknis, melainkan proses politik. Keberhasilan sangat ditentukan oleh komunikasi kebijakan, tahapan implementasi, dan kemampuan negara membangun koalisi pendukung. Tanpa strategi politik yang matang, instrumen fiskal paling canggih sekalipun berisiko gagal di lapangan.
5. Dampak Reformasi Fiskal terhadap Produktivitas, Pekerjaan, dan Inovasi
Reformasi fiskal yang mengalihkan beban dari pajak tenaga kerja ke pajak sumber daya memiliki implikasi luas terhadap struktur ekonomi. Salah satu dampak terpenting adalah pergeseran insentif produktivitas. Ketika penggunaan sumber daya menjadi lebih mahal relatif terhadap tenaga kerja dan pengetahuan, pelaku usaha terdorong meningkatkan efisiensi proses, desain produk, dan organisasi kerja.
Dari perspektif ketenagakerjaan, pengurangan pajak tenaga kerja berpotensi memperbaiki iklim penciptaan kerja, terutama di sektor yang padat karya dan berbasis layanan. Reformasi ini dapat mengurangi tekanan biaya pada perekrutan, sekaligus membuka ruang bagi pekerjaan baru yang terkait dengan efisiensi energi, pengelolaan material, dan layanan berbasis perawatan serta daur ulang. Dengan demikian, reformasi fiskal berkelanjutan tidak identik dengan pengorbanan pertumbuhan atau pekerjaan.
Inovasi juga menjadi kanal utama dampak kebijakan. Sinyal harga yang mencerminkan kelangkaan sumber daya mendorong investasi pada teknologi hemat material, substitusi bahan, dan model bisnis sirkular. Berbeda dengan subsidi atau regulasi sempit, instrumen fiskal yang dirancang baik memberi ruang inovasi yang netral teknologi, memungkinkan pasar menemukan solusi paling efisien.
Namun dampak positif ini tidak bersifat otomatis. Tanpa stabilitas kebijakan dan kepastian jangka menengah, pelaku usaha cenderung menunda investasi. Oleh karena itu, konsistensi dan kredibilitas reformasi fiskal menjadi kunci agar perubahan insentif benar-benar diterjemahkan menjadi peningkatan produktivitas, penciptaan kerja, dan inovasi berkelanjutan.
6. Kesimpulan Analitis: Fiskal sebagai Fondasi Transisi Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan
Pembahasan ini menegaskan bahwa reformasi fiskal merupakan fondasi struktural bagi transisi konsumsi dan produksi berkelanjutan. Selama sistem pajak dan subsidi masih mengirimkan sinyal harga yang salah, upaya perubahan perilaku, teknologi, dan standar akan selalu menghadapi hambatan yang signifikan.
Artikel ini menunjukkan bahwa kegagalan sistem fiskal konvensional bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan desain kebijakan. Pajak yang membebani tenaga kerja dan membiarkan eksploitasi sumber daya tetap murah mendorong pola ekonomi yang tidak efisien dan rapuh. Reformasi pajak ekologis, cap-and-trade, serta penghapusan subsidi yang merusak menawarkan jalan untuk menyelaraskan insentif ekonomi dengan tujuan keberlanjutan.
Lebih jauh, reformasi fiskal memiliki dimensi politik dan sosial yang kuat. Keberhasilannya bergantung pada desain yang adil, mekanisme kompensasi, dan komunikasi kebijakan yang meyakinkan. Tanpa legitimasi sosial, instrumen fiskal yang paling rasional sekalipun sulit bertahan.
Pada akhirnya, transisi menuju konsumsi dan produksi berkelanjutan bukan hanya soal teknologi atau moral individu, tetapi tentang bagaimana negara menetapkan aturan main ekonomi. Dengan menempatkan fiskal sebagai alat transformasi, negara dapat mengarahkan pasar menuju efisiensi sumber daya, inovasi, dan kesejahteraan jangka panjang secara lebih konsisten dan efektif.
Daftar Pustaka
United Nations Environment Programme. (2011). Decoupling Natural Resource Use and Environmental Impacts from Economic Growth. UNEP.
United Nations Environment Programme. (2012). Global Outlook on Sustainable Consumption and Production Policies. UNEP.
Organisation for Economic Co-operation and Development. (2010). Taxation, Innovation and the Environment. OECD Publishing.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 Desember 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
💫
Prolog:
Pidato di Parlemen, Sunyi di Gang Becek
Di sebuah sudut kota yang selalu basah oleh sisa hujan semalam, seorang bapak menyeduh kopi sachet sambil menghitung recehan. Bukan laba bulanan yang ia pikirkan — bahkan bukan omset mingguan — melainkan ... cukupkah uang kembalian hari ini untuk belikan beras malam nanti. Di radio kecil warungnya, sang penyiar memberitakan: “Pertumbuhan ekonomi kuartal ini melampaui lima persen.”
Kalimat itu mengambang indah di udara, menggelegar di podium-podium kebijakan, tapi gagal turun ke meja kusam si bapak penjual kopi. Ekonomi hari ini tampak gagah di podium, fasih memproduksi grafik, angka, dan jargon kebijakan. Namun ketika bertemu keseharian rakyat — di gang-gang becek, pasar, sawah, kapal nelayan, dan lapak UMKM — ia sering terlihat gagap: mendengar pun tidak, memahami apalagi.
.
📌
I. Ketika Ekonomi Berubah dari Ilmu Menjadi Mazhab
Di ruang kuliah dan forum birokrasi, ekonomi sering dipresentasikan sebagai kumpulan mazhab: Keynesianisme, Neoklasik, Monetarisme, Pasar Bebas, atau Intervensi Negara. Mahasiswa diajak memilih, menghafal proposisi, mengidentifikasi standar solusi — seolah dunia sosial hanya punya satu kunci pembuka.
Padahal, sejak awal para pemikir besar telah mengingatkan: ekonomi bukan agama doktrinal. John Maynard Keynes menyebut ekonomi sebagai “a moral science dealing with motives, expectations, and psychological uncertainties.” Ilmu tentang manusia, bukan mesin angka. Dani Rodrik — ekonom Harvard yang kini menjadi rujukan kritik metodologis global — menegaskan lebih keras:
“Economics is not a discipline with a single method or model; it is a collection of models, each of which illuminates a different aspect of reality." Ekonomi bukan satu benang emas kebenaran, melainkan kotak peralatan diagnostik. Setiap kasus sosial menuntut alat yang berbeda. Namun, pendidikan ekonomi modern — termasuk di Indonesia — justru menekankan hafalan formula dan ekuilibrium, bukan keterampilan bertanya dan mendiagnosis. Yang dilatih bukan curiosity, tetapi conformity to models.
Akibatnya, para analis muda lebih fasih membaca regresi ketimbang membaca manusia.
.
📌
II. Hilangnya Subjek: Dari Manusia Menjadi “Agen Rasional”
Masalah makin tajam ketika manusia dalam teori ekonomi dipipihkan menjadi “homo economicus”: makhluk yang selalu rasional, konsisten, dan memaksimalkan keuntungan. Teori ini telah lama runtuh.
Herbert Simon memperkenalkan konsep bounded rationality, bahwa manusia mengambil keputusan dalam keterbatasan informasi dan kapasitas kognitif.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky menunjukkan lewat riset Behavioral Economics bahwa manusia cenderung irasional, emosional, bias persepsi, dan sering salah memperkirakan risiko.
Ekonomi kompleks modern — yang berkembang lewat kompleksitas sistem dan neuroscience — semakin menegaskan bahwa pasar bukan sistem mekanik yang bisa dicetak oleh satu rumus universitas. Ia lebih mirip ekosistem sosial dinamis yang dipengaruhi oleh:
❇️ budaya,
❇️ psikologi,
❇️ kepercayaan,
❇️ ketimpangan kekuasaan,
❇️ sejarah,
❇️ dan kebijakan.
Namun, di banyak kebijakan publik Indonesia, paradigma rasionalisme sempit masih dominan.
Akibatnya:
▪️ Bantuan sosial salah sasaran,
▪️ UMKM sulit naik kelas karena kebijakan mengabaikan hambatan non-ekonomi,
▪️ Program subsidi tidak mempertimbangkan perilaku nyata masyarakat.
Manusia hanya muncul sebagai angka agregat — bukan subjek hidup.
.
📌
III. Ketika Data Makro Membungkam Realitas Mikro
Data pertumbuhan ekonomi nasional sering tampak sehat. Tetapi statistik makro kerap gagal menangkap:
☑️ utang mikro rumah tangga yang meningkat,
☑️ kerja informal tanpa perlindungan,
☑️ ketidakpastian pangan,
☑️ dan stagnasi pendapatan riil.
Joseph Stiglitz dan tim OECD mengkritik obsesi negara terhadap GDP sebagai ukuran tunggal keberhasilan:
GDP measures market production but not social wellbeing.
Amartya Sen mengatakan lebih tegas: pembangunan seharusnya diukur dari perluasan kebebasan manusia, bukan sekadar ekspansi output
.
Namun, mimbar kebijakan masih memuja angka agregat — sementara narasi penderitaan lokal berubah jadi noise statistik.
Inilah saat ketika ekonomi fasih berbicara pada elite, tapi bisu terhadap rakyat.
.
📌
IV. Indonesia: Pendidikan Tanpa Diagnostik
Masalah kita bukan sekadar pada kebijakan, tapi pada cara mendidik ekonom.
Kurikulum terlalu fokus:
▪️ teori model ideal,
▪️ metodologi kuantitatif steril konteks,
▪️ hafalan paradigma mazhab.
Yang kurang:
✅ pendekatan etnografi ekonomi,
✅ observasi lapangan,
✅ perilaku pasar lokal,
✅ pendekatan psikologi sosial.
Ekonom lahir sebagai teknisi angka, bukan dokter sosial.
Padahal, pembangunan Indonesia — dengan keragaman geografis, budaya, dan struktur ekonomi — membutuhkan economic general practitioner, bukan spesialis menara gading.
.
📌
V. Rekonstruksi: Mengembalikan Ekonomi kepada Manusianya
Ekonomi mesti pulang ke rumah asalnya: memahami manusia.
Rekonstruksi paradigma memerlukan:
1. Problem-based economics
Berangkat dari masalah riil masyarakat — bukan dari dogma teori.
2. Mixed-method approach
Mengkombinasikan data statistik dengan observasi lapangan dan studi perilaku.
3. Policy experimentation
Kebijakan kecil diuji, dievaluasi, diperbaiki — bukan langsung berskala nasional atas dasar teori tunggal.
4. Participatory diagnosis
Rakyat bukan objek data, tetapi mitra pembuat solusi.
✍️
Epilog:
Dari Mimbar ke Warung Kopi Jika ekonomi terus bicara tinggi di podium namun menolak menunduk mendengar suara warung-warung rakyat, ia akan terus kehilangan wajah manusianya. Ilmu tanpa empati adalah teknologi kekuasaan. Teori tanpa manusia hanyalah bahasa elite. Mengembalikan ekonomi kepada misinya bukan berarti menolak sains. Justru sebaliknya:
Ia menuntut ekonomi yang lebih ilmiah — lebih rendah hati terhadap kompleksitas kehidupan —dan lebih setia kepada kenyataan manusia.
📥
Endnotes
Glosarium
Homo economicus
Model manusia rasional sempurna yang selalu mengoptimalkan keputusan ekonomi. Kini dianggap tidak realistis.
Bounded Rationality
Konsep bahwa rasionalitas manusia terbatas oleh informasi, waktu, dan kapasitas kognitif.
Behavioral Economics
Cabang ekonomi yang mempelajari bias psikologis dan perilaku manusia dalam pengambilan keputusan.
Problem-Based Economics
Pendekatan belajar ekonomi yang berangkat dari masalah nyata masyarakat, bukan doktrin teoritik.
Mixed-Methods
Gabungan pendekatan kuantitatif (statistik) dan kualitatif (wawancara, observasi).
Participatory Policy Design
Perancangan kebijakan dengan melibatkan masyarakat terdampak sebagai mitra aktif.
.
📚
Pustaka Baca
Rodrik, Dani. Economics Rules. Harvard University Press.
Sen, Amartya. Development as Freedom. Oxford University Press.
Stiglitz, Joseph et al. Mismeasuring Our Lives. The New Press.
Kahneman, Daniel. Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
Polanyi, Karl. The Great Transformation. Beacon Press.
Simon, Herbert. Administrative Behavior. Free Press.
.
🚧
soerabaja, 11-12-2025
heruprabowo.el83@gmail.com
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 Desember 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
💫
I. Negara Ini Kerja di Hulu, Orang Lain Panen di Hilir
Selama puluhan tahun kita mengulang pola yang sama: rakyat bekerja di hulu, nilai tambah panen di hilir — bukan oleh mereka.
Komoditas berganti-ganti: dulu sawit, lalu batu bara, besok nikel, besok lagi data digital. Tapi skemanya tetap: kita produksi, mereka proses; kita keringat, mereka margin; kita dapat remah, mereka dapat dividen. Dan yang paling menyakitkan: kita seakan menerimanya sebagai “keniscayaan struktural”. Padahal pola ekstraktif semacam ini bukan takdir, tapi arsitektur ekonomi yang sengaja dibiarkan. Indonesia bukan negara miskin. Indonesia negara yang dipermiskin oleh struktur ekonomi yang salah arah.
🐜
II. Ekonomi Industri Kerakyatan (EIK): Inti Konsepnya Sederhana
Ini bukan teori langit. Ini cuma satu pertanyaan:
👉 Kenapa rakyat selalu ditempatkan di hulu, bukan di industri yang marginnya tunai?
Ekonomi Industri Kerakyatan (EIK) adalah upaya membalik posisi itu.
Intinya cuma dua:
1️⃣ Pemilikan rakyat di titik nilai tambah tertinggi, bukan hanya di kebun/sawah/laut.
2️⃣ Institusi yang memungkinkan rakyat masuk sebagai pemilik, bukan sekadar pemasok atau buruh.
Rakyat bukan minta subsidi.
Rakyat minta akses ke mesin nilai tambah, bukan hanya tempat duduk paling pojok di rantai pasok.
.
📌
III. Kenapa Pola Ekstraktif Ini Harus Didisrupsi Sekarang?
Karena bukti sejarahnya terlalu telanjang. Sawit pernah mencapai Rp 600 triliun total penerimaan untuk Indonesia (2011–2013).
Kini berkisar Rp 440–460 triliun.
Dan berapa yang masuk ke petani?
15–18% saja.
Sisanya pergi ke hilir — refinery, trading, ekspor — yang dikuasai sekitar 12 grup besar (PASPI 2025; World Bank 2025)[1][2].
Kita mau nunggu apa lagi?
Nikel? Ikan? Kopi? Data?
Semuanya sudah antre menjadi “sawit jilid berikutnya”.
📌
IV. Lupakan Denmark, Selandia Baru, Korea. Mari Bicara yang Paling Menyakitkan: Malaysia
Malaysia bukan negara kaya raya. Tapi mereka punya sesuatu yang kita tidak punya:
🐜 institusi kepemilikan industri yang benar-benar membela rakyat.
Contohnya:
▪️ Smallholders Malaysia punya 40–45% dari total luas kebun.
Yang lebih penting: mereka punya porsi besar kepemilikan refinery & downstream melalui Felda, RISDA, FGV Holdings, dan Tabung Haji.
Akibatnya?
Petani Malaysia dapat 34–38% nilai tambah keseluruhan sawit nasional.
Petani Indonesia? 15–18%.
Ini bukan soal teknis. Ini soal arsitektur kepemilikan. Kita kerja lebih berat, tapi mereka yang memetik margin. Kalau negara tetangga bisa, apa alasan kita tidak bisa?
📌
V. Roadmap Ekonomi Industri Kerakyatan (Versi Bahasa Lapangan, Bukan Rapat Dinas)
1️⃣ Tentukan titik paling gemuk di rantai nilai.
▪️ Sawit: refinery → oleofood → oleochemicals.
▪️ Ikan: cold storage → fillet beku.
▪️ Pertanian: milling → packaging → brand.
▪️ Data digital: micro-DC, content farm, aggregator.
2️⃣ Bangun konsorsium rakyat yang punya gigi — bukan koperasi abal-abal.
Bentuknya boleh koperasi, BUMDes konsorsial, BLUD, atau model “holding desa”. Yang penting: punya saham di industri hilir, bukan cuma panen TBS.
3️⃣ Modalnya dari mana? Dari lembaga yang uangnya memang untuk rakyat.
BPDPKS harus dialihkan 30–40% untuk EKUITAS rakyat di refinery. Bukan sekadar replanting yang tidak mengubah struktur kepemilikan.
4️⃣ Lindungi ruang industri rakyat.
Bukan proteksi harga. Tapi kuota wajib serap bagi pabrik besar kepada konsorsium rakyat. Kita sudah proteksi smelter nikel, masa refinery rakyat tidak boleh?
5️⃣ Manajemennya profesional.
Tidak boleh dipegang kepala desa, camat, atau politisi. Ambil manajer dari industri — biar profesionalisme menggantikan upacara Kalau lima langkah ini dilakukan, rakyat punya mesin uang. Kalau tidak, kita akan melanjutkan tradisi 70 tahun: kerja keras → nilai tambah lari.
📌
VI. Indonesia Tidak Kekurangan Kerja Keras. Kita Kekurangan Kepemilikan.
Ini akar masalah kita selama ini.
Kita mau industrialisasi, tapi rakyat tidak dilibatkan sebagai pemilik.
Kita mau inovasi, tapi modal akumulatif tidak pernah sampai ke bawah.
Kita mau ekosistem startup, tapi modal dasarnya tidak ada.
EIK bukan utopia.
EIK adalah tangga pertama supaya rakyat naik kelas.
Tanpa tangga pertama ini, kita cuma disuruh lompat dari tanah ke lantai 10.
Sudah cukup lama rakyat bekerja tanpa mesin.
Sudah waktunya rakyat punya mesin itu.
Ekonomi Industri Kerakyatan bukan janji politik.
Ini operasi struktural.
Kalau kita gagal membangunnya sekarang, kita akan mengulang tragedi sawit di semua komoditas.
✍️
VII. Penutup
Negara ini tidak miskin. Yang miskin adalah siapa yang boleh masuk hilir. EIK adalah upaya sederhana untuk mengutak-atik pintu itu — agar rakyat bukan lagi buruh dalam ekonomi orang lain, tapi pemilik dalam ekonomi sendiri. Jika negara ini ingin maju bersama, bukan sekadar maju di PowerPoint, maka EIK bukan pilihan. Ini syarat minimum. Dan kalau kita tidak memulainya sekarang, kapan lagi?
📥
Endnotes
[1] PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute), Palm Oil Value Distribution Update 2025, November 2025.
[2] World Bank, Indonesia Economic Prospects — The Ownership Gap, July 2025.
[3] Khazanah Research Institute, Who Owns Malaysia’s Palm Oil Refineries?, 2024.
[4] OECD, Indonesia Economic Review 2025: Downstreaming and New Oligopoly Risks, June 2025.
[5] Grain.org, Indonesia: The Great Refinery Grab, 2025.
📖
GLOSARIUM
Ekonomi Industri Kerakyatan (EIK)
Kerangka pembangunan yang menempatkan kepemilikan industri dasar—refinery, pabrik pakan, cold storage, processing facility, data center mini—di tangan konsorsium rakyat banyak.
Nilai Tambah (Value Added):
Selisih antara harga produk mentah dan harga produk olahan.
Pola Ekstraktif:
Model ekonomi di mana rakyat bekerja di hulu, tapi keuntungan lari ke hilir.
Refinery Gap:
Ketimpangan antara porsi produksi hulu rakyat dan kepemilikan pabrik hilir.
Koperasi/Konsorsium Bertulang Baja:
Koperasi yang benar-benar berkapasitas industri.
Ekuitas Rakyat:
Porsi saham industri yang dimiliki rakyat secara kolektif.
Downstreaming Partisipatif:
Hilirisasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik industri.
.
🚧 soerabaja, 6-12-2025
heruprabowo99@gmail.com
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 November 2025
Krisis global yang dipicu oleh pandemi memberikan tekanan besar pada struktur ekonomi Indonesia. Dalam hitungan bulan, berbagai sektor mengalami gangguan serius mulai dari terhentinya pasokan bahan baku, melemahnya permintaan, hingga disrupsi pada distribusi. Kondisi ini tidak hanya menghambat aktivitas industri, tetapi juga menguji ketahanan sistem ekonomi nasional.
Dampak Menyeluruh terhadap Ekosistem Ekonomi
Pandemi tidak hanya mengguncang produsen, tetapi juga seluruh rantai nilai industri. Dari sisi hulu, produsen menghadapi ketidakpastian pasokan akibat terhentinya rantai distribusi internasional dan lokal. Banyak industri besar—khususnya manufaktur dan transportasi—mengalami penurunan aktivitas yang signifikan karena keterbatasan bahan baku maupun menurunnya permintaan.
Di sisi hilir, konsumen juga terdampak dengan perubahan perilaku belanja dan mobilitas. Seluruh ekosistem mulai dari grosir, retailer, distributor, hingga lembaga keuangan merasakan efek berantai yang sama. Ketika situasi berlangsung berbulan-bulan, beban ekonomi semakin menumpuk sebagai konsekuensi dari penurunan produksi dan konsumsi secara simultan.
Respons Pemerintah dan Sektor Keuangan
Stimulus besar yang digelontorkan pemerintah menjadi salah satu penahan utama kontraksi ekonomi. Dukungan sosial, penguatan sektor kesehatan, dan program pemulihan ekonomi dirancang untuk mengurangi tekanan pada rumah tangga dan industri. Selain itu, lembaga keuangan seperti Bank Indonesia dan OJK turut melakukan langkah-langkah stabilisasi berupa relaksasi kebijakan agar sistem keuangan tetap likuid.
Meski demikian, stimulus tahap awal hanya mampu memberikan ruang bernapas sementara bagi dunia usaha. Tantangan terbesar justru terletak pada kemampuan sektor industri menggunakan momentum tersebut untuk beradaptasi dan mempersiapkan transformasi yang lebih dalam.
Proyeksi Pertumbuhan dan Risiko Penurunan Ekonomi
Berbagai skenario menunjukkan bahwa durasi krisis menjadi penentu utama arah pertumbuhan ekonomi. Jika gangguan berlangsung empat bulan, kontraksi masih dapat ditekan sehingga pertumbuhan hanya melambat. Namun, jika berkepanjangan hingga enam atau dua belas bulan, risiko pertumbuhan masuk ke zona negatif semakin besar.
Sektor transportasi menjadi yang paling terpukul, mengalami penurunan tajam bahkan hingga 20%. Industri lain seperti manufaktur, konstruksi, dan jasa keuangan juga terkena imbas besar terutama dari sisi rantai pasokan. Ketidakpastian ini mempertegas pentingnya kebijakan fiskal yang tepat sasaran dan responsif.
Repolarisasi Prioritas Pembangunan Nasional
Situasi baru memaksa pemerintah melakukan penyesuaian terhadap rencana pembangunan jangka menengah. Program strategis seperti pembangunan metropolitan, pengembangan kota baru, infrastruktur besar, dan pengembangan sektor industri prioritas perlu diselaraskan ulang agar sesuai dengan realitas ekonomi pasca krisis.
Dalam rencana pembangunan lima tahun, sektor pariwisata sebelumnya diposisikan sebagai penggerak utama karena relatif cepat menghasilkan devisa. Namun, kondisi krisis mengharuskan reposisi sektor ini, sambil memperkuat sektor-sektor seperti agro, mineral, manufaktur teknologi, serta industri 4.0.
Penyesuaian ini juga menjadi fondasi penting untuk visi jangka panjang Indonesia menuju 2045, di mana targetnya adalah masuk lima besar ekonomi dunia.
Adaptasi Industri terhadap Perilaku Konsumen Baru
Pelaku industri berada di garis depan perubahan besar ini. Konsumen kini lebih berhati-hati dalam beraktivitas, lebih banyak melakukan transaksi dari rumah, dan mengutamakan kesehatan. Perubahan ini tidak bersifat sementara; banyak perilaku yang akan bertahan sebagai bagian dari “normal baru”.
Industri dipaksa mengadaptasi lini produk, model bisnis, rantai pasok, sistem distribusi, hingga strategi pemasaran. Transformasi digital semakin menjadi kebutuhan mendesak. Namun, seluruh adaptasi ini menuntut investasi besar, baik dalam teknologi, peningkatan kapasitas, maupun pengembangan kompetensi organisasi.
Tantangannya: kebutuhan investasi tinggi, sementara dukungan pembiayaan dari sektor keuangan masih terbatas pada sekadar menjaga stabilitas, belum sepenuhnya mendorong ekspansi dan inovasi industri.
Peluang Besar dari Pergeseran Geoekonomi Global
Salah satu peluang strategis muncul dari pergeseran rantai pasok global. Berbagai perusahaan multinasional mulai memindahkan sebagian operasinya ke luar Tiongkok, membuka ruang bagi negara seperti Indonesia untuk menarik investasi baru.
Keberhasilan menarik peluang ini tergantung pada dua faktor utama:
Kesiapan kawasan industri, terutama di luar Jabodetabek agar mampu menampung investor dalam skala besar.
Daya tarik investasi melalui regulasi yang jelas, insentif kompetitif, pemasaran yang proaktif, serta dukungan infrastruktur dan logistik yang memadai.
Pengalaman positif masuknya perusahaan besar seperti Toyota, Hyundai, Samsung, dan industri pengolahan nikel menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, Indonesia mampu menjadi tujuan utama investasi global.
Kesimpulan
Pemulihan pasca krisis membutuhkan kolaborasi kuat antara pemerintah, pelaku usaha, dan sektor keuangan. Tiga langkah strategis menjadi kunci: reposisi kebijakan pembangunan nasional, dukungan pembiayaan industri yang berorientasi adaptasi, serta percepatan pengembangan kawasan industri. Dengan langkah terkoordinasi, Indonesia bukan hanya mampu keluar dari tekanan krisis, tetapi juga memperkuat posisinya dalam peta ekonomi global.
Daftar Pustaka:
Diklatkerja (2020). Paparan mengenai dampak pandemi terhadap perekonomian Indonesia, strategi pemulihan industri, serta peluang geoekonomi. Materi presentasi internal. https://www.youtube.com/watch?v=RGghOZyFE1Y&t=462s
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Ekonomi sirkular kini bukan lagi sekadar gagasan konseptual, tetapi telah menjadi kerangka strategis pembangunan nasional yang menuntut pengukuran konkret dan kebijakan yang terarah. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini diwujudkan melalui penerapan prinsip 9R—Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Repurpose, Recycle, dan Recover—yang diterapkan di seluruh rantai nilai industri. Melalui kerangka ini, pemerintah berupaya menciptakan sistem produksi dan konsumsi yang efisien, berkelanjutan, dan berdaya saing.
Kebijakan dan Indikator Utama Ekonomi Sirkular
Tiga arah kebijakan utama ekonomi sirkular Indonesia meliputi: (1) pengurangan penggunaan sumber daya, (2) perpanjangan daya guna produk dan material, serta (3) peningkatan daur ulang dan pemanfaatan sisa produksi dan konsumsi. Kebijakan ini tidak hanya menjadi panduan normatif, tetapi juga membentuk kerangka pengukuran nasional yang memfokuskan pada tiga indikator utama:
Tingkat Input Material Sirkular (Circular Input Rate) — mengukur efisiensi penggunaan bahan baku sekunder dan bahan terbarukan;
Tingkat Daya Guna (Usage Rate) — menilai ketahanan dan umur pakai produk;
Tingkat Daur Ulang (Recycling Rate) — menunjukkan efektivitas pengelolaan limbah menjadi bahan yang dapat digunakan kembali.
Pada tahun 2023, Indonesia mencatat Circular Input Rate sebesar 9%, Usage Rate 4%, dan Recycling Rate 5%. Meski angka ini masih rendah, pencapaiannya menunjukkan fondasi awal menuju sistem ekonomi yang lebih efisien dan berorientasi sumber daya.
Indikator Pendukung dan Tantangan Implementasi
Selain indikator utama, dokumen nasional juga menetapkan indikator pendukung yang menilai kesiapan kelembagaan, pendanaan, infrastruktur, kesadaran publik, serta aksi nyata industri dan pemerintah. Namun, hasil evaluasi menunjukkan variasi kinerja di lima sektor prioritas—pangan, kemasan plastik, tekstil, elektronik, dan konstruksi. Misalnya, sektor pangan menunjukkan kinerja “0” (cukup) dalam kelembagaan dan infrastruktur, tetapi masih lemah dalam aspek pendanaan. Sementara itu, sektor elektronik mendapat skor “-1”, menandakan perlunya percepatan kebijakan seperti Extended Producer Responsibility (EPR) dan peningkatan infrastruktur daur ulang.
Tantangan lainnya muncul dari keterbatasan klasifikasi ekonomi nasional (KBLI) yang belum sepenuhnya menangkap model bisnis baru dalam ekonomi sirkular, seperti layanan reuse dan refill. Contohnya, startup Alner yang bergerak di bidang pengemasan ulang ramah lingkungan belum memiliki klasifikasi usaha spesifik, menunjukkan perlunya pembaruan sistem KBLI agar mampu mengakomodasi inovasi hijau.
Membangun Ekosistem Pendukung dan Sinergi Multi-Pihak
Keberhasilan ekonomi sirkular tidak dapat dicapai hanya melalui kebijakan, tetapi memerlukan ekosistem lintas-sektor yang terintegrasi. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kerangka regulasi yang adaptif, sementara sektor keuangan perlu memberikan insentif dan pembiayaan hijau. Di sisi lain, sektor pendidikan dan masyarakat harus memperkuat kesadaran serta menginternalisasi prinsip 9R dalam keseharian.
Kebijakan seperti Green/Sustainable Public Procurement (G/SPP) menjadi instrumen strategis yang potensial untuk memperluas pasar bagi produk sirkular. Namun, implementasinya masih terbatas pada beberapa provinsi pilot dan jenis produk tertentu, menandakan perlunya perluasan skala serta peningkatan koordinasi antar lembaga.
Kesimpulan
Indonesia telah memulai langkah penting menuju ekonomi sirkular, tetapi perjalanan menuju sistem yang sepenuhnya berkelanjutan masih panjang. Ke depan, tantangan utama bukan hanya meningkatkan angka sirkularitas, tetapi membangun sistem yang kolaboratif, terukur, dan adaptif terhadap inovasi industri hijau. Dengan memperkuat kerangka kebijakan, memperluas dukungan pendanaan, dan mempercepat integrasi data antar sektor, Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai salah satu pelopor ekonomi sirkular di kawasan Asia Tenggara.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Bappenas & UNDP. (2022). The Future is Circular: Circular Economy Opportunities in Indonesia. Jakarta: United Nations Development Programme Indonesia.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal Circular Economy Policy Goals: Enabling the Transition to Scale. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Material Resources Outlook to 2060: Economic Drivers and Environmental Consequences. Paris: OECD Publishing.
UNDP. (2023). Circular Economy in Southeast Asia: Policy, Finance, and Innovation Pathways. Bangkok: United Nations Development Programme Asia-Pacific.
World Bank. (2024). Greening Growth in Indonesia: Transitioning to a Circular and Low-Carbon Economy. Washington, DC: World Bank Group.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Sektor elektronik memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan sumbangan sekitar 1,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, di balik angka tersebut, tersembunyi tantangan besar: peningkatan timbulan limbah elektronik (e-waste) yang mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2023. Mayoritas pengelolaan e-waste masih dilakukan oleh sektor informal tanpa sistem pengawasan yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang luas.
Dalam kerangka ekonomi sirkular, sektor elektronik memainkan peran strategis karena melibatkan berbagai bahan baku kritis yang langka dan bernilai tinggi, seperti logam tanah jarang dan nikel. Melalui penerapan prinsip 9R—terutama repair, refurbish, remanufacture, dan recycle—Indonesia dapat memperpanjang umur produk elektronik, mengurangi ketergantungan impor bahan baku, serta menciptakan rantai pasok baru yang lebih berkelanjutan.
Tantangan dan Arah Kebijakan Pengelolaan E-Waste
Meskipun sejumlah peraturan seperti UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 27/2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik telah diterbitkan, hingga kini belum ada regulasi turunan yang secara khusus mengatur limbah elektronik. Akibatnya, sistem pengumpulan dan pemulihan material masih terbatas. Dari dua fasilitas daur ulang utama di Indonesia, hanya 15% kapasitasnya yang benar-benar digunakan.
Tantangan lain meliputi:
Minimnya fasilitas pengumpulan di tingkat kota/kabupaten,
Lemahnya penerapan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) di sektor elektronik,
Rendahnya inovasi ekodesain produk, serta
Belum terbentuknya ekosistem pengelolaan baterai kendaraan listrik (KBLBB).
Padahal, penerapan ekonomi sirkular dalam sektor elektronik dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam sekaligus memperkuat ketahanan pasokan bahan baku kritis.
Rantai Nilai Sirkular dan Pelaku Utama
Dalam sistem sirkular, rantai nilai sektor elektronik tidak berhenti di tahap konsumsi. Ia mencakup tahapan lanjutan seperti pemeliharaan, pengumpulan, dan pemulihan material. Setiap aktor — mulai dari produsen bahan baku, pabrikan, distributor, konsumen, hingga pendaur ulang — memainkan peran penting dalam memperpanjang umur produk dan mengurangi timbulan limbah.
Ekosistem ideal memungkinkan praktik repair dan remanufacturing berjalan sejajar dengan kegiatan produksi baru. Di sisi lain, fasilitas pemulihan material berperan dalam memisahkan komponen bernilai tinggi dari limbah elektronik, seperti logam tembaga, aluminium, dan emas, untuk dimanfaatkan kembali.
Praktik Terbaik dan Inovasi Lokal
Beberapa inisiatif menunjukkan bahwa transisi ke arah ekonomi sirkular mulai mendapatkan momentum:
Schneider Electric telah menerapkan transparansi produk dan kemasan berbahan daur ulang, dengan target 100% bahan kemasan dari sumber sirkular pada 2025.
Dulang, sebuah startup lokal, mengembangkan layanan lifecycle management elektronik melalui perbaikan, pembaruan (refurbish), dan penjualan kembali perangkat bekas, sekaligus menjalin kemitraan dengan BUMN dan pemerintah daerah.
DKI Jakarta menjadi contoh peran pemerintah daerah melalui penyediaan drop box dan layanan penjemputan gratis limbah elektronik untuk didaur ulang secara resmi.
Di tingkat global, praktik serupa dilakukan oleh TES-AMM, perusahaan pengelolaan aset teknologi asal Singapura yang telah mengelola lebih dari 100.000 ton aset elektronik dengan tingkat pemanfaatan ulang hingga 98%.
Strategi Nasional dan Tahapan Implementasi
Peta jalan ekonomi sirkular sektor elektronik Indonesia dibagi menjadi empat tahap hingga 2045:
2025–2029: Penguatan regulasi nasional, penyusunan sistem EPR elektronik, dan pembangunan infrastruktur dasar.
2030–2034: Akselerasi aksi lapangan melalui penguatan fasilitas daur ulang dan pelaporan EPR oleh industri.
2035–2039: Penguatan ekonomi daerah dan peningkatan kapasitas fasilitas pemulihan material di kota besar.
2040–2045: Pembentukan model bisnis sirkular yang terintegrasi dalam sistem ekonomi nasional.
Empat strategi utama mendukung peta jalan ini:
Pengembangan kebijakan dan regulasi EPR elektronik,
Peningkatan infrastruktur pemulihan material dan kapasitas sektor informal,
Penerapan ekodesain dan inovasi produk,
Pengembangan ekosistem sirkular untuk teknologi baru dan baterai kendaraan listrik (KBLBB).
Ekosistem Baterai KBLBB: Antara Tantangan dan Peluang
Dalam lima tahun ke depan, volume limbah baterai kendaraan listrik diproyeksikan meningkat tajam. Tanpa regulasi dan infrastruktur yang siap, hal ini dapat menjadi krisis lingkungan baru. Padahal, baterai KBLBB mengandung logam berharga seperti nikel, litium, dan kobalt yang dapat dipulihkan untuk digunakan kembali dalam rantai industri nasional.
Strategi pemerintah mencakup pembentukan regulasi siklus hidup baterai, pembangunan infrastruktur logistik penanganan end-of-life (EoL), serta peningkatan proporsi energi terbarukan dalam jaringan pengisian daya (charging infrastructure).
Langkah ini sejalan dengan upaya memperkuat rantai nilai industri kendaraan listrik domestik, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku energi.
Kesimpulan
Ekonomi sirkular sektor elektronik dan KBLBB membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memadukan inovasi industri, keberlanjutan lingkungan, dan ketahanan ekonomi. Keberhasilan transformasi ini bergantung pada konsistensi kebijakan, investasi pada infrastruktur daur ulang, dan keterlibatan aktif semua pihak — pemerintah, industri, akademisi, serta masyarakat. Dengan memperkuat ekosistem sirkular, Indonesia bukan hanya mengelola limbahnya lebih bijak, tetapi juga membangun masa depan ekonomi digital dan energi bersih yang lebih tangguh.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2020). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Jakarta: KLHK RI.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Circular Electronics Initiative: Redesigning the Future of E-Waste. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global E-Waste Monitor 2023: Pathways to Circular Electronics. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Building Circularity into E-Waste Management: Regional Outlook for Asia-Pacific. Nairobi: UNEP.
TES-AMM Global. (2023). Circular Electronics and Battery Recovery: Case Studies from Southeast Asia. Singapore: TES-AMM.
World Economic Forum. (2022). A New Circular Vision for Electronics: Time for a Global Reboot. Geneva: WEF.