Ekonomi dan Bisnis

Bagian 2: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 18 Februari 2025


Studi perintis oleh Kettinger dan rekan-rekannya pada tahun 1997 memberikan kejelasan pada ranah rekayasa ulang proses bisnis (Business Process Reengineering/BPR) dengan memperkenalkan kerangka kerja klasifikasi terstruktur - sebuah peta jalan untuk transformasi melalui serangkaian tindakan dan keputusan yang metodis.

Dengan mensurvei keahlian para praktisi terkemuka dari perusahaan konsultan ternama, mereka menyusun “Kerangka Kerja Tahap-Kegiatan untuk rekayasa ulang proses bisnis” (Kerangka Kerja S-A), sebuah kompas untuk menavigasi kompleksitas perubahan proses. Kerangka kerja ini terdiri dari enam tahap, masing-masing merupakan batu loncatan yang, setelah selesai, secara logis mengarah ke tahap berikutnya, memastikan transisi yang mulus dan momentum yang berkelanjutan menuju tujuan rekayasa ulang.

Tahapan tersebut meliputi:

  • Membayangkan: Menetapkan komitmen dasar dan visi untuk perubahan.
  • Inisiasi: Memobilisasi para pemangku kepentingan dan membentuk tim untuk mempelopori perubahan.
  • Diagnosis: Menilai proses saat ini untuk mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan.
  • Desain ulang: Mendefinisikan dan mengkonseptualisasikan strategi proses yang baru.
  • Rekonstruksi: Menerapkan desain baru dan melatih pengguna.
  • Evaluasi: Memantau kinerja dan menghubungkannya dengan inisiatif perbaikan berkelanjutan.

Menyelami cetak biru rekayasa ulang proses bisnis (Business Process Reengineering/BPR) yang rumit seperti yang digambarkan oleh Kettinger dkk. pada tahun 1997, kita menyaksikan serangkaian tindakan yang cermat dalam “kerangka kerja P-S-A” yang terstruktur. Panduan komprehensif ini berfungsi sebagai tulang punggung untuk mengatur transformasi dalam sebuah organisasi, memastikan bahwa setiap aspek dari proses tersebut diperiksa dan ditata ulang dengan cermat. Mari kita telusuri tahapan-tahapan rinci dari kerangka kerja ini:

Tahap 1: Persiapan
S1: Membayangkan inisiasi perubahan dimulai dengan membayangkan, sebuah tahap di mana komitmen manajemen senior menyatu dengan visi strategis. Di sini, organisasi mengidentifikasi kebutuhan akan perubahan, mengisolasi inefisiensi, dan mengkonseptualisasikan cetak biru untuk transformasi.

Tahap penting ini meliputi:

  • Menetapkan komitmen dan visi manajemen: Mendapatkan dukungan dari para pemangku kepentingan untuk mendefinisikan masalah dan menyusun visi terpadu untuk proses yang baru.
  • Menemukan peluang rekayasa ulang: Penilaian kritis terhadap proses yang ada dan upaya kolaboratif untuk mengusulkan solusi inovatif.

Hal ini terbagi lagi menjadi:

  • Analisis konteks: Mengevaluasi lanskap persaingan dan kemampuan internal.
  • Pencetusan ide: Melakukan curah pendapat tentang solusi transformatif.
  • Validasi: Memastikan proses baru selaras dengan tujuan strategis dan menilai potensi dampak budaya.
  • Identifikasi pengungkit TI: Menilai kompatibilitas proses baru dengan infrastruktur TI yang ada dan menetapkan fondasi teknologi yang diperlukan untuk perubahan.
  • Pilih proses: Memilih proses yang optimal berdasarkan potensi manfaat dan risiko yang terkait, menyiapkan tahap untuk perencanaan yang terperinci.

S2: Memulai Dalam fase Inisiasi, dasar untuk implementasi diletakkan, meliputi:

  • Menginformasikan pemangku kepentingan: Strategi komunikasi yang efektif untuk melibatkan para pemangku kepentingan dan mengurangi resistensi.
  • Mengatur tim rekayasa ulang: Membentuk tim dengan saluran komunikasi yang jelas, menumbuhkan kepercayaan dan tanggung jawab bersama.
  • Melakukan perencanaan proyek: Menjadwalkan ruang lingkup pekerjaan dan pembagian tugas, yang berujung pada rencana anggaran.
  • Menentukan persyaratan kustomisasi proses eksternal: Menyelaraskan perubahan proses dengan standar industri dan ekspektasi pelanggan.
  • Menetapkan sasaran kinerja: Menentukan indikator kinerja utama yang memastikan keselarasan dengan persyaratan bisnis dan eksternal.

S3: Diagnose Tahap Diagnosis menggali lebih dalam, meneliti proses yang ada secara menyeluruh:

  • Mendokumentasikan proses yang ada: Membuat peta terperinci dari proses yang ada saat ini, dengan fokus pada kepuasan pemangku kepentingan dan keefektifan proses.
  • Menganalisis proses yang ada: Mengidentifikasi dan mengevaluasi akar penyebab ketidakefisienan untuk menginformasikan desain ulang proses bisnis yang baru.
  • Puncak dari fase persiapan adalah pemahaman yang mendalam tentang proses bisnis yang siap untuk diubah, yang diinformasikan oleh persyaratan bisnis dan operasional.

Fase 2: Eksekusi
S4: Mendesain ulang dan S5: Merekonstruksi eksekusi adalah fase di mana rencana strategis diwujudkan. Ini adalah proses dua tahap yang mencakup Desain Ulang, di mana proses baru dibayangkan dan dirinci, dan Rekonstruksi, di mana proses ini diimplementasikan dan diintegrasikan ke dalam organisasi.

Fase ini meliputi:

  • Mendefinisikan dan menganalisis konsep proses baru: Menggagas proses yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan mendokumentasikan desain terperinci.
  • Merancang struktur sumber daya manusia dan sistem informasi: Memastikan bahwa aspek manusia dan teknologi dari proses tersebut siap untuk integrasi yang mulus.
  • Menata ulang dan menerapkan sistem informasi: Memperbarui struktur organisasi dan sistem TI untuk mendukung proses yang baru.
  • Melatih pengguna dan melakukan transisi: Mempersiapkan tenaga kerja untuk proses baru dan mengelola transisi dari yang lama ke yang baru.

Tahap 3: Pemantauan
S6: Mengevaluasi pada tahap akhir, Pemantauan memastikan bahwa proses yang baru diimplementasikan berjalan efektif dan selaras dengan tujuan strategis:

  • Mengevaluasi kinerja proses: Mengukur proses baru terhadap tolok ukur internal dan eksternal.
  • Menghubungkan dengan program peningkatan berkelanjutan: Mengintegrasikan mekanisme umpan balik untuk optimalisasi dan penyelarasan yang berkelanjutan dengan standar kinerja.

Penjelajahan terperinci dari kerangka kerja BPR ini tidak hanya menguraikan jalan menuju efisiensi perusahaan tetapi juga menyoroti peran sinergis Manajemen Bisnis, TI, dan kontrol kualitas. Tidak seperti perspektif Harmon, yang terutama melihat BPR di persimpangan antara TI dan manajemen bisnis, “kerangka kerja S-A” memposisikannya di titik temu dari ketiga domain tersebut.

Pandangan yang komprehensif ini mengakui peran penting adaptasi sumber daya manusia, yang menunjukkan bahwa BPR yang efektif melampaui perubahan prosedural, menyentuh budaya dan etos perusahaan. Pada bagian berikut, kami akan mengulas pendekatan-pendekatan alternatif rekayasa ulang model bisnis dan kemudian menyusun kerangka kerja yang diperbarui untuk perubahan proses bisnis.

Disadur dari: medium.com

Selengkapnya
Bagian 2: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Keuangan

OJK & 7 Negara Beri Warning dan Concern akan Bahaya Uang Kripto

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


OJK atau Otoritas Jasa Keuangan menjelaskan alasan dinalik larangan lembaga jasa keuangan yaitu bank, asuransi sampai multifinance dalam memfasilitasi aktivitas kripto, mulai dari pemasaran sampai perdagangan aset kripto, dilansir dari CNBC Indonesia, Jakarta.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengungkapkan kebijakan OJK ini berangkat dari kondisi literasi keuangan masyarakat yang masih rendah. Tingkat literasi masyarakat masih 38 persen.

"Inilah yang  menjadi kekhawatiran aspek perlindungan konsumen terhadap aset kripto," ungkap Anto Prabowo di Jakarta, Jumat(11/2/2022).

Anto Prabowo menambahkan langkah yang dijalankan OJK sama dengan dengan perhatian internasional terkait vulnerability aset kripto.

"Ini menjadi peringatan kepada masyarakat bahwa setiap investasi keuangan wajib memahami dan mendalami tentang manfaat, biaya serta risikonya," ungkapnya.

"Terkait dengan kegiatan usaha perbankan telah jelas diatur dalam UU Perbankan yang boleh serta yang dilarang. Bank harus memahami pula (know your customer) agar tidak dipergunakan sebagai sarana aktifitas yang melanggar hukum seperti penipuan, kasus ponzi, pencucian uang."

Beberapa pengawas sektor keuangan di negara lain memang memberikan perhatian lebih terhadap cryptocurrency. Inilah respon dari 7 negara atas cryptocurrency:

Monetary Authority of Singapore atau MAS (Singapura)

Perusahaan Cryptocurrency tidak bisa memasarkan layanan mereka di transportasi umum, situs web publik, lokasi transportasi publik,  broadcast, platform media sosial dan media cetak, atau di fisik ATM. Mereka juga dilarang mempromosikan produk mereka melalui influencer media sosial dan layanan pemasaran pihak ketiga lainnya.

MAS sangat mendorong pengembangan teknologi blockchain dan aplikasi inovatif token kripto untuk meningkatkan nilai tambah pengalaman pengguna. Tetapi perdagangan cryptocurrency sangat berisiko serta tidak cocok bagi masyarakat umum.

European Central Bank (Uni Eropa)

(Bitcoin) merupakan aset yang sangat spekulatif, yang sudah melakukan beberapa bisnis tidak serius serta beberapa pencucian uang yang sengat aktivitas tercela.

Wajib ada regulasi. Ini wajib diterapkan serta disepakati di tingkat global sebab bila terdapat pelarian akan merugikan masyarakat.

Central Bank of India (India)

Investor mata uang kripto seharusnya sadar bahwa mereka berinvestasi serta harus menanggung risikonya meaing-masing. Mereka juga harus mengingat bahwa cryptocurrency tak mempunyai aset dasar (underlying), apalagi bukanlah tulip," mengacu pada gelembung pasar umbi tulip Belanda di abad ke-17.

Mata uang kripto private atau nama apa pun yang Anda sebut adalah ancaman besar untuk stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan.

Bank of England (Inggris)

Cryptocurrency tak mempunyai nilai intrinsik.

Bitcoin dapat menjadi "tidak berharga" dan orang yang berinvestasi dalam mata uang digital sebaiknya bersiap-siap saat kehilangan segalanya. Harganya bisa sangat berfluktuasi dan [bitcoin] secara teoritis atau praktis bisa turun ke angka 0.

Peningkatan kerangka peraturan dan penegakan hukum, baik itu dalam negeri ataupun di tingkat global, diperlukan guna mempengaruhi perkembangan pasar beberapa negara yang tumbuh cepat untuk mengelola risiko, mendorong inovasi yang berkelanjutan dan menjaga kepercayaan juga integritas yang lebih luas dalam sistem keuangan.

The Russian Central Bank (Rusia)

Popularitas Cryptocurrency yang meningkat memicu kekhawatiran mengenai risiko stabilitas keuangan. Situasi di beberapa negara pasar maju semakin serupa dengan yang disebut sistem keuangan bayangan.

Bank sentral Rusia mengusulkan pelarangan penambangan (mining), pembuatan, dan penggunaan cryptocurrency.

Turkey Central Bank

Transaksi dijalankan melalui penggunaan cryptocurrency mengandung risiko yang "tak bisa dibatalkan". Aset kripto "tidak tunduk pada peraturan apa pun dan mekanisme pengawasan atau otoritas pengatur pusat. Nilai pasar mereka dapat sangat fluktuatif.

People Bank of China (China)

Pertukaran luar negeri yang menyediakan layanan cryptocurrency untuk masyarakat China akan dianggap ilegal.

Seluruh transaksi mata uang kripto ilegal di Cina daratan.

Cryptocurrency "mengganggu tatanan ekonomi dan keuangan, berkembang biak secara ilegal serta kegiatan kriminal seperti skema piramida, perjudian, penipuan, penggalangan dana ilegal,  dan pencucian uang sangat membahayakan kesejahteraan masyarakat.


Disadur dari sumber cnbcindonesia.com

Selengkapnya
OJK & 7 Negara Beri Warning dan Concern akan Bahaya Uang Kripto

Ekonomi dan Bisnis

Bagian 1: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 18 Februari 2025


Menata ulang pertumbuhan bisnis: keharusan untuk berubah
Pada pertengahan abad ke-20, Theodore Levitt memicu pergeseran paradigma dengan kritiknya terhadap strategi picik yang mendefinisikan pertumbuhan perusahaan, dengan menunjukkan “miopia pertumbuhan” yang lazim terjadi di antara para eksekutif tingkat C. Dia berpendapat bahwa kemakmuran sejati tidak terletak pada produksi massal, pengurangan biaya, atau keyakinan semata-mata pada produk yang sangat diperlukan.

Tetapi pada pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan pelanggan dan penciptaan lingkungan yang mendukung dan digerakkan oleh inovasi. Gagasan perintis ini menjadi dasar dari rekayasa ulang proses bisnis (Business Process Reengineering/BPR), sebuah pendekatan revolusioner yang mendorong organisasi untuk secara radikal memikirkan kembali operasi mereka, menyelaraskannya dengan lanskap permintaan konsumen dan kemajuan teknologi yang terus berubah.

Esensi dari BPR, yang berkembang dari wawasan awal Levitt hingga metodologi saat ini, mencerminkan perjalanan berkelanjutan menuju efisiensi dan inovasi. Hal ini merupakan bukti dari relevansi pendekatan ini dalam lingkungan bisnis saat ini, di mana laju perubahan semakin cepat, dan taruhannya adalah kemampuan beradaptasi yang semakin tinggi.

Asal-usul BPR dan kemajuannya melalui berbagai alat dan metodologi menggarisbawahi sebuah kebenaran universal: bisnis harus terus mengembangkan proses mereka, tidak hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk berkembang. Dengan mengkaji kerangka kerja yang dikembangkan oleh Kettinger dkk. pada tahun 1997 dan menyandingkannya dengan kemajuan kontemporer, kami menyelidiki bagaimana BPR tetap menjadi lensa penting yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengevaluasi kembali dan menata ulang jalur pertumbuhan mereka.

Eksplorasi ini lebih dari sekadar upaya akademis; ini adalah ajakan untuk bertindak bagi organisasi modern. Lintasan perkembangan BPR menawarkan wawasan yang tak ternilai tentang bagaimana bisnis telah beradaptasi - dan harus terus beradaptasi - strategi mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar global yang terus berubah. Dalam semangat Levitt, perjalanan ini mendorong evaluasi ulang terhadap proses bisnis kami, mendorong kami untuk membuang inefisiensi dan merangkul inovasi dengan tangan terbuka.

Awal mula transformasi perusahaan
Konsep organisasi sama tuanya dengan peradaban itu sendiri, dengan setiap era membawa mekanisme uniknya sendiri untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Namun, pergeseran monumental dalam pengembangan perusahaan benar-benar dimulai dengan fajar perdagangan, ketika aktivitas dalam organisasi mulai diakui sebagai proses yang dapat dioptimalkan untuk efisiensi dan produktivitas yang lebih besar.

Karya penting Frederick Taylor di awal abad ke-20, “Prinsip dan Metode Manajemen Ilmiah,” mengusulkan penyederhanaan kerja sebagai kunci produktivitas, menabur benih untuk apa yang akan menjadi era transformatif dalam operasi industri. Henry Ford membawa prinsip-prinsip ini lebih jauh, merevolusi industri otomotif dengan jalur perakitannya, sehingga menunjukkan dampak mendalam dari optimalisasi proses pada biaya produksi dan output.

Pematangan filosofi ini berkembang melalui kebangkitan teknologi informasi, yang mengarah pada perpaduan penting antara manajemen bisnis, kontrol kualitas, dan TI. Tiga serangkai ini - yang dulunya terpisah dalam pendekatan mereka - saling terkait untuk membentuk apa yang sekarang kita pahami sebagai Business Process Management (BPM), sebuah perspektif holistik tentang perubahan yang memanfaatkan keahlian yang beragam untuk mencapai tujuan yang terpadu.

Persimpangan harmoni: manajemen bisnis bertemu dengan TI
Paul Harmon, pada tahun 2010, menyatakan bahwa rekayasa ulang proses bisnis (Business Process Reengineering/BPR) berada di persimpangan antara manajemen bisnis dan TI. Di sinilah tujuan strategis membentuk perubahan proses, dan TI muncul sebagai pemain penting, tidak lagi hanya sebagai sistem pendukung, tetapi sebagai kekuatan pendorong di balik proses transformatif.

Dengan munculnya TI, sifat BPR pun berubah. TI menjadi alat yang ampuh yang tidak hanya mendukung tetapi juga secara aktif mendorong rekonstruksi proses bisnis, memastikan bahwa proses tersebut tidak hanya efisien tetapi juga tangguh dan responsif terhadap tujuan strategis yang terus berkembang.

Disadur dari: medium.com

Selengkapnya
Bagian 1: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Ekonomi dan Bisnis

Bagian 3: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 18 Februari 2025


Di sini kami mengeksplorasi alternatif-alternatif rekayasa ulang proses bisnis “Kerangka Kerja S-A” oleh (Kettinger et al., 1997) Memulai analisis eksplorasi rekayasa ulang proses bisnis (Business Process Reengineering/BPR), kami mempelajari penelitian Mansar dan Reijers (2005), yang menyoroti praktik-praktik BPR yang telah tervalidasi sebagaimana diakui oleh komunitas praktisi. Wawasan mereka, yang didasarkan pada penerapan praktis BPR, memberikan pemahaman yang bernuansa tentang elemen-elemen penting dalam desain ulang proses dan menawarkan perspektif empiris tentang praktik-praktik terbaik di lapangan.

Studi Mansar dan Reijers tentang praktik terbaik BPR
Fokus praktik terbaik Mansar dan Reijers, dengan membangun fondasi yang diletakkan oleh “S-A Framework” dari Kettinger dkk., melakukan survei yang ekstensif di antara para praktisi BPR, yang mengarah pada kerangka kerja inovatif yang dirancang untuk lanskap perusahaan modern. Mereka mengidentifikasi praktik-praktik yang paling efektif dalam mencapai tujuan BPR.

Kontribusi penting dari penelitian mereka adalah serangkaian praktik terbaik yang disaring dari pengalaman para konsultan BPR. Praktik-praktik ini mewakili strategi yang paling sering digunakan untuk merampingkan dan meningkatkan proses bisnis. Para peneliti menemukan bahwa 'Penghapusan tugas' dan 'Teknologi bisnis integral' merupakan praktik-praktik unggulan, masing-masing diadopsi oleh 94% praktisi. Persentase penggunaan yang tinggi menggarisbawahi peran penting dalam menyederhanakan proses dengan menghilangkan tugas-tugas yang tidak bernilai tambah dan memanfaatkan teknologi untuk memecah kendala fisik dalam proses bisnis.

Tingkat penggunaan praktik terbaik (berdasarkan partisi) dan deskripsi dari (Mansar dan Reijers, 2005)
Praktik-praktik penting lainnya, seperti 'Komposisi tugas,' 'Paralelisme,' dan 'Pengurutan ulang,' menekankan pada pembentukan ulang tugas-tugas secara strategis untuk mendorong efisiensi dan kemampuan beradaptasi. Penekanan khusus diberikan pada konfigurasi ulang sumber daya, dengan sejumlah besar praktisi menganjurkan pergeseran ke arah peran yang lebih terspesialisasi atau lebih umum dalam operasi bisnis.

Mengukur Elemen BPR Selain mengidentifikasi praktik-praktik terbaik, penelitian ini juga menyediakan data kuantitatif mengenai fokus yang didedikasikan untuk berbagai elemen BPR selama proses desain ulang. Para praktisi yang disurvei diminta untuk menilai elemen-elemen tersebut - mulai dari 'Nasabah' hingga 'Teknologi' - berdasarkan frekuensi pertimbangan mereka dalam upaya desain ulang proses. Data yang dihasilkan, yang dirangkum dalam tabel yang disediakan, menunjukkan bahwa 'Nasabah,' 'Informasi,' dan 'Produk' merupakan area fokus utama, masing-masing memiliki nilai rata-rata, modus, dan median yang tinggi. Data ini secara kuantitatif menegaskan sentralitas pendekatan yang berpusat pada nasabah dan berbasis informasi dalam inisiatif BPR kontemporer.

Peringkat praktisi terhadap elemen-elemen BPR dari (Mansar dan Reijers, 2005) 
Catatan untuk mengadaptasikannya ke Kerangka Kerja S-A yang baru untuk perubahan proses bisnis
Temuan Mansar dan Reijers memiliki implikasi yang signifikan untuk memperbarui kerangka kerja BPR yang asli oleh Kettinger dkk. Menjadi jelas bahwa untuk tetap relevan dan efektif, metodologi BPR harus berevolusi untuk merefleksikan elemen-elemen yang diprioritaskan. Kerangka kerja asli, yang terkenal dengan kelengkapan dan kemampuan beradaptasinya, dapat mengintegrasikan temuan-temuan empiris ini untuk lebih menyelaraskan dengan lanskap proses bisnis kontemporer, memastikan kerangka kerja ini terus berfungsi sebagai kekuatan pemandu bagi organisasi yang mencari perubahan transformasional

Sekarang, mari selami lanskap rumit dari ruang desain proses bisnis seperti yang dibayangkan oleh Gross dkk. pada tahun 2021. Penelitian mereka menawarkan perspektif revolusioner tentang penataan perubahan proses bisnis, yang menekankan perlunya pendekatan yang terperinci dan bernuansa, bukan metodologi satu ukuran untuk semua.

Ruang desain proses bisnis: Menyusun strategi BPR yang disesuaikan
Menelusuri dimensi BPR yang beragam

Gross dkk. menyajikan konsep inovatif yang dikenal sebagai “Ruang Dimensi Proses Bisnis” (BPD-SPACE), yang secara sistematis mengatasi keterbatasan kerangka kerja perubahan proses yang digeneralisasi. Pendekatan baru ini, yang dibangun di atas elemen-elemen dasar yang diidentifikasi oleh Mansar dan Reijers, memperkenalkan spektrum dimensi yang masing-masing dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan pemandu khusus yang membedah dan menerangi berbagai lapisan desain ulang proses. BPD-SPACE menonjol karena ketepatan dan kemampuan beradaptasinya, sehingga memungkinkan para praktisi untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan strategi yang paling efektif untuk tantangan BPR mereka yang spesifik.

Struktur BPD-SPACE disusun secara cermat ke dalam beberapa lapisan dan dimensi, memastikan pandangan holistik dari lanskap proses bisnis. Struktur ini mengartikulasikan berbagai aspek interaksi pelanggan, mulai dari nuansa segmen pelanggan hingga dinamika pengalaman dan nilai pelanggan. Di sisi operasional, ini mempelajari secara spesifik pelaksanaan proses, meneliti elemen-elemen seperti unit aliran, temporalitas, dan koordinasi. Setiap dimensi dirancang dengan cermat untuk menjawab pertanyaan penting yang memandu upaya rekayasa ulang, memastikan analisis yang menyeluruh dan pertimbangan yang matang atas desain ulang yang potensial.

 

Dimensi BPD-SPACE
Kegunaan BPD-SPACE telah dikonfirmasi melalui penerapannya di berbagai konteks perusahaan mulai dari perusahaan rintisan tekfin yang lincah hingga operasi berskala besar yang ekspansif. Dengan memfasilitasi desain model proses alternatif, kerangka kerja ini telah terbukti berperan penting dalam membantu organisasi mengkonfigurasi ulang proses mereka untuk mencapai efisiensi dan daya tanggap yang lebih tinggi.

Catatan untuk mengadaptasinya ke Kerangka Kerja S-A yang baru untuk perubahan proses bisnis
BPD-SPACE berfungsi sebagai perluasan penting dari kerangka kerja P-S-A BPR, yang memperkaya tahap persiapan dengan menjamin bahwa semua aspek penting dari rekayasa ulang proses ditangani secara sistematis. Selain itu, kerangka kerja ini memainkan peran penting selama fase pemantauan, menawarkan pendekatan terstruktur untuk mengevaluasi kinerja proses dan mengidentifikasi area untuk perbaikan berkelanjutan. Pada bagian akhir, kami akan memperbarui Kerangka Kerja Rekayasa Ulang Proses Bisnis dengan menggunakan studi alternatif.

Disadur dari: medium.com

Selengkapnya
Bagian 3: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Ekonomi dan Bisnis

Bagian 4: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 18 Februari 2025


Tinjauan komprehensif ini menangkap esensi dari revisi menyeluruh terhadap “Kerangka Kerja rekayasa ulang proses bisnis Tahap-tahap tindakan” yang awalnya diusulkan oleh Kettinger dkk. (1997). Revisi ini bertujuan untuk mengatasi masalah generalisasi dan ketinggalan jaman dengan memasukkan lebih banyak panduan langsung, validasi komersial, dan praktik-praktik terkini.

Tahap 1: Memperbaiki tahap persiapan
Dalam pembaharuan tahap Persiapan, terdapat fokus pada penggambaran dan penetapan setiap tindakan agar lebih jelas dan dapat diterapkan secara langsung.

  • Tahap Membayangkan: Sekarang mencakup sub-tindakan yang telah ditentukan seperti analisis konteks, pembuatan ide, dan validasi, yang menekankan perlunya pemahaman yang mendalam tentang konteks organisasi dan perspektif pemangku kepentingan.
  • Pembuatan dan validasi ide: Manfaatkan penerapan ruang desain proses bisnis oleh Gross dkk. (2021), dengan memanfaatkan pertanyaan-pertanyaan pemandu untuk mendorong solusi yang kreatif dan efektif.
  • Pilih Proses: Di sini, integrasi praktik terbaik dan elemen kerangka kerja dari Mansar dan Reijers (2005) memastikan bahwa proses yang dipilih untuk desain ulang selaras dengan praktik terbaik kontemporer.

Tahap 2: Meningkatkan tahap eksekusi
Pada tahap Eksekusi, meskipun tindakan asli dari Kerangka Kerja P-S-A tetap dipertahankan, namun ada beberapa tambahan baru:

  • Menganalisis dampak pada proses bisnis lainnya: Tindakan yang baru diperkenalkan ini memastikan bahwa proses yang dirancang ulang selaras dengan dan tidak berdampak negatif pada fungsi bisnis lainnya, sebuah pertimbangan penting yang menggarisbawahi sifat proses organisasi yang saling berhubungan.

Fase 3: Menyempurnakan Fase Pemantauan
Kegiatan utama fase Monitoring, “Mengevaluasi Kinerja Proses” dan “Menghubungkan dengan Program Perbaikan Berkesinambungan”, tetap tidak terpisahkan, dan kini diperkaya dengan elemen-elemen BPR terbaru dan praktik-praktik terbaik:

  • Mengevaluasi kinerja proses: Didukung oleh kerangka kerja, evaluasi ini tidak hanya berfokus pada metrik kinerja tetapi juga pada kepuasan pemangku kepentingan, yang mencerminkan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai kesuksesan.
  • Menghubungkan dengan program peningkatan berkelanjutan: Hal ini menggarisbawahi sifat berulang dari BPR, mendorong budaya penyempurnaan yang berkelanjutan dan responsif terhadap dinamika bisnis yang terus berubah.

Kerangka kerja yan direvisi dalam praktik

Kerangka kerja yang telah direvisi ini mengintegrasikan wawasan praktis dari berbagai studi tambahan, sehingga memungkinkan pendekatan yang lebih bernuansa yang dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan rinci dari rekayasa ulang proses bisnis dalam konteks saat ini. Dengan menggabungkan “Best Practices” dan “BPR Framework Elements” bersama dengan “BPD-SPACE”, kerangka kerja ini menjadi alat yang lebih dinamis dan praktis yang dapat diterapkan secara langsung pada tantangan-tantangan bisnis kontemporer.

Penyempurnaan ini mencerminkan upaya bersama untuk bergerak melampaui pendekatan yang dirangkum, memberikan panduan yang dapat ditindaklanjuti bagi para praktisi yang ingin menavigasi kompleksitas BPR. Pembaruan secara simbolis diwakili dalam gambar kerangka kerja yang telah direvisi, dengan perubahan yang disorot untuk memandu pengguna melalui kerangka kerja yang telah direkayasa ulang.

Apakah ada sesuatu yang tidak beres? Tentu saja!
Eksplorasi faktor kegagalan dan strategi mitigasi dalam Rekayasa Ulang Proses Bisnis (Business Process Reengineering/BPR) merupakan komponen yang sangat berharga dalam memahami spektrum penuh tantangan implementasi BPR. Wawasan dari Watundu dkk. (2013) menawarkan pelajaran penting bagi setiap organisasi yang memulai inisiatif BPR.

Memahami faktor-faktor kegagalan BPR
Watundu et al. menyoroti bahwa resistensi terhadap perubahan merupakan penghalang yang signifikan, dengan sebagian besar responden menyatakan kehati-hatiannya terhadap inisiatif baru. Khususnya, hampir setengah dari peserta takut kehilangan pekerjaan sebagai konsekuensi dari penerapan proses baru, sementara sebagian besar mengakui perlunya memodifikasi operasi bisnis yang ada.

Tantangan Terkait Organisasi Dari sisi organisasi, hampir semua responden mengakui pentingnya BPR untuk meningkatkan layanan nasabah. Namun, ada kekhawatiran mengenai kecepatan proyek-proyek BPR dan potensi dampaknya terhadap keamanan kerja. Sebagian besar responden juga mengindikasikan bahwa persyaratan BPR seringkali tidak terpenuhi secara memuaskan.

Penyebab utama kegagalan BPR Studi ini menunjukkan beberapa faktor kritis yang menyebabkan kegagalan BPR, termasuk meremehkan ruang lingkup proyek dan kurangnya tujuan yang jelas. Tren penundaan dan pembengkakan anggaran sering terjadi, dan komunikasi yang buruk diidentifikasi sebagai masalah yang lazim terjadi. Ketidakmampuan teknis juga menjadi penghalang yang signifikan bagi keberhasilan adopsi BPR.

Strategi mitigasi untuk implementasi BPR yang Sukses
Untuk mengatasi faktor-faktor kegagalan ini, Watundu et al. menyarankan:

  • Komunikasi yang lebih baik: Sangat penting untuk mengartikulasikan dengan jelas misi, kebutuhan, dan hasil yang diharapkan dari BPR, dengan melibatkan tenaga kerja melalui lokakarya dan diskusi yang menyeluruh.
  • Pengembangan keterampilan teknologi: Menawarkan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi teknis karyawan sangat penting untuk keberhasilan adopsi proses baru.
  • Kecukupan sumber daya: Memastikan bahwa penganggaran yang memadai dan jadwal yang realistis telah ditetapkan untuk proyek-proyek BPR dapat mengurangi risiko pembengkakan biaya dan implementasi yang tidak lengkap.

Kesimpulan penelitian
Penelitian ini berujung pada refleksi mendalam tentang evolusi perubahan organisasi dan perwujudannya dalam Manajemen Proses Bisnis (BPM) dan desain ulang proses bisnis (BPR). Dengan meneliti “Kerangka Kerja S-A BPR” yang mendasar dan mengusulkan revisi yang diinformasikan oleh penelitian kontemporer, penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi potensi generalisasi kerangka kerja tersebut tetapi juga membentengi kerangka kerja tersebut dengan metodologi yang dapat ditindaklanjuti dan diperbarui.

Penyusunan revisi kerangka kerja P-S-A BPR “Revisi Kerangka Kerja P-S-A BPR” muncul sebagai panduan terperinci dan berorientasi pada tindakan yang menggarisbawahi elemen-elemen penting dalam tahap Persiapan BPR, seperti analisis konteks dan pemunculan ide. Kerangka kerja ini memperkenalkan tindakan tambahan dalam tahap Perancangan Ulang untuk mengevaluasi dampak proses baru terhadap proses yang sudah ada.

Integrasi pendekatan-pendekatan terbaru yang telah teruji secara komersial dari studi seperti yang dilakukan oleh Mansar dan Reijers, serta Gross dkk., memperkaya kerangka kerja yang telah direvisi dengan fokus pada proses praktis dalam menghasilkan ide, penentuan prioritas pemangku kepentingan, dan pemantauan kinerja.

Meniti Jalan Menuju BPR yang sukses laporan ini diakhiri dengan membahas potensi jebakan dan menguraikan strategi untuk memastikan adopsi proses yang sukses. Dengan mengadvokasi peningkatan komunikasi, peningkatan keterampilan karyawan, dan perencanaan sumber daya yang memadai, laporan ini memberikan cetak biru yang komprehensif bagi perusahaan untuk menavigasi tantangan BPR secara efektif. Penelitian ini menggambarkan jalur yang bernuansa dan kontemporer untuk rekayasa ulang proses bisnis, dengan menanamkan kebijaksanaan yang diperoleh dari implementasi masa lalu dan menetapkan fondasi untuk kesuksesan di masa depan.

Disadur dari: medium.com

Selengkapnya
Bagian 4: Keberhasilan Rekayasa Ulang: Perubahan Proses Bisnis (BPR)

Keuangan

Inilah Kebijakan Tegas OJK! Larangan Lembaga Keuangan untuk Fasilitasi Aset Kripto

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Jakarta - Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap aset kripto kini makin tegas. Menyadari bahaya dari aset digital ini, OJK melarang seluruh lembaga jasa keuangan memfasilitasi aset crypto. Dengan kebijakan itu maka semua bank, asuransi, sampai multifinance yang berada dalam pengawasan OJK dilarang menggunakan, memasarkan atau memfasilitasi perdagangan aset kripto.

Namun, kebijakan OJK ini tak memperoleh dukungan dari Lembaga Pemerintah lainnya, yakni Kementerian Perdagangan dan Badan Pengawas Pedagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Wakil Menteri Perdangan, Jerry Sambuaga, dilansir dari berbagai media menjelaskan bahwa aset kripto dapat memberikan manfaat yang besar. Lalu dia meminta untuk OJK fokus menyelesaikan terkait pinjaman online illegal ketimbang melarang aset kripto.

Menurut Wamen Jerry Sambuaga, OJK dan Kementerian Perdagangan memiliki ranah masing-masing. Kripto yang diperlakukan sebagai aset di Indonesia merupakan ranah Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan. Bukan ranah OJK. Maka dari itu OJK seharusnya tak ikut mengatur investasi di aset kripto.

Berbedanya pandangan serta kebijakan kedua Lembaga Pemerintah ini sangatlah disayangkan. Sebaiknya keduanya saling menguatkan memberi kejelasan kepada masyarakat terutama investor berkaitan dengan investasi di aset kripto.

OJK sama sekali tak melanggar batas, terlebih lagi memasuki ranahnya Kemendag dan Bappebti. OJK melakukan salah satu tugas pokoknya yakni melindungi nasabah Lembaga Jasa Keuangan. Sesuai UU No. 21 Tahun 2011 mengenai Otoritas Jasa keuangan, pasal 4, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Kebijakan OJK yang tegas melarang seluruh lembaga jasa keuangan mempergunakan, memasarkan atau memfasilitasi perdagangan aset kripto, semata dengan tujuan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dari bahaya aset kripto.

Investasi pada aset kripto selintas memang memberikan janji keuntungan yang sangat besar. Pergerakan harga aset kripto sangat lebar serta membuka peluang keuntungan yang sangat besar. Semisal, adanya aset kripto yang harganya naik ratusan persen hanya dalam hitungan bulan. Ini artinya investasi 1 juta rupiah saja bisa mewujudkan keuntungan ratusan juta rupiah.

Bahaya Aset Kripto

Masyarakat yang hendak berinvestasi pada aset kripto sebaiknya memahami dahulu secara mendalam, apakah sebenarnya aset kripto itu. Tidak hanya dengan melihatnya dari potensi keuntungannya saja, tetapi yang lebih utama adalah memhami sedalam mungkin apakah risiko yang akan ditanggung serta bahayanya.

Aset kripto yang pertama kali diciptakan merupakan Bitcoin, dengan tujuan menjadi uang (currency) yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Uang kripto Bitcoin lalu dengan cepat diikuti oleh penciptaan uang kripto lainnya. Kini ada ratusan uang kripto, yang paling popular dan paling mahal yaitu Bitcoin. Aset kripto ini terus berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi digital.

Bank Indonesia akan selalu berusaha agar jumlah uang beredar tak terlalu besar di atas yang dibutuhkan oleh perekonomian sehingga nilai Rupiah jatuh serrta merugikan masyarakat. Bank Indonesia menjaga agar tak terjadi pemalsuan uang Rupiah. Tugas menjaga nilai mata uang ini merupakan tugas pokok bank sentral di seluruh negara. Oleh karena itu maka uang mendapatkan kepercayaan. Dengan kata lain uang yang diciptakan dan diedarkan bank sentral mempunyai "underlying value".

Inilah yang dikhawatirkan oleh OJK sehingga bersikap tegas untuk melarang semua Lembaga Jasa Keuangan dalam memfasilitasi aset kripto. OJK berusaha melindungi konsumen atau nasabah Lembaga jasa keuangan agar tak mengalami kerugian yang besar saat aset kripto kehilangan nilainya. Kewaspadaan OJK seharusnya kita hargai.


Disadur dari sumber finance.detik.com

Selengkapnya
Inilah Kebijakan Tegas OJK! Larangan Lembaga Keuangan untuk Fasilitasi Aset Kripto
« First Previous page 904 of 1.280 Next Last »