Infrastruktur Jalan

Strategi Inovasi Teknologi Konstruksi Jalan: Peran Pemerintah sebagai Penggerak Utama

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025


Pengantar

 

Industri konstruksi jalan berada dalam pusaran kebutuhan inovasi berkelanjutan. Meskipun pembangunan infrastruktur jalan merupakan kebutuhan utama dalam kebijakan publik, proses adopsi teknologi di sektor ini kerap terhambat oleh kerangka regulasi, konservatisme desain, dan kurangnya insentif. Penelitian Jasper M. Caerteling secara komprehensif menyigi bagaimana pemerintah memainkan beragam peran dalam mendorong (atau justru menghambat) pengembangan teknologi baru dalam proyek infrastruktur jalan. Disertasi ini tidak hanya menganalisis teori, tetapi juga didukung oleh studi kasus dan survei skala besar.

 

Pergeseran Paradigma Pemerintah: Dari Manajer Proyek Menjadi Enabler Inovasi

 

Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi pergeseran besar dalam peran pemerintah, terutama di negara-negara seperti Belanda dan Amerika Serikat. Pemerintah tidak lagi sekadar sebagai manajer proyek, tetapi sebagai arsitek ekosistem inovasi. Langkah strategis seperti integrasi desain dan konstruksi, outsourcing fungsi teknis, serta kontrak berbasis kinerja telah menciptakan ruang lebih besar bagi perusahaan konstruksi untuk bereksperimen dan berinovasi.

 

Contoh nyatanya adalah program Roads to the Future di Belanda dan Corporate Master Plan for Research and Deployment of Technology and Innovation oleh FHWA di AS. Program-program ini memungkinkan sektor swasta menguji solusi baru melalui proyek percontohan yang didukung pemerintah.

 

Ragam Peran Pemerintah dalam Proyek Teknologi Konstruksi

 

Caerteling mengidentifikasi bahwa pemerintah berperan tidak hanya sebagai pembeli dan pengatur, tetapi juga sebagai sponsor, penyusun sistem, dan pengampu perubahan. Dalam penelitian ini, peran pemerintah dibagi menjadi dua kelompok utama:

 

1. Supply-side policies:

  • Pendanaan R&D swasta
  • Bantuan teknis dan finansial
  • Penetapan standar teknologi

 

2. Demand-side policies:

  • Pengadaan teknologi publik
  • Promosi penggunaan teknologi baru melalui regulasi
  • Program demonstrasi teknologi

 

Namun, adanya kebijakan yang terpisah antara sisi permintaan dan penawaran sering kali menciptakan inkonsistensi. Misalnya, ketika pemerintah mempromosikan teknologi tertentu melalui program R&D, namun pengadaan publik tetap netral (technology-blind), maka pasar untuk teknologi baru tidak terbentuk dengan jelas.

 

Hasil Studi Kasus dan Survei: Dampak Strategis Pemerintah

 

Studi kualitatif dilakukan terhadap tiga perusahaan konstruksi jalan yang mengembangkan delapan proyek teknologi. Di samping itu, survei kuantitatif melibatkan perusahaan di sektor konstruksi, manufaktur, dan farmasi di AS untuk membandingkan ketergantungan terhadap peran pemerintah.

 

Temuan utama meliputi:

  • Peran championing (dukungan aktif pemerintah) adalah faktor kedua paling penting dalam menciptakan manfaat pelanggan.
  • Public procurement (pengadaan teknologi publik) justru kurang berpengaruh, kemungkinan karena pengadaan publik tidak boleh memihak satu teknologi atau perusahaan.
  • Peran strategis perusahaan, seperti orientasi pada pelanggan dan inovasi, lebih dominan dalam industri manufaktur dibandingkan sektor infrastruktur jalan.

 

Kritik dan Tantangan Nyata di Lapangan

 

Salah satu kritik menarik dari penelitian ini adalah ketidakefisienan dalam penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam proyek jalan. Posisi dominan pemerintah dan model tender kompetitif mengurangi nilai komersial dari paten karena tidak ada jaminan adopsi teknologi tersebut dalam proyek publik.

 

Selain itu, Caerteling menyoroti bahwa kebijakan subsidi untuk teknologi lama justru bisa menciptakan hambatan masuk bagi inovasi baru. Dengan kata lain, insentif pemerintah kadang mendukung status quo dan merugikan teknologi disruptif.

 

Nilai Tambah dan Relevansi Praktis

 

Disertasi ini memberikan kontribusi penting pada literatur dengan:

 

1. Model Konseptual Baru: Model dampak peran pemerintah terhadap performa proyek teknologi menunjukkan bahwa keberhasilan bukan hanya soal dana, tetapi juga konteks kebijakan dan struktur insentif.

 

2. Framework Strategi Bisnis: Analisis Caerteling membantu perusahaan memahami bagaimana menyelaraskan proyek R&D dengan strategi korporat dan tuntutan eksternal.

 

3. Pemahaman Baru tentang Infrastruktur Publik sebagai Sistem Teknis Besar: Pemerintah tidak sekadar pembeli, tetapi pencipta pasar untuk teknologi baru. Dalam sektor seperti energi atau telekomunikasi yang telah diprivatisasi, peran ini semakin berkurang. Namun di sektor jalan, pemerintah tetap menjadi sistem builder.

 

Studi Kasus Nyata dan Aplikasi Global

 

Contoh global dari peran aktif pemerintah dalam pengembangan teknologi jalan dapat dilihat di proyek SMART Motorways di Inggris yang mengandalkan teknologi pengaturan lalu lintas berbasis sensor dan AI. Di Jepang, ITS (Intelligent Transport Systems) menjadi prioritas nasional dalam strategi transportasi cerdas. Dalam konteks Indonesia, peluang ini terbuka lebar terutama dengan agenda transformasi digital dan proyek infrastruktur berskala besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).

 

Rekomendasi Kebijakan dan Manajerial

 

Dari hasil penelitian, Caerteling menyarankan:

  • Pemerintah perlu menyelaraskan program R&D dengan kebijakan pengadaan agar terjadi penciptaan pasar nyata untuk teknologi baru.
  • Sistem pengadaan sebaiknya tidak hanya berbasis harga, tetapi juga memberi bobot lebih pada nilai sosial dan inovasi teknologi.
  • Kolaborasi lintas sektor (publik-swasta-akademik) perlu difasilitasi agar ekosistem inovasi lebih hidup.

 

Kesimpulan

 

Disertasi ini memberikan gambaran tajam tentang bagaimana peran pemerintah sebagai pengatur, pembeli, dan fasilitator dapat mendorong—atau menghambat—adopsi teknologi di sektor konstruksi jalan. Bagi pemerintah, kunci keberhasilan bukan hanya pada alokasi anggaran, tetapi pada desain kebijakan yang terkoordinasi dan penciptaan iklim inovasi yang sehat. Sementara bagi pelaku industri, memahami dinamika ini menjadi keunggulan strategis dalam memenangkan proyek dan memimpin inovasi.

 

Sumber

 

Penelitian ini dapat diakses melalui Delft University of Technology dengan judul lengkap “Technology Development in Road Construction: The Role of Government in Technology Development and Commercialization” oleh Jasper M. Caerteling. Link resmi: https://repository.tudelft.nl/islandora/object/uuid:1883a257-739e-4c7d-9e27-18334ed41862

Selengkapnya
Strategi Inovasi Teknologi Konstruksi Jalan: Peran Pemerintah sebagai Penggerak Utama

Kegagalan Kontruksi

Faktor Teknis Pemicu Gagalnya Proyek Bangunan: Bukan Hanya Masalah Material

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Kegagalan yang Berulang dan Jarang Dievaluasi Secara Menyeluruh

 

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan pembangunan infrastruktur, terutama proyek gedung publik yang didanai dari APBN/APBD. Meski kuantitas proyek meningkat, kualitasnya masih sering dipertanyakan. Tidak sedikit proyek mengalami kegagalan, baik dalam tahap pelaksanaan maupun pasca serah terima. Penelitian oleh Yustinus Eka Wiyana ini mengupas secara tajam apa saja faktor teknis yang secara langsung menyebabkan kegagalan konstruksi dan bangunan, khususnya dari proyek gedung pemerintahan di Jawa Tengah.

 

Berbekal studi lapangan pada 34 proyek antara tahun 1996 hingga 2008, artikel ini bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga menyajikan model kuantitatif dan kualitatif untuk menganalisis hubungan antara variabel waktu, biaya, jenis kontrak, kualitas, dan kegagalan elemen bangunan.

 

Metode Penelitian: Pendekatan Ganda Kuantitatif dan Kualitatif

 

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama. Pertama, model kuantitatif dengan metode Partial Least Square (PLS) untuk mengukur korelasi antar variabel. Kedua, model kualitatif yang digunakan untuk menangkap persepsi terhadap kualitas pengawasan pekerjaan, baik dari sisi internal maupun eksternal supervisi.

 

Sumber data terdiri dari dokumen kontrak proyek, investigasi teknis, serta kuesioner kepada 31 responden profesional yang terlibat langsung dalam proyek bangunan publik.

 

Temuan Utama: Struktur Bangunan Paling Rentan Gagal

 

Berdasarkan pengamatan terhadap proyek-proyek yang dianalisis, elemen struktur bangunan merupakan bagian paling sering mengalami kegagalan, dengan deviasi rata-rata mencapai 4,36% dari nilai kontrak. Selanjutnya disusul oleh elemen atap (2,53%), pondasi (0,15%), utilitas (0,12%), dan pekerjaan finishing (0,07%).

 

Temuan ini membuktikan bahwa permasalahan utama bukan terjadi di akhir, seperti pengecatan atau instalasi listrik, melainkan pada fondasi kekuatan utama dari bangunan itu sendiri. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kualitas pelaksanaan dari tahap paling awal.

 

Analisis Tambahan: Kontrak Murah, Mutu Hancur

 

Salah satu akar kegagalan yang paling mencolok adalah banyaknya proyek yang dimenangkan dengan harga penawaran di bawah 70% dari nilai pagu anggaran. Situasi ini mendorong kontraktor melakukan efisiensi berlebihan, mengorbankan mutu material, metode kerja, bahkan mengurangi volume pekerjaan secara diam-diam.

 

Studi juga menemukan bahwa proyek-proyek semacam ini umumnya minim dokumen pendukung untuk kontrol mutu. Ketiadaan gambar kerja rinci, tidak adanya Rencana Mutu Konstruksi (RMK), serta absennya briefing teknis rutin menjadi pola umum di proyek bermasalah.

 

Kasus Lapangan: Ketika “Asal Jadi” Jadi Standar Baru

 

Sebuah proyek pembangunan gedung sekolah di Jawa Tengah yang didanai APBD tahun 2006 mengalami keretakan struktur hanya dalam waktu satu semester. Penelusuran menunjukkan bahwa nilai kontraknya hanya 68% dari pagu dan jenis kontrak yang digunakan adalah lumpsum. Tim pelaksana memotong tinggi kolom dan menggunakan beton berkualitas rendah untuk mengejar efisiensi. Tidak ada supervisi lapangan harian dan pengawas dari konsultan hanya datang sekali dalam seminggu.

 

Dalam kasus lain, bangunan Puskesmas baru mengalami kebocoran parah di bagian atap saat musim hujan pertama setelah proyek rampung. Setelah diperiksa, ternyata kemiringan atap tidak sesuai gambar rencana, dan rangka baja ringan yang digunakan tidak memenuhi standar kekuatan minimum. Lagi-lagi, harga penawaran proyek jauh di bawah standar dan tidak ada kontrol mutu selama pelaksanaan.

 

Korelasi Variabel: Apa yang Sebenarnya Menyebabkan Kegagalan?

 

Dari hasil simulasi model SEM (Structural Equation Modeling), diperoleh kesimpulan penting:

 

1. Semakin pendek waktu pelaksanaan, semakin besar potensi kegagalan. Korelasi negatif sebesar -0,5289 antara durasi dan kegagalan menunjukkan bahwa percepatan jadwal tanpa penguatan manajemen teknis hanya akan memperbesar risiko rusaknya bangunan.

 

2. Jenis kontrak berpengaruh terhadap manajemen waktu dan kualitas. Kontrak dengan sistem swakelola cenderung lebih fleksibel dalam pengendalian mutu, sedangkan kontrak lumpsum rentan terhadap manipulasi karena fokus pada harga tetap.

 

3. Biaya rendah berbanding lurus dengan kualitas buruk. Penurunan biaya proyek (dengan memaksakan penawaran rendah) menghasilkan korelasi negatif terhadap kualitas sebesar -0,2081.

 

Dari sisi model kualitatif, ditemukan bahwa pengawasan internal dan eksternal memiliki kontribusi langsung terhadap kualitas hasil pekerjaan. Internal supervisi mencakup pelatihan, pengalaman, pendidikan, sertifikasi, hingga nilai proyek, sedangkan eksternal supervisi meliputi evaluasi mingguan, cek spesifikasi, briefing pagi, dan pengawasan harian.

 

Kritik dan Opini: Masalah Lama, Belum Ada Perubahan Signifikan

 

Meski penelitian ini dilakukan sebelum 2012, kenyataannya banyak proyek pemerintah hingga kini masih mengalami kegagalan teknis yang serupa. Masalah seperti “penawaran terendah jadi pemenang” masih dijadikan tolok ukur utama dalam proses lelang, tanpa menilai kemampuan teknis dan reputasi penyedia jasa secara menyeluruh.

 

Penerapan sistem supervisi juga belum maksimal. Banyak pengawas di lapangan yang terbatas jumlahnya, tidak kompeten, atau bahkan terafiliasi dengan kontraktor, sehingga tidak independen. Padahal, penelitian ini secara tegas menunjukkan bahwa tanpa supervisi yang kuat, kualitas tidak akan pernah bisa dikendalikan.

 

Implikasi Praktis: Langkah Nyata yang Bisa Dilakukan

 

Untuk menghindari kegagalan teknis pada proyek-proyek bangunan ke depan, berikut rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini:

 

1. Reformasi Sistem Lelang

 

Hapus penilaian berdasarkan harga terendah semata. Terapkan sistem evaluasi berimbang (quality-cost based selection) yang memperhitungkan kualitas teknis, pengalaman, dan kompetensi SDM kontraktor.

 

2. Wajibkan Supervisi Independen

 

Pastikan pengawas lapangan berasal dari pihak yang independen dan memiliki rekam jejak pengawasan yang baik. Lakukan audit berkala terhadap laporan supervisi.

 

3. Atur Batas Waktu yang Rasional

 

Tentukan durasi proyek berdasarkan beban kerja realistis, bukan kepentingan politik atau ambisi seremonial. Proyek cepat selesai tetapi penuh cacat hanya akan membuang anggaran publik.

 

4. Penguatan Kapasitas Pelaksana

 

Wajibkan pelatihan dan sertifikasi bagi semua tenaga kerja teknis yang terlibat dalam proyek bangunan publik, terutama yang menyangkut struktur, pondasi, dan atap.

 

Penutup: Pembangunan yang Bermutu Dimulai dari Komitmen Teknis

 

Artikel ini dengan gamblang menunjukkan bahwa kegagalan konstruksi bukan hanya disebabkan oleh faktor luar seperti cuaca atau bencana, tetapi lebih sering karena kesalahan dalam perencanaan teknis, pengawasan yang lemah, dan keinginan menekan harga secara berlebihan. Bangunan yang gagal bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan keselamatan jiwa dan menurunkan kepercayaan publik terhadap kualitas pembangunan.

 

Reformasi sistem pengadaan dan supervisi harus menjadi prioritas jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran kegagalan proyek infrastruktur. Pembangunan yang bermutu bukan soal cepat atau murah, tapi soal tepat, kuat, dan berkelanjutan.

 

 

Sumber Resmi:

 

Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Teknis. Jurnal Wahana Teknik Sipil, Vol. 17 No. 2.

Diterbitkan oleh Politeknik Negeri Semarang.

Selengkapnya
Faktor Teknis Pemicu Gagalnya Proyek Bangunan: Bukan Hanya Masalah Material

Konstruksi

Strategi Bisnis Cerdas untuk Masa Depan Konstruksi: Studi Kasus PT Asia Civil Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025


Mengapa Strategi Bisnis Jadi Kunci di Industri Konstruksi?

 

Di tengah pertumbuhan pasar konstruksi Indonesia yang pesat — dengan proyeksi mencapai USD 379,41 miliar pada 2028 — tidak semua perusahaan mampu merasakan dampaknya. PT Asia Civil Indonesia (ACI), salah satu pemain lokal di industri ini, menghadapi kenyataan pahit: pertumbuhan industri tidak otomatis berbanding lurus dengan performa perusahaan.

 

Melalui pendekatan kualitatif berbasis wawancara mendalam, penelitian ini berupaya menggali tantangan riil dan merumuskan strategi bisnis yang konkret dan aplikatif bagi PT ACI. Studi ini menjadi penting karena menggabungkan teori manajemen strategis dengan praktik lapangan dalam industri konstruksi yang kompleks dan kompetitif.

 

Potret Industri Konstruksi Indonesia: Peluang dan Realitas

 

Fakta dan Angka

  • Nilai pasar konstruksi Indonesia pada 2023: USD 264,34 miliar
  • Proyeksi 2028: USD 379,41 miliar (CAGR 7,5%)
  • Nilai pembangunan gedung (2022): IDR 157,47 triliun
  • Nilai konstruksi pusat data (2022): IDR 4,59 triliun

 

Pertumbuhan ini ditopang oleh berbagai proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Negara (IKN), tol, LRT, dan fasilitas digital seperti pusat data. Namun, dominasi pasar belum serta merta menyentuh seluruh pemain industri. Banyak perusahaan — termasuk PT ACI — menghadapi stagnasi karena kurangnya strategi bisnis adaptif.

 

Masalah yang Dihadapi PT ACI

 

Beberapa hambatan utama yang ditemukan:

  • Minimnya ekspansi pasar internasional
  • Keterbatasan pada efisiensi manajemen proyek
  • Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam tender
  • Kesulitan memperluas jejaring industri

 

Penelitian ini merumuskan strategi untuk mengubah tantangan-tantangan tersebut menjadi peluang pertumbuhan jangka panjang. Caranya: melalui integrasi model bisnis baru, inovasi teknologi, dan optimalisasi jaringan (networking).

 

Pendekatan Teoritis: TOWS dan Strategy Diamond

 

TOWS Analysis

TOWS digunakan untuk menyusun strategi berdasarkan empat kategori:

  • SO (Strength-Opportunity): Memanfaatkan kekuatan internal untuk meraih peluang eksternal.
  • WO (Weakness-Opportunity): Mengatasi kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang.
  • ST (Strength-Threat): Menghadapi ancaman eksternal dengan kekuatan yang dimiliki.
  • WT (Weakness-Threat): Strategi defensif menghadapi kombinasi ancaman dan kelemahan.

 

Misalnya:

PT ACI yang memiliki kekuatan teknis dan finansial bisa menggunakan itu untuk masuk ke proyek infrastruktur pemerintah (SO).

Kekurangan manajemen proyek bisa diatasi dengan investasi pada software manajemen modern (WO).

 

Strategy Diamond

Model ini menggarisbawahi lima elemen strategis:

1. Arenas – Di mana perusahaan akan bersaing (residensial, komersial, infrastruktur).

2. Vehicles – Bagaimana cara bersaing (kemitraan, aliansi, investasi teknologi).

3. Differentiators – Keunikan perusahaan (kualitas layanan, sertifikasi, teknologi).

4. Staging – Urutan pelaksanaan strategi (jangka pendek, menengah, panjang).

5. Economic Logic – Bagaimana strategi menghasilkan laba (efisiensi biaya, volume proyek).

 

Model ini membantu PT ACI untuk menyusun rencana jangka panjang secara terstruktur, dari penguatan internal hingga penetrasi pasar baru.

 

Solusi dan Strategi: Langkah Konkret yang Direkomendasikan

 

1. Optimalisasi Manajemen Proyek Melalui Teknologi

 

Penggunaan Building Information Modeling (BIM) untuk efisiensi desain, estimasi biaya, dan koordinasi lintas disiplin.

Implementasi software manajemen proyek terintegrasi untuk monitoring real-time, dokumentasi, dan compliance otomatis.

 

Analisis tambahan: BIM bukan hanya alat visualisasi 3D, tetapi juga alat strategis untuk mengurangi rework dan meningkatkan akurasi biaya. Di negara maju, BIM sudah menjadi syarat tender. Indonesia juga menuju ke arah yang sama, dan PT ACI wajib mengikuti tren ini untuk tetap relevan.

 

2. Pembentukan Tim Ahli Multidisiplin

 

Merekrut atau melatih tenaga profesional di bidang teknik sipil, MEP, dan estimasi biaya.

 

Tujuannya: meningkatkan kualitas tender dan daya saing penawaran.

 

Catatan penting: Dalam kompetisi tender, kualitas proposal teknis sering kali lebih menentukan daripada sekadar harga. Tim internal yang andal menjadi investasi jangka panjang untuk reputasi dan kepercayaan pasar.

 

3. Diversifikasi Lini Proyek

 

Tidak hanya menggarap sektor infrastruktur, tapi juga merambah proyek perumahan, komersial, dan pusat data.

Langkah ini mengurangi risiko terhadap fluktuasi pasar sektor tertentu.

 

Konteks industri: Tingginya permintaan untuk hunian vertikal di Jakarta dan pusat data di wilayah industri seperti Bekasi dan Karawang adalah peluang yang bisa dioptimalkan.

 

4. Ekspansi Geografis dan Jejaring

 

Membangun koneksi di luar Jawa, terutama kawasan pertumbuhan seperti Kalimantan Timur (IKN), Sulawesi, dan Papua.

Aktif dalam forum bisnis, asosiasi konstruksi, dan kerja sama BUMN/swasta besar.

 

Insight tambahan: Networking bukan sekadar hubungan sosial — ia adalah modal strategis dalam mendapatkan informasi tender, kemitraan, dan akses logistik. PT ACI disarankan untuk membangun hubungan proaktif, termasuk dengan pemerintah daerah.

 

5. Transformasi Model Bisnis

 

Beralih dari model reaktif menjadi model proaktif berbasis strategi digital.

Mengintegrasikan CRM (Customer Relationship Management) dan digital marketing untuk menjangkau pasar baru dan klien korporat.

 

Relevansi tren: Era digital mendorong konstruksi menuju platform-based services. Klien semakin memilih kontraktor yang transparan, cepat respons, dan terhubung secara digital.

 

Studi Kasus Implementasi Strategi

 

  • Masalah Tender

 

Tantangan: PT ACI sering kalah tender meskipun memiliki portofolio bagus.

 

Analisis: Proposal kurang kompetitif dari sisi struktur biaya dan visualisasi teknis.

 

  • Solusi yang Diusulkan

 

  • Gunakan BIM untuk menunjukkan keunggulan teknis.
  • Standarisasi dokumen tender dengan checklist digital.
  • Bentuk tim khusus tender yang fokus pada riset pasar dan kebutuhan klien.

 

  • Hasil yang Diharapkan

 

  • Peningkatan akurasi estimasi biaya.
  • Meningkatkan keberhasilan memenangkan tender sebesar >20% dalam 2 tahun.

 

Nilai Tambah dan Perbandingan dengan Studi Lain

 

Penelitian ini memberikan kontribusi praktis yang jarang dimunculkan dalam riset konstruksi: integrasi antara strategi bisnis dan praktik manajemen proyek di perusahaan menengah.

 

Jika dibandingkan dengan studi sebelumnya seperti oleh Ulukan (2020) atau Melkonyan dkk. (2020), pendekatan Jeysen Wenas lebih aplikatif karena tidak hanya berhenti di tingkat teori tetapi menyusun rencana implementasi terukur yang cocok untuk pasar Indonesia.

 

Kritik terhadap Penelitian

 

  • Meskipun penelitian ini sangat relevan, ada beberapa catatan:
  • Minimnya data kuantitatif: tidak ada pembahasan angka kinerja keuangan atau perbandingan tahun-ke-tahun dari PT ACI.
  • Tidak menyertakan studi banding perusahaan lain di industri serupa yang sudah sukses menerapkan strategi serupa.

 

Namun, pendekatan wawancara mendalam memberikan kekuatan dari sisi insight bisnis yang sering kali luput dalam studi kuantitatif.

 

Kesimpulan: Strategi adalah Jalan, Bukan Sekadar Tujuan

 

Penelitian ini membuktikan bahwa pertumbuhan industri tidak otomatis berdampak pada semua pemain — kecuali mereka yang siap beradaptasi dan menyusun strategi. PT ACI, melalui pendekatan yang sistematis, bisa mentransformasi dirinya dari pemain menengah menjadi pemain utama dalam pasar konstruksi nasional.

 

Dengan menggabungkan teknologi, pengembangan SDM, ekspansi pasar, dan reformasi manajemen proyek, PT ACI dapat menavigasi tantangan industri konstruksi yang dinamis sekaligus menangkap peluang pertumbuhan jangka panjang.

 

 

Sumber Utama

 

Wenas, J., & Sunitiyoso, Y. (2024). Developing Business Strategies to Grow the Business of PT Asia Civil Indonesia. International Journal of Current Science Research and Review, 7(9), 7099–7107. DOI: 10.47191/ijcsrr/V7-i9-27

Selengkapnya
Strategi Bisnis Cerdas untuk Masa Depan Konstruksi: Studi Kasus PT Asia Civil Indonesia

Konstruksi

Kinerja Mutu Proyek Konstruksi di Aceh: Mengurai Akar Masalah dan Solusi Berbasis Fakta

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025


Pengantar: Mutu Bukan Sekadar Target, Tapi Jaminan Keberlangsungan Proyek

 

Dalam dunia konstruksi, mutu bukan hanya indikator pencapaian teknis, melainkan juga fondasi dari keberlangsungan bisnis dan reputasi perusahaan. Terlebih di era kompetisi yang kian ketat, proyek konstruksi dituntut tak hanya selesai tepat waktu dan hemat biaya, tetapi juga harus menghasilkan bangunan berkualitas tinggi. Namun, realitas di lapangan tak selalu sejalan dengan harapan. Sejumlah proyek di Provinsi Aceh, misalnya, masih menghadapi tantangan serius dalam hal mutu.

 

Penelitian Anita Rauzana dan Dwi Andri Usni ini hadir sebagai respons terhadap problem klasik yang terus membayangi dunia konstruksi lokal: mengapa mutu proyek di Aceh masih rendah meski jumlah perusahaan konstruksi terus meningkat?

 

Metodologi: Kajian Statistik dan Kuesioner Praktisi Lapangan

 

Studi ini menggunakan metode statistik deskriptif, didukung penyebaran kuesioner kepada 30 perusahaan kontraktor bersertifikat LPJK di Aceh dengan klasifikasi M1, M2, B1, dan B2. Para responden diminta menilai 18 faktor penyebab rendahnya mutu menggunakan skala Likert (1–5). Hasil validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa semua indikator valid (r > 0,444) dan reliabel (α = 0,877).

 

Temuan Utama: Lima Penyebab Dominan Rendahnya Kinerja Mutu

 

Berikut lima faktor yang dinilai “sangat berpengaruh” terhadap buruknya mutu proyek konstruksi di Aceh menurut para kontraktor:

 

1. Perubahan Lingkup Pekerjaan

 

Persentase responden: 63% (19 dari 30) menilai sangat berpengaruh.

Masalah umum: revisi desain mendadak, spesifikasi tidak konsisten, dan perintah kerja tambahan tanpa perencanaan matang.

 

Dampak:

Rework dan pemborosan material.

Overbudget dan keterlambatan jadwal.

 

Analisis Tambahan: Fenomena ini sejatinya mencerminkan lemahnya integrasi antara perencana dan pelaksana. Idealnya, dokumen kerja (RAB, gambar, dan spesifikasi) harus matang sebelum kontrak ditandatangani. Perubahan yang tidak terkontrol menjadi penyebab utama ketidaksesuaian mutu konstruksi dengan rencana awal.

 

2. Kualitas Material yang Buruk

 

Responden: 70% menilai sangat berpengaruh.

 

Contoh nyata: keretakan dini pada plat lantai atau dinding karena pasir tidak lolos uji kadar lumpur.

 

Solusi yang disarankan:

Seleksi ketat terhadap supplier.

Inspeksi material sebelum dikirim ke lokasi proyek.

 

Opini Kritis: Kebanyakan kontraktor terlalu fokus pada efisiensi harga dan lupa bahwa penghematan pada material bisa berujung pada biaya tambahan akibat perbaikan. Standarisasi rantai pasok material konstruksi perlu menjadi prioritas kebijakan publik.

 

3. Kesalahan Desain

 

Jumlah responden: 56% menyatakan faktor ini sangat berpengaruh.

 

Bentuk kesalahan:

Desain tidak sesuai kondisi lapangan.

Gambar teknis tidak rinci.

 

Konsekuensi:

Tingginya volume pekerjaan ulang (rework).

Terjadinya konflik antara pelaksana dan konsultan.

 

Kritik Tambahan: Perencanaan yang tidak berbasis survei geoteknik atau kondisi eksisting bisa memicu desain yang tidak layak secara struktural. Di sinilah pentingnya kolaborasi multi-disiplin (arsitek, struktur, MEP) dalam fase desain.

 

4. Mutu Peralatan yang Buruk

 

Responden: 67% sepakat faktor ini sangat mempengaruhi hasil akhir proyek.

 

Dampak langsung:

Tingkat produksi menurun.

Tingginya biaya maintenance alat berat.

 

Saran praktis:

Lakukan inspeksi alat sebelum mobilisasi.

Gunakan logistik equipment management berbasis sistem.

 

Trend Industri: Perusahaan kelas menengah ke bawah sering menyewa alat dari pihak ketiga dengan kualitas tak terjamin. Implementasi digital asset management berbasis IoT sudah umum di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, dan bisa menjadi acuan untuk Indonesia.

 

5. Kurangnya Keahlian Tenaga Kerja

 

Responden: 63% menyatakan sangat berpengaruh.

 

Contoh kasus: kesalahan pemasangan bekisting menyebabkan beton menggelembung dan tidak rata.

 

Solusi:

Pelatihan rutin dan pemberian sertifikasi keterampilan (SKT).

Pengawasan melekat saat pekerjaan teknis berlangsung.

 

Opini Kritis: Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan besar antara kurikulum pendidikan vokasi dan realitas di lapangan. Pelatihan berbasis proyek dan kerja sama industri-pendidikan adalah kunci menutup gap ini.

 

Pembahasan Lanjutan: Aspek Lain yang Perlu Diantisipasi

 

Faktor Eksternal Lain (Berpengaruh sedang):

  • Inflasi dan suku bunga: Menyulitkan pengadaan material berkualitas.
  • Cuaca ekstrem: Memperlambat progres dan menurunkan mutu pengerjaan.
  • Jumlah peralatan kurang: Menyebabkan stagnasi di lokasi proyek.

 

Konsekuensi Umum dari Rendahnya Mutu:

  • Kegagalan fungsi bangunan (tidak fit for use).
  • Tuntutan hukum dari pemilik proyek.
  • Turunnya reputasi kontraktor dan potensi black-list.

 

Tinjauan Perbandingan dengan Studi Serupa

 

Penelitian ini sejalan dengan studi Alrizal et al. (2020) dan Han et al. (2013) yang menempatkan “kesalahan desain” dan “material buruk” sebagai penyumbang utama kegagalan proyek. Namun, yang membedakan, studi di Aceh ini memberikan pendekatan kontekstual spesifik, mencerminkan tantangan unik di wilayah pasca-konflik dan rawan bencana.

 

Dampak Praktis dan Rekomendasi Strategis

 

Untuk meningkatkan mutu proyek konstruksi di Aceh (dan Indonesia secara umum), penulis merekomendasikan:

 

1. Penegakan Standar Nasional Konstruksi (SNI)

 

SNI harus dijadikan acuan wajib dalam pengadaan material, pelaksanaan, hingga audit pasca-proyek.

 

2. Implementasi Quality Management System (QMS) Berbasis ISO 9001

 

Khususnya untuk perusahaan menengah yang sering jadi mitra pemerintah.

 

3. Penerapan Digital Construction Tools

 

Penggunaan BIM, e-procurement, hingga aplikasi mobile untuk inspeksi lapangan real-time.

 

4. Revitalisasi Pendidikan dan Sertifikasi Tenaga Kerja

 

Pelatihan berbasis proyek, kerja sama kampus–industri, dan keharusan SKA/SKT.

 

Kesimpulan: Saatnya Mutu Menjadi Kunci Utama, Bukan Sekadar Formalitas

 

Studi Rauzana dan Usni membuka mata bahwa banyak proyek konstruksi di Aceh belum mampu mewujudkan mutu sebagai target utama. Lima faktor utama — perubahan lingkup pekerjaan, kualitas material buruk, kesalahan desain, mutu peralatan buruk, dan kurangnya keahlian tenaga kerja — adalah sinyal kuat bahwa perbaikan sistemik diperlukan.

 

Dalam dunia yang semakin terotomatisasi dan terdigitalisasi, mutu tak bisa lagi diserahkan sepenuhnya pada pengalaman dan intuisi. Ia harus dikawal dengan sistem, ditopang teknologi, dan ditanamkan dalam budaya kerja semua pelaku industri konstruksi.

 

 

Sumber Referensi

 

Rauzana, A., & Usni, D. A. (2020). Kajian Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kinerja Mutu pada Proyek Konstruksi di Provinsi Aceh. Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol. 26, No. 2, 267–274. https://jurnal.usk.ac.id/MKTS/article/view/24065

Selengkapnya
Kinerja Mutu Proyek Konstruksi di Aceh: Mengurai Akar Masalah dan Solusi Berbasis Fakta

Konstruksi

Reformulasi Regulasi Jasa Konstruksi: Kritik terhadap Efektivitas UUJK bagi Praktisi Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Relevansi UUJK dalam Dinamika Industri Konstruksi

 

Dalam industri konstruksi yang berkembang pesat dan kompleks di Indonesia, peraturan perundang-undangan berperan penting sebagai pemandu arah dan etika kerja. Penelitian oleh Andi Bayu Putra dan Hendrik Sulistio, berjudul "Analisis Undang-Undang yang Mengatur Jasa Konstruksi Indonesia terhadap Pengguna dan Penyedia Jasa Konstruksi", memaparkan bagaimana dua rezim hukum utama—UU No. 18 Tahun 1999 dan UU No. 2 Tahun 2017—diterima oleh praktisi jasa konstruksi.

 

Penelitian ini penting karena mengevaluasi efektivitas undang-undang yang menjadi tulang punggung regulasi konstruksi nasional. Dengan pendekatan kuantitatif berbasis kuesioner terhadap 60 praktisi di bidang konstruksi, ditambah validasi melalui wawancara dengan ahli berpengalaman lebih dari 15 tahun, kajian ini menyuguhkan refleksi tajam atas kondisi regulatif yang berlaku.

 

Transformasi Regulatif: Dari UUJK 1999 ke UUJK 2017

 

UUJK 18/1999 terdiri dari 12 bab dan 46 pasal, sementara UUJK 2/2017 berkembang menjadi 14 bab dan 106 pasal. Perubahan ini mencakup:

  • Penambahan segmen pasar dan klasifikasi usaha (kecil, menengah, besar)
  • Penguatan peran pemerintah pusat dan daerah
  • Penekanan pada pembangunan berkelanjutan, keamanan kerja, dan sistem informasi konstruksi
  • Pengakuan lebih luas terhadap usaha jasa konstruksi asing dan perseorangan

Namun, perubahan kuantitatif ini ternyata tidak otomatis menghasilkan kualitas regulasi yang lebih baik di mata pengguna dan penyedia jasa konstruksi.

 

Hasil Penelitian: Dimensi Kelemahan Regulasi

 

Melalui pendekatan regresi linear berganda, ditemukan bahwa hanya 16,7% variasi persepsi negatif terhadap UUJK dapat dijelaskan oleh dua variabel utama:

1. X13: Kurangnya ketetapan dalam pemilihan Penilai Ahli

2. X19: Ketidakjelasan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar

 

Temuan lainnya yang juga signifikan meliputi:

  • X12: Ketiadaan penjabaran tegas mengenai kegagalan bangunan
  • X14: Ketidakjelasan standar tenaga kerja konstruksi

Kritik utama muncul karena peraturan dianggap terlalu normatif tanpa mekanisme eksekusi yang jelas. Misalnya, dalam konteks kegagalan bangunan, UUJK seharusnya memberikan kerangka tanggung jawab dan investigasi teknis yang transparan—seperti halnya dalam sistem arbitrase konstruksi di negara maju seperti Australia atau Inggris.

 

Studi Kasus: Praktik di Lapangan

 

Dalam praktiknya, perusahaan konstruksi multinasional yang beroperasi di Indonesia sering kali menilai UUJK sebagai "guideline kabur" yang kurang enforceable. Misalnya, dalam proyek konstruksi besar seperti Tol Trans Jawa atau LRT Jabodebek, penyelesaian sengketa antara kontraktor dan subkontraktor sering dilakukan di luar jalur UUJK, melalui mekanisme internal atau arbitrase internasional. Hal ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap instrumen hukum nasional.

 

Dampak Nyata di Lapangan

 

Berdasarkan hasil kuesioner:

  • 47% responden merasa ketentuan soal kegagalan bangunan tidak aplikatif
  • 52% menyatakan tidak memahami standar sanksi dalam UUJK
  • 60% menyebutkan belum ada SOP nasional untuk pemilihan penilai ahli independen

Ini menegaskan bahwa gap antara dokumen hukum dan realitas implementasi masih lebar.

 

Tantangan dan Rekomendasi: Apa yang Perlu Diperbaiki?

 

1. Penilai Ahli: Sertifikasi dan Independensi

 

Harus ada standar nasional tentang kualifikasi penilai ahli, termasuk pengalaman minimal, latar belakang pendidikan, dan akreditasi. Idealnya, Indonesia membentuk Construction Expert Accreditation Board seperti di Singapura.

 

2. Sistem Sanksi: Jelas, Tegas, dan Konsisten

 

Perlu penggabungan kekuatan antara pendekatan UUJK 1999 (yang menekankan konsekuensi hukum) dan UUJK 2017 (yang fokus pada aktor). Penyusunan sistem sanksi harus memuat tiga unsur:

  • Subjek pelanggar
  • Jenis pelanggaran
  • Besaran dan bentuk sanksi

 

3. Kegagalan Bangunan: Membangun Mekanisme Audit Teknis

 

Peraturan baru harus mewajibkan post-failure audit oleh lembaga independen dengan pelaporan terbuka. Hal ini dapat menekan praktik korupsi dan moral hazard dalam proyek besar.

 

4. Standar Tenaga Kerja Konstruksi: Sertifikasi dan Keselamatan

 

Dalam era Industri 4.0, sertifikasi tenaga kerja harus berbasis digital, mudah dilacak, dan wajib diperbarui secara berkala. Negara seperti Jepang telah menerapkan sistem ini untuk memantau migran konstruksi.

 

Penilaian Kritis terhadap Metodologi Penelitian

 

Studi ini patut diapresiasi karena menyertakan validitas statistik dengan SPSS dan pendekatan triangulasi data. Namun, beberapa kritik yang bisa diajukan antara lain:

  • Skala sampel terbatas (hanya 60 responden), membuat generalisasi kurang kuat
  • Minim pembahasan per sektor (misalnya perbandingan antara proyek swasta dan proyek pemerintah)
  • Kuesioner berbasis persepsi mungkin bias terhadap pengalaman personal

Untuk masa depan, perlu pendekatan mixed methods dengan penggabungan studi dokumen hukum dan observasi lapangan terhadap proyek-proyek yang mengalami kegagalan atau konflik.

 

Implikasi bagi Industri Konstruksi Indonesia

 

Bagi perusahaan kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek, hasil riset ini menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap UUJK belum menjamin perlindungan hukum optimal. Oleh karena itu, sektor swasta perlu:

  • Meningkatkan penggunaan kontrak berbasis FIDIC atau NEC3
  • Melakukan pelatihan internal mengenai pembacaan regulasi UUJK
  • Menyiapkan sistem alternatif penyelesaian sengketa (ADR)

Sedangkan bagi pemerintah, hasil ini bisa dijadikan bahan masukan untuk revisi UUJK di masa depan agar lebih aplikatif dan relevan dengan dinamika industri.

 

Kesimpulan: UUJK Perlu Evolusi, Bukan Sekadar Revisi

 

Meskipun UUJK 2/2017 telah membawa banyak pembaruan, penelitian ini menegaskan bahwa kuantitas pasal belum tentu mencerminkan kualitas substansi hukum. Dengan pendekatan yang lebih praktis, berlandaskan pengalaman empiris dari pengguna dan penyedia jasa, revisi UUJK ke depan harus difokuskan pada:

  • Peningkatan kejelasan definisi teknis
  • Penegakan hukum yang efisien
  • Peningkatan literasi hukum di kalangan praktisi

Sebagaimana hukum seharusnya menjadi tools of change, UUJK yang efektif adalah yang mampu menjembatani kompleksitas teknis dan keadilan hukum secara setara bagi semua pelaku jasa konstruksi.

 

 

Sumber Referensi:

 

Putra, A. B., & Sulistio, H. (2019). Analisis Undang-Undang yang Mengatur Jasa Konstruksi Indonesia terhadap Pengguna dan Penyedia Jasa Konstruksi, Media Komunikasi Teknik Sipil, 25(2), 199–209. DOI: mkts.v25i2.19678

Selengkapnya
Reformulasi Regulasi Jasa Konstruksi: Kritik terhadap Efektivitas UUJK bagi Praktisi Konstruksi Indonesia

Ketenagakerjaan

Menelisik Faktor Kritis Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi Jalan Tol: Studi Kasus Binjai–Langsa

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Infrastruktur Hebat Butuh Tenaga Kerja Efisien

Pembangunan infrastruktur menjadi tulang punggung transformasi ekonomi Indonesia. Jalan tol sebagai penghubung logistik antarwilayah tak hanya menciptakan konektivitas, tetapi juga menarik investasi. Namun, satu tantangan utama yang sering terlupakan adalah bagaimana produktifitas tenaga kerja di lapangan bisa menjadi pembeda antara proyek yang berhasil dan yang mangkrak.

Penelitian ini meneliti proyek besar: Pembangunan Jalan Tol Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan, bagian dari jaringan Tol Trans-Sumatera, yang dinilai krusial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi regional.

Tujuan dan Pentingnya Studi Ini

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.

  • Menggunakan pendekatan statistik modern untuk memastikan temuan dapat diuji dan direplikasi.

Dengan pendekatan Productivity Rating, regresi linear berganda, serta pengujian validitas dan reliabilitas menggunakan SPSS v26, studi ini berusaha menyaring variabel yang paling dominan dari total 32 variabel teknis, manajerial, dan personal pekerja.

Metodologi: Gabungan Survei Lapangan & Analisis Statistik

Lokasi dan Responden

  • Lokasi: Jalan Tol Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan

  • Responden: 25 personel proyek (site engineer, quantity surveyor, drafter, QHSSE, logistik, dan lainnya)

  • Durasi pengamatan: 3 hari kerja (sampel produktivitas diukur dari 420 menit per hari)

Tools & Teknik:

  • Productivity Rating: Mengukur efektivitas aktivitas kerja (Effective, Contributory, Ineffective)

  • SPSS v26: Untuk regresi linear, uji t, uji F (ANOVA), dan koefisien determinasi

  • Validitas dan Reliabilitas: Memastikan instrumen kuesioner tepat dan akurat

Temuan Utama: Rata-Rata Produktivitas Cukup Memuaskan

Labor Utilization Rate (LUR)

Hasil pengukuran LUR menunjukkan:

  • Rata-rata LUR: 76,70%

  • Nilai tertinggi: 83,93% (oleh pekerja bernama Kiki pada hari ke-2)

  • Angka ini jauh melampaui standar ideal LUR yang hanya 40%–60% (Oglesby, 1989), menunjukkan kinerja pekerja berada di level cukup memuaskan.

Insight Tambahan: Angka ini mengindikasikan koordinasi manajemen proyek yang cukup baik. Namun, angka ini tetap butuh konfirmasi melalui faktor-faktor penyerta yang memengaruhinya.

Identifikasi Faktor: Apa Saja yang Mempengaruhi Produktivitas?

Total Faktor Diuji: 32 Variabel

Terdiri dari 3 kategori:

  • Teknis: Cuaca, peralatan rusak, pembebasan lahan, dll.
  • Pekerja: Usia, tingkat upah, insentif, pengalaman
  • Manajerial: Pengawasan, briefing, mutu koordinasi

Setelah tiga tahap uji validitas, hanya 21 faktor yang valid. Dari sana, melalui regresi linear, ditemukan 12 variabel signifikan yang mempengaruhi produktivitas secara statistik.

Catatan Kritis:

  • Tingkat upah berpengaruh positif dan signifikan, mendukung teori bahwa kompensasi layak meningkatkan semangat kerja.

  • Insentif justru berdampak negatif, hal yang bertentangan dengan banyak studi sebelumnya (Halida, 2016; Mayasari, 2016). Ini bisa jadi disebabkan insentif yang tidak jelas skemanya atau malah menjadi beban target kerja tambahan.

  • Cuaca tidak menentu berdampak positif, kemungkinan karena pekerja menjadi lebih disiplin dalam mengatur waktu kerja, atau proyek memiliki sistem mitigasi cuaca yang baik.
     

Analisis Tambahan: Fenomena cuaca sebagai faktor positif perlu studi lanjutan, mengingat sebagian besar studi sebelumnya menyatakan hujan dan iklim ekstrem justru memperlambat pekerjaan (Ofusaputra, 2018).

Faktor Lain yang Teruji Signifikan:

  • Pengalaman kerja (+)

  • Usia pekerja (-)

  • Pembagian pekerjaan tidak seimbang (-)

  • Kualitas pengawasan (+)

  • Kurangnya briefing (-)

  • Masalah pembebasan lahan (+)

Penafsiran:

  • Pengalaman selalu menjadi aset: makin lama bekerja, makin cepat menyelesaikan tugas.

  • Usia terlalu tua bisa mengurangi stamina, fleksibilitas, dan kecepatan kerja.

  • Briefing yang minim berujung pada miskomunikasi dan potensi kesalahan.

  • Pembebasan lahan sebagai variabel positif mungkin merefleksikan kelancaran logistik begitu masalah diselesaikan.

Koefisien Determinasi: Model Sangat Kuat

  • R² = 0,989

  • Artinya: 98,9% variasi produktivitas tenaga kerja dapat dijelaskan oleh 21 variabel tersebut.

Ini adalah angka yang sangat tinggi untuk riset sosial, menandakan bahwa faktor-faktor yang dikaji memiliki keterkaitan sangat kuat dengan output produktivitas.

Uji F (ANOVA): Model Statistik Valid

  • Fhitung = 12,296 > Ftabel = 5,790

  • Kesimpulan: Model regresi berpengaruh secara simultan terhadap produktivitas.

Kritik dan Opini: Apa yang Perlu Diperbaiki?

Kejanggalan Temuan Insentif

Studi ini menemukan bahwa insentif berdampak negatif terhadap produktivitas. Ini bisa disebabkan:

  • Skema insentif tidak transparan

  • Insentif bersifat target-based tanpa memperhitungkan kapasitas

  • Pengaruh psikologis: insentif dinilai beban, bukan motivasi
     

Rekomendasi: Perlu evaluasi sistem reward yang lebih adil, berbasis progres bukan hasil akhir semata.

Belum Menyentuh Digitalisasi

Studi belum memasukkan faktor penggunaan teknologi digital seperti aplikasi pelaporan harian, sistem manajemen proyek, atau software monitoring kerja. Ini bisa menjadi peluang penelitian lanjutan.

Rekomendasi Praktis dari Penelitian Ini

  1. Kaji ulang sistem insentif proyek agar benar-benar meningkatkan produktivitas, bukan sebaliknya.

  2. Optimalkan ruang kerja fisik untuk menghindari keterbatasan mobilitas pekerja.

  3. Rekrut pekerja dengan pengalaman lebih tinggi dan berikan pelatihan berkala.

  4. Perbaiki sistem briefing harian, bahkan menggunakan tools digital agar informasi tersampaikan utuh.

  5. Perhatikan jarak tempat tinggal pekerja, idealnya berikan fasilitas mess.

 

Penutup: Jalan Tol Hebat Butuh Tenaga Kerja Hebat

Penelitian ini menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur besar tidak bisa dilepaskan dari hal kecil bernama "tenaga kerja". Bahkan, upah, cuaca, hingga briefing bisa menjadi pembeda antara proyek yang selesai tepat waktu dan yang terlambat.

Dengan pendekatan statistik yang cermat dan lokasi proyek nyata, studi ini layak dijadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan SDM konstruksi, baik oleh kontraktor swasta maupun pemerintah.

 

Sumber

Penelitian ini dapat diakses melalui:
Yolanda Ayu Damayanti & Mizanuddin Sitompul (2021).
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Jalan Tol Ruas Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan
Jurnal Rekayasa Konstruksi Mekanika Sipil (JRKMS), Vol. 4 No. 2
Universitas Katolik Santo Thomas
Tautan: http://ejournal.ust.ac.id/index.php/JRKMS

Selengkapnya
Menelisik Faktor Kritis Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi Jalan Tol: Studi Kasus Binjai–Langsa
« First Previous page 381 of 1.345 Next Last »