Reformulasi Regulasi Jasa Konstruksi: Kritik terhadap Efektivitas UUJK bagi Praktisi Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

21 Mei 2025, 10.10

Freepik.com

Pendahuluan: Relevansi UUJK dalam Dinamika Industri Konstruksi

 

Dalam industri konstruksi yang berkembang pesat dan kompleks di Indonesia, peraturan perundang-undangan berperan penting sebagai pemandu arah dan etika kerja. Penelitian oleh Andi Bayu Putra dan Hendrik Sulistio, berjudul "Analisis Undang-Undang yang Mengatur Jasa Konstruksi Indonesia terhadap Pengguna dan Penyedia Jasa Konstruksi", memaparkan bagaimana dua rezim hukum utama—UU No. 18 Tahun 1999 dan UU No. 2 Tahun 2017—diterima oleh praktisi jasa konstruksi.

 

Penelitian ini penting karena mengevaluasi efektivitas undang-undang yang menjadi tulang punggung regulasi konstruksi nasional. Dengan pendekatan kuantitatif berbasis kuesioner terhadap 60 praktisi di bidang konstruksi, ditambah validasi melalui wawancara dengan ahli berpengalaman lebih dari 15 tahun, kajian ini menyuguhkan refleksi tajam atas kondisi regulatif yang berlaku.

 

Transformasi Regulatif: Dari UUJK 1999 ke UUJK 2017

 

UUJK 18/1999 terdiri dari 12 bab dan 46 pasal, sementara UUJK 2/2017 berkembang menjadi 14 bab dan 106 pasal. Perubahan ini mencakup:

  • Penambahan segmen pasar dan klasifikasi usaha (kecil, menengah, besar)
  • Penguatan peran pemerintah pusat dan daerah
  • Penekanan pada pembangunan berkelanjutan, keamanan kerja, dan sistem informasi konstruksi
  • Pengakuan lebih luas terhadap usaha jasa konstruksi asing dan perseorangan

Namun, perubahan kuantitatif ini ternyata tidak otomatis menghasilkan kualitas regulasi yang lebih baik di mata pengguna dan penyedia jasa konstruksi.

 

Hasil Penelitian: Dimensi Kelemahan Regulasi

 

Melalui pendekatan regresi linear berganda, ditemukan bahwa hanya 16,7% variasi persepsi negatif terhadap UUJK dapat dijelaskan oleh dua variabel utama:

1. X13: Kurangnya ketetapan dalam pemilihan Penilai Ahli

2. X19: Ketidakjelasan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar

 

Temuan lainnya yang juga signifikan meliputi:

  • X12: Ketiadaan penjabaran tegas mengenai kegagalan bangunan
  • X14: Ketidakjelasan standar tenaga kerja konstruksi

Kritik utama muncul karena peraturan dianggap terlalu normatif tanpa mekanisme eksekusi yang jelas. Misalnya, dalam konteks kegagalan bangunan, UUJK seharusnya memberikan kerangka tanggung jawab dan investigasi teknis yang transparan—seperti halnya dalam sistem arbitrase konstruksi di negara maju seperti Australia atau Inggris.

 

Studi Kasus: Praktik di Lapangan

 

Dalam praktiknya, perusahaan konstruksi multinasional yang beroperasi di Indonesia sering kali menilai UUJK sebagai "guideline kabur" yang kurang enforceable. Misalnya, dalam proyek konstruksi besar seperti Tol Trans Jawa atau LRT Jabodebek, penyelesaian sengketa antara kontraktor dan subkontraktor sering dilakukan di luar jalur UUJK, melalui mekanisme internal atau arbitrase internasional. Hal ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap instrumen hukum nasional.

 

Dampak Nyata di Lapangan

 

Berdasarkan hasil kuesioner:

  • 47% responden merasa ketentuan soal kegagalan bangunan tidak aplikatif
  • 52% menyatakan tidak memahami standar sanksi dalam UUJK
  • 60% menyebutkan belum ada SOP nasional untuk pemilihan penilai ahli independen

Ini menegaskan bahwa gap antara dokumen hukum dan realitas implementasi masih lebar.

 

Tantangan dan Rekomendasi: Apa yang Perlu Diperbaiki?

 

1. Penilai Ahli: Sertifikasi dan Independensi

 

Harus ada standar nasional tentang kualifikasi penilai ahli, termasuk pengalaman minimal, latar belakang pendidikan, dan akreditasi. Idealnya, Indonesia membentuk Construction Expert Accreditation Board seperti di Singapura.

 

2. Sistem Sanksi: Jelas, Tegas, dan Konsisten

 

Perlu penggabungan kekuatan antara pendekatan UUJK 1999 (yang menekankan konsekuensi hukum) dan UUJK 2017 (yang fokus pada aktor). Penyusunan sistem sanksi harus memuat tiga unsur:

  • Subjek pelanggar
  • Jenis pelanggaran
  • Besaran dan bentuk sanksi

 

3. Kegagalan Bangunan: Membangun Mekanisme Audit Teknis

 

Peraturan baru harus mewajibkan post-failure audit oleh lembaga independen dengan pelaporan terbuka. Hal ini dapat menekan praktik korupsi dan moral hazard dalam proyek besar.

 

4. Standar Tenaga Kerja Konstruksi: Sertifikasi dan Keselamatan

 

Dalam era Industri 4.0, sertifikasi tenaga kerja harus berbasis digital, mudah dilacak, dan wajib diperbarui secara berkala. Negara seperti Jepang telah menerapkan sistem ini untuk memantau migran konstruksi.

 

Penilaian Kritis terhadap Metodologi Penelitian

 

Studi ini patut diapresiasi karena menyertakan validitas statistik dengan SPSS dan pendekatan triangulasi data. Namun, beberapa kritik yang bisa diajukan antara lain:

  • Skala sampel terbatas (hanya 60 responden), membuat generalisasi kurang kuat
  • Minim pembahasan per sektor (misalnya perbandingan antara proyek swasta dan proyek pemerintah)
  • Kuesioner berbasis persepsi mungkin bias terhadap pengalaman personal

Untuk masa depan, perlu pendekatan mixed methods dengan penggabungan studi dokumen hukum dan observasi lapangan terhadap proyek-proyek yang mengalami kegagalan atau konflik.

 

Implikasi bagi Industri Konstruksi Indonesia

 

Bagi perusahaan kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek, hasil riset ini menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap UUJK belum menjamin perlindungan hukum optimal. Oleh karena itu, sektor swasta perlu:

  • Meningkatkan penggunaan kontrak berbasis FIDIC atau NEC3
  • Melakukan pelatihan internal mengenai pembacaan regulasi UUJK
  • Menyiapkan sistem alternatif penyelesaian sengketa (ADR)

Sedangkan bagi pemerintah, hasil ini bisa dijadikan bahan masukan untuk revisi UUJK di masa depan agar lebih aplikatif dan relevan dengan dinamika industri.

 

Kesimpulan: UUJK Perlu Evolusi, Bukan Sekadar Revisi

 

Meskipun UUJK 2/2017 telah membawa banyak pembaruan, penelitian ini menegaskan bahwa kuantitas pasal belum tentu mencerminkan kualitas substansi hukum. Dengan pendekatan yang lebih praktis, berlandaskan pengalaman empiris dari pengguna dan penyedia jasa, revisi UUJK ke depan harus difokuskan pada:

  • Peningkatan kejelasan definisi teknis
  • Penegakan hukum yang efisien
  • Peningkatan literasi hukum di kalangan praktisi

Sebagaimana hukum seharusnya menjadi tools of change, UUJK yang efektif adalah yang mampu menjembatani kompleksitas teknis dan keadilan hukum secara setara bagi semua pelaku jasa konstruksi.

 

 

Sumber Referensi:

 

Putra, A. B., & Sulistio, H. (2019). Analisis Undang-Undang yang Mengatur Jasa Konstruksi Indonesia terhadap Pengguna dan Penyedia Jasa Konstruksi, Media Komunikasi Teknik Sipil, 25(2), 199–209. DOI: mkts.v25i2.19678