Kinerja Mutu Proyek Konstruksi di Aceh: Mengurai Akar Masalah dan Solusi Berbasis Fakta

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

21 Mei 2025, 10.10

Freepik.com

Pengantar: Mutu Bukan Sekadar Target, Tapi Jaminan Keberlangsungan Proyek

 

Dalam dunia konstruksi, mutu bukan hanya indikator pencapaian teknis, melainkan juga fondasi dari keberlangsungan bisnis dan reputasi perusahaan. Terlebih di era kompetisi yang kian ketat, proyek konstruksi dituntut tak hanya selesai tepat waktu dan hemat biaya, tetapi juga harus menghasilkan bangunan berkualitas tinggi. Namun, realitas di lapangan tak selalu sejalan dengan harapan. Sejumlah proyek di Provinsi Aceh, misalnya, masih menghadapi tantangan serius dalam hal mutu.

 

Penelitian Anita Rauzana dan Dwi Andri Usni ini hadir sebagai respons terhadap problem klasik yang terus membayangi dunia konstruksi lokal: mengapa mutu proyek di Aceh masih rendah meski jumlah perusahaan konstruksi terus meningkat?

 

Metodologi: Kajian Statistik dan Kuesioner Praktisi Lapangan

 

Studi ini menggunakan metode statistik deskriptif, didukung penyebaran kuesioner kepada 30 perusahaan kontraktor bersertifikat LPJK di Aceh dengan klasifikasi M1, M2, B1, dan B2. Para responden diminta menilai 18 faktor penyebab rendahnya mutu menggunakan skala Likert (1–5). Hasil validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa semua indikator valid (r > 0,444) dan reliabel (α = 0,877).

 

Temuan Utama: Lima Penyebab Dominan Rendahnya Kinerja Mutu

 

Berikut lima faktor yang dinilai “sangat berpengaruh” terhadap buruknya mutu proyek konstruksi di Aceh menurut para kontraktor:

 

1. Perubahan Lingkup Pekerjaan

 

Persentase responden: 63% (19 dari 30) menilai sangat berpengaruh.

Masalah umum: revisi desain mendadak, spesifikasi tidak konsisten, dan perintah kerja tambahan tanpa perencanaan matang.

 

Dampak:

Rework dan pemborosan material.

Overbudget dan keterlambatan jadwal.

 

Analisis Tambahan: Fenomena ini sejatinya mencerminkan lemahnya integrasi antara perencana dan pelaksana. Idealnya, dokumen kerja (RAB, gambar, dan spesifikasi) harus matang sebelum kontrak ditandatangani. Perubahan yang tidak terkontrol menjadi penyebab utama ketidaksesuaian mutu konstruksi dengan rencana awal.

 

2. Kualitas Material yang Buruk

 

Responden: 70% menilai sangat berpengaruh.

 

Contoh nyata: keretakan dini pada plat lantai atau dinding karena pasir tidak lolos uji kadar lumpur.

 

Solusi yang disarankan:

Seleksi ketat terhadap supplier.

Inspeksi material sebelum dikirim ke lokasi proyek.

 

Opini Kritis: Kebanyakan kontraktor terlalu fokus pada efisiensi harga dan lupa bahwa penghematan pada material bisa berujung pada biaya tambahan akibat perbaikan. Standarisasi rantai pasok material konstruksi perlu menjadi prioritas kebijakan publik.

 

3. Kesalahan Desain

 

Jumlah responden: 56% menyatakan faktor ini sangat berpengaruh.

 

Bentuk kesalahan:

Desain tidak sesuai kondisi lapangan.

Gambar teknis tidak rinci.

 

Konsekuensi:

Tingginya volume pekerjaan ulang (rework).

Terjadinya konflik antara pelaksana dan konsultan.

 

Kritik Tambahan: Perencanaan yang tidak berbasis survei geoteknik atau kondisi eksisting bisa memicu desain yang tidak layak secara struktural. Di sinilah pentingnya kolaborasi multi-disiplin (arsitek, struktur, MEP) dalam fase desain.

 

4. Mutu Peralatan yang Buruk

 

Responden: 67% sepakat faktor ini sangat mempengaruhi hasil akhir proyek.

 

Dampak langsung:

Tingkat produksi menurun.

Tingginya biaya maintenance alat berat.

 

Saran praktis:

Lakukan inspeksi alat sebelum mobilisasi.

Gunakan logistik equipment management berbasis sistem.

 

Trend Industri: Perusahaan kelas menengah ke bawah sering menyewa alat dari pihak ketiga dengan kualitas tak terjamin. Implementasi digital asset management berbasis IoT sudah umum di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, dan bisa menjadi acuan untuk Indonesia.

 

5. Kurangnya Keahlian Tenaga Kerja

 

Responden: 63% menyatakan sangat berpengaruh.

 

Contoh kasus: kesalahan pemasangan bekisting menyebabkan beton menggelembung dan tidak rata.

 

Solusi:

Pelatihan rutin dan pemberian sertifikasi keterampilan (SKT).

Pengawasan melekat saat pekerjaan teknis berlangsung.

 

Opini Kritis: Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan besar antara kurikulum pendidikan vokasi dan realitas di lapangan. Pelatihan berbasis proyek dan kerja sama industri-pendidikan adalah kunci menutup gap ini.

 

Pembahasan Lanjutan: Aspek Lain yang Perlu Diantisipasi

 

Faktor Eksternal Lain (Berpengaruh sedang):

  • Inflasi dan suku bunga: Menyulitkan pengadaan material berkualitas.
  • Cuaca ekstrem: Memperlambat progres dan menurunkan mutu pengerjaan.
  • Jumlah peralatan kurang: Menyebabkan stagnasi di lokasi proyek.

 

Konsekuensi Umum dari Rendahnya Mutu:

  • Kegagalan fungsi bangunan (tidak fit for use).
  • Tuntutan hukum dari pemilik proyek.
  • Turunnya reputasi kontraktor dan potensi black-list.

 

Tinjauan Perbandingan dengan Studi Serupa

 

Penelitian ini sejalan dengan studi Alrizal et al. (2020) dan Han et al. (2013) yang menempatkan “kesalahan desain” dan “material buruk” sebagai penyumbang utama kegagalan proyek. Namun, yang membedakan, studi di Aceh ini memberikan pendekatan kontekstual spesifik, mencerminkan tantangan unik di wilayah pasca-konflik dan rawan bencana.

 

Dampak Praktis dan Rekomendasi Strategis

 

Untuk meningkatkan mutu proyek konstruksi di Aceh (dan Indonesia secara umum), penulis merekomendasikan:

 

1. Penegakan Standar Nasional Konstruksi (SNI)

 

SNI harus dijadikan acuan wajib dalam pengadaan material, pelaksanaan, hingga audit pasca-proyek.

 

2. Implementasi Quality Management System (QMS) Berbasis ISO 9001

 

Khususnya untuk perusahaan menengah yang sering jadi mitra pemerintah.

 

3. Penerapan Digital Construction Tools

 

Penggunaan BIM, e-procurement, hingga aplikasi mobile untuk inspeksi lapangan real-time.

 

4. Revitalisasi Pendidikan dan Sertifikasi Tenaga Kerja

 

Pelatihan berbasis proyek, kerja sama kampus–industri, dan keharusan SKA/SKT.

 

Kesimpulan: Saatnya Mutu Menjadi Kunci Utama, Bukan Sekadar Formalitas

 

Studi Rauzana dan Usni membuka mata bahwa banyak proyek konstruksi di Aceh belum mampu mewujudkan mutu sebagai target utama. Lima faktor utama — perubahan lingkup pekerjaan, kualitas material buruk, kesalahan desain, mutu peralatan buruk, dan kurangnya keahlian tenaga kerja — adalah sinyal kuat bahwa perbaikan sistemik diperlukan.

 

Dalam dunia yang semakin terotomatisasi dan terdigitalisasi, mutu tak bisa lagi diserahkan sepenuhnya pada pengalaman dan intuisi. Ia harus dikawal dengan sistem, ditopang teknologi, dan ditanamkan dalam budaya kerja semua pelaku industri konstruksi.

 

 

Sumber Referensi

 

Rauzana, A., & Usni, D. A. (2020). Kajian Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kinerja Mutu pada Proyek Konstruksi di Provinsi Aceh. Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol. 26, No. 2, 267–274. https://jurnal.usk.ac.id/MKTS/article/view/24065