Privatisasi Udara

Krisis Air dan Tanggung Jawab Negara: Telaah Kritis Hukum Pengelolaan Udara di Indonesia

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025


Krisis Air di Tengah Melimpahnya Sumber: Masalah Tata Kelola

Indonesia dikenal sebagai negara dengan ketersediaan air yang sangat besar—bahkan 25 kali lipat dari rata-rata dunia. Namun, ironi muncul ketika banyak daerah justru mengalami krisis udara. Dalam makalahnya yang terbit di Jurnal Cakrawala Hukum , Galih Puji Mulyono menggugat kenyataan ini melalui perspektif hukum: mengapa krisis udara bisa terjadi di negara kaya air seperti Indonesia?

Tulisan ini menyelidiki kebijakan hukum tata kelola udara yang ada, dampaknya terhadap masyarakat, dan perbandingan dengan sistem luar negeri, khususnya privatisasi udara di Inggris.

Implementasi Landasan Hukum dan Ketimpangan

Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif (doktrinal) untuk mengulas bagaimana hukum Indonesia mengatur pemanfaatan sumber daya air. Beberapa temuan kuncinya:

  • Tidak ada instrumen hukum yang mengatur secara tegas melestarikan udara sebagai sumber daya bersama.
  • UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena membuka peluang dominasi swasta atas sumber daya air.
  • Pasca diizinkannya UU tersebut, pemerintah kembali menerapkan UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang dianggap sudah tidak relevan dengan konteks saat ini.

Hal ini menunjukkan bahwa regulasi hukum masih jauh dari cukup untuk menjamin keadilan dan ketidakberhentian dalam pengelolaan air.

Studi Kasus: Dampak Hotel Terhadap Akses Air Warga

Makalah ini juga menyoroti dampak nyata lemahnya tata kelola melalui kasus-kasus di lapangan:

  • Yogyakarta : Pembangunan hotel menyebabkan sumur warga kering. Pemerintah berdalih hotel mengambil air dari sumber dalam, bukan air tanah dangkal warga.
  • Semarang : Banyak hotel tidak memiliki sistem resapan air hujan atau perlindungan, membantu banjir dan eksploitasi air tanah.
  • Bali : Alih fungsi lahan dan eksploitasi udara oleh sektor pariwisata warga Karangasem mengalami kekeringan pada musim kemarau.

Studi-studi ini menggambarkan bagaimana kebijakan sering tunduk pada kepentingan investasi, mengabaikan hak masyarakat atas akses air bersih.

Peran Swasta: Investasi atau Eksploitasi?

Makalah ini juga menyoroti ambiguitas peran swasta dalam pengelolaan udara. Di satu sisi, swasta dibutuhkan untuk investasi infrastruktur. Di sisi lain, komersialisasi air bisa menghilangkan hak dasar masyarakat.

Menurut Mahkamah Konstitusi, negara wajib membatasi pengusahaan udara oleh swasta demi:

  1. Menjaga hak rakyat atas air.
  2. Menjamin kelestarian lingkungan.
  3. Memberikan prioritas kepada BUMN/BUMD.

Namun penerapannya tidak seragam, membuka ruang tumpang tindih antara pengusaha, masyarakat adat, dan pemerintah.

Perbandingan Internasional: Inggris dan Sistem Privatisasi Udara

Untuk menyempurnakan analisis, penulis membandingkan sistem pengelolaan udara di Indonesia dengan Inggris, negara-negara yang dikenal sukses mendistribusikan udara bahkan ke negara lain seperti Singapura.

Fitur Sistem Inggris:

  • Menggunakan skema privatisasi penuh sejak Water Industry Act 1991 .
  • Pengelolaan dilakukan oleh perusahaan swasta, dengan regulasi ketat dari pemerintah (melalui OFWAT).
  • Penetapan tarif air berdasarkan nilai properti, bukan volume konsumsi.
  • Konsumen dilindungi oleh lembaga independen seperti CCWater .

Privatisasi di Inggris berjalan relatif sukses karena disertai dengan pengawasan ketat, transparansi data, dan regulasi tarif yang adil . Hal inilah yang tidak ditemukan dalam konteks Indonesia saat UU SDA 2004 masih berlaku.

Opini Kritis: Privatisasi Udara di Indonesia, Harus atau Tidak?

Penulis menyampaikan bahwa Indonesia belum siap menerapkan privatisasi seperti Inggris. Beberapa alasan utamanya:

  • Regulasi belum memadai.
  • Infrastruktur PDAM masih minim dan belum menjangkau seluruh daerah.
  • Potensi wilayah berwenang tinggi jika tanpa pengawasan yang kuat.
  • Komersialisasi bisa meminggirkan kelompok miskin dari hak dasar atas air.

Namun, penulis tidak menutup kemungkinan privatisasi terbatas asalnya dilakukan dengan prinsip transparansi , akuntabilitas , dan regulasi ketat .

Putusan MK dan Jalan Hukum yang Masih Terjal

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 menjadi tidak penting. MK menyatakan bahwa:

  • Pengelolaan udara oleh negara bersifat mutlak.
  • Pengusahaan oleh swasta harus menjadi prioritas terakhir.
  • BUMN/BUMD harus menjadi pelaksana utama dalam distribusi udara.

Putusan ini memaksa pemerintah menyusun regulasi baru, seperti PP No. 121/2015 tentang Pengusahaan SDA dan PP No. 122/2015 tentang SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum). Namun keduanya masih dalam tahap awal dan belum mampu membenahi izin kekacauan dan tata kelola yang ada.

Arah Kebijakan Baru: Perlindungan Inklusif, Bukan Eksklusif

Penulis menekankan perlunya kebijakan air yang:

  • Menjamin akses udara bagi semua , bukan hanya mereka yang mampu membayar.
  • Melibatkan masyarakat adat dan lokal dalam proses perizinan dan distribusi.
  • Mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan pengelolaan air.
  • Menyebarkan SPAM berbasis wilayah dan kebutuhan riil masyarakat.

Air bukan sekadar komoditas, tetapi hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Dalam konteksyang harus dijamin oleh negara. Dalam konteks ini, kebijakan hukum perlu diubah dari pendekatan ekonomi menjadi pendekatan hak asasi manusia.

Kesimpulan: Saatnya Regulasi Air yang Tegas, Adil, dan Kontekstual

Makalah ini memberikan kritik tajam namun konstruktif terhadap kebijakan hukum udara di Indonesia. Galih Puji Mulyono berhasil menunjukkan bahwa akar masalah bukan pada ketersediaan udara, melainkan pada lemahnya tata kelola, regulasi hukum, dan kontrol negara atas sektor vital ini.

Dibandingkan dengan Inggris memberi pelajaran penting: privatisasi bisa berhasil, asal regulasi kuat dan berpihak pada publik. Di sisi lain, Indonesia harus lebih serius menyusun hukum baru yang:

  • Kontekstual terhadap kebutuhan lokal.
  • Berbasis keadilan sosial dan ekologis.
  • Tidak menyerahkan hak rakyat kepada mekanisme pasar semata.

Sumber Referensi:

Mulyono, GP (2019). Perlindungan Hukum terhadap Tata Pengelolaan Udara di IndonesiaT. Jurnal Cakrawala Hukum, 10(1).

Selengkapnya
Krisis Air dan Tanggung Jawab Negara: Telaah Kritis Hukum Pengelolaan Udara di Indonesia

Kritik IWRM

Kritik Konstruktif terhadap Paradigma Manajemen Air Terpadu

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025


IWRM: Antara Idealisme dan Kenyataan

Dalam dua dekade terakhir, istilah Integrated Water Resources Management (IWRM) telah menjadi semtelah menjadi semacam mantra dalam dunia tata kelola udara. Dengan janji holistik—mengintegrasikan udara, tanah, dan sumber daya terkait demi kesejahteraan ekonomi dan sosial—konsep ini terlihat sempurna di atas kertas. Namun menurut Asit K. Biswasbanyak , salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang kebijakan udara global, IWRM justru lebih banyak menjadi slogan daripada solusi yang nyata.

Dalam artikelnya yang berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Penilaian Ulang” , Biswas menantang dominasi IWRM dalam diskursus pengelolaan air dan penilaian menuntut ulang terhadap kelayakannya dalam implementasi di dunia nyata.

Sejarah IWRM: Bukan Konsep Baru, Tapi Lama yang Didaur Ulang

Meskipun banyak yang mengira IWRM lahir dari Dublin Principles (1992), Biswas mengungkap bahwa gagasan ini sudah ada sejak lebih dari 60 tahun yang lalulalu, termasuk dalam Konferensi Air PBB di Mar del Plata tahun 1977. Sayangnya, meskipun konsep ini terus dikutip dan didorong oleh lembaga-lembaga internasional seperti Global Water Partnership (GWP), implementasinya di lapangan tetap minim bahkan tak terukur .

Kritik Utama: Definisi IWRM Terlalu Kabur dan Tidak Operasional

Definisi IWRM yang paling sering dikutip berasal dari GWP (2000), yaitu:

“Sebuah proses yang mempromosikan pengembangan dan pengelolaan terkoordinasi udara, tanah, dan sumber daya terkait, untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan ekosistem vital.”

Bagi Biswas, definisi ini terdengar muluk namun tidak memiliki makna operasional yang jelas. Ia memaparkan serangkaian pertanyaan kritis:

  • Siapa yang mempromosikan konsep ini? Dan bagaimana caranya?
  • Apa yang dimaksud dengan 'sumber daya terkait'?
  • Bagaimana 'kesejahteraan sosial dan ekonomi' bisa dikuantifikasi oleh pemecahan masalah udara?
  • Apa batasan 'ekosistem vital'?

Konsep ini, menurutnya, lebih banyak menggunakan kata-kata indah tanpa kejelasan aksi nyata —seperti kata Hamlet: “Words, Words, Words.”

Konflik Praktis: Ketika Integrasi Menjadi Ilusi

Biswas menunjukkan bahwa integrasi lintas sektor dan kelembagaan , sebagaimana disarankan IWRM, tidak realistis dalam banyak konteks. Beberapa tantangan yang diungkapkan:

  • Rivalitas antar kementerian (air, energi, pertanian, lingkungan) seringkali lebih dominan daripada kerja sama.
  • Upaya integrasi kelembagaan justru memicu birokrasi raksasa yang tidak efisien.
  • Tidak ada metodologi atau alat ukur yang jelas untuk menyatakan suatu sistem telah “terintegrasi.”

Dalam studi kasus, seperti upaya penyatuan laboratorium irigasi dan pertanian di Mesir tahun 1970-an, hasilnya justru kontraproduktif dan akhirnya dibatalkan.

IWRM dan Ketergantungan Konseptual: Sekadar Tren Baru?

Biswas membandingkan popularitas IWRM dengan konsep-konsep masa lalu seperti “konservasi” pada awal abad ke-20—semua orang mendukungnya, meski tidak tahu maknanya. Ia menyatakan bahwa banyak aktor dan institusi menggunakan label IWRM untuk meningkatkan citra atau mendapatkan dana, tanpa perubahan nyata dalam praktik .

Daftar Integrasi: Misi Mustahil IWRM

Dalam analisisnya, Biswas menyusun 35 kategori aspek yang termasuk dalam literatur yang perlu diintegrasikan ke dalam IWRM: mulai dari air permukaan & bawah tanah, kuantitas & kualitas udara, energi, pertanian, lingkungan, gender, hingga antargenerasi.

Kritiknya sederhana: Tak mungkin semua itu bisa diserap secara serempak.

Contoh Nyata: Udara & Energi yang Tidak Terpisahkan

Biswas mengangkat hubungan udara-energi sebagai ilustrasi kompleksitas. Di India, misalnya:

  • 20% listrik berasal dari pembangkit tenaga air.
  • Sektor udara mengonsumsi energi dalam jumlah hampir sama.

Namun, kementerian udara dan energi berjalan sendiri-sendiri. Maka, mengintegrasikan udara tanpa menyentuh energi akan gagal sejak awal .

IWRM: Jalan Tanpa Tujuan?

Banyak pendukung IWRM yang menyebutnya sebagai “perjalanan, bukan tujuan.” Namun Biswas menolak analogi ini:

“Bagaimana kita bisa menggunakan peta jalan jika kita tidak mengetahui titik awal dan tujuan?”

Tanpa definisi, ukuran keberhasilan, dan kerangka pelaksanaan yang jelas, maka IWRM hanyalah peta tanpa kompas .

Dampak Nyata atau Retorika Belaka?

Menurut Biswas, tidak ada cukup bukti bahwa IWRM telah meningkatkan efektivitas kebijakan udara secara makro. Sebaliknya, banyak negara masih menjalankan proyek air dengan cara lama, hanya mengganti kemasan dengan jargon IWRM. Ini menunjukkan bahwa popularitas tidak sama dengan keberhasilannya .

Opini Tambahan: Jalan Alternatif dari Kritik yang Konstruktif

Kritik Biswas tidak berarti menolak kolaborasi atau koordinasi. Ia justru mendorong:

  • Pendekatan berbasis konteks lokal , bukan model tunggal global.
  • Koordinasi sektoral fungsional , bukan integrasi struktural utopis.
  • Memperkuat kapasitas institusi kecil , bukan menciptakan birokrasi raksasa.

IWRM berguna, tapi harus dijelaskan ulang dengan pendekatan realistis dan adaptif.

Kesimpulan: Saatnya Evaluasi, Bukan Glorifikasi

Tulisan Biswas mengingatkan kita bahwa dalam tata kelola sumber daya, konsep besar tidak selalu berbanding lurus dengan dampak besar . IWRM, dengan segala idealismenya, belum membuktikan diri sebagai paradigma transformatif. Tanpa reformulasi operasional dan adaptasi lokal, konsep ini akan berakhir sebagai jargon masa lalu.

Seperti kata Biswas: “Kita duduk di kompartemen kedap udara, tapi berkhotbah soal pendekatan holistik.”

Sumber Referensi

Biswas, AK (2004). Manajemen Sumber Daya Air Terpadu: Sebuah Penilaian Ulang . Water International, 29(2), 248–256.

Selengkapnya
Kritik Konstruktif terhadap Paradigma Manajemen Air Terpadu

Proyek Kontruksi

Produktivitas Pekerjaan Pemasangan Keramik: Menyibak Efisiensi Lewat Metode MPDM

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Produktivitas, Masalah Abadi di Dunia Konstruksi

Dalam dunia konstruksi, efisiensi bukan sekadar jargon teknis—ia adalah penentu hidup-mati proyek. Salah satu titik krusial efisiensi adalah produktivitas tenaga kerja. Terlambat satu hari, membengkak satu juta. Itulah kenapa sektor konstruksi terus mencari pendekatan terbaik untuk mengukur dan meningkatkan produktivitas, salah satunya melalui metode MPDM (Method Productivity Delay Model).

Tesis Fiqri Anra Wijaya dari Universitas Islam Indonesia ini memberikan kontribusi penting dalam memahami faktor-faktor yang menurunkan produktivitas kerja, khususnya pada pekerjaan pemasangan keramik. Penelitian ini tak hanya mendokumentasikan keterlambatan, tetapi menyajikan solusi berbasis pengukuran kuantitatif langsung di lapangan.

Tujuan Penelitian

Tesis ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan kunci:

  1. Seberapa tinggi produktivitas tukang keramik pada proyek pembangunan Masjid Muhammadiyah Boarding School, Lombok Barat?
     

  2. Apa penyebab utama keterlambatan produktivitas?
     

  3. Bagaimana perbandingan produktivitas di lapangan dengan standar Permen PUPR No. 28/PRT/M/2016?
     

 

Metodologi: Studi Kasus, MPDM, dan Perbandingan Regulator

Lokasi & Subjek:

  • Proyek: Masjid Muhammadiyah Boarding School, Narmada, Lombok Barat
     

  • Obyek: Pemasangan keramik lantai 60x60 cm
     

  • Responden: 4 tukang batu
     

Metode Pengumpulan Data:

  • Pengamatan langsung 10 siklus kerja
     

  • Siklus terdiri dari tiga aktivitas utama:
     

    • Menuangkan & meratakan spesi
       

    • Meletakkan keramik
       

    • Mengetuk & mengatur keramik
       

Pengukuran Produktivitas:

Menggunakan rumus dasar:

Produktivitas = Luas (m²) / Waktu kerja (jam)

Data diklasifikasikan berdasarkan jenis delay (tundaan): lingkungan, alat, tenaga kerja, material, dan manajemen.

 

Hasil Penelitian: Angka yang Menggugah

Temuan Kunci:

  • Produktivitas lapangan: 4,771 m²/jam
     

  • Produktivitas ideal: 6,255 m²/jam
     

  • Standar Permen PUPR: ~1,19 m²/jam
     

  • Produktivitas aktual lebih tinggi 4,008x dibanding Permen PUPR
     

Grafik Learning Curve menunjukkan bahwa tukang menunjukkan peningkatan efisiensi secara signifikan dari siklus ke siklus.

 

Analisis: Menelusuri Akar Tundaan

MPDM memungkinkan identifikasi faktor penyebab keterlambatan produktivitas. Temuan menunjukkan faktor material sebagai penyebab utama, diikuti oleh:

  1. Material (Emt) – Sering kali keramik tidak tersedia atau tidak sesuai spesifikasi.
     

  2. Tenaga kerja (Ela) – Pekerja mengobrol, merokok saat jam kerja, atau kurang kompetensi.
     

  3. Manajemen (Emm) – Koordinasi antarpekerja & pengawas belum maksimal.
     

  4. Peralatan (Eeq) – Ketiadaan alat bantu atau alat tidak berfungsi optimal.
     

  5. Lingkungan (Een) – Minim, karena cuaca dan kondisi lokasi cenderung mendukung.
     

Dampak Delay pada Produktivitas:

Tiap delay disusun dalam model persentase kontribusi, yang dihitung menggunakan Relative Severity Index dan kemungkinan kejadian (probability).

 

Pembahasan: Apa Arti Semua Ini?

Kekuatan Studi:

  • Pengukuran real-time langsung dari siklus kerja
     

  • Kuantifikasi delay, bukan sekadar asumsi
     

  • Menggunakan MPDM, metode yang sudah diakui secara internasional (Halpin & Riggs, 1992)
     

Insight Tambahan:

  • Produktivitas yang jauh melampaui standar Permen PUPR No. 28/2016 menandakan bahwa regulasi tersebut terlalu konservatif atau sudah tidak relevan di lapangan modern.
     

  • Kebiasaan kerja dan perilaku pekerja memainkan peran krusial—lebih dari sekadar keahlian teknis.
     

Kelebihan & Nilai Tambah MPDM

  1. Akurat: karena berbasis pada pengamatan aktivitas aktual, bukan perkiraan.
     

  2. Adaptif: bisa diterapkan di berbagai jenis pekerjaan konstruksi (keramik, plesteran, bata, dll.)
     

  3. Detil: mampu memisahkan penyebab keterlambatan dengan akurat.
     

Namun, kelemahan MPDM adalah prosesnya memerlukan observasi intensif dan waktu analisis lebih lama dibanding metode konvensional.

 

Opini & Rekomendasi

Kritik:

  • Penelitian masih terbatas pada satu lokasi & 4 tukang. Perlu skala lebih besar.
     

  • Tidak ada dimensi digitalisasi atau teknologi seperti penggunaan alat bantu pemasangan otomatis.
     

Saran Implementasi:

  • Revisi regulasi produktivitas nasional berbasis studi empiris lapangan.
     

  • Terapkan sistem insentif berbasis produktivitas riil, bukan estimasi.
     

  • Libatkan MPDM dalam perencanaan anggaran proyek, untuk menghindari over/under budgeting.
     

Implikasi Praktis: Untuk Siapa dan Apa?

  • Kontraktor: bisa mengoptimalkan waktu & tenaga kerja berdasarkan data real
     

  • Pemerintah/LPJK: dapat merevisi standar produktivitas
     

  • Akademisi: bisa melanjutkan riset ke sektor konstruksi lainnya
     

  • Manajer proyek: mampu menyusun jadwal kerja lebih realistis
     

Penutup: Produktivitas Bukan Sekadar Angka

Tesis ini memperlihatkan bahwa pekerjaan sekecil pemasangan keramik pun punya potensi besar meningkatkan efisiensi proyek secara keseluruhan jika dikelola dengan data dan metode yang tepat.

Pendekatan berbasis MPDM adalah angin segar bagi pengukuran produktivitas yang selama ini hanya mengandalkan intuisi. Dengan data seperti ini, kita bisa menyusun kebijakan, standar kerja, dan pelatihan tenaga kerja secara lebih presisi.

Sumber

Fiqri Anra Wijaya (2022).
Analisis Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi Pada Pekerjaan Pemasangan Keramik Menggunakan MPDM (Method Productivity Delay Model)
Tesis Magister, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
URL: https://academic.uii.ac.id (akses institusional)

Selengkapnya
Produktivitas Pekerjaan Pemasangan Keramik: Menyibak Efisiensi Lewat Metode MPDM

Konservasi Sumber Daya

Mengelola Air Secara Terpadu: Panduan Praktis IWRM untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025


IWRM: Solusi Menyeluruh untuk Krisis Air Dunia

Di dunia yang krisis akibat pertumbuhan populasi, menghadapi perubahan iklim, dan eksploitasi berlebihan, pendekatan sektoral tidak lagi relevan. Integrated Water Resources Management (IWRM) hadir sebagai pendekatan ekologi holistik yang memadukan aspek, sosial, ekonomi, dan budaya dalam pengelolaan sumber daya air. Manual ini, disusun oleh Stockholm International Water Institute (SIWI), memberikan landasan kokoh bagi para pemangku kepentingan—baik teknisi, pembuat kebijakan, hingga masyarakat—untuk menerapkan IWRM secara praktis dan terarah.

Apa Itu IWRM dan Mengapa Penting?

IWRM adalah pendekatan yang menekankan koordinasi antarsektor dalam pengelolaan udara, dengan tujuan utama:

  • Menjamin efisiensi penggunaan udara
  • Mewujudkan keadilan akses antar pengguna
  • Menjaga ekosistem

Dilihat dari Dublin Principles (1992) dan diperkuat dalam Agenda 21 (Rio Summit), IWRM menekankan bahwa udara:

  1. Adalah sumber daya terbatas dan rentan.
  2. Harus dikelola melalui partisipasi semua pihak.
  3. Memiliki nilai sosial dan ekonomi.
  4. Perempuan berperan sentral dalam pengelolaan air.

Studi Kasus: Danau Hawassa di Ethiopia

Manual ini menggunakan Danau Hawassa sebagai studi utama. Danau ini merupakan sumber air utama bagi ±113.000 penduduk, dan menjadi pusat aktivitas ekonomi: pertanian, industri, pariwisata, serta perikanan. Namun, dalam 25 tahun terakhir, permukaan danau terus meningkat, menyebabkan banjir musiman dan kerusakan pertanian. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan IWRM untuk menyeimbangkan kebutuhan sosial dengan kapasitas ekologis.

Data Menarik:

  • Ketinggian danau: 1.680 mdpl
  • Rata-rata curah hujan tahunan: 1,154 mm
  • Luas DAS: 1.455 km²
  • Luas permukaan udara: 93,6 km²
  • Kedalaman: 18–22 m

Ancaman Sumber Daya Air: Ulah Manusia dan Tekanan Alam

Bab awal manual ini menjelaskan bahwa air tawar hanya 3% dari total air dunia , dan hanya kurang dari 1% yang dapat langsung dimanfaatkan manusia. Di Danau Hawassa, ancaman terbesar datang dari:

  • Polusi rumah tangga dan industri (logam berat, limbah domestik)
  • Penggundulan hutan di hulu → erosi & sedimentasi
  • Limbah pertanian: pupuk, pestisida, dan herbisida

Akibatnya, kualitas air menurun, keanekaragaman hayati terancam, dan terjadi konflik antar pengguna.

Empat Pilar IWRM: Prinsip Dasar Pengelolaan Air Terpadu

1. Air adalah Sumber Daya Terbatas

Pengelolaan udara tidak boleh mengabaikan fakta bahwa udara tidak akan bertambah. Pemanfaatan berlebih dan polusi mempercepat krisis.

2. Pendekatan Partisipatif

IWRM menekankan perlunya partisipasi seluruh pemangku kepentingan: dari masyarakat adat, perempuan, petani, hingga pembuat kebijakan. Kebijakan kesuksesan tidak bisa tercipta dari atas saja.

3. Peran Sentral Perempuan

Perempuan, khususnya di komunitas pedesaan, adalah pengguna dan penjaga air utama. Ketika perempuan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, efektivitas pengelolaan udara meningkat secara signifikan.

4. Air Sebagai Barang Ekonomi

Air perlu dikenakan biaya berdasarkan nilai penggunaan—tetapi harus tetap menjamin akses bagi masyarakat miskin. Penggunaan air yang tak terkendali sering terjadi karena menganggap air adalah barang gratis.

Pendekatan IWRM dalam Praktik: Mekanisme Intersektoral

Dalam bab praktik, manual ini menyoroti pentingnya kolaborasi antar sektor melalui pendekatan antar sektor dan antar tingkat . Ini terlihat dalam dua studi nyata:

Sukses: Komisi Sungai Mekong (Asia Tenggara)

Empat negara (Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam) membentuk badan pengelola bersama melalui dialog formal lintas sektor dan tingkat. Mekong menjadi contoh sukses implementasi IWRM multinasional .

Gagal: Sungai Tana di Kenya & Sungai Langat di Malaysia

Kegagalan IWRM disebabkan oleh tumpang tindih otoritas, minimnya partisipasi, dan perencanaan yang tidak berbasis data. Pembelajaran penting: IWRM gagal bukan karena konsepnya, tapi karena buruknya implementasi.

Manfaat IWRM: Dari Ekologi hingga Politik

IWRM tidak hanya menjaga udara, namun juga berdampak luas:

  • Ekologis : menjaga keanekaragaman hayati, mencegah banjir, menyaring polutan secara alami.
  • Ekonomi : efisiensi irigasi, pengurangan limbah industri, sirkulasi udara (reuse & recycle).
  • Sosial : akses yang adil terhadap air bersih, peningkatan kesehatan masyarakat.
  • Kultural & Spiritualitas : pelestarian situs sakral dan tradisi lokal.
  • Politik : menciptakan forum dialog demokratis kelompok sosial.

Kritik dan Refleksi: Apakah IWRM Selalu Efektif?

bahwa IWRMManual ini cukup realistis dalam mengakui bahwa IWRM bukan resep tunggal untuk semua lokasi . Tantangan implementasi antara lain:

  • Keterbatasan kapasitas lembaga lokal
  • Minimnya data kuantitatif terintegrasi
  • Konflik kepentingan antarsektor

Namun, pendekatan IWRM tetap relevan karena fleksibel. Hal ini dapat disesuaikan dengan konteks lokal, bersifat adaptif, dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Kesimpulan: IWRM sebagai Arah Masa Depan Pengelolaan Air

Manual ini menyajikan panduan praktis dan konsep yang kuat untuk membangun sistem pengelolaan air yang adil, efisien, dan lestari. Dalam menghadapi krisis udara global, IWRM menawarkan cara untuk:

  • Mengurangi konflik penggunaan air
  • Meningkatkan efisiensi
  • Melibatkan masyarakat secara bermakna
  • Melindungi ekosistem yang menopang kehidupan
  • Namun, seperti pesan penutup manual ini: kesuksesan IWRM terletak pada partisipasi aktif semua pemangku kepentingan, bukan hanya pada kerangka teoritis.

Sumber Referensi:

Air StockholmInstitut Air Internasional Stockholm. (2020). Prinsip dan Praktik Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu – Manual 1 SIWI.T​. SIWI.

Selengkapnya
Mengelola Air Secara Terpadu: Panduan Praktis IWRM untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Kebijakan Publik

Peta Misteri Stunting Jawa Timur Terungkap: Inovasi Fuzzy Mamdani Ubah Permainan!

Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025


Mengungkap Pola Risiko Stunting di Jawa Timur: Inovasi Visualisasi Spasial Temporal dengan Metode Fuzzy Mamdani

Stunting, sebuah kondisi terhambatnya pertumbuhan anak balita akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang mendesak di Indonesia. Tingkat prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong tinggi, bahkan melebihi standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%. Data tahun 2019 menunjukkan prevalensi stunting nasional mencapai 27,67%, meskipun pada tahun 2021 angka ini sedikit menurun menjadi 24,4%. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi dengan angka prevalensi 23,5% pada tahun 2021, menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya skala nasional, melainkan juga menuntut perhatian serius di tingkat regional.

Pemerintah Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, telah menetapkan target ambisius untuk menurunkan angka stunting balita hingga 14%. Pencapaian target ini memerlukan intervensi multidisiplin, dan salah satu kontribusi signifikan dapat datang dari ranah teknologi informasi. Paper berjudul "Visualisasi Spasial Temporal Tingkat Risiko Stunting di Jawa Timur Menggunakan Metode Fuzzy" oleh Arna Fariza, Rengga Asmara, dan Galuh Nurul Istiqomah, yang diterbitkan dalam Jurnal Teknologi dan Informasi edisi Maret 2023, menawarkan sebuah terobosan krusial dalam memahami dan mengatasi masalah ini. Penelitian ini berfokus pada pengembangan sistem visualisasi pemetaan tingkat risiko stunting di Jawa Timur berbasis website yang memanfaatkan metode Fuzzy Mamdani serta analisis spasial temporal dari tahun 2017 hingga 2021. Pendekatan inovatif ini tidak hanya menyajikan data secara visual dan mudah diakses, tetapi juga memberikan analisis mendalam mengenai pola sebaran risiko stunting, yang sangat vital sebagai dasar pengambilan keputusan kebijakan kesehatan.

Analisis Mendalam Pendekatan Metodologis: Kekuatan Fuzzy Mamdani dalam Ketidakpastian Data Kesehatan

Penelitian ini mengadopsi metode action research yang komprehensif, mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pusat dari metodologi ini adalah penerapan Logika Fuzzy, khususnya model Mamdani, untuk menentukan tingkat risiko stunting. Pemilihan metode Fuzzy didasari oleh kemampuannya dalam mengelola ketidakpastian dan kompleksitas data, menjadikannya sangat cocok untuk isu-isu kesehatan yang seringkali melibatkan variabel-variabel dengan interpretasi yang tidak selalu mutlak. Keunggulan Mamdani terletak pada kemampuannya menarik kesimpulan yang akurat dalam situasi yang tidak pasti, serta memberikan keputusan yang lebih spesifik dengan mempertimbangkan kondisi setiap himpunan daerah secara menyeluruh. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa salah satu kelemahan metode ini adalah keterbatasannya pada data kuantitatif pada tahap awal pemrosesan.

Variabel input kunci yang digunakan dalam penentuan tingkat risiko stunting didasarkan pada pendekatan ecological analysis, yang mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan berkaitan dengan kejadian stunting. Faktor-faktor tersebut meliputi:

  • Prevalensi stunting: Angka kejadian stunting itu sendiri.
  • Cakupan pelayanan kesehatan balita: Tingkat akses dan pemanfaatan layanan kesehatan oleh balita
  • Cakupan sanitasi layak: Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap jamban sehat.
  • Cakupan desa UCI (Universal Child Immunization): Tingkat imunisasi lengkap pada anak.
  • Cakupan pemberian ASI eksklusif: Persentase bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif.

Data untuk variabel-variabel ini dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk buku profil kesehatan Jawa Timur dari tahun 2019 hingga 2021 dan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2017 dan 2018. Proses pengolahan data dengan Fuzzy Mamdani melalui tiga tahapan utama:

 

  1. Fuzzyfikasi: Tahap ini mengubah data numerik menjadi himpunan fuzzy (linguistik) dengan mendefinisikan fungsi keanggotaan (rendah, sedang, tinggi) untuk setiap variabel input. Contohnya, variabel pelayanan kesehatan balita dengan nilai input 73.5% akan memiliki nilai keanggotaan "rendah" sebesar 1, sementara himpunan lainnya bernilai 0, menunjukkan bahwa angka tersebut sepenuhnya masuk dalam kategori rendah.
  2. Implikasi Aturan (Inferensi): Berdasarkan 5 variabel input dengan 3 himpunan fuzzy, dihasilkan sebanyak 35=243 aturan atau rules. Aturan-aturan ini dibentuk menggunakan operasi logika AND pada struktur IF-THEN, dengan memilih nilai minimum dari premis-premis. Misalnya, jika semua faktor (pelayanan, sanitasi, desa UCI, ASI) rendah dan stunting tinggi, maka risiko stunting akan tinggi. Selanjutnya, dilakukan komposisi aturan dengan mengambil nilai maksimum dari aturan himpunan fuzzy output yang sama.
  3. Defuzzyfikasi: Ini adalah tahap akhir di mana nilai keanggotaan fuzzy diubah kembali menjadi nilai numerik yang tajam (crisp) untuk menentukan tingkat risiko stunting (rendah, sedang, tinggi). Metode yang digunakan adalah Center of Area (COA), yang menghitung titik pusat area fuzzy sebagai nilai crisp. Nilai defuzzyfikasi ini kemudian dipetakan ke dalam rentang risiko yang telah ditentukan: 0-1.5 untuk rendah, 1.5-2.5 untuk sedang, dan >2.5 untuk tinggi.

Studi Kasus dan Temuan Kunci: Dinamika Risiko Stunting 2017-2021

Analisis terhadap data stunting di Jawa Timur dari tahun 2017 hingga 2021 menghasilkan gambaran dinamis tentang tingkat risiko di berbagai kabupaten/kota. Hasil defuzzyfikasi menunjukkan bahwa pada tahun 2021, mayoritas wilayah (23 kabupaten/kota) memiliki tingkat risiko stunting yang rendah. Sementara itu, 6 kabupaten/kota berada pada tingkat risiko sedang, dan 2 kabupaten/kota masih menunjukkan tingkat risiko tinggi.

Data komparatif antara tahun 2017 dan 2021 memperlihatkan beberapa tren menarik:

  • Penurunan Risiko Signifikan: Sebanyak 25 kabupaten/kota (65,79%) menunjukkan penurunan tingkat risiko stunting secara konsisten selama periode 5 tahun tersebut. Contohnya, Pacitan yang semula berisiko tinggi pada tahun 2017, berhasil menurunkan risikonya menjadi rendah pada tahun 2021. Hal ini mengindikasikan efektivitas program dan kebijakan intervensi yang telah dijalankan di daerah-daerah tersebut.
  • Fluktuasi Risiko: Sebanyak 11 kabupaten/kota (28,95%) mengalami fluktuasi tingkat risiko stunting, yaitu naik dan turun antara tahun 2017-2021. Fluktuasi ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan cakupan layanan kesehatan, dinamika sosial ekonomi, atau variasi dalam implementasi program pencegahan stunting.
  • Risiko Tinggi yang Konsisten: Mirisnya, terdapat 2 kabupaten/kota (5,26%) yang tingkat risiko stuntingnya tetap tinggi selama periode tersebut. Ini menjadi alarm penting bagi pemerintah daerah dan pihak terkait untuk mengidentifikasi akar masalah yang lebih dalam dan merancang intervensi yang lebih terfokus dan intensif di wilayah tersebut.

Pentingnya peran variabel input terlihat jelas dalam penentuan hasil tingkat risiko. Sebagai contoh, jika dua atau lebih faktor berada pada himpunan fuzzy rendah, dan dua faktor lainnya berada pada himpunan rendah atau sedang, terutama jika kasus stunting berada pada himpunan tinggi, maka tingkat risiko yang dihasilkan akan tinggi. Sebaliknya, jika data masukan stunting berada pada himpunan rendah, maka secara otomatis akan menghasilkan tingkat risiko stunting yang rendah. Implikasi aturan yang tepat dan kurva keanggotaan yang akurat sangat menentukan akurasi hasil akhir.

Visualisasi Spasial Temporal: Memberi Warna pada Data untuk Pengambilan Keputusan

Salah satu kekuatan utama penelitian ini adalah visualisasi spasial temporal tingkat risiko stunting. Hasil perhitungan risiko pada setiap kabupaten/kota di Jawa Timur divisualisasikan menggunakan peta berbasis website, dengan pewarnaan yang intuitif: hijau untuk risiko rendah, kuning untuk sedang, dan merah untuk tinggi. Visualisasi ini memungkinkan pemantauan tren risiko stunting secara temporal dari tahun 2017 hingga 2021.

Analisis spasial, dalam konteks epidemiologi, sangat krusial untuk memahami pola geografis penyebaran penyakit. Dengan memvisualisasikan data pada peta, pembuat kebijakan dapat dengan cepat mengidentifikasi "zona merah" atau area prioritas yang memerlukan perhatian segera. Kemampuan untuk melihat perubahan tingkat risiko dari tahun ke tahun (analisis temporal) juga memberikan wawasan berharga tentang efektivitas program intervensi yang telah berjalan, serta membantu dalam perancangan strategi pencegahan di masa depan. Misalnya, penurunan risiko di Pacitan yang disebutkan sebelumnya akan terlihat jelas sebagai perubahan warna dari merah ke hijau pada peta, memberikan bukti visual keberhasilan program.

Nilai Tambah dan Kritik Konstruktif: Melangkah Lebih Jauh dari Sekadar Pemetaan

Penelitian ini memberikan nilai tambah yang signifikan dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia.

  • Platform Pengambilan Keputusan Berbasis Data: Dengan menyajikan tingkat risiko stunting dalam format visual yang mudah dipahami dan diakses melalui website, penelitian ini menyediakan alat yang sangat berharga bagi pemerintah daerah, dinas kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya. Data yang divisualisasikan secara spasial temporal memungkinkan identifikasi area prioritas, alokasi sumber daya yang lebih efektif, dan evaluasi dampak program secara real-time atau hampir real-time. Ini selaras dengan tren pemerintahan berbasis data (data-driven governance) yang semakin krusial dalam era digital.
  • Transparansi dan Akuntabilitas: Visualisasi data yang terbuka dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam program pencegahan stunting. Masyarakat juga dapat mengakses informasi ini untuk lebih memahami kondisi di wilayah mereka, mendorong partisipasi aktif dalam upaya pencegahan.
  • Akurasi Berbasis Logika Fuzzy: Penggunaan metode Fuzzy Mamdani, seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini, menjamin akurasi dalam penentuan tingkat risiko stunting, terutama dalam menghadapi data yang mungkin memiliki ambiguitas atau ketidakpastian. Studi perbandingan lain menunjukkan bahwa Fuzzy Mamdani lebih unggul dalam beberapa kasus pengambilan keputusan dibandingkan metode Fuzzy Sugeno, yang semakin menguatkan pilihan metode dalam penelitian ini.

Meskipun demikian, ada beberapa area yang dapat menjadi fokus pengembangan dan kritik konstruktif:

  • Validasi Model Lebih Lanjut: Meskipun metode Fuzzy Mamdani terbukti efektif, validasi model dengan data lapangan yang lebih luas dan independen akan semakin memperkuat kredibilitas hasil. Bagaimana akurasi prediksi model jika dibandingkan dengan data aktual di lapangan? Studi longitudinal yang lebih panjang juga dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang tren stunting.
  • Integrasi Data Tambahan: Penelitian ini menggunakan lima variabel kunci. Namun, faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, akses terhadap air bersih, dan ketersediaan pangan bergizi juga memiliki dampak signifikan terhadap stunting. Mengintegrasikan variabel-variabel ini ke dalam model dapat menghasilkan gambaran risiko yang lebih holistik dan akurat. Ini juga akan membuka peluang untuk analisis multivariat yang lebih kompleks.
  • Aspek Intervensi Spesifik: Penelitian ini fokus pada visualisasi dan penentuan risiko. Namun, akan sangat bernilai jika website yang dikembangkan juga dapat menyertakan rekomendasi intervensi spesifik berdasarkan tingkat risiko yang teridentifikasi. Misalnya, untuk daerah dengan risiko tinggi, sistem dapat menyarankan program pemberian makanan tambahan, edukasi gizi, atau peningkatan akses sanitasi.
  • Aspek Prediksi dan Simulasi: Dengan data spasial temporal yang terakumulasi, penelitian ini dapat diperluas untuk mengembangkan model prediksi risiko stunting di masa depan. Kemampuan untuk mensimulasikan dampak perubahan variabel input (misalnya, peningkatan cakupan ASI eksklusif sebesar 10%) terhadap tingkat risiko stunting akan sangat membantu dalam perumusan kebijakan preventif.
  • Interoperabilitas Data: Bagaimana sistem ini dapat diintegrasikan dengan sistem informasi kesehatan lainnya yang sudah ada di tingkat provinsi atau nasional? Interoperabilitas data akan memastikan data yang lebih mutakhir dan terintegrasi, menghindari silo informasi, dan memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih terkoordinasi.

Relevansi dengan Tren Industri dan Tantangan di Lapangan

Penelitian ini sangat relevan dengan tren global dalam e-health dan smart city, di mana teknologi digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Visualisasi data kesehatan berbasis geografis adalah komponen kunci dari public health informatics, memungkinkan pemantauan penyakit, identifikasi hotspot, dan alokasi sumber daya yang efisien. Dalam konteks Indonesia, yang sedang gencar membangun infrastruktur digital dan mendorong pemanfaatan data untuk kebijakan publik, platform semacam ini memiliki potensi besar untuk direplikasi dan diadaptasi di berbagai provinsi lain.

Tantangan di lapangan terkait stunting sangat kompleks, mulai dari masalah gizi, sanitasi, akses layanan kesehatan, hingga faktor sosial budaya. Penelitian ini menyediakan sebuah alat diagnostik yang kuat untuk memahami dimensi spasial dan temporal dari masalah ini. Dengan mengetahui "di mana" dan "kapan" risiko stunting tinggi, pemerintah dapat menggeser fokus dari intervensi yang bersifat umum menjadi intervensi yang lebih bertarget dan presisi. Misalnya, di kabupaten/kota yang menunjukkan risiko tinggi secara konsisten, upaya dapat difokuskan pada peningkatan kualitas layanan puskesmas, program penyuluhan gizi intensif, atau pembangunan fasilitas sanitasi yang layak.

Kesimpulan: Masa Depan Pencegahan Stunting Berbasis Teknologi

Penelitian "Visualisasi Spasial Temporal Tingkat Risiko Stunting di Jawa Timur Menggunakan Metode Fuzzy" adalah langkah maju yang signifikan dalam upaya penanggulangan stunting. Dengan memadukan kekuatan Logika Fuzzy Mamdani dan Sistem Informasi Geografis (SIG), para peneliti telah berhasil menciptakan sebuah alat yang tidak hanya secara akurat mengidentifikasi tingkat risiko stunting, tetapi juga memvisualisasikannya secara intuitif dan temporal. Hasil penelitian ini, yang menunjukkan penurunan risiko di sebagian besar wilayah Jawa Timur namun juga menyoroti area dengan risiko yang tetap tinggi, memberikan peta jalan yang jelas bagi pembuat kebijakan.

Di masa depan, pengembangan lebih lanjut pada aspek validasi model, integrasi data yang lebih kaya, penambahan rekomendasi intervensi spesifik, serta kemampuan prediksi, akan semakin memperkuat peran teknologi dalam mengatasi masalah stunting. Pada akhirnya, penelitian ini bukan sekadar sebuah publikasi ilmiah, melainkan sebuah prototipe fungsional untuk masa depan pencegahan stunting yang lebih cerdas, lebih efisien, dan berbasis data. Dengan adopsi yang lebih luas dan pengembangan berkelanjutan, visi Indonesia bebas stunting dapat menjadi kenyataan yang semakin dekat.

Sumber Artikel:

Fariza, A., Asmara, R., & Istiqomah, G. N. (2023). Visualisasi Spasial Temporal Tingkat Risiko Stunting di Jawa Timur Menggunakan Metode Fuzzy. Jurnal Teknologi dan Informasi, 13(1), 83-91. DOI: 10.34010/jati.v13i1

Selengkapnya
Peta Misteri Stunting Jawa Timur Terungkap: Inovasi Fuzzy Mamdani Ubah Permainan!

Kontruksi Modern

Evaluasi Pelatihan Berbasis Kompetensi Konstruksi: Seberapa Efektifkah Model Kirkpatrick di Indonesia?

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Infrastruktur Hebat Butuh SDM Hebat

Pembangunan infrastruktur Indonesia, khususnya sejak 2014, mengalami lonjakan signifikan dari sisi anggaran maupun skala proyek. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah kualitas sumber daya manusia konstruksi kita sudah selaras dengan ambisi pembangunan tersebut?

Berangkat dari realitas ini, studi yang dilakukan oleh Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini memfokuskan diri pada efektivitas pelatihan berbasis kompetensi, yang menjadi strategi utama pemerintah dalam mencetak tenaga kerja konstruksi yang andal. Evaluasi ini menggunakan pendekatan empat level model Kirkpatrick: reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil.

 

Konteks Masalah: Pelatihan Meningkat, Tapi Apakah Efektif?

Data dari LPJK Sumbar menunjukkan lonjakan pelatihan berbasis kompetensi dari hanya 5 kegiatan pada 2014 menjadi 17 kegiatan pada 2015. Ini merupakan peningkatan lebih dari tiga kali lipat. Namun, dengan tingginya investasi (sekitar Rp150 juta per kegiatan), evaluasi terhadap efektivitas program menjadi sangat penting.

Penelitian ini dilakukan di Sumatera Barat dengan menyasar pelatihan yang diadakan antara 2017–2018. Total responden sebanyak 64 orang, yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, memberikan gambaran beragam terhadap persepsi dan dampak pelatihan.

 

Metodologi: Evaluasi Berbasis Model Kirkpatrick

Model evaluasi Kirkpatrick membagi efektivitas pelatihan dalam empat level:

  1. Reaksi: sejauh mana peserta puas dengan pelatihan

  2. Pembelajaran: seberapa besar pengetahuan/skill bertambah

  3. Perilaku: apakah peserta menerapkan materi pelatihan

  4. Hasil: dampak nyata pada performa kerja
     

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner berisi 43 indikator, diuji validitas dan reliabilitasnya dengan SPSS. Uji hubungan dilakukan menggunakan analisis Kendall’s Tau-b dan chi-square untuk menilai kekuatan hubungan antar variabel.

Temuan Utama: Hanya 58% Indikator yang Efektif

Dari 43 indikator:

  • 58,1% dinyatakan efektif (bernilai di atas cut-off poin ≥4)

  • Sisanya 41,9% tidak efektif, termasuk beberapa indikator penting seperti materi K3, kualitas waktu pelatihan, dan pengaruh pelatihan terhadap efisiensi waktu kerja
     

Temuan ini cukup mengejutkan, mengingat anggapan umum bahwa semua pelatihan berbasis kompetensi otomatis berkorelasi positif dengan peningkatan performa.

Detail Temuan Berdasarkan Level Kirkpatrick

Level 1: Reaksi

21 indikator digunakan, hanya 13 yang lolos cut-off. Yang gagal antara lain:

  • instruktur tidak menguasai materi secara maksimal

  • waktu pelatihan tidak cukup dan mengganggu pekerjaan

  • modul pelatihan tidak membantu memahami materi

Interpretasi: Banyak pelatihan dijalankan seperti “tugas administratif,” tanpa memperhatikan kenyamanan, waktu efektif, dan pendekatan instruktur yang komunikatif.

 

Level 2: Pembelajaran

6 indikator digunakan, dan hanya 3 yang efektif:

  • Materi komunikasi, K3, dan jadwal kerja dinilai belum cukup meningkatkan pembelajaran
     

Analisis tambahan: Materi teknis dan keselamatan seharusnya menjadi inti dari pelatihan konstruksi. Fakta bahwa hal ini justru kurang efektif menunjukkan adanya gap dalam metode pengajaran atau mungkin kekeliruan dalam penyampaian materi.

Level 3: Perilaku

5 indikator digunakan, hanya 2 yang efektif:

  • Peserta tidak merasa pelatihan membuat mereka lebih disiplin, mandiri, atau bertanggung jawab
     

Opini kritis: Ini adalah alarm serius. Jika pelatihan tidak mengubah perilaku kerja, maka pelatihan gagal mencapai tujuannya. Perubahan mindset dan attitude seharusnya jadi target utama dalam membentuk tenaga kerja profesional.

Level 4: Hasil

11 indikator digunakan, 7 dinilai efektif. Yang tidak efektif mencakup:

  • peserta tidak mempraktikkan materi

  • tidak membantu manajemen waktu kerja

  • tidak meningkatkan kemampuan membuat laporan
     

Catatan penting: Tanpa implementasi di lapangan, hasil pelatihan hanya tinggal di ruang kelas. Artinya, pelatihan perlu disertai sistem mentoring di proyek untuk memastikan transfer ilmu.

 

Evaluasi Kompetensi: Mana yang Terkait dengan Indikator Efektif?

Peneliti menghubungkan indikator pelatihan dengan 6 kompetensi utama:

  • Kemampuan memahami gambar dan mengenali alat kerja
  • Kemampuan K3 dan menggambar teknis
  • Sikap disiplin dan kemampuan membimbing orang lain

Hanya 4 indikator yang signifikan:

  1. Mengubah cara pandang & sikap (berpengaruh ke K2, S2, A2)

  2. Meningkatkan keterampilan kerja (berpengaruh ke K1, A1)

  3. Meningkatkan kemampuan membaca gambar (K1)

  4. Materi sesuai unit kompetensi (A2)
     

Kesimpulan Penting: Dari 43 indikator, hanya 4 yang benar-benar berkorelasi dengan peningkatan kompetensi. Ini menunjukkan efektivitas pelatihan masih sangat terbatas dan perlu perombakan total.

 

Kritik dan Saran: Pelatihan Harus Relevan, Praktis, dan Evaluatif

Kritik Penulis:

  • Terlalu banyak pelatihan yang bersifat formalitas

  • Evaluasi hanya dilakukan dari sisi peserta, bukan juga dari pihak penyelenggara

  • Minim pemanfaatan teknologi pembelajaran (e-learning, simulasi proyek)

Rekomendasi Penguatan:

  • Libatkan pelaku industri dalam desain kurikulum pelatihan

  • Gunakan metode blended learning yang menggabungkan teori dan praktik lapangan

  • Lakukan evaluasi pasca-pelatihan di proyek nyata untuk mengukur dampak
     

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Studi Lin et al. (2011) menunjukkan bahwa dalam sektor konstruksi di Taiwan, keberhasilan pelatihan sangat dipengaruhi oleh komitmen organisasi. Sementara Kodri dkk. (2018) di Indonesia menemukan bahwa sertifikasi saja tidak cukup, tanpa diikuti perubahan proses kerja.

Penelitian ini memperkuat argumen bahwa proses pelatihan dan evaluasi harus lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya seputar penyampaian materi.

 

Kesimpulan Akhir: Pelatihan Tak Cukup, Harus Ada Transformasi

Penelitian ini memberikan gambaran gamblang tentang kondisi pelatihan SDM konstruksi di Indonesia, khususnya Sumatera Barat: belum cukup efektif. Hanya sebagian kecil indikator yang berkorelasi langsung dengan peningkatan kompetensi.

Untuk itu, pelatihan berbasis kompetensi harus mengalami revolusi—dari segi kurikulum, instruktur, metode evaluasi, hingga implementasi di lapangan.

 

Sumber

Penelitian ini dipublikasikan dalam:
Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini (2021).
Analisis Hubungan Efektivitas Pelatihan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi terhadap Level Kirkpatrick.
Rang Teknik Journal, Vol. 4 No. 1.
DOI: http://dx.doi.org/10.31869/rtj.v4i1.2093

Selengkapnya
Evaluasi Pelatihan Berbasis Kompetensi Konstruksi: Seberapa Efektifkah Model Kirkpatrick di Indonesia?
« First Previous page 380 of 1.345 Next Last »