Manajemen Udara
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Udara, Tantangan Baru Peradaban
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air dunia, pendekatan pengelolaan air konvensional kian dinilai tidak memadai. Laporan terbaru PBB menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, permintaan udara meningkat dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan populasi. Didalam konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) hadir sebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi, keadilan, dan keinginan dalam pengelolaan air.
Namun, bagaimana IWRM dijalankan dalam konteks negara berkembang seperti Ethiopia? Inilah pertanyaan utama yang dijawab oleh Adey Nigatu Mersha dalam disertasinya yang ambisius dan multidimensi: Integrated Water Resources Management: A Systems Perspective of Water Governance and Hydrological Conditions (2021), fokus pada Sungai Awash , salah satu daerah aliran sungai (DAS) terpenting dan paling kompleks di Ethiopia.
Latar Belakang Sungai Awash: Sumber Kehidupan yang Terancam
Sungai Awash membentang sepanjang 1.200 km dan menjadi tumpuan bagi hampir 19 juta penduduk Ethiopia, termasuk wilayah Addis Ababa. Namun, DAS ini menghadapi tekanan berat:
Kebutuhan sektor pertanian, industri, dan domestik terus melonjak, sementara kualitas dan kuantitas udara semakin menurun. Mersha menyebut kondisi ini sebagai “ketimpangan struktural” dalam manajemen udara Ethiopia.
Tujuan Studi: Antara Prinsip dan Realitas
Penelitian ini bertujuan menganalisis:
Dengan kombinasi analisis kualitatif (wawancara, lokakarya, studi kebijakan) dan kuantitatif (pemodelan WEAP21), Mersha menggali lebih dalam dari sekadar kerangka normatif IWRM
Studi Kasus: Dilema Daerah Aliran Sungai Awash
Fakta Penting Awash Basin:
Temuan Utama:
Konflik Irigasi vs Kelestarian Ekosistem
Salah satu hasil signifikan dari simulasi WEAP menunjukkan bahwa fluktuasi irigasi yang direncanakan akan mengganggu aliran minimum yang diperlukan untuk ekosistem. Ketika arus lingkungan mempertimbangkan:
Hal ini mencerminkan dilema global : antara kebutuhan pangan dan keinginan lingkungan.
Solusi: WEFE Nexus sebagai Pendekatan Lintas Sektor
WEFE (Water-Energy-Food-Ecosystem) nexus adalah kerangka analitik yang digunakan Mersha untuk memperjelas interdependensi antar sektor. Beberapa simpulan kunci:
Pendekatan nexus menawarkan peluang untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya, tidak hanya melalui “penghematan”, tetapi juga koordinasi lintas sektor berbasis data .
Opini Kritis: IWRM Butuh Kontekstualisasi, Bukan Dogma Global
Mersha dengan kritik tajam bahwa banyak negara, termasuk Ethiopia, terlalu cepat mengadopsi IWRM sebagai “solusi ajaib” tanpa adaptasi lokal. Ia menyebut IWRM sebagai “kerangka universal yang rentan terhadap kegagalan lokal”.
Berbeda dengan pendekatan teknokratik, ia menekankan bahwa faktor sosial-politik, partisipasi masyarakat, dan distribusi kekuasaan sangat menentukan keberhasilan IWRM. Maka, ia menyarankan transisi dari pendekatan top-down menjadi pendekatan partisipatif yang diterapkan pada realitas sosial-ekologis setempat .
Perbandingan Global: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Beberapa pelajaran dari kasus ini juga bisa dikaitkan dengan konteks negara lain:
Ethiopia, dengan sumber daya dan keragaman geografi yang luas, memerlukan peta jalan IWRM yang berbasis data, adaptif, dan inklusif .
Kesimpulan: Menuju Manajemen Air yang Cerdas dan Adil
Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan IWRM tidak bisa hanya diukur dari jumlah kebijakan yang ditetapkan, namun dari bagaimana prinsip-prinsipnya diterjemahkan ke dalam praktik nyata yang kontekstual.
Untuk itu, Mersha merekomendasikan:
Sumber Referensi:
Mersha, AN (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Perspektif Sistem Tata Kelola Air dan Kondisi Hidrologi . Disertasi Doktoral, IHE Delft & Wageningen University.
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur dan Konstruksi dalam Sorotan Nasional
Indonesia sebagai negara berkembang tengah berlomba memperkuat daya saing infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Namun sayangnya, ketimpangan antar wilayah, kualitas tenaga kerja konstruksi yang masih belum merata, dan distribusi material yang tidak efisien kerap menjadi hambatan utama.
Artikel ilmiah ini membahas bagaimana pola kebijakan yang diterapkan pemerintah memengaruhi produktivitas konstruksi dan bagaimana produktivitas tersebut berdampak terhadap daya saing infrastruktur Indonesia, baik secara nasional maupun dalam peringkat global seperti yang dirilis World Economic Forum.
Konteks Masalah: Ketimpangan dan Produktivitas Konstruksi
Ketimpangan Distribusi Proyek
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Pulau Jawa menyerap lebih dari 63% nilai konstruksi nasional pada 2015, dengan total nilai Rp 401 triliun dari Rp 635 triliun. Padahal, salah satu tujuan besar dari agenda pembangunan nasional adalah “Infrastruktur untuk Semua”—yaitu pemerataan proyek ke seluruh wilayah, termasuk kawasan timur Indonesia.
Distribusi penduduk yang tidak merata (Jawa 56,81%, Sumatera 19,76%, Papua hanya 2,68%) serta keterbatasan konektivitas antarpulau menjadi faktor utama dari ketimpangan ini.
Tujuan Penelitian: Menautkan Kebijakan dengan Daya Saing
Penelitian ini ingin menjawab dua hal krusial:
Apakah kebijakan produktivitas konstruksi berpengaruh terhadap daya saing infrastruktur?
Sejauh mana pengaruh berbagai kebijakan sektoral terhadap produktivitas selama periode 2011–2015?
Metode: Gabungan Deskriptif & Crosstab Statistik
Penelitian menggunakan analisis deskriptif untuk menguraikan kebijakan, serta metode crosstab (SPSS v17) untuk melihat hubungan antar variabel seperti:
Jumlah tenaga kerja konstruksi (terampil & ahli)
Nilai konstruksi yang diselesaikan
Upah minimum regional
Produksi semen, baja, dan aspal
Metode ini memungkinkan identifikasi hubungan statistik antar variabel dalam kebijakan dan output infrastruktur.
Temuan Kunci: Korelasi Kuat Antara Kebijakan & Produktivitas
1. Pertumbuhan Nilai Konstruksi: Rata-rata Naik 11% per Tahun
Tabel data menunjukkan nilai konstruksi nasional meningkat dari Rp 376 triliun pada 2011 menjadi Rp 635 triliun pada 2015. Namun, peningkatan ini masih belum merata secara geografis, menandakan perlunya kebijakan lebih tepat sasaran.
2. Kualitas Infrastruktur Indonesia Masih Rendah
Dalam laporan Global Competitiveness Index (2016), Indonesia menempati peringkat:
Jalan: 75 dari 138 negara
Listrik: 89
Transportasi: 62
Rata-rata kualitas infrastruktur: 60 (naik dari 62 di tahun sebelumnya)
Catatan penting: Meskipun mengalami peningkatan kecil, posisi ini masih tertinggal jauh dibanding negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand.
Lima Pilar Kebijakan Produktivitas Konstruksi
Penelitian ini mengidentifikasi lima faktor utama (5M) yang dipengaruhi oleh kebijakan dan berdampak langsung ke produktivitas konstruksi:
A. Money (Pendanaan & Kontrak)
UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 menetapkan kontrak kerja konstruksi wajib mencantumkan penggunaan tenaga kerja bersertifikasi.
PMK 119/2006 mengatur tata cara penyediaan, pencairan, dan pengelolaan dana infrastruktur.
Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) membuka peluang pembiayaan oleh swasta untuk proyek infrastruktur.
Analisis: Alur dana yang jelas dan akuntabel meningkatkan kepastian proyek, memacu produktivitas karena pengadaan alat, bahan, dan upah tenaga kerja menjadi lebih lancar.
B. Man (Tenaga Kerja)
UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Jasa Konstruksi mewajibkan pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja.
Penelitian menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja ahli dan terampil berkorelasi positif dengan nilai konstruksi yang diselesaikan (r > 0.9).
Opini Penulis: Investasi dalam pelatihan tenaga kerja adalah investasi jangka panjang untuk peningkatan mutu proyek dan efisiensi pelaksanaan.
C. Material
Standar mutu seperti SNI untuk Semen (SNI 15-2049-2004) dan Baja (SNI 1729-2015) sangat menentukan produktivitas.
Korelasi positif antara produksi semen dan baja terhadap nilai konstruksi (r > 0.97) menunjukkan kuantitas dan kualitas material menjadi pengungkit utama pembangunan.
Masalah Aktual: Ketergantungan pada jalur distribusi berlapis membuat bahan bangunan mahal di Papua dan Maluku, menyebabkan "indeks kemahalan konstruksi" di wilayah tersebut melonjak.
D. Machine (Peralatan)
Standar penggunaan dan umur peralatan diatur dalam Permen PUPR No. 09/PRT/M/2014.
Penggunaan alat berat tanpa perawatan dan standar keselamatan menyebabkan kerugian karena proyek tertunda dan efisiensi menurun.
Kritik Tambahan: Banyak kontraktor kecil belum memiliki akses pada alat berat berkualitas dan memilih menyewa alat bekas yang performanya menurun.
E. Method (Metode Konstruksi)
SNI tentang prosedur kerja beton (SNI 2847-2013), baja (SNI 1729-2015), hingga geometri jalan kota (RSNI T-14-2004) bertujuan memastikan efisiensi teknis.
Metode kerja tanpa SOP meningkatkan risiko kegagalan konstruksi dan memperlambat produktivitas.
Insight: Di era digital, penggunaan Building Information Modeling (BIM) seharusnya juga dimasukkan dalam kebijakan produktivitas agar koordinasi dan kontrol mutu semakin akurat.
Analisis Korelasi: Koneksi Langsung Antara Variabel
Hasil analisis statistik (crosstab) mengungkap bahwa:
Produktivitas tenaga kerja dan material memiliki korelasi kuat (>0,9) terhadap nilai konstruksi yang diselesaikan.
Sebaliknya, tenaga kerja asing, distribusi aspal, dan ketiadaan sistem logistik efisien berkorelasi negatif terhadap daya saing.
Tantangan Nyata: Distribusi Material & Biaya Konstruksi yang Tidak Merata
Artikel ini menyoroti bahwa selisih indeks kemahalan konstruksi antara Jawa dan Papua sangat besar. Penyebabnya bukan semata biaya tenaga kerja, melainkan distribusi material dan alat berat yang lambat dan mahal.
Rekomendasi cerdas peneliti: Tambahkan proyek bandara di Papua untuk mempercepat distribusi dan menurunkan harga logistik konstruksi.
Rekomendasi Penelitian: Menjembatani Strategi & Realitas Lapangan
Perluasan proyek strategis di kawasan timur Indonesia, terutama transportasi udara.
Pemangkasan rantai distribusi material, agar fabrikator bisa langsung ke konsumen akhir.
Penerapan sistem digital konstruksi (misalnya BIM dan supply chain digital) sebagai kebijakan wajib untuk proyek besar.
Perbandingan dengan Negara ASEAN
Dalam Global Competitiveness Report, Indonesia masih tertinggal dari:
Malaysia (peringkat infrastruktur 24)
Thailand (peringkat 37)
🇮🇩 Fakta Penting: Tanpa reformasi produktivitas secara menyeluruh, mimpi Indonesia menjadi pemain utama di Asia Tenggara akan tetap tertahan.
Kesimpulan: Produktivitas sebagai Fondasi Kekuatan Infrastruktur
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan produktivitas konstruksi sangat berpengaruh terhadap daya saing infrastruktur. Efek kebijakan terlihat melalui peningkatan tenaga kerja bersertifikasi, nilai proyek strategis yang meningkat, dan penyelesaian proyek lebih cepat.
Namun, tantangan masih terbentang luas, terutama dalam:
Konektivitas wilayah timur
Distribusi material efisien
Digitalisasi metode konstruksi
Sumber
Penelitian ini dipublikasikan dalam:
Fence Stone, Daud O.S. Hutagalung, Ferry Hermawan, Riqi Radian Khasani (2017).
Pengaruh Pola Kebijakan Produktivitas Konstruksi Indonesia terhadap Daya Saing Infrastruktur.
Jurnal Karya Teknik Sipil, Vol. 6 No. 4, Universitas Diponegoro.
Tautan: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Keterlambatan Proyek Masih Jadi Momok?
Dalam dunia konstruksi gedung tinggi di kawasan urban padat seperti DKI Jakarta, ketepatan waktu pelaksanaan proyek menjadi indikator vital dari keberhasilan. Namun, realitanya masih banyak proyek yang tergelincir dari jadwal akibat keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (non-excusable delays). Penelitian karya Manlian Ronald A. Simanjuntak dan Saroha Simaremare dalam International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology (Vol. 7, No. 5, 2018) menggali secara mendalam faktor-faktor penundaan tersebut.
Apa Itu Non-Excusable Delays?
Non-excusable delays merupakan jenis keterlambatan yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian kontraktor. Ini mencakup miskalkulasi jadwal, keterlambatan material, buruknya koordinasi, hingga lemahnya pengawasan. Berbeda dari excusable delays (seperti bencana alam), kategori ini mengarah pada penalti dan konsekuensi hukum. Dalam konteks Indonesia, misalnya, Perpres No. 61/2004 menetapkan denda bagi kontraktor yang tidak menyelesaikan proyek tepat waktu.
Tujuan & Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi variabel utama penyebab keterlambatan non-termaafkan pada proyek gedung tinggi. Metodologi yang digunakan meliputi survei kuesioner kepada pihak pemilik proyek dengan kriteria pengalaman minimal 3 tahun, reputasi baik, dan keterlibatan langsung dalam proyek gedung tinggi yang mengalami keterlambatan.
Penelitian menggunakan analisis kuantitatif berbasis SPSS, dimulai dari uji reliabilitas (Cronbach's Alpha = 0,904), uji korelasi, hingga analisis faktor dan regresi.
Temuan Penting: 22 Variabel & 6 Komponen Utama
Dari total 52 variabel, terdapat 22 variabel yang lolos uji korelasi (r >= 0,4) dan berhasil dikelompokkan menjadi 6 komponen utama:
1. Penjadwalan dan Konflik Kegiatan
Jadwal implementasi tidak akurat (X1, r = 0,496)
Konflik antar aktivitas konstruksi (X2, r = 0,639)
2. Pengawasan dan Motivasi Internal
Kurangnya pengalaman dan motivasi supervisi (X8, X10, X11, X12)
Prosedur pengawasan yang tidak sesuai (X11)
3. Tenaga Kerja dan Keselamatan
Mobilisasi pekerja yang lemah (X15)
Minimnya perhatian pada keselamatan kerja (X14)
4. Material dan Rantai Pasok
Pengiriman material terlambat (X25)
Pemasok tidak handal (X26)
Sistem pengadaan material buruk (X28)
5. Peralatan Konstruksi
Keterlambatan pengiriman alat berat (X34)
Penyedia alat tidak kompeten (X37)
6. Kontraktor Spesialis
Kualitas dan mobilisasi kontraktor spesialis rendah (X46, X47, X48, X49)
Studi Kasus Lapangan: Proyek Apartemen Tinggi di Jakarta Selatan
Dalam wawancara lanjutan, ditemukan kasus nyata pada sebuah proyek apartemen 35 lantai di Jakarta Selatan yang molor selama 9 bulan. Evaluasi menunjukkan bahwa kegagalan koordinasi antara kontraktor utama dan subkontraktor spesialis facade menjadi penyebab utama. Permasalahan serupa tercermin dalam variabel X49—konflik jadwal kerja kontraktor spesialis—yang memiliki nilai korelasi tinggi (r = 0,646).
Validitas Statistik: Layak Dijadikan Rujukan
Nilai KMO (0,763) dan hasil Bartlett's Test (p < 0,000) menunjukkan bahwa data layak untuk analisis faktor. Enam komponen tersebut menjelaskan 67,37% variasi total keterlambatan, angka yang sangat memadai dalam studi sosial-eksperimental.
Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan?
A. Pemilihan Kontraktor Spesialis Secara Profesional
Sebagai kelompok faktor paling dominan, proses pemilihan kontraktor spesialis harus mempertimbangkan:
B. Reformasi Sistem Manajemen Proyek
Implementasi sistem ERP atau digital project monitoring dapat meningkatkan transparansi dan akurasi penjadwalan.
C. Pelatihan SDM dalam Pengawasan
Personel pengawas harus mengikuti pelatihan bersertifikat yang fokus pada deteksi dini potensi keterlambatan.
D. Integrasi Rantai Pasok
Kolaborasi sejak awal antara kontraktor dan supplier kunci akan menghindari bottle neck logistik, khususnya dalam proyek dengan komponen impor.
Kritik & Perbandingan Penelitian
Meski komprehensif, studi ini tidak membandingkan antara proyek pemerintah dan swasta. Padahal, budaya kerja dan birokrasi keduanya berbeda signifikan. Penelitian sebelumnya oleh Vita Melia Nughraeni menyebutkan bahwa faktor birokrasi juga memengaruhi keterlambatan proyek lokal.
Penulis juga tidak mengeksplorasi faktor eksternal seperti perubahan regulasi atau kebijakan fiskal. Dalam praktik, keterlambatan izin bisa sama fatalnya dengan kelalaian kontraktor.
Penutup: Mencegah Lebih Baik dari Mengklaim
Studi ini menyuguhkan data kuat bahwa sebagian besar keterlambatan proyek bersumber dari aspek internal yang sebenarnya bisa dihindari. Dengan pembenahan pada sistem pemilihan kontraktor spesialis, penjadwalan, dan pengawasan, kinerja proyek konstruksi di Jakarta bisa meningkat signifikan. Pihak pemilik proyek perlu memosisikan diri bukan hanya sebagai pemberi dana, tapi juga sebagai pengawas aktif demi memastikan proyek berjalan sesuai target.
Sumber Artikel:
Simanjuntak, M.R.A., & Simaremare, S. (2018). Analysis of Non Excusable Delays Risk of High Rise Building Construction Project Process Improving Time Performance in DKI Jakarta. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology, 7(5), 4481–4490. DOI:10.15680/IJIRSET.2018.0705020
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Bangunan Bertingkat Gagal?
Di tengah pesatnya pembangunan gedung bertingkat tinggi di Indonesia, muncul satu pertanyaan krusial: Mengapa masih terjadi kegagalan bangunan yang berakibat fatal, bahkan merenggut nyawa? Artikel yang ditulis oleh Maiko Lesmana Dewa dan tim menjawab pertanyaan ini melalui pendekatan hukum normatif. Mereka menyoroti bahwa lemahnya pengawasan konstruksi dan tidak memadainya perlindungan hukum menjadi akar masalah.
Kegagalan bangunan di Indonesia sering kali dikaitkan dengan buruknya kualitas konstruksi, pelanggaran teknis, dan lemahnya akuntabilitas pengawas lapangan. Namun penelitian ini mengangkat dimensi yang jarang dibahas: bagaimana regulasi hukum — atau justru kekurangannya — turut memperbesar risiko kegagalan struktur.
Pengawasan Konstruksi: Pilar yang Rentan Diabaikan
Pengawasan konstruksi merupakan salah satu elemen vital dalam siklus pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, eksekusi, hingga pasca-konstruksi. Namun, dalam praktiknya, fungsi pengawasan ini sering kali dilemahkan oleh:
Menurut UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pengawasan konstruksi adalah bagian dari proses pembangunan yang harus dipenuhi untuk memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Namun, penegakan aturan ini dalam praktik ternyata masih jauh dari ideal.
Definisi Kegagalan Bangunan dan Posisi Hukum
Pasal 1 angka 7 UU Jasa Konstruksi menjelaskan bahwa kegagalan bangunan adalah ketidaksesuaian fungsi bangunan pasca-serah terima akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa. Ini mencakup:
Namun, ironisnya, meski sudah ada definisi legal, belum ada mekanisme efektif yang menjadikan pengawasan sebagai benteng awal pencegahan.
Studi Perbandingan: Indonesia vs. Negara Lain
Penulis melakukan pendekatan komparatif terhadap regulasi di negara-negara maju seperti Inggris. Dalam buku Construction Law oleh John Uff, digambarkan bagaimana sistem hukum konstruksi di Inggris memberikan kekuatan penuh bagi pengawas untuk mencegah potensi kerusakan bangunan. Bahkan, pengawas konstruksi memiliki kedudukan penting sejajar dengan kontraktor dan insinyur struktural.
Sebaliknya, di Indonesia, pengawas kerap dianggap sebagai pelengkap formalitas, tanpa dukungan regulasi yang memperkuat posisi mereka untuk menolak pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi teknis.
Studi Kasus Nyata: Tragedi Jebolnya Gedung BEI 2018
Salah satu kasus yang menjadi sorotan nasional adalah runtuhnya selasar gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2018, yang menyebabkan lebih dari 70 korban luka. Investigasi awal menyebutkan bahwa ada kesalahan teknis dalam pemasangan struktur langit-langit. Namun, tidak banyak yang menggali bagaimana peran pengawasan konstruksi — apakah sudah berjalan optimal atau sekadar simbolis.
Jika mengacu pada definisi dalam UU Jasa Konstruksi, insiden ini seharusnya bisa dikategorikan sebagai kegagalan bangunan. Tetapi, karena sistem pengawasan yang lemah dan tidak adanya penguatan hukum terhadap peran pengawas, kasus ini hanya berakhir pada catatan kelam tanpa reformasi berarti.
Analisis Temuan Penelitian
Penelitian oleh Dewa dkk. menyimpulkan bahwa regulasi saat ini masih belum mampu melindungi kepentingan masyarakat dari risiko kegagalan bangunan. Ada tiga temuan kunci:
1. Kekosongan Hukum Teknis
Tidak ada ketentuan yang menjelaskan secara rinci kewenangan teknis pengawas konstruksi.
Tidak ada sistem akuntabilitas langsung terhadap pengawas bila terjadi kegagalan struktural.
2. Minimnya Perlindungan Hukum Masyarakat
Masyarakat sebagai pengguna akhir bangunan belum memiliki saluran hukum yang jelas untuk menggugat kegagalan bangunan akibat kelalaian pengawas atau kontraktor.
3. Penyelesaian Sengketa yang Lemah
Prosedur penyelesaian sengketa hukum terhadap kegagalan bangunan tidak melibatkan analisis teknis mendalam dari pengawas.
Pengawas tidak dilibatkan secara proaktif dalam investigasi kegagalan bangunan.
Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Untuk menghindari terulangnya kasus serupa, berikut langkah-langkah yang disarankan berdasarkan hasil analisis dan penambahan opini:
1. Revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 perlu direvisi agar:
2. Penguatan Sertifikasi Pengawas
Saat ini, profesi pengawas masih bisa dijalankan tanpa standar sertifikasi teknis yang ketat. Bandingkan dengan Jepang, yang mewajibkan sertifikasi berkala dan uji kompetensi berlapis bagi pengawas proyek infrastruktur besar.
3. Pengadilan Konstruksi Khusus
Indonesia perlu membentuk lembaga arbitrase atau pengadilan konstruksi yang dapat memproses sengketa teknis secara cepat dan tepat, melibatkan saksi ahli dari kalangan pengawas profesional.
4. Digitalisasi Pengawasan
Teknologi Building Information Modeling (BIM) dan drone inspection sudah umum digunakan di luar negeri untuk mendukung fungsi pengawasan secara real-time. Indonesia dapat mulai menerapkannya di proyek pemerintah sebagai proyek percontohan.
Kritik terhadap Penelitian
Walaupun penelitian ini memberi kontribusi penting, ada beberapa catatan:
Minimnya Data Lapangan: Studi ini lebih bersifat normatif daripada empiris. Akan lebih kuat bila disertai data statistik kegagalan bangunan dalam 10 tahun terakhir di Indonesia.
Kurang Eksplorasi Aspek Ekonomi: Penelitian belum menggali bagaimana biaya pengawasan yang ditekan justru bisa meningkatkan risiko kegagalan bangunan.
Kesimpulan: Pengawasan Konstruksi Harus Menjadi Prioritas
Pembangunan gedung bertingkat tinggi tidak bisa hanya mengandalkan desain megah atau teknologi canggih. Tanpa pengawasan konstruksi yang kuat, semua itu hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh. Penelitian ini menegaskan bahwa pengawas konstruksi bukan sekadar pemeriksa dokumen — mereka adalah garda depan perlindungan keselamatan publik.
Melalui pembaruan hukum, penguatan kompetensi, serta reformasi kelembagaan, Indonesia dapat menekan angka kegagalan bangunan yang selama ini memicu kerugian besar, baik secara material maupun nyawa manusia.
Sumber Utama
Dewa, M. L., Maria, K., Marlin, S., & Andayani, K. (2022). Kajian Pengawasan Konstruksi pada Kegagalan Bangunan dalam Pembangunan Gedung Bertingkat Tinggi. Jurnal Ilmiah Global Education, 3(2), 216–219. Tautan: https://ejournal.nusantaraglobal.ac.id/index.php/jige
Ekonomi Wilayah
Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Timur, masih menjadi tantangan utama dalam pembangunan nasional. Skripsi karya Dina Layli Susanti dari UIN Sunan Ampel Surabaya berjudul "Analisis Klasifikasi Sektor Lapangan Usaha dan Ketimpangan Wilayah di Provinsi Jawa Timur Tahun 2018–2022" mencoba menjawab persoalan tersebut. Penelitian ini menyoroti sektor-sektor potensial penyumbang pertumbuhan ekonomi dan bagaimana distribusi pertumbuhan tersebut berkontribusi terhadap ketimpangan antar wilayah.
Dengan memanfaatkan metode kuantitatif deskriptif, penelitian ini mengombinasikan tiga pendekatan utama: Location Quotient (LQ), Tipologi Klassen, dan Indeks Williamson. Ketiganya digunakan untuk mengidentifikasi sektor basis dan non-basis serta mengukur tingkat ketimpangan ekonomi di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi wilayah idealnya dapat merata, namun kenyataan menunjukkan masih adanya jurang perbedaan antara wilayah maju dan tertinggal. Hal ini dapat disebabkan oleh:
Kesenjangan potensi sumber daya alam dan manusia
Distribusi investasi yang tidak merata
Fokus pembangunan yang terpusat pada sektor tertentu
Identifikasi sektor unggulan tiap daerah diperlukan untuk mendesain kebijakan pembangunan yang lebih adil dan berbasis potensi lokal.
Metodologi
Penelitian menggunakan data sekunder dari BPS tahun 2018–2022. Alat analisis yang digunakan:
Location Quotient (LQ):
Untuk menentukan sektor basis (unggulan) dan non-basis.
LQ > 1 menunjukkan sektor basis.
Tipologi Klassen:
Mengelompokkan sektor ke dalam 4 kuadran:
Kuadran I: sektor maju dan tumbuh pesat
Kuadran II: sektor maju tapi tertekan
Kuadran III: sektor potensial namun tertinggal
Kuadran IV: sektor tidak unggul dan tertinggal
Indeks Williamson (IW):
Mengukur ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Nilai IW mendekati 1 menandakan ketimpangan tinggi.
Hasil Penelitian
1. Analisis LQ – Sektor Basis
Lima sektor dengan nilai LQ > 1 (sektor basis di Jatim):
Industri pengolahan
Pengadaan air
Penyediaan akomodasi
Informasi dan komunikasi
Perdagangan besar & reparasi mobil/motor
12 sektor lainnya tergolong non-basis karena nilai LQ < 1. Sektor basis ini menjadi tulang punggung perekonomian Jawa Timur.
2. Tipologi Klassen – Kuadran Dominan
Empat sektor masuk dalam Kuadran I (maju & tumbuh pesat):
Industri Pengolahan
Pengadaan Air
Perdagangan Besar dan Reparasi Mobil/Sepeda Motor
Penyediaan Akomodasi
Artinya, sektor-sektor ini tidak hanya dominan tetapi juga berkembang dengan cepat dan bisa menjadi fokus investasi daerah.
3. Indeks Williamson – Ketimpangan Tinggi
Hasil perhitungan IW dari tahun 2018–2022 menunjukkan angka mendekati 1, menandakan ketimpangan yang cukup tinggi dan cenderung meningkat. Ini berarti pertumbuhan ekonomi belum merata dan hanya dinikmati oleh sebagian wilayah seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Malang.
Analisis Tambahan & Opini
Signifikansi Temuan
Sektor basis seperti industri pengolahan dan informasi-komunikasi memainkan peran strategis dalam pertumbuhan regional. Namun, jika pertumbuhan ini hanya terpusat di wilayah tertentu, maka akan memperparah ketimpangan.
Kritik terhadap Penelitian
Tidak dilakukan analisis regresi untuk mengetahui hubungan kausal antara sektor unggulan dan ketimpangan.
Tipologi Klassen hanya mengelompokkan sektor, belum menganalisis penyebab stagnasi sektor di Kuadran IV.
Indeks Williamson sebagai alat ukur ketimpangan bersifat agregat dan tidak menunjukkan sebaran spesifik.
Studi Kasus Daerah
Surabaya dan Sidoarjo mendominasi sektor industri pengolahan, informasi, dan perdagangan.
Madura dan daerah tapal kuda seperti Bondowoso dan Situbondo cenderung tertinggal dalam hampir semua sektor.
Implikasi Kebijakan
Pemerataan Investasi: Mendorong sektor basis masuk ke wilayah tertinggal dengan insentif investasi.
Diversifikasi Ekonomi: Mendorong pertumbuhan sektor potensial di Kuadran III agar bisa naik kelas.
Perencanaan Wilayah: Integrasikan hasil LQ dan Tipologi Klassen dalam RPJMD provinsi.
Penguatan Data Mikro: Dibutuhkan data sektoral tahunan untuk memantau dinamika pertumbuhan ekonomi daerah secara real-time.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Selaras dengan temuan Enrico (2019) tentang konsentrasi sektor basis di wilayah perkotaan Jawa Timur.
Bertentangan dengan Rajab et al. (2021) yang menyebut ketimpangan di Jatim mulai menurun pasca COVID-19.
Pendekatan Tipologi Klassen juga digunakan dalam penelitian Sari et al. (2019) pada kawasan Subosukawonosraten.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat sektor ekonomi yang berkembang pesat di Jawa Timur, ketimpangan wilayah tetap tinggi. Klasifikasi sektor basis dan kuadran pertumbuhan dapat digunakan sebagai acuan penyusunan kebijakan pembangunan berbasis potensi lokal.
Saran
Lakukan studi lanjutan dengan pendekatan kuantitatif regresi dan spasial.
Tingkatkan kapasitas SDM daerah tertinggal untuk mengelola sektor potensial.
Kembangkan program pelatihan industri digital dan logistik di luar wilayah Surabaya.
Sumber
Susanti, D. L. (2024). Analisis Klasifikasi Sektor Lapangan Usaha dan Ketimpangan Wilayah di Provinsi Jawa Timur Tahun 2018–2022. Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya. http://digilib.uinsa.ac.id/3932/
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Menjawab Krisis Perumahan Melalui SDM Kompeten
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam sektor permukiman: backlog rumah layak huni mencapai lebih dari 25 juta unit. Hampir separuh dari rumah tinggal saat ini tergolong tidak layak dari segi sanitasi (BPS, 2011). Sementara kebutuhan tahunan mencapai 800 ribu unit, produksi resmi baru menyentuh angka 600 ribu rumah (REI-Pusat, 2015). Kekurangan ini diisi oleh pembangunan swadaya yang sulit dikontrol mutunya.
Dalam konteks ini, studi Albani Musyafa dari Universitas Islam Indonesia hadir sebagai langkah strategis. Penelitian berjudul "Identifikasi Kompetensi Tenaga Ahli Pelaksana Konstruksi Perumahan di Yogyakarta" menggarisbawahi bahwa SDM pelaksana yang kompeten adalah pilar utama dalam percepatan pembangunan hunian berkualitas.
Latar Belakang dan Relevansi Studi
Mengapa Kompetensi Pelaksana Sangat Penting?
Tenaga ahli pelaksana konstruksi bertanggung jawab menerjemahkan rencana teknis menjadi hasil nyata yang memenuhi standar mutu, waktu, dan biaya. Dalam skala proyek besar seperti pengentasan backlog perumahan, peran mereka krusial.
Namun, kenyataannya, pendidikan dan pelatihan formal masih belum mengakomodasi kebutuhan industri secara langsung, terutama pada aspek teknis di lapangan. Oleh karena itu, identifikasi kompetensi penting menjadi titik tolak untuk reformasi kurikulum pelatihan dan pendidikan vokasional.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Wawancara & Kuisioner
Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap:
Wawancara mendalam dengan pengembang perumahan untuk menggali jenis kompetensi penting.
Kuisioner untuk menilai tingkat kepentingan dari tiap kompetensi yang telah diidentifikasi.
Sebanyak 30 responden, yang merupakan pimpinan tim proyek dari developer yang pernah menggarap lahan perumahan >1 hektar di Yogyakarta, diikutsertakan. Validitas hasil diuji dengan Kendall’s W yang menunjukkan signifikansi statistik kuat (W pra-konstruksi = 0.872; W konstruksi = 0.432; sig. = 0.000).
Hasil & Analisis: Dua Tahapan Kompetensi Krusial
Analisis:
Kompetensi nomor satu, pembuatan shopdrawing, menunjukkan pentingnya keterampilan visualisasi teknis. Ini merupakan "jembatan" antara desain konseptual dan pelaksanaan. Sementara itu, site plan dan penjadwalan berfungsi sebagai sistem navigasi utama proyek.
Sayangnya, perencanaan tenaga kerja dan aspek K3 masih dianggap kurang krusial oleh sebagian besar responden, padahal aspek ini justru sering kali menjadi penyebab konflik lapangan dan keterlambatan pekerjaan.
Analisis:
Perancah dan bekisting menempati posisi tertinggi, yang mencerminkan risiko keselamatan dan presisi tinggi dalam struktur beton. Sementara pengendalian material dan peralatan malah berada di posisi terakhir, padahal efisiensi alat sangat memengaruhi biaya dan waktu.
Sebagai perbandingan, dalam penelitian Pilcher (1992), disebutkan bahwa efisiensi material dan logistik menyumbang hingga 20% dari produktivitas akhir proyek. Ini mengindikasikan potensi miskonsepsi dalam prioritas pelatihan teknis di lapangan.
Perbandingan dengan Kurikulum Teknik Sipil
Penelitian ini mengungkap bahwa sebagian besar kompetensi telah diajarkan dalam pendidikan teknik sipil, namun aplikasinya belum disesuaikan dengan kebutuhan khas perumahan. Misalnya:
Kompetensi seperti perancah dan shopdrawing sering diajarkan secara teoritis, namun tidak diberi konteks pada rumah sederhana berskala massal.
Pekerjaan listrik dan pemipaan, seringkali diserahkan ke sub-kontraktor khusus, justru minim perhatian dalam pendidikan sipil umum.
Implikasi Praktis & Rekomendasi
Bagi Dunia Pendidikan:
Kurikulum teknik sipil perlu diarahkan pada modul pelatihan terapan berbasis proyek perumahan.
Kolaborasi antara kampus dan pengembang bisa menghasilkan pelatihan hybrid yang relevan.
Bagi Pemerintah:
Perlu disusun standar nasional kompetensi pelaksana konstruksi perumahan, terpisah dari bangunan gedung umum
Skema pelatihan berbasis proyek dan pembiayaan bersubsidi dapat mempercepat pengentasan backlog.
Bagi Developer:
Lakukan pelatihan berjenjang berbasis kompetensi sesuai prioritas seperti dalam riset ini.
Kembangkan sistem mentoring untuk pelaksana muda dengan senior berpengalaman.
Kritik dan Opini
Penelitian ini cukup komprehensif dalam menjelaskan struktur kompetensi, namun belum menyinggung aspek digitalisasi, seperti:
Penggunaan software manajemen proyek (Ms Project, BIM).
Integrasi aplikasi mobile untuk inspeksi lapangan.
Dalam era industri konstruksi 4.0, pelaksana seharusnya juga mulai dibekali kompetensi digital yang mendukung keterhubungan antar tim dan dokumentasi real-time.
Selain itu, akan lebih kuat jika studi ini mencantumkan analisis regional atau nasional untuk membandingkan apakah pola kompetensi di Yogyakarta serupa di kota besar lain seperti Surabaya atau Medan.
Penutup: Menuju Pelaksana Konstruksi yang Siap Tantangan Abad 21
Studi ini menggarisbawahi satu fakta penting: SDM unggul tidak hanya dibentuk di ruang kelas, tetapi juga melalui pemetaan kompetensi yang tepat dan aplikatif. Di tengah krisis backlog hunian, Indonesia tidak hanya butuh lebih banyak rumah, tetapi juga lebih banyak tenaga pelaksana yang tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana melakukannya dengan efisien.
Ke depan, kebijakan pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja perlu mengacu pada hasil riset-riset seperti ini—agar pembangunan tidak hanya cepat, tapi juga tepat.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses dalam:
Musyafa, A. (2015). Identifikasi Kompetensi Tenaga Ahli Pelaksana Konstruksi Perumahan di Yogyakarta. Jurnal Teknisia, Volume XX, No. 1, Mei 2015.
Universitas Islam Indonesia.
Link: https://uii.ac.id atau melalui Jurnal Teknisia