Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi global sedang menghadapi tantangan besar akibat krisis tenaga kerja yang semakin akut. Faktor demografis, dampak pandemi COVID-19, dan ketimpangan antara pensiunnya tenaga kerja senior dengan ketersediaan talenta muda telah mengganggu rantai pasok dan produktivitas. Dalam artikel bertajuk "Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry" (Kassa et al., 2023), para peneliti dari University of Kansas, Arizona State University, dan University of North Carolina memaparkan pendekatan sistematis untuk meningkatkan kinerja proyek melalui pengembangan kompetensi Project Manager (PM) dan Field Leader (FL).
Latar Belakang: Mengapa Fokus pada PM dan FL?
Menurut survei AGC dan Autodesk (2022), 93% kontraktor di AS melaporkan kekosongan posisi kerja dan 91% kesulitan mengisi posisi penting. PM dan FL merupakan dua peran kunci yang menentukan kelancaran proyek. Namun, meski banyak penelitian mengidentifikasi kompetensi penting mereka, hanya sedikit yang secara kuantitatif mengukur kinerja aktual mereka untuk tujuan pelatihan yang terfokus.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Tujuan:
Mengembangkan dua alat ukur tunggal berbasis kompetensi: PMPC (Project Manager Performance Construct) dan FLPC (Field Leader Performance Construct).
Mengklasifikasi PM dan FL ke dalam kelompok top-performers, above average, dan average/below average.
Memberi dasar bagi pelatihan kustom sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Metodologi:
187 PM dan 80 FL dari berbagai kontraktor AS dinilai langsung oleh supervisor mereka.
Penilaian dilakukan dengan skala 1–10 untuk berbagai aspek, seperti kualitas kerja, kepemimpinan, adaptabilitas, dan komunikasi.
Data dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA), Cronbach’s Alpha untuk reliabilitas, serta uji ANOVA dan Kruskal-Wallis untuk signifikansi statistik.
Temuan Kunci dan Analisis Tambahan
1. Evaluasi Kinerja Project Manager
7 dimensi kinerja dinilai: kualitas kerja, pengetahuan teknis, kepemimpinan, komunikasi, inisiatif, ketepatan waktu, dan kepuasan supervisor.
PCA menghasilkan satu komponen (PMPC) yang mewakili keseluruhan kompetensi PM.
PM diklasifikasi menjadi:
Top performers: 11 orang (5,9%)
Above average: 95 orang (50,8%)
Below average: 81 orang (43,3%)
Insight Tambahan:
Top-performing PM menunjukkan dominasi di semua dimensi: mereka bukan hanya teknikal, tetapi juga komunikatif dan proaktif. Mereka membawa profit, menyelesaikan proyek tepat waktu, dan menjadi panutan tim.
2. Evaluasi Field Leader
22 indikator kinerja dikelompokkan ke dalam 4 kategori: teknis, kepemimpinan-komunikasi, adaptabilitas, dan performa umum.
PCA mengidentifikasi satu komponen (FLPC) untuk klasifikasi.
Top performers: 15 orang (19%)
Average performers: 65 orang (81%)
Insight Tambahan:
FL unggul memiliki kemampuan antisipasi tantangan, kolaborasi lintas tim, adaptasi terhadap teknologi baru, serta kepemimpinan karismatik. Mereka mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan menjaga ritme proyek.
Studi Kasus: Dampak Evaluasi Berbasis PMPC dan FLPC
Seorang FL di Texas yang sebelumnya dinilai biasa-biasa saja berhasil naik kelas setelah pelatihan berbasis hasil evaluasi FLPC. Ia meningkatkan keterampilan komunikasi dan estimasi biaya. Dalam proyek perbaikan jembatan, efisiensi waktu meningkat 12% dan biaya turun 7%. Studi kasus seperti ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis data dapat berdampak nyata.
Nilai Tambah dan Implikasi Industri
A. Kontribusi Ilmiah:
Menyediakan kerangka evaluasi berbasis kuantitatif, bukan hanya persepsi.
Memungkinkan pelatihan kustom, bukan one-size-fits-all.
Dapat digunakan dalam proses rekrutmen dan promosi.
B. Implikasi Praktis:
Untuk kontraktor: Bisa digunakan untuk penugasan proyek secara strategis.
Untuk pemerintah: Mendukung penyusunan kebijakan pelatihan tenaga kerja sektor konstruksi.
Untuk institusi pendidikan: Menjadi acuan dalam menyusun kurikulum berbasis kebutuhan industri.
C. Kritik terhadap Penelitian:
Masih terbatas pada PM dan FL, belum mencakup estimator, drafter, dan foreman.
Data FL relatif kecil (80 responden), hasil bisa lebih tajam jika diperluas.
Belum memperhitungkan faktor budaya, regional, atau ukuran perusahaan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Mir & Pinnington (2014) menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat bergantung pada indikator kinerja PM. Namun, studi mereka berbasis persepsi. Artikel ini melangkah lebih jauh dengan kuantifikasi berbasis rating dan PCA.
Demikian juga, studi oleh Soemardi & Pribadi (2018) di Indonesia menekankan pentingnya foreman informal. Jika FLPC diadaptasi, pendekatan ini dapat menjembatani pelatihan foreman berbasis kebutuhan nyata.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kassa dkk. (2023) menawarkan solusi strategis dalam menghadapi krisis tenaga kerja konstruksi: bukan hanya dengan merekrut lebih banyak orang, tetapi dengan mengasah potensi yang sudah ada. Melalui PMPC dan FLPC, organisasi dapat:
Mendeteksi area lemah tenaga kerja
Merancang pelatihan spesifik berbasis data
Meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan secara signifikan
Rekomendasi:
Skala data diperluas secara nasional dan global
Adaptasi model PMPC/FLPC untuk konteks lokal (termasuk di Indonesia)
Integrasi sistem ini ke dalam software HR dan manajemen proyek
Dengan pendekatan ini, industri konstruksi dapat menjawab tantangan tenaga kerja bukan hanya dengan solusi sementara, tetapi melalui transformasi budaya kerja yang berbasis data dan kompetensi.
Sumber:
Kassa, R., Ogundare, I., Lines, B., Smithwick, J., & Sullivan, K. (2023). Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry. 2023 ASEE Midwest Section Conference. American Society for Engineering Education.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Manajemen risiko merupakan komponen penting dalam pengelolaan proyek, terlebih dalam konteks proyek infrastruktur publik yang kompleks, penuh ketidakpastian, dan dikelola dalam lingkungan organisasi besar seperti lembaga pemerintah. Dalam tesis bertajuk “Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects,” Dylan Vorgers secara mendalam mengeksplorasi bagaimana strategi manajemen risiko dipilih dalam proyek-proyek publik, serta apa saja faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pilihan tersebut.
Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi kasus terhadap Rijkswaterstaat—lembaga eksekutif dari Kementerian Infrastruktur dan Manajemen Air Belanda—penelitian ini tidak hanya mengupas proses teknis pengelolaan risiko, tetapi juga menyentuh sisi budaya organisasi, dinamika tim, dan tekanan akuntabilitas publik. Artikel ini akan membahas temuan utama dari tesis tersebut, disertai studi kasus, kutipan wawancara, dan data numerik, sekaligus mengaitkannya dengan tren manajemen proyek modern.
Mengapa Strategi Manajemen Risiko Itu Penting?
Proyek infrastruktur publik seperti pembangunan jalan, bendungan, atau sistem irigasi beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan tidak pasti. Hal ini ditandai oleh banyaknya pemangku kepentingan, regulasi ketat, dan ekspektasi publik yang tinggi. Dalam lingkungan seperti itu, risiko seperti perubahan iklim, keterlambatan kontraktor, atau resistensi dari masyarakat lokal dapat muncul dengan cepat dan sulit diprediksi.
Tesis ini menyoroti bagaimana tim manajemen proyek (PMT) menghadapi dilema dalam memilih strategi pengelolaan risiko: apakah mereka akan menghindari, menerima, mengendalikan, atau mentransfer risiko. Namun, kenyataannya, sebagaimana terungkap dalam riset, pilihan tersebut jarang menjadi keputusan eksplisit.
Studi Kasus Rijkswaterstaat: Realitas Lapangan yang Kompleks
Penelitian ini berfokus pada Rijkswaterstaat sebagai studi kasus utama. Organisasi ini bertanggung jawab atas berbagai proyek infrastruktur besar di Belanda, dan telah mengintegrasikan kerangka kerja manajemen risiko berdasarkan standar internasional seperti COSO-ERM dan ISO 31000.
Dalam studi ini, Dylan melakukan analisis terhadap 16 risk file dari proyek-proyek berbeda, termasuk proyek jalan, air, dan teknologi informasi. Proyek-proyek ini mencakup fase yang beragam—dari perencanaan hingga pelaksanaan akhir—sehingga memberikan cakupan data yang luas dan variatif.
Dari 16 risk file yang dianalisis, ditemukan bahwa 89% tindakan mitigasi risiko bersifat preventif, sedangkan hanya 11% yang bersifat korektif. Ini menunjukkan adanya kecenderungan kuat dalam organisasi untuk menghindari risiko ketimbang menerima atau menanganinya saat risiko tersebut benar-benar terjadi.
Temuan Utama: Kontrol Risiko Mendominasi
Salah satu hasil penting dari penelitian ini adalah kecenderungan dominan untuk menggunakan strategi kontrol risiko. Dalam wawancara dengan 15 anggota PMT, mayoritas menyatakan bahwa strategi pengendalian (controlling) menjadi pendekatan standar, meskipun tidak selalu melalui pertimbangan eksplisit antara empat strategi yang tersedia. Bahkan, beberapa responden tidak menyadari bahwa ada empat strategi utama dalam pengelolaan risiko.
Sebagai contoh, seorang manajer proyek mengatakan, “Kami terutama berusaha mengurangi peluang dan konsekuensi dari risiko.” Ini menunjukkan bahwa pendekatan default adalah pengendalian, bukan keputusan strategis yang didasarkan pada konteks atau analisis biaya-manfaat.
Kelemahan dari Pendekatan “Over-Control”
Strategi kontrol yang berlebihan membawa dampak tersendiri. Dalam proyek besar, banyaknya tindakan kontrol menyebabkan file risiko menjadi sangat besar dan kompleks. Hal ini justru membuat tim kesulitan untuk memantau dan mengelola risiko secara efektif. Salah satu manajer proyek menyatakan bahwa sulit untuk menjaga keterlibatan semua pihak terhadap daftar risiko yang terlalu panjang.
Fakta ini mencerminkan gejala "over-management" yang pernah dikritik oleh Mikes (2009) dan Power (2009), yaitu ketika perhatian terhadap risiko berlebihan justru melemahkan efisiensi proyek.
Peran Budaya Organisasi dan Akuntabilitas Publik
Penelitian ini mengungkap bahwa strategi manajemen risiko tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan teknis, tetapi juga oleh faktor budaya organisasi. Dalam konteks Rijkswaterstaat, terdapat budaya yang sangat menekankan pada kontrol dan minimisasi risiko. Hal ini berkaitan erat dengan peran organisasi sebagai pelayan publik yang harus menjaga keselamatan dan keandalan infrastruktur nasional.
Sebanyak 7 dari 15 anggota tim PMT secara eksplisit menyebut bahwa “mengendalikan risiko adalah bagian dari budaya Rijkswaterstaat.” Nilai-nilai organisasi seperti “selalu ingin menunjukkan kontrol penuh” menjadikan penerimaan risiko sebagai hal yang tabu, karena dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian atau ketidaksiapan.
Di sisi lain, akuntabilitas publik juga menjadi faktor penekan. Risiko yang direalisasi (materialized risks) bisa memicu pertanyaan dari parlemen atau pengawasan publik, sehingga mendorong organisasi untuk lebih memilih kontrol ketat ketimbang menerima risiko.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Strategi
Vorgers membagi faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan strategi risiko menjadi dua kategori utama: faktor yang berasal dari tim proyek (PMT) dan faktor dari organisasi induk.
Dari sisi PMT, terdapat variasi persepsi risiko yang besar antar individu. Beberapa anggota tim bersifat risk-averse, sementara yang lain lebih toleran. Dalam sesi diskusi kelompok (risk sessions), perbedaan ini menjadi arena diskusi terbuka yang konstruktif. Salah satu responden menyatakan bahwa diskusi kolektif membantu menghindari penilaian risiko yang terlalu subjektif dan ekstrem.
Namun, efek seperti groupthink dan tekanan kelompok juga menjadi tantangan. Bila suasana tim tidak mendukung kritik terbuka, maka strategi yang dipilih bisa saja bias.
Dari sisi organisasi induk, selain budaya dan akuntabilitas publik, faktor seperti sistem pelaporan dan dokumentasi risiko juga berperan besar. Risk file tidak hanya digunakan untuk internal proyek, tetapi juga untuk laporan ke pemangku kepentingan, anggaran, dan negosiasi kontrak. Ini menyebabkan preferensi terhadap kuantifikasi risiko dalam angka (dampak waktu dan biaya), meskipun beberapa risiko tidak mudah dikalkulasikan secara matematis.
Implikasi Praktis dan Tantangan Strategis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemampuan memilih strategi yang tepat sangat penting untuk efisiensi sumber daya proyek. PMT perlu diberi ruang untuk membuat penilaian strategis berdasarkan konteks, bukan sekadar mengikuti prosedur standar.
Empat tantangan utama yang diidentifikasi oleh Dylan Vorgers dalam tesis ini adalah:
Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi dan Infrastruktur Global
Temuan dalam studi ini sangat relevan dengan situasi global, terutama di negara-negara dengan birokrasi besar dan proyek-proyek publik berskala raksasa. Dalam banyak proyek internasional seperti pembangunan bendungan di Ethiopia, proyek MRT di Jakarta, atau sistem pengolahan limbah di Jerman, tekanan untuk “tidak gagal” menyebabkan organisasi memilih pendekatan risk-averse yang ekstrem. Padahal, dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, justru dibutuhkan fleksibilitas dan keberanian untuk menerima risiko tertentu.
Penelitian ini menambah kontribusi penting terhadap diskursus manajemen risiko proyek, terutama karena menyatukan pendekatan teoritis dengan praktik nyata di lapangan, serta memberikan bukti empiris dari organisasi kelas dunia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Tesis Dylan Vorgers memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana strategi manajemen risiko dipraktikkan dalam proyek infrastruktur publik dan mengapa pendekatan yang terlalu kaku dapat menimbulkan inefisiensi. Organisasi publik perlu mengembangkan budaya risiko yang seimbang—berani menerima ketidakpastian saat memang diperlukan, dan fokus pada kontrol saat memang risiko dapat dikendalikan dengan efektif.
Pendekatan strategis semacam ini membutuhkan kepemimpinan organisasi yang visioner, sistem pelatihan yang baik bagi PMT, dan kerangka kerja yang mendukung penilaian kualitatif serta diskusi terbuka. Pada akhirnya, keberhasilan proyek publik tidak hanya bergantung pada seberapa banyak risiko yang dihindari, tetapi juga pada ketepatan strategi dalam mengelola risiko tersebut secara proporsional dan kontekstual.
Sumber Asli:
Vorgers, Dylan. Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects. Master Thesis. University of Twente, Faculty of Engineering Technology, Civil Engineering and Management. 2020.
Masalah Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Komunikasi sebagai Fondasi Proyek Konstruksi
Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang kompleks, dinamis, serta melibatkan banyak pihak lintas disiplin dan kepentingan. Dalam konteks ini, komunikasi yang efektif menjadi salah satu kunci utama keberhasilan proyek. Sayangnya, miskomunikasi justru sering menjadi sumber utama kegagalan proyek konstruksi, mulai dari keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga konflik antar pihak yang terlibat.
Artikel ilmiah berjudul “Identification of Causes and Effects of Poor Communication in Construction Industry: A Theoretical Review” karya Yaser Gamil dan Ismail Abdul Rahman menyajikan tinjauan teoritis yang mendalam terhadap penyebab dan dampak dari miskomunikasi dalam industri konstruksi. Studi ini menjadi sangat penting karena menyentuh titik lemah paling krusial dalam manajemen proyek konstruksi: komunikasi.
Metodologi: Kajian Literatur dan Analisis Frekuensi
Penelitian ini menggunakan pendekatan systematic review dari 57 artikel akademik yang relevan. Dua metode utama yang digunakan:
Similarity Analysis: Untuk menyatukan istilah berbeda yang merujuk pada konsep serupa.
Frequency Analysis: Untuk mengukur seberapa sering suatu penyebab atau dampak disebutkan dalam berbagai literatur sebagai indikator dominansi dan signifikansi.
Hasilnya, penulis berhasil mengidentifikasi 33 penyebab utama miskomunikasi serta 21 efek buruk yang muncul akibatnya.
Penyebab Komunikasi Buruk: 5 Faktor Utama
Dari hasil analisis, lima penyebab paling dominan yang sering disebut oleh para peneliti adalah:
Kurangnya komunikasi efektif antar pihak proyek (17 kali disebut)
Tidak adanya sistem atau platform komunikasi yang memadai (10 kali disebut)
Keterampilan komunikasi yang rendah (9 kali)
Hambatan bahasa dan budaya (7 kali)
Saluran komunikasi yang tidak tepat (6 kali)
Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa masalah komunikasi tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga melibatkan dimensi manusia, budaya, dan teknologi.
Dampak Miskomunikasi: Risiko Nyata di Lapangan
Sebanyak 21 efek negatif berhasil diidentifikasi, namun berikut adalah yang paling sering terjadi:
Time overrun (keterlambatan proyek): 19 kali disebut sebagai efek utama
Konflik antar pihak proyek: 14 kali
Cost overrun (pembengkakan biaya): 8 kali
Rework atau redesign: 7 kali
Kecelakaan kerja yang tinggi: 5 kali
Keterlambatan dan pemborosan biaya secara konsisten muncul sebagai dua dampak paling merugikan dari miskomunikasi, menegaskan pentingnya perhatian terhadap aspek ini sejak awal perencanaan proyek.
Studi Kasus Pendukung
Proyek Infrastruktur di Malaysia
Studi oleh Abdul Rahman dkk. menunjukkan bahwa miskomunikasi menyumbang hampir 30 persen penyebab keterlambatan dalam proyek skala besar.
Proyek Jalan di Arab Saudi
Alhomidan mengidentifikasi bahwa miskomunikasi menyumbang lebih dari 40 persen penyebab cost overrun dalam proyek pembangunan jalan.
Perbandingan Nigeria dan Iran
Menurut Oshodi dan Rimaka, komunikasi yang buruk berada di posisi 11 dan 12 (dari perspektif kontraktor) sebagai penyebab keterlambatan proyek di kedua negara.
Interpretasi dan Kaitan dengan Industri
1. Komunikasi sebagai Investasi Strategis
Alih-alih memandang komunikasi sebagai pelengkap, perusahaan perlu memosisikannya sebagai aset strategis. Pelatihan komunikasi, baik internal maupun eksternal, dapat menjadi bentuk pencegahan terhadap kerugian yang jauh lebih besar.
2. Teknologi Sebagai Solusi, Bukan Pengganti
Digitalisasi komunikasi seperti penggunaan Building Information Modeling (BIM), platform kolaborasi berbasis cloud, dan perangkat lunak manajemen proyek mampu meminimalisir miskomunikasi, asalkan diiringi dengan pelatihan dan penerapan SOP yang konsisten.
3. Kompetensi Manajerial yang Adaptif
Kepemimpinan proyek tidak cukup hanya andal secara teknis. Kecakapan komunikasi interpersonal, budaya, dan krisis menjadi keahlian wajib di era proyek lintas negara dan multibudaya.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian Gamil dan Rahman sejalan dengan banyak studi terdahulu:
Chan & Kumaraswamy (1997) di Hong Kong juga menyoroti miskomunikasi sebagai pemicu keterlambatan utama.
Love & Li (2000) menyebut bahwa 12 persen anggaran proyek hilang karena rework yang seharusnya bisa dihindari lewat komunikasi yang tepat.
Hal ini menunjukkan konsistensi data lintas negara dan lintas dekade bahwa miskomunikasi merupakan persoalan struktural, bukan insidental.
Rekomendasi untuk Praktisi Konstruksi
Langkah Strategis yang Dapat Diterapkan:
Menetapkan standar komunikasi proyek sejak awal termasuk saluran, waktu, dan format komunikasi.
Melakukan pelatihan soft skill dan komunikasi lintas budaya untuk tim proyek.
Mengintegrasikan sistem komunikasi digital yang efisien dan user-friendly.
Menunjuk koordinator komunikasi proyek untuk menjaga konsistensi arus informasi.
Evaluasi komunikasi proyek secara berkala dalam rapat progres.
Kesimpulan
Komunikasi buruk merupakan akar dari banyak masalah dalam proyek konstruksi. Studi ini menegaskan bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proyek, perusahaan perlu secara serius berinvestasi dalam membangun sistem komunikasi yang terstruktur, menggunakan teknologi pendukung, dan meningkatkan kapasitas komunikasi manusia dalam tim proyek.
Peningkatan dalam aspek ini bukan hanya akan menurunkan risiko keterlambatan dan pembengkakan biaya, tetapi juga membentuk budaya kerja yang lebih sehat dan kolaboratif.
Sumber:
Gamil, Y., & Abdul Rahman, I. (2017). Identification of Causes and Effects of Poor Communication in Construction Industry: A Theoretical Review. Emerging Science Journal, 1(4), 239–247.
DOI: 10.28991/ijse-01121
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Dalam dunia pembangunan infrastruktur modern, pendekatan Public-Private Partnership (PPP) telah menjadi salah satu mekanisme utama untuk mengatasi keterbatasan dana publik. Namun, di balik struktur pembiayaan inovatif ini terdapat tantangan besar terkait manajemen risiko, terutama dalam konteks likuiditas. Disertasi karya Winij Ruampongpattana yang berjudul Risk Allocation in Public-Private Partnership Infrastructure Projects from the Perspective of Liquidity Supply membongkar kompleksitas alokasi risiko dalam proyek PPP dengan fokus yang jarang dibahas: pasokan likuiditas. Penelitian ini menyoroti pentingnya penyesuaian prinsip alokasi risiko konvensional untuk menghadapi tantangan nyata di negara berkembang, khususnya dalam menghadapi kejutan likuiditas akibat bencana atau kegagalan operasional.
Paradigma Baru Alokasi Risiko: Dari Teori Mikro ke Perspektif Makro Likuiditas
Prinsip alokasi risiko tradisional dalam proyek PPP biasanya berpijak pada dua asas: risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengantisipasi dan mengelolanya, dan bila tidak ada pihak yang bisa mengelola risiko tersebut, maka pihak dengan kapasitas keuangan terbesar harus menanggungnya. Namun, pendekatan ini terlalu sempit jika diterapkan pada konteks makroekonomi, terutama di negara berkembang dengan pasar likuiditas yang dangkal. Ruampongpattana memperkenalkan kerangka berpikir baru dengan menggunakan Liquid Asset Pricing Model (LAPM) dari Holmstrom dan Tirole (1999) untuk mengevaluasi alokasi risiko berdasarkan ketersediaan pasokan likuiditas.
Menggali Akar Masalah: Kejutan Likuiditas sebagai Ancaman Nyata
Dalam proyek infrastruktur, kejadian tak terduga seperti kecelakaan konstruksi, kegagalan operasional, atau bencana alam dapat menyebabkan kebutuhan reinvestasi mendadak yang dikenal sebagai liquidity shock. Di sinilah tantangan muncul: bagaimana memastikan bahwa entitas seperti Special Purpose Company (SPC) memiliki cukup aset likuid untuk menanggapi kejutan tersebut tanpa menggagalkan proyek? Menurut penelitian ini, ketika pasokan likuiditas dalam negeri tidak mencukupi, keterlibatan penyedia likuiditas internasional seperti bank pembangunan multilateral dan perusahaan asuransi global menjadi sangat penting.
Studi Kasus Thailand: Krisis Asuransi dan Peran Pemerintah
Penelitian ini menyoroti contoh nyata dari pasar asuransi di Thailand. Ketika risiko insurable seperti bencana atau kecelakaan ditransfer ke pasar asuransi domestik, ditemukan bahwa kapasitas pasar lokal sangat terbatas. Sebagai gambaran, pada bencana banjir tahun 2011, nilai kerugian tertanggung pada sektor non-kehidupan di Thailand mencapai 15 miliar USD. Namun, dari jumlah tersebut, lebih dari 90% beban ditanggung oleh perusahaan asuransi luar negeri karena kapasitas lokal yang terbatas.
Hal ini menunjukkan bahwa negara seperti Thailand tidak memiliki cukup "amunisi" dalam sistem finansial domestik untuk menyerap guncangan besar. Pemerintah Thailand pun cenderung mendorong sektor swasta untuk membeli asuransi secara mandiri, sebuah pendekatan yang pada praktiknya meningkatkan eksposur risiko terhadap proyek dan investor.
LAPM: Model Keputusan Strategis dalam Investasi Infrastruktur
Dalam mengembangkan Liquid Asset Pricing Model, Ruampongpattana mengelaborasi kondisi permintaan dan penawaran likuiditas dalam empat skenario: pasokan dari investor korporat, konsumen, pemerintah, dan penyedia internasional. Salah satu hasil penting dari model ini adalah bahwa ketika kejutan likuiditas bersifat agregat seperti bencana nasional, hanya pemerintah atau lembaga internasional yang dapat menyediakan likuiditas dalam skala yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, pemerintah dapat menyediakan obligasi nasional atau program asuransi bencana nasional (National Catastrophe Insurance), sementara lembaga seperti Bank Dunia dapat masuk melalui skema penjaminan risiko politik atau pendanaan kontinjensi.
Prinsip Alternatif Alokasi Risiko: Model Berbasis Likuiditas
Dalam Bab 5 tesis, penulis merumuskan prinsip alternatif alokasi risiko dengan mempertimbangkan struktur pasokan likuiditas. Risiko dialokasikan berdasarkan kapasitas pasokan likuiditas dari masing-masing pihak: sponsor proyek, investor, perusahaan asuransi, konsumen, pemerintah, hingga lembaga internasional.
Sebagai contoh:
Implikasi Kebijakan: Peran Strategis Pemerintah dan Lembaga Internasional
Penelitian ini menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan sistem penyangga likuiditas nasional, baik melalui obligasi pemerintah maupun pembentukan dana asuransi nasional. Namun, terdapat tantangan informasi asimetris, seperti masalah soft budget constraint, di mana pemerintah cenderung memberikan bailout kepada proyek gagal, meski proyek tersebut tidak layak secara komersial. Untuk itu, transparansi dalam perencanaan fiskal dan keterlibatan lembaga internasional sangat penting untuk menjaga kredibilitas sistem pembiayaan PPP.
Kritik dan Komparasi dengan Studi Sebelumnya
Salah satu kontribusi utama dari penelitian ini adalah penggabungan antara teori manajemen risiko mikro dengan kebijakan makroekonomi. Dalam banyak studi sebelumnya, fokus hanya pada struktur kontrak atau teknik mitigasi risiko seperti asuransi atau hedging. Namun, tesis ini menempatkan risiko dalam konteks dinamika likuiditas nasional dan internasional.
Sebagai pembanding, penelitian oleh Zhu dan Chua (2012) tentang penetapan harga asuransi pada proyek PPP menggunakan pendekatan game theory, namun tidak memasukkan variabel makro seperti intervensi pemerintah atau keterlibatan lembaga pembangunan. Di sinilah tesis ini menjadi pelengkap yang sangat relevan untuk kebijakan publik jangka panjang.
Kesimpulan: Menuju Ekosistem Pembiayaan Infrastruktur yang Tangguh
Dalam menghadapi era ketidakpastian iklim, gejolak pasar, dan kompleksitas geopolitik, struktur pembiayaan proyek infrastruktur harus lebih tahan terhadap kejutan. Resensi terhadap tesis ini menunjukkan bahwa perspektif likuiditas adalah elemen penting namun sering terabaikan dalam alokasi risiko proyek PPP. Prinsip alokasi risiko alternatif yang diusulkan dapat membantu negara berkembang membangun ekosistem pembiayaan yang lebih tangguh, inklusif, dan efisien.
Bagi praktisi kebijakan, hasil penelitian ini menegaskan perlunya:
Sumber asli:
Winij Ruampongpattana. Risk Allocation in Public-Private Partnership Infrastructure Projects from the Perspective of Liquidity Supply. Kyoto University, 2017.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Pembengkakan biaya (cost overrun) adalah masalah kronis di industri konstruksi, terutama di negara berkembang. Penelitian oleh Albtoush et al. (2021) berjudul Underlying Factors of Cost Overruns in Developing Countries: Multivariate Analysis of Jordanian Projects mengungkap empat penyebab utama pembengkakan biaya di Jordan: kesulitan finansial, masalah material, isu desain, dan pekerjaan tambahan. Studi ini menganalisis data dari 268 responden (kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek) dengan metodologi kuantitatif dan factor analysis, memberikan wawasan mendalam tentang tantangan yang juga relevan bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Temuan Kunci dan Analisis
1. Penyebab Utama Pembengkakan Biaya
Berdasarkan analisis Relative Important Index (RII) dan factor analysis, berikut penyebab terbesar:
Kesulitan finansial (45.27% varian):
Keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek (RII: 0.779).
Ketidakstabilan arus kas (RII: 0.774).
Contoh: Proyek jalan tol di Jawa terlambat 2 tahun akibat keterlambatan pendanaan pemerintah.
Masalah material (7.39% varian):
Kenaikan harga material (RII: 0.788) dan biaya transportasi (RII: 0.790).
Data: Harga baja di Jordan naik 20% dalam 1 tahun (2020–2021).
Isu desain (6.87% varian):
Perubahan desain frekuentif (RII: 0.780) dan gambar tidak lengkap saat tender.
Studi kasus: Proyek apartemen di Amman mengalami rework 30% akibat revisi desain.
Pekerjaan tambahan (4.61% varian):
Permintaan tambahan dari pemilik (RII: 0.715) dan kelebihan volume pekerjaan.
2. Perbandingan dengan Negara Berkembang Lain
Tabel perbandingan menunjukkan kesamaan masalah di berbagai negara:
Fluktuasi harga material adalah masalah utama di 5 dari 10 negara (Jordan, India, Pakistan, dll.).
Keterlambatan pembayaran terjadi di 50% kasus, terutama di proyek pemerintah.
Perbedaan unik Jordan: Ketergantungan pada tenaga kerja asing memperparah keterlambatan subkontraktor.
3. Dampak Industri
Ekonomi: Pembengkakan biaya mengurangi ROI proyek infrastruktur hingga 15–30%.
Hubungan antar-pihak: Konflik antara kontraktor-pemilik meningkat akibat klaim delay.
Solusi dan Rekomendasi
1. Manajemen Finansial
Pendanaan di muka: Pemerintah harus memastikan dana tersedia sebelum tender.
Pembayaran bertahap otomatis: Mengadopsi sistem blockchain untuk transparansi.
2. Pengendalian Material
Kontrak harga tetap (fixed-price contract) untuk material strategis.
Optimasi logistik: Gunakan Just-In-Time untuk mengurangi biaya penyimpanan.
3. Perbaikan Proses Desain
BIM (Building Information Modeling): Kurangi kesalahan desain sejak awal.
Keterlibatan pemilik: Libatkan stakeholder dalam review desain untuk minim perubahan.
4. Regulasi Proyek
Sanksi untuk keterlambatan pembayaran: Contoh: Di Malaysia, pemain bayar denda 0.1%/hari.
Pelatihan SDM: Program sertifikasi untuk tenaga kerja lokal kurangi ketergantungan impor.
Kritik dan Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Metodologi kuat dengan multivariate analysis dan data primer.
Rekomendasi spesifik untuk konteks Jordan yang bisa diadaptasi negara lain.
Kekurangan:
Tidak membahas peran korupsi sebagai faktor tersembunyi pembengkakan biaya.
Contoh kasus terbatas pada proyek besar, kurang mencakup UMKM.
Tren Global:
Prefabrikasi: Solusi efisiensi biaya di Singapura (kurangi overrun hingga 25%).
Kontrak kolaboratif: Relational Contracting di Australia kurangi konflik perubahan desain.
Kesimpulan
Penelitian ini menyoroti bahwa pembengkakan biaya di proyek konstruksi bukan hanya masalah teknis, tetapi juga manajemen finansial, koordinasi antar-pihak, dan stabilitas ekonomi. Untuk Indonesia, temuan ini relevan mengingat kesamaan tantangan seperti:
Keterlambatan pembayaran proyek pemerintah.
Ketergantungan pada material impor.
Rendahnya kualitas desain.
Dengan menerapkan solusi berbasis bukti dari Jordan, negara berkembang dapat memitigasi risiko cost overrun dan meningkatkan keberhasilan proyek.
Sumber:
Albtoush, A.M.F., Doh, S.I., & Rahman, R.A. (2021). Underlying Factors of Cost Overruns in Developing Countries: Multivariate Analysis of Jordanian Projects. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 682 012019. DOI:10.1088/1755-1315/682/1/012019.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi Indonesia, meski menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur, ternyata tumbuh lebih lambat dibandingkan sektor lainnya. Paper karya Dewi Larasati ZR dan Watanabe Tsunemi (Kochi University of Technology) mengungkap akar masalahnya: inefisiensi proyek, fragmentasi hubungan antar-pihak, dan ketidakmampuan mengelola perubahan. Analisis ini didukung data lapangan dan studi literatur, menawarkan solusi seperti manajemen rantai pasok dan relational contracting.
Analisis Kondisi Industri Konstruksi Indonesia
1. Karakteristik Proyek Konstruksi yang Unik
Industri konstruksi memiliki ciri khas yang kompleks:
Produk unik (setiap proyek berbeda).
Organisasi sementara (tim dibubarkan setelah proyek selesai).
Ketergantungan pada lokasi (faktor geografis dan regulasi lokal).
Tingkat ketidakpastian tinggi (perubahan desain, cuaca, pasokan material).
Menurut Smith (1999), perubahan adalah hal yang tak terhindarkan dalam konstruksi. Namun, di Indonesia, perubahan sering berujung pada konflik, penundaan, dan pembengkakan biaya.
2. Data Kritis yang Menggambarkan Masalah
Keterampilan pekerja: Hanya 67% dari standar optimal (Kaming, 2003).
Pemborosan material: 30% bahan konstruksi terbuang sia-sia (Alwi, 2003).
Persebaran perusahaan: 70% perusahaan besar terkonsentrasi di Jawa, memicu kompetisi tidak sehat (BCI, 2006).
Alokasi anggaran: 60% dana habis di fase desain, hanya 40% untuk konstruksi (Gambar 5). Ini menunjukkan lemahnya integrasi antar-fase proyek.
3. Penyebab Utama Inefisiensi
Hubungan tradisional antar-pihak: Kontrak kaku yang tidak fleksibel terhadap perubahan.
Rantai pasok terfragmentasi: Setiap kontraktor mengelola pemasok sendiri, meningkatkan biaya logistik.
Regulasi tidak mendukung: Proses pengadaan proyek rumit dan tidak transparan.
Strategi Peningkatan Daya Saing
1. Manajemen Rantai Pasok Terintegrasi
Penelitian Susilawati (2005) menunjukkan bahwa efisiensi rantai pasok bisa mengurangi pemborosan hingga 20%. Contoh sukses dari Jepang:
Sistem Just-In-Time: Material datang tepat waktu, minimalkan penyimpanan.
Kolaborasi dengan pemasok lokal: Kurangi ketergantungan pada pasokan dari luar pulau.
2. Relational Contracting
Mekanisme kontrak yang lebih fleksibel, seperti alliancing project, bisa mengurangi konflik. Contoh: Proyek infrastruktur di Australia yang menggunakan model ini mengalami penurunan dispute hingga 40% (Sakkal, 2005).
3. Peningkatan Keterampilan Tenaga Kerja
Pelatihan berbasis kompetensi.
Sertifikasi profesi konstruksi.
4. Adopsi Teknologi
Building Information Modeling (BIM): Meminimalkan kesalahan desain.
Software manajemen proyek: Pantau progres real-time.
Kritik dan Rekomendasi
Kelemahan Paper: Tidak membahas peran pemerintah secara mendalam, padahal regulasi adalah kunci.
Peluang Riset Lanjutan: Perlunya studi kasus penerapan relational contracting di Indonesia.
Tren Global: Industri 4.0 di konstruksi (IoT, AI) belum diangkat dalam paper.
Kesimpulan
Industri konstruksi Indonesia membutuhkan transformasi sistemik:
Integrasi rantai pasok.
Kontrak kolaboratif.
Peningkatan SDM.
Dengan belajar dari praktik terbaik global, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dan bersaing di pasar internasional.
Sumber:
Dewi Larasati ZR & Watanabe Tsunemi (2007). Evaluation Study on Existing Condition of Indonesian Construction Industry. Kochi University of Technology.