Mengungkap Tantangan Strategi Manajemen Risiko dalam Proyek Infrastruktur Publik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

28 Mei 2025, 11.02

pixabay.com

Manajemen risiko merupakan komponen penting dalam pengelolaan proyek, terlebih dalam konteks proyek infrastruktur publik yang kompleks, penuh ketidakpastian, dan dikelola dalam lingkungan organisasi besar seperti lembaga pemerintah. Dalam tesis bertajuk “Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects,” Dylan Vorgers secara mendalam mengeksplorasi bagaimana strategi manajemen risiko dipilih dalam proyek-proyek publik, serta apa saja faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pilihan tersebut.

Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi kasus terhadap Rijkswaterstaat—lembaga eksekutif dari Kementerian Infrastruktur dan Manajemen Air Belanda—penelitian ini tidak hanya mengupas proses teknis pengelolaan risiko, tetapi juga menyentuh sisi budaya organisasi, dinamika tim, dan tekanan akuntabilitas publik. Artikel ini akan membahas temuan utama dari tesis tersebut, disertai studi kasus, kutipan wawancara, dan data numerik, sekaligus mengaitkannya dengan tren manajemen proyek modern.

Mengapa Strategi Manajemen Risiko Itu Penting?

Proyek infrastruktur publik seperti pembangunan jalan, bendungan, atau sistem irigasi beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan tidak pasti. Hal ini ditandai oleh banyaknya pemangku kepentingan, regulasi ketat, dan ekspektasi publik yang tinggi. Dalam lingkungan seperti itu, risiko seperti perubahan iklim, keterlambatan kontraktor, atau resistensi dari masyarakat lokal dapat muncul dengan cepat dan sulit diprediksi.

Tesis ini menyoroti bagaimana tim manajemen proyek (PMT) menghadapi dilema dalam memilih strategi pengelolaan risiko: apakah mereka akan menghindari, menerima, mengendalikan, atau mentransfer risiko. Namun, kenyataannya, sebagaimana terungkap dalam riset, pilihan tersebut jarang menjadi keputusan eksplisit.

Studi Kasus Rijkswaterstaat: Realitas Lapangan yang Kompleks

Penelitian ini berfokus pada Rijkswaterstaat sebagai studi kasus utama. Organisasi ini bertanggung jawab atas berbagai proyek infrastruktur besar di Belanda, dan telah mengintegrasikan kerangka kerja manajemen risiko berdasarkan standar internasional seperti COSO-ERM dan ISO 31000.

Dalam studi ini, Dylan melakukan analisis terhadap 16 risk file dari proyek-proyek berbeda, termasuk proyek jalan, air, dan teknologi informasi. Proyek-proyek ini mencakup fase yang beragam—dari perencanaan hingga pelaksanaan akhir—sehingga memberikan cakupan data yang luas dan variatif.

Dari 16 risk file yang dianalisis, ditemukan bahwa 89% tindakan mitigasi risiko bersifat preventif, sedangkan hanya 11% yang bersifat korektif. Ini menunjukkan adanya kecenderungan kuat dalam organisasi untuk menghindari risiko ketimbang menerima atau menanganinya saat risiko tersebut benar-benar terjadi.

Temuan Utama: Kontrol Risiko Mendominasi

Salah satu hasil penting dari penelitian ini adalah kecenderungan dominan untuk menggunakan strategi kontrol risiko. Dalam wawancara dengan 15 anggota PMT, mayoritas menyatakan bahwa strategi pengendalian (controlling) menjadi pendekatan standar, meskipun tidak selalu melalui pertimbangan eksplisit antara empat strategi yang tersedia. Bahkan, beberapa responden tidak menyadari bahwa ada empat strategi utama dalam pengelolaan risiko.

Sebagai contoh, seorang manajer proyek mengatakan, “Kami terutama berusaha mengurangi peluang dan konsekuensi dari risiko.” Ini menunjukkan bahwa pendekatan default adalah pengendalian, bukan keputusan strategis yang didasarkan pada konteks atau analisis biaya-manfaat.

Kelemahan dari Pendekatan “Over-Control”

Strategi kontrol yang berlebihan membawa dampak tersendiri. Dalam proyek besar, banyaknya tindakan kontrol menyebabkan file risiko menjadi sangat besar dan kompleks. Hal ini justru membuat tim kesulitan untuk memantau dan mengelola risiko secara efektif. Salah satu manajer proyek menyatakan bahwa sulit untuk menjaga keterlibatan semua pihak terhadap daftar risiko yang terlalu panjang.

Fakta ini mencerminkan gejala "over-management" yang pernah dikritik oleh Mikes (2009) dan Power (2009), yaitu ketika perhatian terhadap risiko berlebihan justru melemahkan efisiensi proyek.

Peran Budaya Organisasi dan Akuntabilitas Publik

Penelitian ini mengungkap bahwa strategi manajemen risiko tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan teknis, tetapi juga oleh faktor budaya organisasi. Dalam konteks Rijkswaterstaat, terdapat budaya yang sangat menekankan pada kontrol dan minimisasi risiko. Hal ini berkaitan erat dengan peran organisasi sebagai pelayan publik yang harus menjaga keselamatan dan keandalan infrastruktur nasional.

Sebanyak 7 dari 15 anggota tim PMT secara eksplisit menyebut bahwa “mengendalikan risiko adalah bagian dari budaya Rijkswaterstaat.” Nilai-nilai organisasi seperti “selalu ingin menunjukkan kontrol penuh” menjadikan penerimaan risiko sebagai hal yang tabu, karena dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian atau ketidaksiapan.

Di sisi lain, akuntabilitas publik juga menjadi faktor penekan. Risiko yang direalisasi (materialized risks) bisa memicu pertanyaan dari parlemen atau pengawasan publik, sehingga mendorong organisasi untuk lebih memilih kontrol ketat ketimbang menerima risiko.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Strategi

Vorgers membagi faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan strategi risiko menjadi dua kategori utama: faktor yang berasal dari tim proyek (PMT) dan faktor dari organisasi induk.

Dari sisi PMT, terdapat variasi persepsi risiko yang besar antar individu. Beberapa anggota tim bersifat risk-averse, sementara yang lain lebih toleran. Dalam sesi diskusi kelompok (risk sessions), perbedaan ini menjadi arena diskusi terbuka yang konstruktif. Salah satu responden menyatakan bahwa diskusi kolektif membantu menghindari penilaian risiko yang terlalu subjektif dan ekstrem.

Namun, efek seperti groupthink dan tekanan kelompok juga menjadi tantangan. Bila suasana tim tidak mendukung kritik terbuka, maka strategi yang dipilih bisa saja bias.

Dari sisi organisasi induk, selain budaya dan akuntabilitas publik, faktor seperti sistem pelaporan dan dokumentasi risiko juga berperan besar. Risk file tidak hanya digunakan untuk internal proyek, tetapi juga untuk laporan ke pemangku kepentingan, anggaran, dan negosiasi kontrak. Ini menyebabkan preferensi terhadap kuantifikasi risiko dalam angka (dampak waktu dan biaya), meskipun beberapa risiko tidak mudah dikalkulasikan secara matematis.

Implikasi Praktis dan Tantangan Strategis

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemampuan memilih strategi yang tepat sangat penting untuk efisiensi sumber daya proyek. PMT perlu diberi ruang untuk membuat penilaian strategis berdasarkan konteks, bukan sekadar mengikuti prosedur standar.

Empat tantangan utama yang diidentifikasi oleh Dylan Vorgers dalam tesis ini adalah:

  1. Meningkatkan Ketepatan Penilaian Risiko oleh PMT, dengan cara membangun keragaman pandangan dan budaya diskusi yang terbuka.
  2. Mengintegrasikan Nilai-Nilai Organisasi dalam Strategi Risiko, sehingga penerimaan risiko bukan lagi dianggap sebagai kelemahan, melainkan sebagai pilihan strategis dalam kondisi tertentu.
  3. Menyeimbangkan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif, terutama untuk risiko yang sulit diukur.
  4. Mengelola Tekanan Akuntabilitas Publik, tanpa mengorbankan efisiensi proyek. Hal ini membutuhkan transparansi dan edukasi publik tentang manajemen risiko.

Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi dan Infrastruktur Global

Temuan dalam studi ini sangat relevan dengan situasi global, terutama di negara-negara dengan birokrasi besar dan proyek-proyek publik berskala raksasa. Dalam banyak proyek internasional seperti pembangunan bendungan di Ethiopia, proyek MRT di Jakarta, atau sistem pengolahan limbah di Jerman, tekanan untuk “tidak gagal” menyebabkan organisasi memilih pendekatan risk-averse yang ekstrem. Padahal, dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, justru dibutuhkan fleksibilitas dan keberanian untuk menerima risiko tertentu.

Penelitian ini menambah kontribusi penting terhadap diskursus manajemen risiko proyek, terutama karena menyatukan pendekatan teoritis dengan praktik nyata di lapangan, serta memberikan bukti empiris dari organisasi kelas dunia.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Tesis Dylan Vorgers memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana strategi manajemen risiko dipraktikkan dalam proyek infrastruktur publik dan mengapa pendekatan yang terlalu kaku dapat menimbulkan inefisiensi. Organisasi publik perlu mengembangkan budaya risiko yang seimbang—berani menerima ketidakpastian saat memang diperlukan, dan fokus pada kontrol saat memang risiko dapat dikendalikan dengan efektif.

Pendekatan strategis semacam ini membutuhkan kepemimpinan organisasi yang visioner, sistem pelatihan yang baik bagi PMT, dan kerangka kerja yang mendukung penilaian kualitatif serta diskusi terbuka. Pada akhirnya, keberhasilan proyek publik tidak hanya bergantung pada seberapa banyak risiko yang dihindari, tetapi juga pada ketepatan strategi dalam mengelola risiko tersebut secara proporsional dan kontekstual.

Sumber Asli:
Vorgers, Dylan. Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects. Master Thesis. University of Twente, Faculty of Engineering Technology, Civil Engineering and Management. 2020.