Risk Allocation in Public-Private Partnership (PPP) Infrastructure Projects dari Perspektif Pasokan Likuiditas

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

28 Mei 2025, 10.50

pixabay.com

Dalam dunia pembangunan infrastruktur modern, pendekatan Public-Private Partnership (PPP) telah menjadi salah satu mekanisme utama untuk mengatasi keterbatasan dana publik. Namun, di balik struktur pembiayaan inovatif ini terdapat tantangan besar terkait manajemen risiko, terutama dalam konteks likuiditas. Disertasi karya Winij Ruampongpattana yang berjudul Risk Allocation in Public-Private Partnership Infrastructure Projects from the Perspective of Liquidity Supply membongkar kompleksitas alokasi risiko dalam proyek PPP dengan fokus yang jarang dibahas: pasokan likuiditas. Penelitian ini menyoroti pentingnya penyesuaian prinsip alokasi risiko konvensional untuk menghadapi tantangan nyata di negara berkembang, khususnya dalam menghadapi kejutan likuiditas akibat bencana atau kegagalan operasional.

Paradigma Baru Alokasi Risiko: Dari Teori Mikro ke Perspektif Makro Likuiditas

Prinsip alokasi risiko tradisional dalam proyek PPP biasanya berpijak pada dua asas: risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengantisipasi dan mengelolanya, dan bila tidak ada pihak yang bisa mengelola risiko tersebut, maka pihak dengan kapasitas keuangan terbesar harus menanggungnya. Namun, pendekatan ini terlalu sempit jika diterapkan pada konteks makroekonomi, terutama di negara berkembang dengan pasar likuiditas yang dangkal. Ruampongpattana memperkenalkan kerangka berpikir baru dengan menggunakan Liquid Asset Pricing Model (LAPM) dari Holmstrom dan Tirole (1999) untuk mengevaluasi alokasi risiko berdasarkan ketersediaan pasokan likuiditas.

Menggali Akar Masalah: Kejutan Likuiditas sebagai Ancaman Nyata

Dalam proyek infrastruktur, kejadian tak terduga seperti kecelakaan konstruksi, kegagalan operasional, atau bencana alam dapat menyebabkan kebutuhan reinvestasi mendadak yang dikenal sebagai liquidity shock. Di sinilah tantangan muncul: bagaimana memastikan bahwa entitas seperti Special Purpose Company (SPC) memiliki cukup aset likuid untuk menanggapi kejutan tersebut tanpa menggagalkan proyek? Menurut penelitian ini, ketika pasokan likuiditas dalam negeri tidak mencukupi, keterlibatan penyedia likuiditas internasional seperti bank pembangunan multilateral dan perusahaan asuransi global menjadi sangat penting.

Studi Kasus Thailand: Krisis Asuransi dan Peran Pemerintah

Penelitian ini menyoroti contoh nyata dari pasar asuransi di Thailand. Ketika risiko insurable seperti bencana atau kecelakaan ditransfer ke pasar asuransi domestik, ditemukan bahwa kapasitas pasar lokal sangat terbatas. Sebagai gambaran, pada bencana banjir tahun 2011, nilai kerugian tertanggung pada sektor non-kehidupan di Thailand mencapai 15 miliar USD. Namun, dari jumlah tersebut, lebih dari 90% beban ditanggung oleh perusahaan asuransi luar negeri karena kapasitas lokal yang terbatas.

Hal ini menunjukkan bahwa negara seperti Thailand tidak memiliki cukup "amunisi" dalam sistem finansial domestik untuk menyerap guncangan besar. Pemerintah Thailand pun cenderung mendorong sektor swasta untuk membeli asuransi secara mandiri, sebuah pendekatan yang pada praktiknya meningkatkan eksposur risiko terhadap proyek dan investor.

LAPM: Model Keputusan Strategis dalam Investasi Infrastruktur

Dalam mengembangkan Liquid Asset Pricing Model, Ruampongpattana mengelaborasi kondisi permintaan dan penawaran likuiditas dalam empat skenario: pasokan dari investor korporat, konsumen, pemerintah, dan penyedia internasional. Salah satu hasil penting dari model ini adalah bahwa ketika kejutan likuiditas bersifat agregat seperti bencana nasional, hanya pemerintah atau lembaga internasional yang dapat menyediakan likuiditas dalam skala yang dibutuhkan.

Sebagai contoh, pemerintah dapat menyediakan obligasi nasional atau program asuransi bencana nasional (National Catastrophe Insurance), sementara lembaga seperti Bank Dunia dapat masuk melalui skema penjaminan risiko politik atau pendanaan kontinjensi.

Prinsip Alternatif Alokasi Risiko: Model Berbasis Likuiditas

Dalam Bab 5 tesis, penulis merumuskan prinsip alternatif alokasi risiko dengan mempertimbangkan struktur pasokan likuiditas. Risiko dialokasikan berdasarkan kapasitas pasokan likuiditas dari masing-masing pihak: sponsor proyek, investor, perusahaan asuransi, konsumen, pemerintah, hingga lembaga internasional.

Sebagai contoh:

  • Risiko pembangunan dan operasi dapat diasuransikan melalui produk seperti Construction All Risk atau Catastrophe Insurance.
  • Risiko residual dapat ditanggung melalui pasar modal, seperti obligasi proyek.
  • Risiko politik dan bencana agregat dialokasikan kepada pemerintah atau lembaga multilateral karena kebutuhan likuiditasnya sangat besar.

Implikasi Kebijakan: Peran Strategis Pemerintah dan Lembaga Internasional

Penelitian ini menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan sistem penyangga likuiditas nasional, baik melalui obligasi pemerintah maupun pembentukan dana asuransi nasional. Namun, terdapat tantangan informasi asimetris, seperti masalah soft budget constraint, di mana pemerintah cenderung memberikan bailout kepada proyek gagal, meski proyek tersebut tidak layak secara komersial. Untuk itu, transparansi dalam perencanaan fiskal dan keterlibatan lembaga internasional sangat penting untuk menjaga kredibilitas sistem pembiayaan PPP.

Kritik dan Komparasi dengan Studi Sebelumnya

Salah satu kontribusi utama dari penelitian ini adalah penggabungan antara teori manajemen risiko mikro dengan kebijakan makroekonomi. Dalam banyak studi sebelumnya, fokus hanya pada struktur kontrak atau teknik mitigasi risiko seperti asuransi atau hedging. Namun, tesis ini menempatkan risiko dalam konteks dinamika likuiditas nasional dan internasional.

Sebagai pembanding, penelitian oleh Zhu dan Chua (2012) tentang penetapan harga asuransi pada proyek PPP menggunakan pendekatan game theory, namun tidak memasukkan variabel makro seperti intervensi pemerintah atau keterlibatan lembaga pembangunan. Di sinilah tesis ini menjadi pelengkap yang sangat relevan untuk kebijakan publik jangka panjang.

Kesimpulan: Menuju Ekosistem Pembiayaan Infrastruktur yang Tangguh

Dalam menghadapi era ketidakpastian iklim, gejolak pasar, dan kompleksitas geopolitik, struktur pembiayaan proyek infrastruktur harus lebih tahan terhadap kejutan. Resensi terhadap tesis ini menunjukkan bahwa perspektif likuiditas adalah elemen penting namun sering terabaikan dalam alokasi risiko proyek PPP. Prinsip alokasi risiko alternatif yang diusulkan dapat membantu negara berkembang membangun ekosistem pembiayaan yang lebih tangguh, inklusif, dan efisien.

Bagi praktisi kebijakan, hasil penelitian ini menegaskan perlunya:

  • Menyusun kebijakan fiskal yang proaktif dalam pembentukan dana cadangan risiko;
  • Mengundang partisipasi penyedia likuiditas internasional secara strategis;
  • Menyusun kontrak PPP yang mencerminkan alokasi risiko berbasis kapasitas likuiditas, bukan semata-mata kontrol risiko.

Sumber asli:
Winij Ruampongpattana. Risk Allocation in Public-Private Partnership Infrastructure Projects from the Perspective of Liquidity Supply. Kyoto University, 2017.