Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juni 2025
Pembangunan infrastruktur menjadi tulang punggung dalam upaya percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu proyek terbesar yang sedang digarap pemerintah Indonesia adalah Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS), sebuah jaringan jalan bebas hambatan sepanjang lebih dari 2.800 km yang menghubungkan wilayah-wilayah utama di Pulau Sumatra. Salah satu ruas kunci dari proyek ini adalah ruas Lampung–Palembang yang terbentang sepanjang 361 kilometer dan mendapat perhatian khusus karena kompleksitas tantangan hukum dan teknis yang dihadapinya. Artikel karya Angga Dwian Prakoso, Sami’an, dan Sarwono Hardjomuljadi ini mengulas secara mendalam penerapan hukum konstruksi dalam proyek JTTS, terutama pada aspek legal, administratif, serta risiko hukum yang muncul dalam pelaksanaan proyek.
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan fokus utama pada regulasi nasional, penerapan standar internasional seperti FIDIC, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Hasil dari kajian ini tidak hanya memberi gambaran tentang masalah di lapangan tetapi juga menyajikan rekomendasi konkret untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan proyek infrastruktur ke depan.
Salah satu temuan penting dalam artikel ini adalah pengaruh besar masalah pembebasan lahan terhadap keterlambatan proyek. Meski pemerintah telah menetapkan dasar hukum melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pada praktiknya proyek JTTS menghadapi penolakan dari masyarakat terkait nilai kompensasi. Penundaan ini memicu domino efek terhadap tahapan konstruksi, mengingat pembebasan lahan seharusnya diselesaikan sebelum kegiatan fisik dimulai. Contohnya, kelambatan pada beberapa seksi menyebabkan molornya waktu konstruksi hingga berbulan-bulan dari target awal.
Di sisi lain, pendanaan juga menjadi tantangan besar. Meski proyek ini mendapatkan suntikan dana dari negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp28,8 triliun pada 2023 dan Rp18,6 triliun pada 2024, namun proses pencairannya tidak selalu lancar. Keterlambatan ini menyebabkan terhambatnya progres proyek dan memicu konflik antar pihak pelaksana, termasuk kontraktor dan subkontraktor. Sebagai contoh, sengketa pembayaran antara kontraktor utama dan subkontraktor terjadi karena perbedaan klaim volume pekerjaan dan ketidaksesuaian progres pembayaran, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kontrak kerja yang berlaku.
Terkait aspek lingkungan, proyek ini juga menjadi sorotan karena dugaan pelanggaran terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Keluhan masyarakat terhadap pencemaran sungai akibat limbah konstruksi menjadi isu yang harus segera ditangani. Hal ini memperlihatkan adanya celah dalam sistem pengawasan lingkungan oleh instansi terkait. Diperlukan peningkatan kapasitas pemantauan serta implementasi sistem pelaporan digital untuk memastikan setiap kegiatan proyek ramah lingkungan.
Penerapan hukum konstruksi dalam proyek ini tidak lepas dari peran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi serta peraturan turunannya. Peraturan ini mengharuskan adanya kepastian hukum dalam setiap aspek proyek, mulai dari penyusunan kontrak, kepatuhan teknis, hingga manajemen risiko. Dalam proyek JTTS, penggunaan kontrak lumpsum dan multiyears dipilih sebagai strategi mitigasi terhadap fluktuasi harga material dan jadwal kerja. Penggunaan standar internasional seperti FIDIC juga membantu dalam pengelolaan risiko hukum dan teknis karena memberikan kejelasan hak dan kewajiban setiap pihak serta menyederhanakan penyelesaian sengketa.
Namun demikian, efektivitas penerapan peraturan ini masih dipertanyakan. Salah satu indikatornya adalah masih tingginya kasus kecelakaan kerja di lapangan yang menunjukkan kurangnya pelatihan keselamatan kerja (K3). Meskipun telah ada Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, namun pelaksanaannya belum optimal. Laporan dari Badan Pengawas Konstruksi menunjukkan bahwa banyak pekerja lapangan belum dibekali pelatihan K3 yang memadai, sehingga risiko kecelakaan masih tinggi.
Permasalahan lainnya adalah ketidakpastian regulasi yang berubah di tengah pelaksanaan proyek. Misalnya, kebijakan baru dalam hal pajak dan pengadaan tanah mengharuskan kontraktor menyesuaikan biaya operasional, yang kemudian berdampak pada keseluruhan rencana proyek. Ketidaksesuaian ini menimbulkan potensi sengketa yang berujung pada mediasi, arbitrase, bahkan litigasi, sebagaimana beberapa kasus yang disebutkan dalam artikel.
Untuk menangani berbagai konflik yang timbul, proyek ini mengandalkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui tiga jalur utama, yaitu mediasi, arbitrase, dan litigasi. Dalam banyak kasus, seperti konflik pembayaran, mediasi menjadi metode yang paling sering digunakan karena lebih cepat dan murah. Namun, dalam konflik yang melibatkan mitra internasional, arbitrase dianggap lebih tepat karena memberikan keputusan final dalam waktu yang lebih singkat dibanding proses pengadilan biasa.
Artikel ini juga menyampaikan bahwa akar dari berbagai persoalan hukum di proyek ini berasal dari perencanaan yang kurang matang, lemahnya koordinasi antar pihak, dan pengawasan yang belum maksimal. Studi kelayakan dan analisis risiko yang dangkal menyebabkan penyesuaian besar-besaran harus dilakukan saat proyek berjalan. Kelemahan koordinasi antara kontraktor, pemilik proyek, dan instansi pemerintah memperburuk pengambilan keputusan, sedangkan lemahnya pengawasan membuat pelanggaran regulasi tidak segera tertangani.
Sebagai solusi, artikel ini menawarkan beberapa rekomendasi strategis. Pertama, optimalisasi perencanaan proyek dengan memperkuat studi kelayakan dan menyusun regulasi teknis yang lebih ringkas dan sinkron. Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan hukum konstruksi dan standar teknis secara rutin. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk meminimalkan konflik teknis dan meningkatkan akurasi perencanaan. Terakhir, penerapan sistem pengawasan digital berbasis blockchain untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan proyek.
Jika dilihat dari perspektif luas, studi ini sangat relevan dengan tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini, di mana proyek-proyek besar sering kali terhambat bukan oleh aspek teknis, tetapi karena konflik hukum dan kelemahan regulasi. Artikel ini memberikan gambaran konkret bagaimana hukum konstruksi dapat dan seharusnya menjadi alat kontrol, bukan justru menjadi sumber masalah baru.
Dalam konteks tren global, penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dan transparansi dalam proyek infrastruktur mulai menjadi syarat mutlak. Dengan demikian, upaya integrasi antara hukum konstruksi, teknologi informasi, dan tata kelola proyek modern seperti yang disarankan dalam studi ini dapat menjadi model rujukan untuk proyek lain di Indonesia maupun negara berkembang lainnya.
Secara keseluruhan, artikel ini sangat kaya informasi dan analisis kritis. Dengan menyertakan data konkret seperti panjang ruas tol (361 km), nilai investasi (Rp22 triliun), serta detail masalah dan solusi hukum yang dihadapi, artikel ini tidak hanya bermanfaat secara akademis tetapi juga praktis. Penggunaan pendekatan multidisipliner antara hukum, manajemen proyek, dan teknologi menjadi kekuatan utama dari tulisan ini. Di saat pembangunan infrastruktur nasional semakin dipacu, kajian seperti ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap proyek tidak hanya selesai tepat waktu, tetapi juga berjalan dalam koridor hukum yang sehat, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel Asli
Angga Dwian Prakoso, Sami’an, & Sarwono Hardjomuljadi. (2025). Efektivitas Penerapan Hukum Konstruksi pada Proyek Infrastrukstur Nasional: Studi Kasus Ruas Jalan Tol Lampung-Palembang. Jurnal Ilmiah Hukum dan Hak Publik, Vol. 5, No. 3, Januari 2025.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juni 2025
Proyek infrastruktur berskala besar seperti bendungan, terowongan, dan kanal bukan hanya menjadi tulang punggung mobilitas dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi medan uji paling keras bagi pengelolaan risiko strategis. Artikel ilmiah berjudul Risk Management Strategies in Large-Scale Infrastructure Projects karya Adeiza Agbor Lawrence (2024) mengulas secara menyeluruh bagaimana strategi manajemen risiko berperan penting dalam memastikan keberhasilan proyek raksasa yang kerap melibatkan investasi miliaran dolar, rentang waktu pelaksanaan lebih dari satu dekade, dan rentetan kompleksitas sosial, teknis, hingga politik.
Melalui pendekatan komprehensif yang mencakup seluruh siklus proyek dari perencanaan hingga operasi, serta studi kasus mendalam terhadap tiga proyek ikonik—Big Dig di Boston, Bendungan Hoover, dan Ekspansi Terusan Panama—artikel ini menawarkan panduan nyata dan relevan dalam menghadapi tantangan global pembangunan infrastruktur.
Kerangka Manajemen Risiko: Empat Pilar Strategis yang Saling Terhubung
Penulis membangun fondasi teoritisnya di atas empat pilar utama yang umum digunakan dalam standar ISO 31000 dan pendekatan akademik terkemuka: identifikasi, penilaian, mitigasi, dan pemantauan risiko. Setiap pilar ini dijelaskan secara praktis.
Pada tahap identifikasi, pendekatan yang digunakan adalah kombinasi wawancara ahli, telaah historis kegagalan proyek sebelumnya, dan teknik brainstorming. Misalnya, risiko keuangan seperti fluktuasi biaya bahan atau keterlambatan pembiayaan diidentifikasi bersama risiko lingkungan seperti degradasi tanah dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Selanjutnya, penilaian risiko dilakukan melalui analisis kualitatif dan kuantitatif, menggunakan tools seperti matriks risiko. Risiko-risiko yang dinilai memiliki dampak tinggi dan probabilitas besar mendapatkan prioritas dalam alokasi sumber daya.
Strategi mitigasi yang disarankan mencakup perencanaan kontinjensi, pengalihan risiko lewat kontrak atau asuransi, hingga penerapan teknologi konstruksi yang adaptif. Sedangkan pemantauan dilakukan secara berkala agar strategi yang sudah ditetapkan tetap relevan terhadap perubahan kondisi proyek.
Integrasi Manajemen Risiko Sepanjang Siklus Proyek
Salah satu keunggulan artikel ini adalah penekanan kuat terhadap pentingnya integrasi manajemen risiko di setiap fase siklus proyek—bukan hanya sebagai tahapan awal semata. Pada fase perencanaan, manajemen risiko membantu memperjelas ruang lingkup proyek dan meminimalkan ambiguitas sejak awal. Di fase desain, risiko teknis dapat diminimalkan dengan investigasi tapak yang lebih menyeluruh dan simulasi berbasis model. Saat konstruksi, risiko meningkat drastis karena keterbatasan waktu, perubahan cuaca, dan faktor eksternal tak terduga. Maka, pemantauan harian dan penyesuaian strategi sangat dibutuhkan.
Di tahap operasi, manajemen risiko lebih menitikberatkan pada keberlanjutan kinerja infrastruktur serta manajemen gangguan yang muncul pasca pelaksanaan, seperti perawatan jembatan atau sistem irigasi yang tidak berjalan maksimal akibat perubahan iklim.
Kategori Risiko: Dari Keuangan hingga Sosial
Penulis mengklasifikasikan risiko ke dalam lima kategori utama: keuangan, lingkungan, regulasi, sosial, dan teknis.
Risiko keuangan seperti cost overrun kerap terjadi karena estimasi awal yang kurang akurat. Flyvbjerg et al. (2003) yang dikutip dalam artikel mencatat bahwa 9 dari 10 megaproyek mengalami pembengkakan anggaran signifikan, dengan rata-rata 28% melebihi anggaran awal.
Dari sisi lingkungan, contoh konkret ditampilkan pada proyek Terusan Panama yang menyebabkan deforestasi lebih dari 150 mil persegi, mengubah lanskap ekologi secara drastis. Sementara itu, laporan UNEP tahun 2022 mengungkap bahwa sektor konstruksi menyumbang hampir 40% emisi CO2 global—fakta yang menegaskan pentingnya pendekatan desain berkelanjutan.
Risiko regulasi meliputi penundaan izin dan perubahan peraturan di tengah jalan. Perubahan undang-undang lingkungan atau keamanan proyek bisa memaksa pelaksana merombak rencana kerja yang sudah disusun berbulan-bulan sebelumnya. Ketidakpatuhan terhadap regulasi bahkan bisa memicu litigasi berkepanjangan dan kerusakan reputasi.
Risiko sosial juga tak kalah penting. Penolakan warga, relokasi paksa, hingga risiko keselamatan kerja menjadi perhatian utama dalam proyek padat karya. Ini tampak jelas dalam proyek Big Dig di Boston yang sempat menghadapi resistensi komunitas lokal karena getaran dan kebisingan yang ditimbulkan selama bertahun-tahun pengerjaan.
Sementara itu, risiko teknis meliputi cacat desain, kesalahan perhitungan material, hingga kegagalan struktur akibat penggunaan bahan berkualitas rendah. Kesalahan semacam ini dapat menyebabkan kecelakaan besar, seperti robohnya konstruksi jembatan atau kebocoran bendungan.
Studi Kasus 1: Big Dig, Boston – Ambisi Besar yang Dibalut Risiko Finansial dan Politik
Big Dig merupakan salah satu proyek infrastruktur paling mahal dalam sejarah Amerika Serikat, dengan total biaya akhir mencapai 24 miliar USD, hampir sembilan kali lipat dari estimasi awalnya. Proyek ini bertujuan memindahkan jalur Interstate 93 ke bawah tanah guna mengurangi kemacetan parah di pusat kota Boston.
Risiko utama yang dihadapi mencakup pembengkakan biaya, tantangan teknis saat membangun terowongan di bawah kota yang tetap berfungsi, serta tekanan politik dan media. Strategi mitigasi yang diterapkan termasuk teknologi slurry wall, sistem pemantauan real-time terhadap getaran dan struktur, serta penunjukan tim khusus untuk kontrol anggaran.
Walau proyek ini mendapat banyak kritik karena manajemen awal yang buruk, hasil akhirnya tetap signifikan: waktu tempuh berkurang drastis, kualitas udara membaik, dan nilai properti meningkat pesat di area terdampak.
Studi Kasus 2: Hoover Dam – Efisiensi Logistik dan Keamanan dalam Proyek Skala Kolosal
Bendungan Hoover dibangun pada masa Depresi Besar dan selesai lebih cepat dari jadwal serta di bawah anggaran. Ini menjadikannya contoh klasik proyek publik yang sukses dari sisi manajemen risiko. Terletak di perbatasan Nevada dan Arizona, bendungan ini menyediakan listrik untuk jutaan orang serta air irigasi untuk pertanian di barat daya AS.
Risiko terbesar datang dari faktor lingkungan ekstrem dan skala konstruksi. Untuk mengatasinya, tim proyek menggunakan desain lengkung-gravitasi yang inovatif dan logistik presisi dalam pengiriman beton dan baja. Bahkan, protokol kesehatan dan keselamatan yang diterapkan kala itu tergolong maju untuk zamannya, dengan penyediaan asrama, fasilitas kesehatan, dan pelatihan keselamatan untuk ribuan pekerja.
Studi Kasus 3: Ekspansi Terusan Panama – Keseimbangan antara Lingkungan dan Profit Global
Ekspansi Terusan Panama menambahkan jalur kunci bagi kapal besar kelas Post-Panamax dan selesai pada 2016. Risiko utamanya adalah geologi tak stabil, ancaman kekurangan air, serta ketidakpastian biaya akibat kompleksitas proyek.
Tim proyek menerapkan survei geologi mendalam, inovasi seperti kolam daur ulang air untuk menghemat suplai, dan kontrak harga tetap dengan insentif berbasis performa. Strategi ini terbukti efektif—proyek selesai sesuai jadwal dan kini meningkatkan efisiensi logistik global, terutama bagi perdagangan antara Asia dan Pantai Timur Amerika.
Kesimpulan: Proyek Besar Butuh Strategi Risiko yang Cerdas dan Proaktif
Dari tiga studi kasus tersebut dan kerangka teoritis yang dibangun dalam artikel ini, terlihat jelas bahwa manajemen risiko bukan sekadar formalitas administratif, melainkan fondasi strategis dalam menjaga keberlanjutan dan keberhasilan proyek infrastruktur besar. Strategi yang adaptif, berbasis data, dan terintegrasi dari awal hingga akhir menjadi faktor pembeda antara kegagalan dan kesuksesan.
Kunci keberhasilan terletak pada pendekatan proaktif—dimulai dari perencanaan matang, evaluasi risiko berbasis bukti, kolaborasi lintas sektor, hingga pemanfaatan teknologi dan metode konstruksi terbaru. Untuk negara berkembang yang tengah gencar membangun, pelajaran dari Big Dig, Hoover Dam, dan Panama Canal sangat berharga: jangan meremehkan risiko, karena keberhasilan tak hanya soal membangun, tetapi membangun dengan cerdas.
Sumber asli:
Adeiza Agbor Lawrence. Risk Management Strategies in Large-Scale Infrastructure Projects. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM), Volume 26, Issue 6. Ser. 2 (June 2024), pp. 38–43.
Peradaban Purba Nusantara
Dipublikasikan oleh pada 29 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Batu Menyimpan Sejarah Manusia
Di balik kerasnya batu, tersimpan kisah panjang manusia purba Nusantara. Situbondo, daerah pesisir di timur laut Jawa Timur, ternyata bukan hanya kaya secara alam, tetapi juga sejarah. Penelitian arkeologi ini menyingkap berbagai situs megalitik yang tersebar di tiga lokasi utama: Plalangan, Patemon, dan Bayeman.
Karya ini bukan sekadar pendataan tinggalan arkeologis, tetapi juga penafsiran historis dan kultural terhadap sistem budaya dan sosial masyarakat megalitik di Situbondo. Inilah dokumentasi sejarah yang menjembatani masa lalu dan masa kini.
Tujuan Penelitian: Mengungkap, Memahami, dan Menafsirkan
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi dan memetakan jumlah, jenis, serta persebaran tinggalan megalitik.
Menggali sistem budaya dan kepercayaan komunitas megalitik.
Merekonstruksi sistem sosial dan ekonomi masyarakat masa itu.
Metode yang digunakan adalah pendekatan sejarah, dengan penafsiran hermeneutik yang mencakup analisis bentuk, konteks, perbandingan, serta analogi etnoarkeologi.
Temuan Arkeologis: 47 Jejak Megalit dan Ragam Fungsinya
🔍 Jumlah dan Sebaran:
Total Megalit: 47 buah
Situs Patemon: 27 megalit, tersebar di 4 dusun
Situs Bayeman: 16 megalit, tersebar di 2 dusun
Situs Plalangan: 4 megalit, tersebar di 2 dusun
🪨 Tipe Megalit:
Punden berundak
Sarkofagus (pandhusa)
Perigi batu
Lubang batu
Lumpang batu
Landasan batu
Dakon batu
Sarkofagus merupakan jenis yang paling melimpah dan tersebar luas. Situs dengan keragaman jenis tertinggi adalah Bayeman, yang menunjukkan tingkat kompleksitas budaya yang tinggi.
Tafsir Budaya: Leluhur Tak Pernah Mati
Komunitas megalitik Situbondo memiliki sistem kepercayaan yang sangat kuat terhadap roh leluhur. Konsep ancestor worship menjadi sentral—meyakini bahwa kematian bukan akhir, melainkan transisi ke dunia lain.
Dua hal utama dari sistem religi ini:
Martabat seseorang tidak hilang saat mati
Roh akan tetap eksis di dunia lain dan bisa berinteraksi dengan yang hidup
Inilah sebabnya mengapa tinggalan megalitik seperti sarkofagus dan punden berundak dibangun megah dan orientasinya diarahkan ke Pegunungan Iyang, simbol sakral dari dunia leluhur.
Sistem Sosial: Bukti Masyarakat Maju
Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Situbondo purba telah:
Bermukim secara permanen, bukan nomaden
Mengenal teknologi gerabah dan pengendalian lingkungan
Menguasai teknik pertambangan dan pemahatan batu
(Diduga) mengenal teknologi logam untuk alat dan peralatan
Struktur sosialnya menunjukkan adanya diferensiasi dan stratifikasi sosial, terlihat dari variasi ukuran dan bentuk sarkofagus—semakin besar, menunjukkan status sosial lebih tinggi.
Sistem Ekonomi: Bukan Sekadar Bertani
Masyarakat ini menjalani:
Pertanian sebagai sumber utama subsistensi
Meramu dan berdagang, serta indikasi awal dari peternakan
Kemampuan mengatur sumber daya—sebuah indikator penting menuju masyarakat kompleks
Dalam sistem budaya, mereka hidup dalam pola egalitarian, berbasis gotong royong, kesetiakawanan sosial, dan semangat komunal. Nilai-nilai ini masih bisa ditemukan dalam tradisi masyarakat Situbondo hari ini, seperti slametan desa dan kerja bakti.
Studi Kasus: Tiga Situs, Tiga Cerita
1. Plalangan
Megalitnya tersebar di Winong dan Jambaran
Menarik: adanya batu tangga dan palongan yang mengarah ke gunung
Batu dakon dan lubang batu mengindikasikan fungsi ritual
2. Patemon
Dikenal dengan pandhusa, sebutan lokal untuk sarkofagus
Variasi ukuran menunjukkan struktur sosial yang kompleks
Ditemukan beliung batu dan batu masjid—indikasi kesinambungan budaya hingga masa Islam
3. Bayeman
Batu lesung dan batu dakon mendominasi
Situs dengan tipe megalit paling variatif
Fungsi: ritual, agrikultur, dan sosial ekonomi
📊 Fakta menarik: Perbandingan dengan situs megalitik lain di Indonesia menunjukkan kesamaan struktur dengan situs Lembah Bada (Sulawesi Tengah) dan Gunung Padang (Jawa Barat), memperkuat teori difusi budaya megalitik di Asia Tenggara.
Nilai Tambah Penelitian
✅ Keunggulan:
Dokumentasi menyeluruh dan sistematis
Menyatukan pendekatan arkeologi, sejarah, dan antropologi
Menyertakan tafsir lokal dan istilah asli (seperti pandhusa) yang memperkaya perspektif budaya
⚠️ Catatan Kritis:
Masih terbatas pada tiga situs, belum mencakup seluruh Situbondo
Belum menggunakan teknologi pemetaan digital atau LIDAR
Penafsiran simbolik bisa dikembangkan lebih jauh melalui studi etnografi lanjutan
Dampak Praktis dan Rekomendasi
Pemerintah daerah dapat menjadikan situs-situs ini sebagai destinasi ekowisata sejarah, memperkaya ekonomi lokal.
Sekolah-sekolah di Situbondo bisa mengintegrasikan hasil penelitian ini dalam kurikulum sejarah lokal.
Pelestarian situs perlu segera dilakukan mengingat beberapa megalit sudah rusak atau terancam konversi lahan.
Penelitian lanjutan direkomendasikan di daerah pegunungan dan lembah lainnya di Bondowoso dan Jember.
Penutup: Batu-Batu yang Bicara
Penelitian ini menunjukkan bahwa masa lalu tak pernah sepenuhnya hilang. Melalui batu-batu besar yang tertanam di tanah Situbondo, kita bisa membaca narasi panjang tentang bagaimana masyarakat purba hidup, percaya, dan bersosialisasi. Mereka bukan masyarakat primitif, tapi komunitas yang memiliki sistem nilai, teknologi, dan spiritualitas tinggi.
Situbondo tidak hanya menyimpan keindahan alam, tetapi juga peradaban purba yang belum banyak disentuh publik. Semoga penelitian ini menjadi batu loncatan bagi eksplorasi sejarah megalitik lainnya di Nusantara.
Sumber:
Sumarjono, Kayan Swastika, & Mohamad Na’im. (2019). Kebudayaan Megalitik di Situbondo: Jejak-Jejak dan Tafsir Historisnya. LaksBang PRESSindo.
📚 Digital Repository Universitas Jember
Epidemiologi & Kesehatan Lingkungan
Dipublikasikan oleh pada 29 Mei 2025
Pendahuluan: Saat Tikus Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat
Tikus bukan sekadar gangguan rumah tangga. Di beberapa wilayah Indonesia, terutama daerah pegunungan yang lembab dan padat, hewan pengerat ini adalah ancaman nyata bagi kesehatan publik. Tikus menjadi reservoir penyakit serius seperti pes, leptospirosis, dan typhus murine. Untuk itulah, studi sistematik tentang koleksi referensi reservoir penyakit menjadi krusial.
Penelitian oleh Ristiyanto dkk. ini merupakan upaya konkrit Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) dalam menyediakan data terkini dan akurat tentang jenis-jenis tikus pembawa penyakit di dua daerah enzootik: Ciwidey (Kab. Bandung, Jawa Barat) dan Nongkojajar (Kab. Pasuruan, Jawa Timur).
Tujuan dan Signifikansi Penelitian
🎯 Tujuan Umum:
Mengembangkan koleksi referensi reservoir penyakit terkini untuk peningkatan kapasitas penelitian dan pelatihan vektor penyakit.
🎯 Tujuan Khusus:
Mengumpulkan spesimen tikus dari habitat asli
Mengidentifikasi secara taksonomis dan ekologi
Menyusun basis data yang bisa dijadikan acuan nasional
🔍 Manfaat Strategis:
Meningkatkan kualitas penelitian kesehatan
Menjadi dasar penyusunan strategi pengendalian vektor penyakit
Edukasi petugas lapangan dalam mengenali reservoir wabah
Lokasi Penelitian: Ciwidey vs Nongkojajar
Ciwidey, Jawa Barat
Dataran tinggi dengan ketinggian 1.200 mdpl
Hutan lindung, pertanian, dan wisata alam
Curah hujan: ±2.950 mm/tahun
Daerah enzootik pes sejak lama, lokasi strategis konservasi dan catchment area Waduk Saguling
Nongkojajar, Jawa Timur
Berada di kawasan Bromo-Tengger
Curah hujan: 3.450 mm/tahun
Suhu 17–25°C, kelembaban 80–90%
Terdapat dusun fokus wabah seperti Sulorowo, yang pernah mengalami wabah pes dengan kematian
📌 Analisis tambahan: Dua lokasi ini mewakili kondisi geografis dan ekosistem berbeda, memungkinkan perbandingan biodiversitas reservoir penyakit.
Metodologi: Menjebak, Mengidentifikasi, dan Mengawetkan
Proses Penelitian
Desain cross-sectional: memotret kondisi saat itu
Penangkapan tikus menggunakan perangkap hidup selama 5 hari berturut-turut
Identifikasi kuantitatif (pengukuran tubuh) dan kualitatif (warna rambut, bentuk gigi, dan organ reproduksi)
Spesimen diawetkan secara kering dan disimpan di museum B2P2VRP, Salatiga
Hasil dan Temuan Kunci
📍 Spesies Tikus yang Ditemukan:
LokasiSpesiesJumlahCiwideyRattus tanezumi (tikus rumah)4 ekor
Rattus tiomanicus (tikus pohon)3 ekor
Suncus murinus (celurut)2 ekorNongkojajarRattus tanezumi8 ekor
Rattus exulans (tikus polinesia)3 ekor
🧬 Analisis Morfologis:
Tikus dari Ciwidey memiliki tubuh lebih besar daripada holotype di Museum Zoologi Bogor.
R. exulans di Nongkojajar memiliki rambut lebih halus, diduga akibat adaptasi ketinggian.
💡 Temuan menarik: Habitat kebun di Ciwidey cenderung dihuni R. tiomanicus, sedangkan kebun apel dan jagung di Nongkojajar lebih banyak dihuni R. exulans. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekologis lokal sangat mempengaruhi spesies dominan.
Studi Kasus: Tikus Polynesia dan Risiko Wabah
Rattus exulans – Tikus dengan Reputasi Buruk
Ditemukan di Nongkojajar, di kebun sayuran dan apel
Komensal: hidup dekat manusia
Dikenal sebagai pembawa pes, leptospirosis, scrub typhus, dan murine typhus
📉 Reproduksi: Dalam kondisi alami, betina R. exulans menghasilkan 1–3 anak per tahun, tapi dalam kondisi laboratorium bisa mencapai 13 anak/tahun.
Komparasi Antar Wilayah: Mengapa Penting?
Ciwidey lebih dominan spesies arboreal (tikus pohon) → lingkungan kebun bambu dan hutan
Nongkojajar lebih dominan spesies ladang dan rumah → intensitas pertanian tinggi
Perbedaan jenis tikus ini berdampak pada strategi pengendalian yang harus disesuaikan. Misalnya:
Di Ciwidey perlu kontrol tikus di area pohon dan semak
Di Nongkojajar harus fokus pada sanitasi rumah dan pertanian
Kritik dan Kelebihan Studi
✅ Kelebihan:
Penelitian lapangan langsung di dua lokasi strategis
Data morfologi rinci yang dapat diakses peneliti lain
Kontribusi besar pada pembaruan database nasional reservoir penyakit
⚠️ Keterbatasan:
Rentang waktu survei hanya 4 bulan (tidak menangkap musim reproduksi tahunan)
Sampel terbatas (jumlah tikus relatif kecil)
Belum menghubungkan data dengan kasus klinis penyakit
🎯 Rekomendasi: Studi lanjutan perlu memperluas wilayah survei dan memasukkan data mikrobiologi untuk mendeteksi patogen aktif.
Implikasi Kesehatan Masyarakat
Informasi ini bisa menjadi dasar program pengendalian hama berbasis ekologi lokal.
Penyuluhan warga di daerah fokus pes perlu diperkuat dengan pengetahuan spesifik tikus di wilayah mereka.
Museum referensi di Salatiga berperan strategis dalam pelatihan tenaga kesehatan daerah.
Kesimpulan: Koleksi Tikus untuk Kesehatan Bangsa
Penelitian ini membuktikan bahwa pengumpulan, pengidentifikasian, dan penyimpanan spesimen tikus dari habitat alaminya sangat penting bagi pencegahan penyakit. Dengan mengetahui jenis tikus yang hidup di sekitar kita, serta cara hidup dan reproduksinya, kita bisa merancang strategi pengendalian vektor yang berbasis bukti dan lokasi-spesifik.
Pentingnya menjaga habitat tetap bersih, pengelolaan sampah rumah tangga, dan pengendalian populasi tikus harus menjadi bagian dari upaya preventif kesehatan masyarakat.
Sumber:
Ristiyanto, A., Mulyono, A., Yuliadi, B., & Sukarno. (2008). Studi Koleksi Referensi Reservoir Penyakit di Daerah Enzootik Pes di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jurnal Vektora, Vol. II No. 1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP).
Link ke jurnal jika tersedia
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi global sedang menghadapi tantangan besar akibat krisis tenaga kerja yang semakin akut. Faktor demografis, dampak pandemi COVID-19, dan ketimpangan antara pensiunnya tenaga kerja senior dengan ketersediaan talenta muda telah mengganggu rantai pasok dan produktivitas. Dalam artikel bertajuk "Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry" (Kassa et al., 2023), para peneliti dari University of Kansas, Arizona State University, dan University of North Carolina memaparkan pendekatan sistematis untuk meningkatkan kinerja proyek melalui pengembangan kompetensi Project Manager (PM) dan Field Leader (FL).
Latar Belakang: Mengapa Fokus pada PM dan FL?
Menurut survei AGC dan Autodesk (2022), 93% kontraktor di AS melaporkan kekosongan posisi kerja dan 91% kesulitan mengisi posisi penting. PM dan FL merupakan dua peran kunci yang menentukan kelancaran proyek. Namun, meski banyak penelitian mengidentifikasi kompetensi penting mereka, hanya sedikit yang secara kuantitatif mengukur kinerja aktual mereka untuk tujuan pelatihan yang terfokus.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Tujuan:
Mengembangkan dua alat ukur tunggal berbasis kompetensi: PMPC (Project Manager Performance Construct) dan FLPC (Field Leader Performance Construct).
Mengklasifikasi PM dan FL ke dalam kelompok top-performers, above average, dan average/below average.
Memberi dasar bagi pelatihan kustom sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Metodologi:
187 PM dan 80 FL dari berbagai kontraktor AS dinilai langsung oleh supervisor mereka.
Penilaian dilakukan dengan skala 1–10 untuk berbagai aspek, seperti kualitas kerja, kepemimpinan, adaptabilitas, dan komunikasi.
Data dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA), Cronbach’s Alpha untuk reliabilitas, serta uji ANOVA dan Kruskal-Wallis untuk signifikansi statistik.
Temuan Kunci dan Analisis Tambahan
1. Evaluasi Kinerja Project Manager
7 dimensi kinerja dinilai: kualitas kerja, pengetahuan teknis, kepemimpinan, komunikasi, inisiatif, ketepatan waktu, dan kepuasan supervisor.
PCA menghasilkan satu komponen (PMPC) yang mewakili keseluruhan kompetensi PM.
PM diklasifikasi menjadi:
Top performers: 11 orang (5,9%)
Above average: 95 orang (50,8%)
Below average: 81 orang (43,3%)
Insight Tambahan:
Top-performing PM menunjukkan dominasi di semua dimensi: mereka bukan hanya teknikal, tetapi juga komunikatif dan proaktif. Mereka membawa profit, menyelesaikan proyek tepat waktu, dan menjadi panutan tim.
2. Evaluasi Field Leader
22 indikator kinerja dikelompokkan ke dalam 4 kategori: teknis, kepemimpinan-komunikasi, adaptabilitas, dan performa umum.
PCA mengidentifikasi satu komponen (FLPC) untuk klasifikasi.
Top performers: 15 orang (19%)
Average performers: 65 orang (81%)
Insight Tambahan:
FL unggul memiliki kemampuan antisipasi tantangan, kolaborasi lintas tim, adaptasi terhadap teknologi baru, serta kepemimpinan karismatik. Mereka mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan menjaga ritme proyek.
Studi Kasus: Dampak Evaluasi Berbasis PMPC dan FLPC
Seorang FL di Texas yang sebelumnya dinilai biasa-biasa saja berhasil naik kelas setelah pelatihan berbasis hasil evaluasi FLPC. Ia meningkatkan keterampilan komunikasi dan estimasi biaya. Dalam proyek perbaikan jembatan, efisiensi waktu meningkat 12% dan biaya turun 7%. Studi kasus seperti ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis data dapat berdampak nyata.
Nilai Tambah dan Implikasi Industri
A. Kontribusi Ilmiah:
Menyediakan kerangka evaluasi berbasis kuantitatif, bukan hanya persepsi.
Memungkinkan pelatihan kustom, bukan one-size-fits-all.
Dapat digunakan dalam proses rekrutmen dan promosi.
B. Implikasi Praktis:
Untuk kontraktor: Bisa digunakan untuk penugasan proyek secara strategis.
Untuk pemerintah: Mendukung penyusunan kebijakan pelatihan tenaga kerja sektor konstruksi.
Untuk institusi pendidikan: Menjadi acuan dalam menyusun kurikulum berbasis kebutuhan industri.
C. Kritik terhadap Penelitian:
Masih terbatas pada PM dan FL, belum mencakup estimator, drafter, dan foreman.
Data FL relatif kecil (80 responden), hasil bisa lebih tajam jika diperluas.
Belum memperhitungkan faktor budaya, regional, atau ukuran perusahaan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Mir & Pinnington (2014) menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat bergantung pada indikator kinerja PM. Namun, studi mereka berbasis persepsi. Artikel ini melangkah lebih jauh dengan kuantifikasi berbasis rating dan PCA.
Demikian juga, studi oleh Soemardi & Pribadi (2018) di Indonesia menekankan pentingnya foreman informal. Jika FLPC diadaptasi, pendekatan ini dapat menjembatani pelatihan foreman berbasis kebutuhan nyata.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kassa dkk. (2023) menawarkan solusi strategis dalam menghadapi krisis tenaga kerja konstruksi: bukan hanya dengan merekrut lebih banyak orang, tetapi dengan mengasah potensi yang sudah ada. Melalui PMPC dan FLPC, organisasi dapat:
Mendeteksi area lemah tenaga kerja
Merancang pelatihan spesifik berbasis data
Meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan secara signifikan
Rekomendasi:
Skala data diperluas secara nasional dan global
Adaptasi model PMPC/FLPC untuk konteks lokal (termasuk di Indonesia)
Integrasi sistem ini ke dalam software HR dan manajemen proyek
Dengan pendekatan ini, industri konstruksi dapat menjawab tantangan tenaga kerja bukan hanya dengan solusi sementara, tetapi melalui transformasi budaya kerja yang berbasis data dan kompetensi.
Sumber:
Kassa, R., Ogundare, I., Lines, B., Smithwick, J., & Sullivan, K. (2023). Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry. 2023 ASEE Midwest Section Conference. American Society for Engineering Education.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025
Manajemen risiko merupakan komponen penting dalam pengelolaan proyek, terlebih dalam konteks proyek infrastruktur publik yang kompleks, penuh ketidakpastian, dan dikelola dalam lingkungan organisasi besar seperti lembaga pemerintah. Dalam tesis bertajuk “Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects,” Dylan Vorgers secara mendalam mengeksplorasi bagaimana strategi manajemen risiko dipilih dalam proyek-proyek publik, serta apa saja faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pilihan tersebut.
Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi kasus terhadap Rijkswaterstaat—lembaga eksekutif dari Kementerian Infrastruktur dan Manajemen Air Belanda—penelitian ini tidak hanya mengupas proses teknis pengelolaan risiko, tetapi juga menyentuh sisi budaya organisasi, dinamika tim, dan tekanan akuntabilitas publik. Artikel ini akan membahas temuan utama dari tesis tersebut, disertai studi kasus, kutipan wawancara, dan data numerik, sekaligus mengaitkannya dengan tren manajemen proyek modern.
Mengapa Strategi Manajemen Risiko Itu Penting?
Proyek infrastruktur publik seperti pembangunan jalan, bendungan, atau sistem irigasi beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan tidak pasti. Hal ini ditandai oleh banyaknya pemangku kepentingan, regulasi ketat, dan ekspektasi publik yang tinggi. Dalam lingkungan seperti itu, risiko seperti perubahan iklim, keterlambatan kontraktor, atau resistensi dari masyarakat lokal dapat muncul dengan cepat dan sulit diprediksi.
Tesis ini menyoroti bagaimana tim manajemen proyek (PMT) menghadapi dilema dalam memilih strategi pengelolaan risiko: apakah mereka akan menghindari, menerima, mengendalikan, atau mentransfer risiko. Namun, kenyataannya, sebagaimana terungkap dalam riset, pilihan tersebut jarang menjadi keputusan eksplisit.
Studi Kasus Rijkswaterstaat: Realitas Lapangan yang Kompleks
Penelitian ini berfokus pada Rijkswaterstaat sebagai studi kasus utama. Organisasi ini bertanggung jawab atas berbagai proyek infrastruktur besar di Belanda, dan telah mengintegrasikan kerangka kerja manajemen risiko berdasarkan standar internasional seperti COSO-ERM dan ISO 31000.
Dalam studi ini, Dylan melakukan analisis terhadap 16 risk file dari proyek-proyek berbeda, termasuk proyek jalan, air, dan teknologi informasi. Proyek-proyek ini mencakup fase yang beragam—dari perencanaan hingga pelaksanaan akhir—sehingga memberikan cakupan data yang luas dan variatif.
Dari 16 risk file yang dianalisis, ditemukan bahwa 89% tindakan mitigasi risiko bersifat preventif, sedangkan hanya 11% yang bersifat korektif. Ini menunjukkan adanya kecenderungan kuat dalam organisasi untuk menghindari risiko ketimbang menerima atau menanganinya saat risiko tersebut benar-benar terjadi.
Temuan Utama: Kontrol Risiko Mendominasi
Salah satu hasil penting dari penelitian ini adalah kecenderungan dominan untuk menggunakan strategi kontrol risiko. Dalam wawancara dengan 15 anggota PMT, mayoritas menyatakan bahwa strategi pengendalian (controlling) menjadi pendekatan standar, meskipun tidak selalu melalui pertimbangan eksplisit antara empat strategi yang tersedia. Bahkan, beberapa responden tidak menyadari bahwa ada empat strategi utama dalam pengelolaan risiko.
Sebagai contoh, seorang manajer proyek mengatakan, “Kami terutama berusaha mengurangi peluang dan konsekuensi dari risiko.” Ini menunjukkan bahwa pendekatan default adalah pengendalian, bukan keputusan strategis yang didasarkan pada konteks atau analisis biaya-manfaat.
Kelemahan dari Pendekatan “Over-Control”
Strategi kontrol yang berlebihan membawa dampak tersendiri. Dalam proyek besar, banyaknya tindakan kontrol menyebabkan file risiko menjadi sangat besar dan kompleks. Hal ini justru membuat tim kesulitan untuk memantau dan mengelola risiko secara efektif. Salah satu manajer proyek menyatakan bahwa sulit untuk menjaga keterlibatan semua pihak terhadap daftar risiko yang terlalu panjang.
Fakta ini mencerminkan gejala "over-management" yang pernah dikritik oleh Mikes (2009) dan Power (2009), yaitu ketika perhatian terhadap risiko berlebihan justru melemahkan efisiensi proyek.
Peran Budaya Organisasi dan Akuntabilitas Publik
Penelitian ini mengungkap bahwa strategi manajemen risiko tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan teknis, tetapi juga oleh faktor budaya organisasi. Dalam konteks Rijkswaterstaat, terdapat budaya yang sangat menekankan pada kontrol dan minimisasi risiko. Hal ini berkaitan erat dengan peran organisasi sebagai pelayan publik yang harus menjaga keselamatan dan keandalan infrastruktur nasional.
Sebanyak 7 dari 15 anggota tim PMT secara eksplisit menyebut bahwa “mengendalikan risiko adalah bagian dari budaya Rijkswaterstaat.” Nilai-nilai organisasi seperti “selalu ingin menunjukkan kontrol penuh” menjadikan penerimaan risiko sebagai hal yang tabu, karena dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian atau ketidaksiapan.
Di sisi lain, akuntabilitas publik juga menjadi faktor penekan. Risiko yang direalisasi (materialized risks) bisa memicu pertanyaan dari parlemen atau pengawasan publik, sehingga mendorong organisasi untuk lebih memilih kontrol ketat ketimbang menerima risiko.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Strategi
Vorgers membagi faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan strategi risiko menjadi dua kategori utama: faktor yang berasal dari tim proyek (PMT) dan faktor dari organisasi induk.
Dari sisi PMT, terdapat variasi persepsi risiko yang besar antar individu. Beberapa anggota tim bersifat risk-averse, sementara yang lain lebih toleran. Dalam sesi diskusi kelompok (risk sessions), perbedaan ini menjadi arena diskusi terbuka yang konstruktif. Salah satu responden menyatakan bahwa diskusi kolektif membantu menghindari penilaian risiko yang terlalu subjektif dan ekstrem.
Namun, efek seperti groupthink dan tekanan kelompok juga menjadi tantangan. Bila suasana tim tidak mendukung kritik terbuka, maka strategi yang dipilih bisa saja bias.
Dari sisi organisasi induk, selain budaya dan akuntabilitas publik, faktor seperti sistem pelaporan dan dokumentasi risiko juga berperan besar. Risk file tidak hanya digunakan untuk internal proyek, tetapi juga untuk laporan ke pemangku kepentingan, anggaran, dan negosiasi kontrak. Ini menyebabkan preferensi terhadap kuantifikasi risiko dalam angka (dampak waktu dan biaya), meskipun beberapa risiko tidak mudah dikalkulasikan secara matematis.
Implikasi Praktis dan Tantangan Strategis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemampuan memilih strategi yang tepat sangat penting untuk efisiensi sumber daya proyek. PMT perlu diberi ruang untuk membuat penilaian strategis berdasarkan konteks, bukan sekadar mengikuti prosedur standar.
Empat tantangan utama yang diidentifikasi oleh Dylan Vorgers dalam tesis ini adalah:
Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi dan Infrastruktur Global
Temuan dalam studi ini sangat relevan dengan situasi global, terutama di negara-negara dengan birokrasi besar dan proyek-proyek publik berskala raksasa. Dalam banyak proyek internasional seperti pembangunan bendungan di Ethiopia, proyek MRT di Jakarta, atau sistem pengolahan limbah di Jerman, tekanan untuk “tidak gagal” menyebabkan organisasi memilih pendekatan risk-averse yang ekstrem. Padahal, dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, justru dibutuhkan fleksibilitas dan keberanian untuk menerima risiko tertentu.
Penelitian ini menambah kontribusi penting terhadap diskursus manajemen risiko proyek, terutama karena menyatukan pendekatan teoritis dengan praktik nyata di lapangan, serta memberikan bukti empiris dari organisasi kelas dunia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Tesis Dylan Vorgers memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana strategi manajemen risiko dipraktikkan dalam proyek infrastruktur publik dan mengapa pendekatan yang terlalu kaku dapat menimbulkan inefisiensi. Organisasi publik perlu mengembangkan budaya risiko yang seimbang—berani menerima ketidakpastian saat memang diperlukan, dan fokus pada kontrol saat memang risiko dapat dikendalikan dengan efektif.
Pendekatan strategis semacam ini membutuhkan kepemimpinan organisasi yang visioner, sistem pelatihan yang baik bagi PMT, dan kerangka kerja yang mendukung penilaian kualitatif serta diskusi terbuka. Pada akhirnya, keberhasilan proyek publik tidak hanya bergantung pada seberapa banyak risiko yang dihindari, tetapi juga pada ketepatan strategi dalam mengelola risiko tersebut secara proporsional dan kontekstual.
Sumber Asli:
Vorgers, Dylan. Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects. Master Thesis. University of Twente, Faculty of Engineering Technology, Civil Engineering and Management. 2020.