Keselamatan Industri

Membangun Budaya Keselamatan Industri di Sektor Manufaktur

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Budaya keselamatan industri merupakan faktor kunci dalam mengurangi kecelakaan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan di sektor manufaktur. Tingkat kecelakaan industri di tempat kerja terus meningkat setiap tahun, terutama di sektor manufaktur yang memiliki risiko tinggi. Berdasarkan statistik Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Malaysia (DOSH), angka kecelakaan kerja di sektor manufaktur meningkat dari 1.722 kasus pada tahun 2012 menjadi 2.333 kasus pada tahun 2016. Angka ini menunjukkan perlunya strategi yang lebih efektif dalam meningkatkan budaya keselamatan di industri ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi persepsi dan tingkat kesadaran pekerja terhadap budaya keselamatan di tempat kerja mereka. Dengan menganalisis faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap keberhasilan budaya keselamatan, penelitian ini memberikan wawasan bagi industri manufaktur dalam meningkatkan kebijakan keselamatan mereka.

Penelitian ini dilakukan melalui survei terhadap 140 karyawan di industri manufaktur di Pulau Pinang, Malaysia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 101 responden dipilih sebagai sampel. Kuesioner yang digunakan terdiri dari tujuh bagian utama:

  1. Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (OSH Policy)
  2. Tanggung Jawab Manajemen Puncak (Top Management Responsibilities)
  3. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (OSH Training)
  4. Keterlibatan Karyawan (Employee Involvement and Engagement)
  5. Komunikasi Keselamatan (Safety Communication)
  6. Prosedur Kerja (Work Procedures)
  7. Pencegahan Risiko dan Bahaya (Hazard and Risk Prevention)

Hasil dan Temuan Utama

1. Tingkat Kesadaran Karyawan terhadap Budaya Keselamatan

Dari hasil survei, ditemukan bahwa:

  • 65% karyawan menyadari pentingnya kebijakan keselamatan, tetapi hanya 45% yang merasa kebijakan tersebut diterapkan secara konsisten.
  • 50% karyawan merasa bahwa manajemen puncak belum sepenuhnya berkomitmen dalam meningkatkan budaya keselamatan.
  • Hanya 38% karyawan yang pernah mengikuti pelatihan keselamatan secara rutin.
  • 70% karyawan menyatakan bahwa komunikasi keselamatan di tempat kerja masih perlu ditingkatkan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Budaya Keselamatan

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap keberhasilan budaya keselamatan di industri manufaktur:

  • Komitmen Manajemen: Manajemen yang menunjukkan komitmen terhadap keselamatan cenderung memiliki tingkat kecelakaan kerja yang lebih rendah.
  • Pelatihan Keselamatan: Pelatihan yang berkelanjutan membantu meningkatkan kesadaran karyawan terhadap bahaya di tempat kerja.
  • Pelibatan Karyawan: Karyawan yang lebih terlibat dalam kebijakan keselamatan lebih cenderung mematuhi prosedur keselamatan.

3. Dampak dari Budaya Keselamatan yang Lemah

Kurangnya penerapan budaya keselamatan yang efektif dapat mengakibatkan:

  • Peningkatan jumlah kecelakaan kerja: Data dari DOSH menunjukkan bahwa kecelakaan kerja di sektor manufaktur meningkat dari 2.780 kasus pada tahun 2012 menjadi 3.702 kasus pada tahun 2016.
  • Produktivitas yang lebih rendah: Karyawan yang merasa tidak aman di tempat kerja cenderung mengalami stres, yang berujung pada penurunan produktivitas.
  • Biaya operasional yang lebih tinggi: Perusahaan yang tidak menerapkan sistem keselamatan dengan baik harus menghadapi biaya kompensasi yang lebih besar akibat kecelakaan kerja.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Budaya Keselamatan

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan budaya keselamatan di sektor manufaktur:

  1. Peningkatan Komitmen Manajemen
    • Manajemen harus lebih aktif dalam mengawasi penerapan kebijakan keselamatan.
    • Menetapkan target keselamatan yang jelas dan mengintegrasikan keselamatan sebagai bagian dari budaya perusahaan.
  2. Pelatihan Keselamatan yang Berkelanjutan
    • Mengadakan sesi pelatihan keselamatan secara berkala untuk meningkatkan kesadaran karyawan.
    • Menggunakan simulasi dan skenario nyata dalam pelatihan untuk memberikan pengalaman langsung kepada pekerja.
  3. Komunikasi yang Efektif Mengenai Keselamatan
    • Meningkatkan komunikasi internal terkait kebijakan keselamatan.
    • Menggunakan papan pengumuman atau aplikasi digital untuk menyebarluaskan informasi keselamatan secara real-time.
  4. Inspeksi dan Audit Keselamatan Secara Rutin
    • Melakukan audit keselamatan secara berkala untuk memastikan bahwa prosedur keselamatan dijalankan dengan baik.
    • Memberikan umpan balik kepada karyawan mengenai hasil audit dan langkah perbaikan yang diperlukan.
  5. Meningkatkan Keterlibatan Karyawan
    • Mendorong karyawan untuk melaporkan potensi bahaya tanpa takut akan sanksi.
    • Memberikan insentif bagi karyawan yang secara aktif berkontribusi dalam meningkatkan keselamatan di tempat kerja.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa budaya keselamatan yang kuat di industri manufaktur dapat mengurangi kecelakaan kerja, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi biaya operasional. Dengan menerapkan kebijakan keselamatan yang efektif, meningkatkan pelatihan keselamatan, serta memperkuat komunikasi dan keterlibatan karyawan, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan produktif.

Implementasi budaya keselamatan yang kuat bukan hanya menjadi kewajiban hukum tetapi juga investasi jangka panjang yang dapat memberikan manfaat besar bagi perusahaan dan karyawan.

Sumber Asli

Aziz, Lia Dayana Binti Abdul. Total Industrial Safety Culture in Manufacturing Sector. Universiti Sains Malaysia, 2019.

Selengkapnya
Membangun Budaya Keselamatan Industri di Sektor Manufaktur

Konflik Pekerjaan

Tantangan Work-Family Conflict bagi Insinyur Perempuan di Yaman

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Work-Family Conflict (WFC) adalah fenomena yang banyak dialami pekerja di seluruh dunia, terutama perempuan di bidang teknik. Paper "Perceptions of Work–Family–Engineering Relationships Among Employed Female Engineers in Yemen: A Survey Study" mengeksplorasi bagaimana budaya konservatif Yaman memengaruhi keseimbangan kerja dan keluarga bagi perempuan insinyur. Studi ini berfokus pada tekanan sosial, ekonomi, dan budaya yang membentuk dinamika pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka.

Faktor Penyebab WFC dalam Masyarakat Konservatif

  • Pernikahan dan konsekuensinya menyumbang 26% alasan utama perempuan meninggalkan pekerjaan.
  • Tanggung jawab keluarga mencapai 21%.
  • Tekanan sosial secara kumulatif mencapai 50% penyebab utama konflik kerja-keluarga.

Dampak Pernikahan terhadap Karier dan Pendidikan

  • Perempuan yang menikah sebelum atau selama kuliah memiliki nilai akademik 4,93% lebih rendah dibandingkan yang tidak menikah.
  • Semua insinyur perempuan yang bekerja di sektor industri dan konstruksi berstatus lajang, sedangkan yang menikah memilih meninggalkan pekerjaan.
  • 52% perempuan insinyur yang bekerja masih lajang, sedangkan 48% sudah menikah.
  • 68% lulusan perempuan insinyur dalam dekade terakhir di negara bagian Taiz mendapatkan pekerjaan tetap atau sementara, tetapi sebagian besar bekerja di sektor pendidikan dengan status kontrak sementara.

Kesenjangan Gaji dan Peluang Karier

  • Rata-rata gaji perempuan insinyur adalah USD 145,73 per bulan, sedangkan laki-laki mencapai USD 557.
  • 21% laki-laki insinyur menghasilkan lebih dari USD 1000 per bulan, tetapi tidak ada perempuan dalam kategori ini.
  • Hanya 3,5% perempuan insinyur yang berpenghasilan lebih dari USD 500 per bulan, dibandingkan dengan 31,6% laki-laki.
  • Ini berarti laki-laki insinyur di Yaman berpenghasilan 3,822 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Perspektif Suami terhadap Karier Istri

Dari survei terhadap 20 suami perempuan insinyur, ditemukan beberapa kecenderungan:

  • Dukungan untuk istri mencari pekerjaan di bidang teknik: 4,13 (skala 1-5).
  • Penolakan terhadap pekerjaan dengan shift malam dan perjalanan dinas: 1,30.
  • Dukungan terhadap pekerjaan tetap full-time: 2,83.
  • Pandangan bahwa perempuan sebaiknya tinggal di rumah dan tidak bekerja: 3,11.

Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun suami mendukung istri mereka dalam mencari pekerjaan, banyak yang menolak pekerjaan dengan jam kerja panjang atau mobilitas tinggi.

Dampak Budaya Konservatif terhadap Perempuan Insinyur

Studi ini menunjukkan bahwa peran gender di Yaman masih sangat membatasi perempuan dalam dunia kerja, terutama di sektor teknik yang didominasi laki-laki. Meski ada dukungan terhadap pendidikan perempuan, budaya patriarki tetap menjadi penghalang utama dalam mempertahankan pekerjaan setelah menikah.

Kesempatan Karier yang Tidak Setara

Dengan adanya kesenjangan gaji yang cukup besar, perempuan insinyur cenderung memilih pekerjaan di sektor pendidikan atau administrasi daripada sektor industri. Ini mencerminkan hambatan struktural yang membatasi akses perempuan ke karier teknik yang lebih kompetitif.

Solusi yang Ditawarkan

Paper ini mengusulkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi WFC bagi perempuan insinyur di Yaman:

  • Kebijakan fleksibilitas kerja, seperti jam kerja fleksibel, kerja jarak jauh, dan pelacakan tugas secara online.
  • Meningkatkan kesadaran sosial, terutama di kalangan suami dan keluarga, untuk lebih mendukung perempuan bekerja.
  • Kebijakan insentif finansial bagi perempuan insinyur untuk mengurangi kesenjangan gaji.
  • Peningkatan perlindungan hukum, termasuk penghapusan diskriminasi dalam rekrutmen dan promosi kerja.

Secara global, isu work-family balance juga menjadi perdebatan di banyak negara. Beberapa negara telah mengadopsi kebijakan ramah keluarga seperti cuti melahirkan yang lebih panjang, subsidi pengasuhan anak, dan fleksibilitas jam kerja. Studi ini memberikan wawasan bahwa tantangan serupa juga dihadapi perempuan di negara-negara berkembang, terutama di masyarakat konservatif.

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan perempuan insinyur di Yaman. Dengan data empiris yang kuat, penelitian ini memperlihatkan bagaimana faktor budaya, sosial, dan ekonomi saling berinteraksi dalam menciptakan tantangan bagi perempuan yang ingin berkarier di bidang teknik. Rekomendasi yang diberikan dapat menjadi dasar bagi kebijakan yang lebih inklusif untuk mendukung kesetaraan gender di dunia kerja.

Sumber Artikel:
Ghaleb, A.M.; Abdulkhaliq, L.; Al-nour, H.A.; Amrani, M.A.; Hebah, H.A.; Mejjaouli, S. "Perceptions of Work–Family–Engineering Relationships Among Employed Female Engineers in Yemen: A Survey Study." Societies 2025, 15, 13.

 

Selengkapnya
Tantangan Work-Family Conflict bagi Insinyur Perempuan di Yaman

Industri Kontruksi

Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Dalam industri konstruksi, profesionalisme adalah faktor kunci yang menentukan keberhasilan sebuah proyek. Paper berjudul “Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali” membahas bagaimana kurangnya perencanaan, kontrak kerja yang tidak jelas, serta pengawasan yang lemah menyebabkan proyek ini mengalami keterlambatan yang signifikan. Dengan menyoroti berbagai masalah serta solusi yang dapat diterapkan, studi ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan yang dihadapi dalam proyek konstruksi di Indonesia.

Proyek pembangunan Restoran X di Bali dimulai pada Maret 2019, namun hingga saat ini masih belum selesai karena berbagai faktor. Berikut adalah beberapa permasalahan utama yang ditemukan:

Kurangnya Perencanaan dan Perubahan Desain Berulang. Perubahan desain terjadi secara terus-menerus sehingga menghambat kelancaran proyek. Gambar kerja dan spesifikasi tidak disiapkan dengan matang sebelum pelaksanaan. Kontraktor pelaksana sering mengalami kesulitan karena harus menunggu gambar kerja terbaru. Ketiadaan Kontrak Kerja yang Jelas. Pemilik proyek tidak membuat kontrak kerja tertulis dengan kontraktor pelaksana. Sistem kerja berdasarkan kepercayaan menyebabkan kurangnya tanggung jawab yang jelas. Kontraktor pelaksana sering mengajukan biaya tambahan tanpa mekanisme verifikasi yang jelas. Manajemen Proyek yang Kurang Efektif. Pemilik proyek sering berkomunikasi langsung dengan kontraktor tanpa melibatkan konsultan pengawas. Tidak ada koordinasi yang baik antara tim proyek, sehingga sering terjadi miskomunikasi. Kontraktor lebih berfokus pada pencairan dana dibandingkan menyelesaikan pekerjaan sesuai standar. Kualitas Pekerjaan yang Buruk. Pekerjaan struktur baja yang tidak sesuai standar menyebabkan keterlambatan dan pembengkakan biaya. Pengecatan dan pemasangan railing tangga dilakukan tanpa prosedur yang benar, sehingga mengalami kerusakan dini. Kebocoran pada bangunan akibat pemasangan kusen yang tidak sesuai spesifikasi. Dampak Finansial dan Hukum. Proyek mengalami kerugian besar karena kontraktor menerima pembayaran sebelum pekerjaan selesai. Tidak adanya dokumen kontrak yang mengikat membuat pemilik proyek kesulitan menuntut pertanggungjawaban kontraktor.

Kurangnya Profesionalisme dalam Proyek Konstruksi

Paper ini menyoroti bagaimana kurangnya profesionalisme dalam manajemen proyek berkontribusi terhadap keterlambatan dan kualitas pekerjaan yang buruk. Beberapa indikator utama kurangnya profesionalisme adalah:

  • Kurangnya keahlian manajemen proyek: Tidak adanya perencanaan matang dan SOP yang jelas.
  • Komunikasi yang tidak efektif: Keputusan sering dibuat tanpa konsultasi dengan semua pihak yang terlibat.
  • Pelanggaran standar konstruksi: Kontraktor menggunakan bahan berkualitas rendah tanpa mengikuti spesifikasi teknis.

Dalam beberapa studi lain mengenai proyek konstruksi, faktor utama yang menentukan keberhasilan proyek adalah perencanaan yang komprehensif, manajemen risiko yang baik, serta pengawasan ketat. Studi ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam aspek-aspek tersebut berdampak buruk terhadap kelangsungan proyek.

Untuk meningkatkan profesionalisme dalam proyek konstruksi, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

1. Perencanaan yang Lebih Matang

  • Melakukan analisis proyek secara menyeluruh sebelum pelaksanaan.
  • Menyusun gambar kerja yang lengkap dan jelas untuk menghindari perubahan desain yang berulang.
  • Menggunakan software manajemen proyek untuk membantu koordinasi tim.

2. Penerapan Kontrak Kerja yang Ketat

  • Kontrak kerja tertulis harus mencakup lingkup pekerjaan, spesifikasi teknis, jadwal, serta sanksi jika kontraktor gagal memenuhi target.
  • Mekanisme pembayaran berbasis progres pekerjaan agar kontraktor tidak menerima dana sebelum pekerjaan diselesaikan.

3. Pengawasan yang Lebih Ketat

  • Menggunakan SOP yang jelas untuk memastikan bahwa semua pekerjaan dilakukan sesuai standar.
  • Melibatkan konsultan pengawas yang berpengalaman dalam seluruh tahapan proyek.
  • Melakukan audit berkala terhadap pekerjaan di lapangan untuk menghindari kecurangan.

4. Peningkatan Kualitas dan Profesionalisme Kontraktor

  • Seleksi kontraktor harus didasarkan pada rekam jejak profesionalisme dan kompetensi teknisnya.
  • Memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi kontraktor dan pekerja proyek agar memenuhi standar industri.

5. Peningkatan Transparansi dan Komunikasi

  • Mengadakan rapat koordinasi secara rutin antara pemilik proyek, kontraktor, dan pengawas untuk memastikan semua pihak memahami perkembangan proyek.
  • Menggunakan platform digital untuk pelaporan kemajuan proyek agar lebih transparan dan terdokumentasi dengan baik.

Paper ini memberikan gambaran jelas mengenai dampak dari kurangnya profesionalisme dalam proyek konstruksi. Studi kasus Restoran X di Bali menunjukkan bagaimana ketidakteraturan dalam perencanaan, pengawasan, dan eksekusi proyek dapat menyebabkan keterlambatan signifikan dan peningkatan biaya. Dengan menerapkan perencanaan yang lebih matang, kontrak kerja yang jelas, serta pengawasan ketat, proyek-proyek konstruksi di masa depan dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Sumber Artikel:
Hudaya, R.G.; Setiadji, J.S.; Lesmana, A.L. “Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali”. Jurnal Dimensi Insinyur Profesional, Vol. 2, No. 2, September 2024.

 

Selengkapnya
Analisis Profesionalisme pada Proyek Konstruksi Restoran X di Bali

Bencana Alam

Analisis Hukum dan Bisnis dalam Penyiaran Stop Press Peringatan Dini Tsunami pada Prime Time di iNews

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan terhadap bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Untuk mengurangi risiko korban jiwa, penyampaian peringatan dini tsunami menjadi hal yang sangat krusial. Paper "Legal and Business Study Stop Press Early Warning Tsunami at Prime Time on iNews" oleh Khoiri Akhmadi menyoroti dilema antara kepatuhan hukum dan strategi bisnis dalam penyiaran informasi darurat oleh media televisi, khususnya dalam konteks penayangan "Stop Press" di jam tayang utama (prime time).

Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20/P/M.KOMINFO/8/2006, media televisi diwajibkan untuk menayangkan peringatan dini tsunami dalam bentuk "Stop Press" selama minimal 30 detik dengan nada suara tinggi setelah adanya gempa bermagnitudo ≥7.0 yang berpotensi tsunami. Regulasi ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 50/2005 Pasal 17 Ayat 10 dan 11 yang mengharuskan lembaga penyiaran swasta untuk menginformasikan peringatan dini bencana kepada masyarakat tanpa penundaan.

Dalam penelitian ini, iNews sebagai salah satu stasiun televisi nasional menunjukkan kepatuhan terhadap regulasi tersebut dengan menayangkan "Stop Press" meskipun berdampak pada hilangnya pendapatan dari iklan prime time yang sangat mahal. Jam tayang utama atau prime time (pukul 17.00–23.00 WIB) merupakan slot yang paling menguntungkan bagi industri pertelevisian karena jumlah penonton yang tinggi. Berdasarkan data Nielsen yang dikutip dalam penelitian ini:

  • 180 juta pemirsa aktif di Indonesia lebih cenderung menonton televisi dibandingkan media sosial, radio, atau cetak.
  • Harga iklan 30 detik di prime time dapat mencapai Rp30 juta.
  • Jika iklan ditayangkan empat kali, total pendapatan yang hilang bisa mencapai Rp120 juta dalam waktu dua menit.

Penayangan "Stop Press" pada jam tayang ini menimbulkan dilema antara kepentingan bisnis dan kewajiban hukum, karena mengganggu program yang sedang tayang dan mengorbankan pendapatan iklan.

Untuk mengatasi potensi kerugian finansial, iNews menerapkan strategi "standby commercial", yaitu perjanjian dengan klien iklan yang memungkinkan iklan tetap tayang meskipun ada "Stop Press". Selain itu, iNews juga mengombinasikan "Stop Press" dengan program Breaking News, yang memungkinkan informasi peringatan dini disampaikan dengan lebih panjang dan rinci tanpa kehilangan nilai komersial. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam periode enam tahun terakhir, iNews berhasil menyampaikan "Stop Press" pada peristiwa besar seperti:

  • Gempa Mentawai (Maret 2016, M8.3, pukul 19.49 WIB) – Stop Press tidak dapat ditayangkan tepat waktu karena belum tersedianya sistem WRS (Warning Receiver System) di studio kontrol utama.
  • Gempa Palu (September 2018, M7.7, pukul 17.02 WIB) – Stop Press berhasil disiarkan sesuai regulasi.
  • Gempa Banten (Agustus 2019, M7.4, pukul 19.02 WIB) – Stop Press berhasil disiarkan dengan baik.

Kesalahan dalam penayangan peringatan dini di Mentawai memunculkan perdebatan mengenai pertanggungjawaban hukum media penyiaran jika gagal memenuhi kewajiban penyiaran informasi bencana.

Studi ini menyoroti bahwa media penyiaran dapat dikenakan sanksi jika tidak mematuhi regulasi. Berdasarkan KUHP Pasal 359 dan 360, kelalaian dalam menyampaikan informasi yang dapat menyelamatkan nyawa dapat dikategorikan sebagai kelalaian yang berujung pada pertanggungjawaban pidana. Namun, dalam kasus keterlambatan "Stop Press" di Mentawai, iNews tidak dikenakan sanksi karena tetap menyampaikan informasi melalui "Breaking News" dengan durasi lebih panjang.

Legal expert Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa kepatuhan terhadap hukum berasal dari kesadaran hukum dan motivasi untuk bertindak, bukan hanya karena ketakutan terhadap sanksi. Dalam hal ini, iNews menunjukkan kepatuhan hukum dengan tetap memprioritaskan kepentingan masyarakat.

Analisis dan Kritik

1. Keseimbangan antara Bisnis dan Kepentingan Publik

Penelitian ini mengungkapkan bahwa industri penyiaran menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kewajiban hukum, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan bisnis. Meskipun regulasi mewajibkan "Stop Press", tidak semua stasiun televisi menerapkannya secara konsisten karena alasan ekonomi.

Studi ini menekankan pentingnya mekanisme kompensasi bagi stasiun televisi agar tetap dapat menjalankan kewajibannya tanpa mengalami kerugian finansial yang signifikan. Pemerintah dapat mempertimbangkan subsidi atau insentif pajak bagi media yang aktif menyebarkan peringatan dini bencana.

2. Perlunya Standardisasi dalam Penyiaran Peringatan Dini

Kasus keterlambatan "Stop Press" pada gempa Mentawai menunjukkan bahwa masih ada celah dalam mekanisme penyiaran informasi darurat. Diperlukan peningkatan standarisasi teknis, seperti penerapan sistem WRS secara merata di semua studio berita agar peringatan dini dapat disiarkan tepat waktu.

Selain itu, pelatihan bagi kru media dalam menangani situasi darurat juga perlu ditingkatkan agar tidak ada keterlambatan dalam penyampaian informasi yang krusial.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penelitian ini memberikan wawasan yang penting mengenai dilema antara kepatuhan hukum dan kepentingan bisnis dalam industri penyiaran. Beberapa rekomendasi yang dapat diambil dari studi ini antara lain:

  • Meningkatkan investasi dalam infrastruktur penyiaran peringatan dini, termasuk pemasangan WRS di semua studio berita.
  • Membentuk regulasi tambahan yang memberikan insentif finansial bagi media yang konsisten menyampaikan peringatan dini.
  • Meningkatkan kolaborasi antara media, pemerintah, dan lembaga terkait (BMKG, BNPB) untuk memastikan penyampaian informasi bencana yang lebih efektif.
  • Memperkuat pengawasan dan sanksi bagi media yang lalai dalam menyampaikan informasi peringatan dini, guna memastikan kepatuhan yang lebih baik terhadap regulasi.

Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan media penyiaran dapat tetap menjalankan perannya sebagai penyedia informasi publik yang andal, tanpa mengorbankan keberlanjutan bisnisnya.

Sumber Artikel:
Khoiri Akhmadi. "Legal and Business Study Stop Press Early Warning Tsunami at Prime Time on iNews." UNTAG Law Review (ULREV), Volume 6, Issue 1, May 2022, PP 1 - 18.

 

Selengkapnya
Analisis Hukum dan Bisnis dalam Penyiaran Stop Press Peringatan Dini Tsunami pada Prime Time di iNews

Teknik Sipil

Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Pembangunan infrastruktur memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun, sektor ini juga memiliki risiko tinggi terkait keselamatan, kesehatan kerja, dan lingkungan (K3L). Paper "Pentingnya Penerapan Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Lingkungan (K3L)" oleh Aditya Imam Wibisono dan Albani Musyafa menyoroti bagaimana penerapan etika profesi dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam proyek konstruksi, terutama dalam memitigasi risiko K3L.

Industri konstruksi adalah salah satu sektor dengan tingkat kecelakaan kerja yang tinggi. Menurut penelitian ini:

  • 70% kecelakaan kerja di sektor konstruksi disebabkan oleh faktor manusia, termasuk kesalahan dalam pengambilan keputusan.
  • 30% lainnya berasal dari faktor teknis, seperti kesalahan desain atau penggunaan material yang tidak sesuai standar.
  • Kurangnya kepatuhan terhadap prosedur K3L menyumbang lebih dari 50% kecelakaan kerja.

Angka ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang tepat dalam mempertimbangkan aspek keselamatan sangat penting untuk menekan risiko dalam proyek konstruksi.

Peran Etika Profesi dalam Pengambilan Keputusan

Kode etik profesi insinyur berfungsi sebagai panduan moral bagi para profesional teknik sipil dalam menjalankan tugasnya. Prinsip utama yang ditekankan dalam kode etik ini meliputi:

  • Keselamatan dan kesejahteraan publik sebagai prioritas utama.
  • Integritas dan transparansi dalam semua tahapan proyek.
  • Tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam praktik teknik sipil.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa insinyur yang memahami dan menerapkan kode etik profesi lebih cenderung membuat keputusan yang tepat dalam situasi berisiko dibandingkan mereka yang hanya berfokus pada aspek teknis.

Kecerdasan Emosional dan Pengaruhnya terhadap Keputusan Insinyur

Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah hubungan antara kecerdasan emosional (EQ) dan kualitas pengambilan keputusan dalam mitigasi risiko K3L. Studi ini menemukan bahwa:

  • Insinyur dengan EQ tinggi lebih mampu menahan tekanan dan membuat keputusan yang lebih rasional dalam kondisi darurat.
  • Pemimpin proyek dengan kecerdasan emosional tinggi memiliki tingkat keberhasilan proyek 40% lebih tinggi dibandingkan yang memiliki EQ rendah.
  • Tim konstruksi yang dipimpin oleh individu dengan EQ tinggi mengalami penurunan kecelakaan kerja hingga 25%.

EQ mencakup kemampuan mengenali emosi diri sendiri dan orang lain, mengelola stres, serta berkomunikasi secara efektif dalam tim. Kemampuan ini sangat penting bagi insinyur dalam menghadapi tekanan di lapangan.

Dampak Penerapan Kode Etik terhadap Keberlanjutan Infrastruktur

Keberlanjutan menjadi aspek yang semakin diperhatikan dalam industri konstruksi. Penelitian ini menyoroti bahwa insinyur yang menerapkan kode etik profesi cenderung:

  • Menggunakan material yang lebih ramah lingkungan.
  • Memastikan desain bangunan sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
  • Menerapkan teknologi hemat energi dalam proyek infrastruktur.

80% proyek yang menerapkan prinsip keberlanjutan mengalami peningkatan efisiensi operasional hingga 20% dibandingkan proyek konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa etika profesi tidak hanya berdampak pada keselamatan kerja, tetapi juga pada keberlanjutan proyek jangka panjang.

Analisis dan Kritik

1. Pentingnya Kombinasi Keterampilan Teknis dan Soft Skill

Dalam praktiknya, insinyur sering kali lebih fokus pada aspek teknis dibandingkan aspek non-teknis seperti kecerdasan emosional dan etika profesi. Padahal, penelitian ini membuktikan bahwa:

  • Keputusan yang buruk dalam proyek konstruksi lebih sering dipengaruhi oleh kurangnya pengelolaan emosi dibandingkan kekurangan keterampilan teknis.
  • Pelatihan soft skill bagi insinyur dapat mengurangi kesalahan pengambilan keputusan hingga 30%.

Dengan demikian, kurikulum pendidikan teknik sipil sebaiknya tidak hanya menekankan pada kompetensi teknis, tetapi juga pengembangan soft skill seperti kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen stres.

2. Perlunya Regulasi yang Lebih Ketat terhadap Penerapan Etika Profesi

Saat ini, penerapan kode etik profesi masih bersifat sukarela dan kurang memiliki mekanisme penegakan yang jelas. Beberapa rekomendasi yang diusulkan dalam penelitian ini meliputi:

  • Pemberian sanksi bagi insinyur yang terbukti melanggar kode etik profesi.
  • Insentif bagi perusahaan konstruksi yang menerapkan standar etika tinggi dalam proyek mereka.
  • Peningkatan peran asosiasi profesi dalam mengawasi kepatuhan terhadap kode etik.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan standar keselamatan dan kualitas proyek infrastruktur di Indonesia.

Penelitian ini menegaskan bahwa penerapan kode etik profesi dalam teknik sipil memiliki dampak yang signifikan terhadap pengambilan keputusan terkait risiko K3L. Temuan utama yang dapat disimpulkan adalah:

  • Insinyur dengan pemahaman etika profesi yang baik lebih cenderung membuat keputusan yang mempertimbangkan keselamatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan publik.
  • Kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas pengambilan keputusan di lingkungan kerja yang penuh tekanan.
  • Regulasi dan mekanisme penegakan kode etik perlu diperkuat untuk memastikan implementasi yang lebih luas dalam industri konstruksi.

Sebagai rekomendasi, beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan penerapan etika profesi dalam teknik sipil adalah:

  1. Integrasi pelatihan kecerdasan emosional dalam pendidikan teknik sipil, untuk meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan di lapangan.
  2. Peningkatan regulasi dan sanksi bagi pelanggaran kode etik, guna memastikan kepatuhan yang lebih ketat di industri konstruksi.
  3. Mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam proyek infrastruktur, sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
  4. Peningkatan kolaborasi antara asosiasi profesi, pemerintah, dan perusahaan konstruksi untuk menciptakan standar etika yang lebih jelas dan dapat ditegakkan.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pembangunan infrastruktur dapat berjalan dengan lebih aman, efisien, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Aditya Imam Wibisono, Albani Musyafa. "Pentingnya Penerapan Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Lingkungan (K3L)." Jurnal Teknik Mesin, Industri, Elektro dan Informatika, Vol. 3 No. 3, September 2024, Hal 279-290.

Selengkapnya
Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L

Perencanaan tata ruang wilayah

Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) merupakan elemen fundamental dalam pengelolaan pembangunan daerah. Kabupaten Nias Barat yang mengalami pertumbuhan pesat menghadapi tantangan dalam mengakomodasi perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Paper "Kajian Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat" oleh Faahakhododo Zai dan Wanapri Pangaribuan membahas urgensi revisi RTRW guna memastikan perencanaan ruang yang selaras dengan dinamika perubahan wilayah dan regulasi terbaru.

1. Perubahan Batas Wilayah dan Dampaknya

Kabupaten Nias Barat mengalami perubahan batas wilayah administratif antara tahun 2014 hingga 2021. Data menunjukkan:

  • Luas wilayah tahun 2014: 49.423,79 Ha.
  • Luas wilayah tahun 2021: 46.533,04 Ha.
  • Wilayah yang bertambah: 2.445 Ha.
  • Wilayah yang berkurang: 2.990 Ha.

Perubahan batas ini berdampak langsung pada pola pemanfaatan ruang, termasuk penyesuaian kawasan lindung dan kawasan budidaya.

2. Ketidaksesuaian Pemanfaatan Ruang Eksisting dengan RTRW 2014

Kajian ini menemukan adanya perbedaan signifikan antara kondisi penggunaan lahan aktual dengan perencanaan RTRW 2014:

  • Permukiman: RTRW mencatat luas 187,43 Ha, sedangkan data eksisting menunjukkan 1.469,55 Ha.
  • Perkebunan: RTRW menetapkan 9.605,55 Ha, namun penggunaan lahan aktual mencapai 27.362,06 Ha.
  • Pertanian lahan kering: 14.951,16 Ha dalam RTRW, sementara hasil observasi menunjukkan 15.047,93 Ha.
  • Pertanian lahan basah: 1.143,71 Ha dalam RTRW, tetapi data eksisting mencatat 1.839,04 Ha.

Ketidaksesuaian ini menunjukkan bahwa RTRW perlu diperbarui untuk mencerminkan kondisi nyata di lapangan.

3. Perencanaan Pola Ruang Kabupaten Nias Barat

Dalam konsep revisi RTRW, terdapat dua zona utama:

  1. Kawasan Lindung (25,3% atau 11.776,18 Ha) – mencakup hutan lindung, kawasan konservasi, dan badan air.
  2. Kawasan Budidaya (74,7% atau 34.756,88 Ha) – meliputi pemukiman, perkebunan, pertanian, dan kawasan industri.

Rencana ini bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.

4. Sistem Jaringan Infrastruktur dan Transportasi

Dalam revisi RTRW, sistem jaringan infrastruktur dikembangkan untuk meningkatkan konektivitas wilayah:

  • Jaringan jalan mencakup jalan kolektor primer dan sekunder untuk mendukung mobilitas ekonomi.
  • Pengembangan energi baru seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah.
  • Sistem telekomunikasi diperkuat dengan menara BTS guna memperluas jangkauan internet dan komunikasi.
  • Jaringan sumber daya air dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan dan mitigasi banjir.

Analisis dan Kritik

1. Pentingnya Integrasi Data Terkini dalam Perencanaan RTRW

Ketidaksesuaian antara RTRW 2014 dan kondisi eksisting menunjukkan bahwa pembaruan RTRW harus berbasis data terbaru. Penggunaan teknologi seperti citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat meningkatkan akurasi dalam perencanaan tata ruang.

2. Keterlibatan Masyarakat dalam Revisi RTRW

Perencanaan tata ruang yang efektif memerlukan partisipasi aktif masyarakat. Kajian ini menyoroti bahwa aspirasi masyarakat belum sepenuhnya tercermin dalam RTRW sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme konsultasi publik yang lebih inklusif dalam revisi RTRW.

3. Penguatan Regulasi dan Pengawasan Pemanfaatan Ruang

Kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan RTRW menyebabkan ketidaksesuaian dalam pemanfaatan lahan. Untuk mengatasi hal ini, disarankan:

  • Peningkatan kapasitas aparatur dalam pengawasan pemanfaatan ruang.
  • Pemberian sanksi terhadap pelanggaran tata ruang.
  • Insentif bagi pengembang yang mematuhi regulasi tata ruang.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Revisi RTRW Kabupaten Nias Barat menjadi langkah strategis dalam menghadapi dinamika pertumbuhan wilayah. Beberapa kesimpulan utama dari penelitian ini adalah:

  • Perubahan batas wilayah mempengaruhi pemanfaatan ruang, sehingga RTRW perlu disesuaikan.
  • Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang eksisting dengan RTRW 2014 menegaskan urgensi revisi berbasis data terbaru.
  • Pola ruang yang diusulkan (25,3% kawasan lindung dan 74,7% kawasan budidaya) bertujuan untuk menjaga keseimbangan pembangunan dan lingkungan.
  • Peningkatan infrastruktur dan jaringan transportasi menjadi prioritas dalam revisi RTRW.

Sebagai rekomendasi, langkah-langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Penguatan basis data spasial dengan memanfaatkan teknologi pemetaan modern.
  2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RTRW melalui forum konsultasi publik.
  3. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum untuk menghindari pelanggaran pemanfaatan ruang.
  4. Integrasi RTRW dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan agar selaras dengan tujuan nasional dan global.

Dengan penerapan strategi ini, Kabupaten Nias Barat dapat mengelola pertumbuhan wilayah secara lebih efektif, mencegah konflik tata ruang, dan menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Faahakhododo Zai, Wanapri Pangaribuan. "Kajian Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat." Jurnal Insinyur Profesional, Volume 2, No. 3, Mei 2023, Hal 74-82.

Selengkapnya
Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nias Barat
« First Previous page 183 of 1.096 Next Last »