Transformasi Produktivitas Nasional dan Paradigma Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

17 Oktober 2025, 22.37

Selama lebih dari setengah abad, ekonomi Indonesia telah mengalami perjalanan panjang yang ditandai oleh pertumbuhan yang relatif stabil namun menghadapi persoalan mendasar dalam hal produktivitas dan efisiensi. Berbagai kebijakan pembangunan telah berhasil memperluas kapasitas ekonomi nasional melalui ekspansi investasi, infrastruktur, dan tenaga kerja, tetapi sumber pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh penambahan input produksi, bukan oleh peningkatan produktivitas atau inovasi.

Analisis dalam Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029 mengungkapkan bahwa antara tahun 1971 hingga 2022, kontribusi modal dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan output nasional mencapai hampir 98%, sedangkan kontribusi Total Factor Productivity (TFP) yang merupakanindikator utama efisiensi dan kemajuan teknologi hanya sekitar 1,6%. Fakta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bersifat ekstensif, yaitu bertumpu pada jumlah faktor produksi, bukan pada kualitas atau kemampuan menghasilkan output lebih besar dari sumber daya yang sama.

Kondisi ini memiliki konsekuensi jangka panjang yang signifikan. Tanpa transformasi struktural menuju ekonomi berbasis produktivitas, pertumbuhan ekonomi akan cenderung melambat seiring terbatasnya laju ekspansi tenaga kerja dan investasi fisik. Hal tersebut terbukti dari penurunan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dari 8,28% pada awal 1970-an menjadi sekitar 3,6% pada periode 2016–2022. Dengan kata lain, Indonesia menghadapi risiko growth trap, situasi di mana ekonomi tumbuh tanpa kemajuan nyata dalam efisiensi, inovasi, dan daya saing global.

Di sisi lain, periode krisis dan gangguan besar, seperti krisis finansial Asia 1997–1998, krisis global 2008, hingga pandemi COVID-19, memperlihatkan betapa rentannya perekonomian Indonesia terhadap guncangan eksternal. Setiap kali terjadi perlambatan global, TFP nasional menurun drastis, menunjukkan bahwa sistem ekonomi belum cukup tangguh dalam menjaga efisiensi produksi dan adaptasi teknologi di tengah tekanan eksternal.

Namun demikian, di balik tantangan tersebut, Indonesia memiliki momentum baru untuk memperbaiki fondasi produktivitasnya. Transformasi digital, kebijakan hilirisasi, serta percepatan pembangunan SDM melalui pendidikan vokasi dan pelatihan kerja memberikan peluang besar untuk beralih menuju pertumbuhan berbasis produktivitas (TFP-led growth).

Paradigma baru ini menuntut pergeseran orientasi pembangunan nasional dari sekadar “pertumbuhan cepat” menjadi “pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan”. Artinya, keberhasilan ekonomi di masa depan tidak lagi diukur dari seberapa besar investasi atau tenaga kerja yang diserap, melainkan dari seberapa efisien dan inovatif faktor-faktor tersebut digunakan.

Artikel ini membahas bagaimana struktur produktivitas nasional berkembang selama lima dekade terakhir, apa saja faktor yang mempengaruhi kinerja TFP di berbagai sektor dan wilayah, serta mengapa pergeseran menuju pertumbuhan berbasis efisiensi menjadi krusial untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Melalui analisis ini, diharapkan pembaca memahami bahwa produktivitas bukan sekadar ukuran kinerja ekonomi, tetapi juga cermin dari kemampuan bangsa dalam berinovasi, beradaptasi, dan bersaing di era global.

 

Paradigma Pertumbuhan Indonesia

Selama lima dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah menunjukkan pola yang konsisten namun penuh paradoks. Di satu sisi, ekonomi nasional mampu tumbuh stabil di kisaran 5% per tahun, bahkan menjadi salah satu yang paling tangguh di kawasan Asia Tenggara. Namun di sisi lain, fondasi pertumbuhan tersebut masih sangat bergantung pada faktor-faktor konvensional seperti ekspansi tenaga kerja dan akumulasi modal fisik, bukan pada peningkatan efisiensi atau inovasi teknologi.

Analisis jangka panjang yang disajikan dalam Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029 memperlihatkan bahwa sejak tahun 1971 hingga 2022, kontribusi gabungan tenaga kerja dan modal terhadap pertumbuhan output nasional mencapai hampir 98%, sedangkan kontribusi produktivitas total faktor (Total Factor Productivity/TFP) hanya sekitar 1,6%. Angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bersifat input-driven, bukan efficiency-driven.

a. Pola Historis Pertumbuhan

Selama periode 1970–1990, Indonesia mengalami apa yang disebut “era pertumbuhan cepat” dengan laju PDB di atas 7% per tahun. Namun sebagian besar peningkatan tersebut berasal dari perluasan basis tenaga kerja dan pembangunan infrastruktur dasar. Pada masa itu, produktivitas meningkat terutama karena industrialisasi awal dan kebijakan substitusi impor, bukan karena inovasi teknologi atau efisiensi proses produksi.

Memasuki periode 1997–1998, krisis moneter Asia menjadi titik balik penting. Krisis tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap pertumbuhan berbasis modal dan tenaga kerja tidak cukup menopang daya tahan ekonomi. Ketika arus modal asing keluar dan industri domestik kehilangan kapasitas produksi, TFP Indonesia anjlok hingga di bawah nol, menandakan penurunan efisiensi nasional secara menyeluruh.

Pasca reformasi dan memasuki dekade 2000-an, Indonesia berhasil memulihkan stabilitas makroekonomi. Namun, kualitas pertumbuhan tetap stagnan, dengan rata-rata pertumbuhan TFP hanya sekitar 0,5–1% per tahun. Bahkan, pada periode 2016–2022, TFP cenderung stagnan, sementara laju pertumbuhan output menurun menjadi sekitar 3,6%. Ini menunjukkan bahwa penambahan modal dan tenaga kerja tidak lagi menghasilkan peningkatan output yang sebanding, sebuah tanda bahwa perekonomian mulai mencapai batas efisiensi strukturalnya.

b. Paradigma Lama: Ekspansi Input

Model pembangunan Indonesia selama beberapa dekade berlandaskan paradigma ekstensif: pertumbuhan dicapai dengan menambah faktor produksi sebanyak mungkin—membangun lebih banyak infrastruktur, menambah tenaga kerja, dan memperluas investasi. Pola ini efektif pada tahap awal pembangunan, ketika sumber daya alam masih berlimpah dan penduduk usia produktif terus bertambah.

Namun dalam konteks Indonesia saat ini, paradigma tersebut menghadapi keterbatasan serius. Pertumbuhan populasi produktif mulai melambat, urbanisasi semakin padat, dan biaya modal meningkat seiring kebutuhan investasi infrastruktur besar-besaran. Dengan kata lain, Indonesia tidak bisa lagi hanya “tumbuh dari menambah,” tetapi harus “tumbuh dari menjadi lebih efisien.”

 

c. Pergeseran Menuju Pertumbuhan Berbasis Produktivitas

Paradigma baru pembangunan ekonomi Indonesia menuntut transformasi menuju pertumbuhan yang digerakkan oleh produktivitas dan inovasi (TFP-led growth). Pendekatan ini menekankan efisiensi penggunaan faktor produksi melalui peningkatan teknologi, perbaikan manajemen, penguatan kualitas SDM, serta pembenahan tata kelola ekonomi.

Kunci dari paradigma baru ini adalah memahami bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tidak hanya bergantung pada seberapa banyak sumber daya yang dimiliki, tetapi pada seberapa cerdas sumber daya itu digunakan. Dengan produktivitas yang lebih tinggi, Indonesia dapat mencapai tingkat pertumbuhan yang sama dengan penggunaan input yang lebih efisien, sekaligus mengurangi ketimpangan antarwilayah dan sektor.

d. Implikasi bagi Kebijakan Nasional

Pergerseran paradigma ini memiliki konsekuensi kebijakan yang luas. Pemerintah perlu memfokuskan pembangunan pada kualitas pertumbuhan, bukan hanya kuantitasnya. Ini berarti investasi publik dan swasta harus diarahkan untuk memperkuat inovasi, riset, dan adopsi teknologi di sektor produktif seperti manufaktur, pertanian modern, dan ekonomi digital.

Selain itu, pembangunan SDM harus menyesuaikan dengan kebutuhan sektor-sektor berproduktivitas tinggi. Pelatihan kerja, pendidikan vokasi, dan kebijakan ketenagakerjaan harus difokuskan pada penciptaan tenaga kerja adaptif dan terampil teknologi, bukan sekadar meningkatkan jumlah tenaga kerja terserap.

Dengan menggeser fokus dari ekspansi input ke efisiensi dan produktivitas, Indonesia berpeluang memperkuat daya saing globalnya serta mewujudkan ekonomi yang tangguh, inovatif, dan berkeadilan. Paradigma inilah yang menjadi dasar visi besar menuju Indonesia Emas 2045, di mana kemajuan ekonomi dicapai bukan hanya melalui pertumbuhan, tetapi juga melalui transformasi kualitas pertumbuhan itu sendiri.

 

 

Produktivitas Industri dan Tantangan Struktural

Produktivitas merupakan jantung dari daya saing industri nasional. Dalam konteks Indonesia, tingkat produktivitas antar sektor menunjukkan pola yang tidak seimbang. Sebagian sektor seperti informasi dan komunikasi mencatat lonjakan pertumbuhan signifikan, sementara sektor-sektor tradisional seperti manufaktur dan pertanian justru mengalami perlambatan. Ketimpangan ini mencerminkan pergeseran struktural ekonomi yang belum sepenuhnya terkonsolidasi secara produktif.

a. Stagnasi Produktivitas di Sektor Manufaktur

Selama beberapa dekade, sektor manufaktur dipandang sebagai motor utama industrialisasi dan sumber penciptaan lapangan kerja formal. Namun, data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: pertumbuhan sektor manufaktur menurun dari 4,29% pada periode 2013–2017 menjadi hanya 2,61% pada 2018–2022, sementara kontribusi Total Factor Productivity (TFP) di sektor ini masih negatif.

Penurunan ini menandakan bahwa produktivitas manufaktur belum pulih sepenuhnya pasca pandemi dan krisis global, serta masih menghadapi kendala struktural seperti:

  • Rendahnya investasi dalam riset dan pengembangan (R&D),
  • Ketergantungan pada input impor dan teknologi luar negeri,
  • Terbatasnya integrasi rantai pasok domestik, dan
  • Kesenjangan kompetensi tenaga kerja teknis.

Selain itu, mayoritas industri manufaktur di Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM) yang beroperasi dengan teknologi sederhana. Walau jumlahnya besar, kontribusi IKM terhadap nilai tambah nasional relatif kecil. Akibatnya, ekspansi sektor ini belum berhasil mendorong pertumbuhan produktivitas nasional secara signifikan.

Untuk mengatasi stagnasi ini, diperlukan strategi reindustrialisasi berbasis efisiensi dan teknologi, di mana fokus tidak hanya pada peningkatan kapasitas produksi, tetapi juga pada peningkatan kemampuan inovasi, kualitas SDM, dan adopsi teknologi manufaktur cerdas (smart manufacturing).

b. Pertumbuhan Pesat Sektor Jasa dan Digital

Berbeda dengan manufaktur, sektor informasi dan komunikasi menjadi salah satu sektor dengan produktivitas tertinggi, mencatat rata-rata pertumbuhan 8,64% dalam lima tahun terakhir. Transformasi digital, peningkatan penetrasi internet, dan berkembangnya ekosistem ekonomi digital telah mendorong munculnya model bisnis baru yang efisien dan berorientasi inovasi.

Sektor jasa lain seperti keuangan, transportasi, serta kesehatan dan pekerjaan sosial juga mencatat pertumbuhan positif, terutama setelah pandemi COVID-19 yang mempercepat digitalisasi layanan publik dan bisnis. Meskipun demikian, sektor jasa juga menghadapi tantangan tersendiri: sebagian besar tenaga kerja masih terserap dalam jasa berproduktivitas rendah, seperti perdagangan eceran, logistik informal, dan jasa personal.

Hal ini menandakan bahwa pergeseran tenaga kerja ke sektor jasa belum sepenuhnya meningkatkan efisiensi nasional. Oleh karena itu, strategi peningkatan produktivitas di sektor jasa harus diarahkan pada transformasi digital, peningkatan kompetensi layanan, dan profesionalisasi tenaga kerja.

c. Ketimpangan Antar Sektor dan Arah Transformasi

Kesenjangan produktivitas antar sektor menjadi isu fundamental yang menghambat pertumbuhan jangka panjang. Sektor-sektor dengan produktivitas tinggi seperti komunikasi dan keuangan tumbuh cepat, tetapi memiliki kontribusi relatif kecil terhadap penyerapan tenaga kerja. Sebaliknya, sektor padat karya seperti pertanian dan manufaktur yang menyerap jutaan tenaga kerja justru berproduktivitas rendah.

Kondisi ini menciptakan “paradoks produktivitas” dimana pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi peningkatan produktivitas nasional tertahan karena tenaga kerja terkonsentrasi di sektor berproduktivitas rendah. Tanpa transformasi struktural yang menyeluruh, kesenjangan ini akan memperlambat proses menuju ekonomi berpendapatan tinggi.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, kebijakan produktivitas perlu diarahkan pada:

  1. Integrasi lintas sektor, agar industri manufaktur dapat memanfaatkan kemajuan sektor digital dan keuangan untuk efisiensi rantai pasok;
  2. Peningkatan kompetensi lintas disiplin, seperti pelatihan digital untuk tenaga kerja manufaktur dan pertanian;
  3. Diversifikasi industri, melalui pengembangan sektor berteknologi menengah-tinggi yang menyerap tenaga kerja besar (misalnya otomotif, kimia, dan energi hijau).

d. Inovasi sebagai Penggerak Produktivitas

Pengalaman negara-negara industri maju menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas jangka panjang hanya dapat dicapai melalui inovasi berkelanjutan. Namun, kapasitas inovasi di Indonesia masih terbatas. Belanja nasional untuk riset dan pengembangan (R&D) masih di bawah 1% dari PDB, jauh tertinggal dari negara seperti Korea Selatan (4,8%) atau Malaysia (1,4%).

Keterbatasan kolaborasi antara universitas, lembaga riset, dan dunia industri juga memperlambat proses transfer teknologi. Padahal, Master Plan Produktivitas Nasional menekankan pentingnya model triple helix collaboration, sinergi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta dalam mengakselerasi inovasi industri.

Dengan memperkuat ekosistem inovasi ini, Indonesia dapat mendorong pertumbuhan produktivitas yang berkelanjutan, bukan hanya melalui ekspansi tenaga kerja dan modal, tetapi melalui penciptaan nilai tambah berbasis pengetahuan.

e. Menuju Struktur Industri yang Produktif dan Adaptif

Menghadapi dinamika global, industri Indonesia perlu bertransformasi menjadi lebih adaptif, berkelanjutan, dan berbasis teknologi. Ini berarti menggabungkan prinsip efisiensi ekonomi dengan agenda keberlanjutan lingkungan dan ketahanan sosial.

Transformasi menuju industri hijau (green industry) dan digital bukan hanya tuntutan ekonomi, tetapi juga strategi produktivitas jangka panjang. Dengan mengintegrasikan otomatisasi, efisiensi energi, dan sumber daya manusia yang terampil, Indonesia dapat membangun struktur industri yang produktif sekaligus inklusif mampu meningkatkan kesejahteraan nasional tanpa meninggalkan kelompok ekonomi kecil.

 

 

Produktivitas Regional dan Ketimpangan Antarwilayah

Perkembangan produktivitas di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh dinamika sektoral, tetapi juga oleh disparitas antarwilayah. Ketimpangan produktivitas antarprovinsi memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional belum sepenuhnya inklusif dan efisien. Konsentrasi aktivitas ekonomi yang tinggi di wilayah tertentu, terutama di Pulau Jawa, memperkuat ketidakseimbangan regional dan memperlambat penyebaran manfaat pertumbuhan ke seluruh Indonesia.

a. Distribusi Produktivitas antar Provinsi

Analisis yang disajikan dalam Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029 menunjukkan kesenjangan yang sangat tajam dalam produktivitas per pekerja (PPE) antarprovinsi. Pada tahun 2022, DKI Jakarta mencatat produktivitas per pekerja tertinggi, mencapai sekitar Rp 384,6 juta per pekerja, diikuti oleh provinsi-provinsi dengan basis industri kuat seperti Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat. Sebaliknya, wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua Barat menunjukkan produktivitas yang jauh lebih rendah, beberapa di antaranya bahkan kurang dari Rp 30 juta per pekerja per tahun.

Ketimpangan ini mencerminkan kesenjangan struktural dalam penyebaran faktor produksi, infrastruktur, dan kualitas tenaga kerja. Wilayah dengan konsentrasi industri, konektivitas logistik, dan pendidikan tinggi yang baik secara alami memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan daerah dengan ekonomi berbasis sumber daya primer atau kegiatan informal.

b. Pola Ketimpangan antara Barat dan Timur

Secara geografis, Pulau Jawa dan Sumatra menyumbang lebih dari 80% output nasional, dengan Jawa mendominasi aktivitas industri manufaktur dan jasa modern, sementara Sumatra unggul di sektor berbasis sumber daya alam. Sebaliknya, wilayah timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua masih didominasi oleh sektor pertanian dan pertambangan primer, dengan kontribusi industri pengolahan yang terbatas.

Menariknya, meskipun tingkat produktivitas di wilayah timur masih rendah, laju pertumbuhan produktivitasnya justru cukup tinggi, terutama di Sulawesi dan Maluku. Pertumbuhan tersebut dipicu oleh kebijakan hilirisasi sumber daya alam, seperti pengolahan nikel, bauksit, dan tembaga. Artinya, wilayah timur berpotensi menjadi pusat pertumbuhan baru berbasis industri, asalkan transformasi tersebut disertai dengan penguatan infrastruktur, keterampilan tenaga kerja, dan integrasi ekonomi lokal.

c. Akar Ketimpangan Produktivitas

Ketimpangan produktivitas antarwilayah tidak dapat dilepaskan dari perbedaan kualitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur ekonomi, dan tingkat industrialisasi. Beberapa faktor utama yang menjelaskan kesenjangan ini antara lain:

  1. Kualitas SDM yang belum merata. Akses pendidikan vokasi dan pelatihan kerja masih terkonsentrasi di kota besar. Daerah dengan keterbatasan lembaga pelatihan industri sering kali tertinggal dalam penyerapan teknologi dan efisiensi kerja.
  2. Keterbatasan infrastruktur logistik dan energi. Tingginya biaya transportasi antarwilayah membuat industri di luar Jawa kurang kompetitif.
  3. Keterbatasan investasi sektor produktif. Investor cenderung memilih wilayah dengan ekosistem industri dan dukungan kebijakan yang mapan, menyebabkan akumulasi modal terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra.
  4. Keterhubungan industri yang lemah. Wilayah dengan potensi sumber daya alam sering kali tidak memiliki rantai pasok lokal yang mampu mengolah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi.

Ketidakseimbangan faktor-faktor tersebut menyebabkan banyak daerah terjebak dalam ekonomi berproduktivitas rendah, meskipun memiliki sumber daya alam yang besar.

d. Implikasi terhadap Pemerataan Produktivitas Nasional

Ketimpangan produktivitas regional menimbulkan tantangan serius bagi upaya peningkatan efisiensi nasional secara agregat. Produktivitas yang tinggi di Jawa dan Sumatra sering kali tertutup oleh rendahnya produktivitas di wilayah lain, sehingga pertumbuhan nasional menjadi rata-rata yang menurun.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melalui Master Plan Produktivitas Nasional menekankan pentingnya pembangunan produktivitas berbasis wilayah (place-based productivity development). Pendekatan ini mengakui bahwa setiap daerah memiliki karakteristik ekonomi yang unik, sehingga kebijakan peningkatan produktivitas tidak bisa seragam.

Beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan antara lain:

  • Pengembangan klaster industri unggulan daerah yang terhubung dengan sumber daya lokal dan pasar nasional,
  • Peningkatan akses pelatihan vokasi dan pendidikan industri di luar Jawa,
  • Penyediaan insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong investasi industri di wilayah pertumbuhan baru, dan
  • Penguatan konektivitas logistik dan digitalisasi wilayah agar efisiensi produksi meningkat.

Dengan pendekatan ini, peningkatan produktivitas tidak hanya menjadi agenda nasional, tetapi juga menjadi strategi pemerataan kesejahteraan ekonomi antarwilayah.

e. Menuju Keseimbangan Produktivitas Nasional

Ketimpangan produktivitas regional harus dipandang bukan semata sebagai masalah, tetapi juga sebagai peluang untuk memperluas basis pertumbuhan Indonesia. Wilayah-wilayah dengan potensi sumber daya alam dan demografi muda dapat menjadi motor produktivitas baru jika mendapatkan dukungan kebijakan yang tepat.

Dalam jangka panjang, keberhasilan Indonesia mencapai pertumbuhan berbasis produktivitas (TFP-led growth) akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan pelaku industri untuk menciptakan ekonomi yang terintegrasi antarwilayah, di mana produktivitas di satu daerah dapat memperkuat daya saing nasional secara keseluruhan.

 

 

Implikasi Kebijakan dan Arah Strategis Produktivitas Nasional

Peningkatan produktivitas nasional bukan sekadar agenda ekonomi, melainkan fondasi strategis bagi ketahanan dan keberlanjutan pembangunan Indonesia. Hasil analisis terhadap pola pertumbuhan dan produktivitas selama lima dekade terakhir menunjukkan bahwa tanpa transformasi mendasar, Indonesia berisiko terjebak dalam “middle productivity trap”—yakni kondisi di mana pertumbuhan ekonomi berjalan tanpa peningkatan signifikan dalam efisiensi dan inovasi.

a. Pergeseran Menuju Pertumbuhan Berbasis Efisiensi

Kebijakan pembangunan selama ini berorientasi pada ekspansi input, dengan fokus pada peningkatan investasi, tenaga kerja, dan infrastruktur. Namun, hasilnya mulai menunjukkan batas efektivitas. Kunci pertumbuhan ke depan bukan lagi pada seberapa banyak faktor produksi ditambah, melainkan seberapa produktif faktor-faktor tersebut digunakan.

Transformasi menuju pertumbuhan berbasis efisiensi (TFP-led growth) menuntut perubahan paradigma dalam perencanaan pembangunan nasional. Pendekatan ini menempatkan inovasi, digitalisasi, dan penguatan SDM sebagai pilar utama. Pemerintah harus mendorong adopsi teknologi baru, efisiensi manajemen, serta kolaborasi lintas sektor agar peningkatan produktivitas dapat terjadi secara sistemik, bukan sporadis.

b. Penguatan Ekosistem Inovasi dan Teknologi

Produktivitas tidak akan tumbuh tanpa inovasi. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperkuat ekosistem riset dan pengembangan (R&D) yang terintegrasi dengan dunia industri. Saat ini, belanja riset nasional masih rendah, kurang dari 1% PDB dan sebagian besar penelitian belum berorientasi pada penerapan industri.

Langkah strategis yang dapat diambil antara lain:

  • Mendorong kolaborasi triple helix antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta,
  • Membangun pusat inovasi industri daerah (regional innovation hubs) untuk mempercepat transfer teknologi,
  • Memberikan insentif fiskal dan kemudahan regulasi bagi industri yang berinvestasi dalam inovasi, serta
  • Menumbuhkan wirausaha berbasis teknologi (tech-based entrepreneurship) untuk memperluas basis inovasi nasional.

Dengan ekosistem inovasi yang kuat, peningkatan produktivitas dapat berlangsung berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan global.

c. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia

SDM adalah faktor penentu produktivitas paling krusial. Peningkatan kualitas tenaga kerja tidak hanya bergantung pada pendidikan formal, tetapi juga pada kemampuan adaptasi, keterampilan teknis, dan literasi digital. Dalam konteks ini, sinergi antara dunia pendidikan, pelatihan kerja, dan industri menjadi sangat penting.

Program pendidikan vokasi dan upskilling–reskilling harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sektor produktif yang tengah tumbuh, seperti manufaktur berteknologi menengah-tinggi, energi terbarukan, dan ekonomi digital. Kebijakan ini juga harus mempertimbangkan kesenjangan regional agar daerah di luar Jawa dapat mengembangkan SDM berdaya saing tinggi sesuai potensi ekonominya.

d. Membangun Kelembagaan Produktivitas Nasional

Peningkatan produktivitas membutuhkan kelembagaan yang kuat, koordinatif, dan konsisten. National Productivity Master Plan menekankan pentingnya pembentukan mekanisme kelembagaan lintas sektor yang mengintegrasikan kebijakan produktivitas antara kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan dunia usaha.

Kelembagaan ini berfungsi untuk:

  • Menetapkan indikator produktivitas sektoral dan regional secara terukur,
  • Memantau implementasi kebijakan berbasis hasil (results-based management),
  • Menyediakan platform data produktivitas nasional sebagai acuan pengambilan keputusan, serta
  • Memfasilitasi pertukaran praktik terbaik antarwilayah dan industri.

Dengan tata kelola produktivitas yang kuat, kebijakan peningkatan efisiensi akan lebih terarah dan berdampak luas.

e. Menuju Visi Indonesia Emas 2045

Visi Indonesia Emas 2045 menempatkan produktivitas sebagai motor utama transformasi ekonomi nasional. Untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi, Indonesia harus menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 6% per tahun secara berkelanjutan—sesuatu yang hanya dapat dicapai jika kontribusi TFP meningkat secara signifikan.

Dengan demikian, arah strategis peningkatan produktivitas nasional harus berpijak pada empat prinsip utama:

  1. Efisiensi struktural, melalui transformasi sektor manufaktur dan modernisasi pertanian;
  2. Inovasi berkelanjutan, dengan memperkuat ekosistem riset dan teknologi domestik;
  3. Pemerataan produktivitas, dengan memperluas pusat pertumbuhan ke luar Jawa; dan
  4. Ketangguhan SDM dan kelembagaan, untuk memastikan produktivitas tumbuh stabil menghadapi dinamika global.

 

Transformasi produktivitas nasional adalah perjalanan panjang yang memerlukan komitmen lintas sektor dan lintas generasi. Indonesia kini berada pada titik penting: antara mempertahankan model pertumbuhan lama yang bergantung pada ekspansi input, atau melangkah ke arah baru, pertumbuhan berbasis produktivitas dan inovasi.

Dengan mengintegrasikan kebijakan industri, SDM, teknologi, dan wilayah dalam satu kerangka produktivitas nasional, Indonesia dapat membangun ekonomi yang efisien, inklusif, dan berdaya saing global. Inilah fondasi utama untuk mewujudkan cita-cita besar: Indonesia Emas 2045—sebuah bangsa yang makmur karena produktivitas, bukan sekadar karena pertumbuhan.

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2024). Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029. Jakarta: Bappenas.