Sebuah tinjauan literatur sistematis yang komprehensif telah memetakan kondisi terkini dan arah masa depan perawatan jalan kerikil, sebuah komponen infrastruktur yang sering kali terabaikan namun memegang peranan krusial dalam perekonomian global. Dipublikasikan dalam Transportation Research Record, penelitian yang meninjau 105 publikasi ini tidak hanya menyoroti tantangan yang ada, tetapi juga membuka tabir inovasi teknologi yang berpotensi merevolusi cara kita mengelola arteri vital pedesaan ini. Temuan ini menjanjikan efisiensi anggaran yang luar biasa, peningkatan keselamatan, dan keberlanjutan lingkungan yang lebih baik.
Jaringan Arteri Tersembunyi yang Menopang Perekonomian Global
Ketika kita membicarakan infrastruktur jalan, imajinasi kita sering kali tertuju pada jalan tol megah berlapis aspal mulus yang membelah kota-kota besar. Namun, di balik bayang-bayang kemegahan tersebut, terdapat jaringan jalan yang jauh lebih luas, sunyi, namun tak kalah vital: jalan kerikil. Penelitian ini membuka mata kita pada skala masif dari jaringan yang sering dianggap kelas dua ini. Fakta mengejutkan menunjukkan bahwa sekitar 35% dari total jaringan jalan publik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Swedia adalah jalan tak beraspal.1 Di Swedia, angkanya bahkan lebih dramatis, di mana jalan kerikil mencakup sekitar 75% dari seluruh jaringan jalan nasional.1
Jalan-jalan ini bukanlah sekadar jalur pedesaan yang sepi. Mereka adalah urat nadi perekonomian yang sesungguhnya, menjadi tulang punggung bagi sektor-sektor fundamental seperti pertanian, kehutanan, pariwisata, hingga layanan darurat seperti pemadam kebakaran dan tim penyelamat.1 Tanpa akses yang layak melalui jalan kerikil, rantai pasok pangan akan terganggu, hasil hutan tidak dapat diangkut, potensi wisata alam terisolasi, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan akan terhambat.
Di sinilah letak sebuah paradoks besar. Meskipun sering dikategorikan sebagai "jalan bervolume rendah" (low-volume roads), yang umumnya dilalui kurang dari 400 kendaraan per hari, dampak ekonomi dan sosial dari jalan-jalan ini justru sangat tinggi (high-impact).1 Kegagalan dalam merawat jalan ini dapat melumpuhkan seluruh ekosistem ekonomi lokal. Sayangnya, kondisi ini diperparah oleh fenomena yang dapat disebut sebagai "kebutaan infrastruktur". Para pembuat kebijakan dan lembaga pengelola jalan cenderung memfokuskan alokasi anggaran dan perhatian pada jalan raya utama di perkotaan, sementara jalan kerikil sering kali terabaikan.1 Kebutaan ini bukan hanya soal prioritas, tetapi juga soal data. Metode penilaian kondisi jalan kerikil yang selama ini dominan adalah inspeksi visual yang sangat subjektif.1 Akibatnya, tidak ada data kuantitatif yang kuat untuk dijadikan argumen dalam perebutan anggaran. Lingkaran setan pun terbentuk: tanpa data yang baik, tidak ada argumen kuat untuk investasi, dan tanpa investasi, kondisi jalan terus memburuk, memperdalam isolasi ekonomi pedesaan.
Wabah Kerusakan Sunyi: Debu, Lubang, dan Biaya Tersembunyi dari Metode Lama
Penelantaran sistematis terhadap jalan kerikil melahirkan wabah kerusakan yang dampaknya jauh melampaui sekadar ketidaknyamanan berkendara. Penelitian ini mengkatalogkan serangkaian "penyakit" kronis yang menggerogoti jalan-jalan ini, masing-masing dengan biaya tersembunyi yang sangat besar.
- Debu yang Mematikan: Debu yang beterbangan dari jalan kerikil bukan sekadar masalah kebersihan. Partikel halus ini mencemari udara dan air, memicu masalah pernapasan serius pada manusia dan hewan, serta menurunkan produktivitas lahan pertanian dengan menghalangi proses fotosintesis pada tanaman.1 Lebih jauh lagi, debu mengurangi jarak pandang secara drastis, menjadi salah satu penyebab utama kecelakaan lalu lintas di area pedesaan. Studi ini mengutip estimasi biaya kerusakan lingkungan dan kesehatan akibat debu yang mencapai angka USD 1.510 per kilometer setiap tahunnya—sebuah beban ekonomi yang sering kali tidak terhitung.1
- Lubang dan Keriting sebagai Ancaman Keselamatan: Lubang (potholes) di jalan kerikil lebih dari sekadar gangguan. Lubang dengan kedalaman lebih dari 10 cm merupakan indikasi adanya kegagalan struktural pada fondasi jalan dan menjadi ancaman keselamatan yang nyata bagi pengendara.1 Sementara itu, permukaan jalan yang bergelombang seperti papan cuci (corrugation atau washboarding) tidak hanya membuat perjalanan sangat tidak nyaman, tetapi juga dapat menyebabkan pengemudi kehilangan kendali atas kendaraannya, terutama pada kecepatan tinggi.1
- Alur dan Kehilangan Material: Lalu lintas kendaraan, terutama yang berat, akan mendorong material kerikil ke sisi jalan, menciptakan alur (rutting). Alur ini berfungsi seperti selokan kecil yang menahan air, mempercepat proses erosi, dan melemahkan struktur jalan secara keseluruhan.1 Setiap butir kerikil yang hilang adalah kerugian permanen, karena kerikil merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Praktik perawatan konvensional seperti perataan (blading) dan pelapisan ulang (re-gravelling) yang dilakukan terus-menerus pada dasarnya hanya mempercepat penipisan sumber daya alam yang berharga ini.1
Akar dari semua masalah ini adalah ketergantungan pada metode perawatan yang reaktif dan subjektif. Keputusan perbaikan sering kali didasarkan pada keluhan warga atau pertimbangan politik, bukan pada analisis data yang objektif.1 Pendekatan "yang paling parah, diperbaiki lebih dulu" (worst first) ini secara fundamental tidak efisien. Biaya untuk memperbaiki kerusakan yang sudah parah jauh lebih mahal daripada melakukan intervensi pencegahan sejak dini. Studi ini menegaskan sebuah prinsip krusial: "biaya dari perawatan yang buruk bahkan lebih besar" daripada biaya perawatan rutin itu sendiri.1 Biaya tersembunyi—seperti peningkatan biaya operasional kendaraan, kerusakan kargo, hilangnya waktu produktif, dan dampak kesehatan—jauh melampaui angka yang tertera dalam anggaran perawatan jalan.
Fajar Era Baru: Bagaimana Ponsel Pintar dan Drone Mengubah Cara Kita "Membaca" Jalan
Di tengah tantangan yang tampak suram, penelitian ini menyoroti fajar era baru yang didorong oleh teknologi. Konsep "Maintenance 4.0", yang merupakan aplikasi dari Revolusi Industri 4.0, menjanjikan pergeseran paradigma dari perawatan yang reaktif menjadi prediktif dan proaktif, semuanya digerakkan oleh data.1 Teknologi yang dulunya dianggap fiksi ilmiah kini menjadi alat praktis yang dapat mengubah cara kita "membaca" dan merawat jalan.
Informasi yang sebelumnya tersembunyi dalam laporan teknis yang rumit kini diubah menjadi narasi yang dapat diakses. Bayangkan setiap kendaraan yang melintas di jalan pedesaan berubah menjadi sensor berjalan. Inilah yang dimungkinkan oleh aplikasi ponsel pintar seperti Roadroid, yang menggunakan sensor akselerometer di dalam ponsel untuk mengukur tingkat kekasaran dan getaran permukaan jalan secara objektif.1 Data ini dapat dikumpulkan secara massal dan real-time, memberikan gambaran kondisi jalan yang jauh lebih akurat daripada inspeksi visual sesekali.
Teknologi lain yang menjadi sorotan utama adalah penggunaan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau drone. Sebuah studi oleh Zhang dan Elaksher pada tahun 2012, yang menjadi salah satu publikasi paling berpengaruh dengan 190 kutipan, menunjukkan bagaimana drone dapat digunakan untuk menciptakan model tiga dimensi (3D) permukaan jalan dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi.1 Ini seperti beralih dari sekadar melihat foto jalan yang buram menjadi melakukan pemindaian MRI yang mendetail, memungkinkan identifikasi dini terhadap retakan, lubang, dan deformasi lainnya.
Inovasi tidak berhenti di situ. Para peneliti bahkan telah mengembangkan metode untuk "mendengarkan" kondisi jalan. Dengan menganalisis data akustik—yaitu, suara kerikil yang menghantam bagian bawah mobil—mereka dapat secara objektif mengklasifikasikan jumlah kerikil lepas di permukaan jalan.1 Ini adalah metode yang sangat hemat biaya dan efisien untuk mendiagnosis salah satu masalah paling umum pada jalan kerikil. Teknologi yang lebih canggih seperti LiDAR (pemindai laser) dan Ground-Penetrating Radar (GPR) bahkan memungkinkan kita untuk "melihat" ke bawah permukaan jalan, menilai kondisi struktural dan lapisan fondasi tanpa perlu melakukan penggalian.1
Kemunculan teknologi ini membawa implikasi yang mendalam: demokratisasi data infrastruktur. Pengumpulan data kondisi jalan tidak lagi menjadi monopoli lembaga pemerintah atau kontraktor besar dengan peralatan mahal. Melalui pendekatan participatory sensing (penginderaan partisipatif), di mana pengguna jalan biasa dapat berkontribusi data melalui ponsel pintar mereka, atau dengan melengkapi armada kendaraan lokal (seperti truk perusahaan kayu atau mobil dinas pertanian) dengan sensor sederhana, kita dapat membangun sistem pemantauan yang jauh lebih komprehensif, cepat, dan murah.1 Hal ini tidak hanya akan menghasilkan data yang lebih kaya, tetapi juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah kepada warganya.
Mengapa Ini Penting? Dampak Nyata di Balik Inovasi Teknologi
Penerapan Metode Berbasis Data (Data-Driven Methods atau DDM) bukan hanya soal kecanggihan teknologi, melainkan tentang dampak nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Manfaatnya merentang dari penghematan anggaran negara hingga peningkatan kualitas hidup di pedesaan.
Pertama, DDM memungkinkan perencanaan perawatan yang optimal. Alih-alih mengandalkan jadwal yang kaku atau menunggu laporan kerusakan, pengelola jalan dapat mengetahui secara presisi tindakan apa yang perlu diambil, kapan waktu yang paling tepat untuk melakukannya, dan di lokasi mana intervensi tersebut akan memberikan dampak terbesar.1 Dengan memprediksi kerusakan sebelum menjadi parah, biaya siklus hidup jalan dapat ditekan secara signifikan. Ini adalah pergeseran dari sekadar "menghabiskan anggaran" menjadi "melakukan investasi cerdas" dalam aset infrastruktur.
Kedua, data objektif membuka pintu bagi model kontrak yang revolusioner, yaitu Performance-Based Contracting (PBC) atau Kontrak Berbasis Kinerja. Dalam model tradisional, kontraktor dibayar berdasarkan volume pekerjaan yang mereka lakukan (misalnya, berapa kilometer jalan yang diratakan). Dalam PBC, kontraktor dibayar berdasarkan hasil atau kinerja yang mereka capai, misalnya, memastikan tingkat kekasaran jalan tetap berada di bawah ambang batas tertentu selama periode kontrak.1 Skema ini mendorong kontraktor untuk lebih inovatif dan efisien dalam bekerja, karena mereka berbagi risiko dan bertanggung jawab atas hasil akhir, bukan hanya proses.
Lebih jauh lagi, implementasi DDM secara efektif menciptakan "kembaran digital" (digital twin) dari jaringan jalan. Jaringan jalan tidak lagi dipandang sebagai sekumpulan aset fisik yang statis, tetapi sebagai aset data yang dinamis dan hidup.1 Data yang terus mengalir dari berbagai sensor dapat dimasukkan ke dalam model prediksi untuk melakukan simulasi, meramalkan tingkat kerusakan di masa depan, dan mengoptimalkan strategi perawatan jangka panjang.1 Ini adalah perubahan paradigma fundamental: pengelola jalan tidak lagi hanya mengelola kerikil dan tanah, tetapi mereka mengelola sistem informasi. Potensi yang terbuka sangat besar, mulai dari optimisasi rute logistik berdasarkan kondisi jalan real-time hingga pembuatan keputusan investasi yang jauh lebih rasional, seperti kapan waktu yang tepat untuk meningkatkan jalan kerikil menjadi jalan beraspal ringan seperti Otta seal.1
Kritik Realistis: Jalan Terjal Menuju Modernisasi
Meskipun prospeknya sangat cerah, transisi menuju manajemen jalan berbasis data bukanlah tanpa hambatan. Penelitian ini secara jujur memaparkan sejumlah tantangan signifikan yang harus diatasi.
Hambatan terbesar adalah finansial. Biaya investasi awal untuk membeli peralatan canggih, mengembangkan perangkat lunak, dan melatih personel bisa sangat tinggi, terutama bagi pemerintah daerah atau komunitas kecil dengan anggaran yang sangat terbatas.1 Ini menciptakan sebuah paradoks yang ironis: pihak yang paling membutuhkan efisiensi dari teknologi ini justru yang paling tidak mampu untuk berinvestasi di dalamnya.
Selain itu, terdapat jurang yang lebar antara penelitian akademis yang menjanjikan dengan implementasi praktis di lapangan. Sebagian besar metode objektif yang dibahas dalam literatur masih berada pada tahap prototipe atau pengembangan konsep, dan belum siap untuk diadopsi secara massal.1 Keberhasilan adopsi juga sangat bergantung pada faktor non-teknis, seperti komitmen dari manajemen puncak dan kemauan politik untuk mengubah budaya kerja yang sudah mapan. Tanpa dukungan ini, proyek-proyek inovatif berisiko menjadi pajangan semata.1
Tantangan lain terletak pada data itu sendiri. Kualitas data yang buruk, ketiadaan data historis yang dapat diandalkan, serta isu privasi dan keamanan data (terutama dalam skema participatory sensing) merupakan rintangan teknis dan etis yang harus ditangani dengan serius.1
Namun, salah satu temuan yang paling mengkhawatirkan dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan geografis yang tajam dalam riset. Mayoritas penelitian (lebih dari 50%) terkonsentrasi di Amerika Utara (khususnya AS) dan Eropa Utara (khususnya Swedia), sementara publikasi dari Asia dan Amerika Selatan hampir tidak ditemukan.1 Ini bukan sekadar catatan akademis; ini adalah sinyal peringatan dini akan munculnya "kesenjangan digital infrastruktur" global. Negara-negara yang sudah maju dalam penelitian akan lebih cepat menuai manfaat ekonomi dari DDM, sementara negara-negara berkembang, yang ekonominya sangat bergantung pada jalan pedesaan, berisiko semakin tertinggal. Solusi yang dikembangkan di iklim Swedia mungkin tidak relevan untuk kondisi tropis di Indonesia tanpa adanya penelitian dan adaptasi lokal. Ketiadaan riset lokal akan menghambat lahirnya solusi yang sesuai, menciptakan siklus keterbelakangan infrastruktur yang sulit dipatahkan.
Peta Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Mulus
Tinjauan literatur ini melukiskan gambaran yang jelas: kita berada di titik krusial dalam sejarah pengelolaan infrastruktur. Kita telah bergerak dari mengabaikan jalan kerikil, menyadari kegagalan metode lama, menemukan solusi teknologi yang revolusioner, hingga memahami potensi dan tantangan yang menyertainya. Jalan ke depan menuntut lebih dari sekadar teknologi; ia menuntut kolaborasi.
Rekomendasi utama dari penelitian ini adalah perlunya kemitraan yang lebih erat antara para peneliti, pemerintah di semua tingkatan, sektor swasta, dan masyarakat lokal.1 Kemitraan semacam ini adalah kunci untuk mengatasi hambatan biaya melalui skema pendanaan bersama, serta untuk memastikan bahwa solusi yang dikembangkan benar-benar menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
Masa depan perawatan jalan kerikil tidak lagi terletak pada lebih banyak truk atau lebih banyak kerikil, tetapi pada data yang lebih cerdas. Dengan merangkul revolusi digital ini, kita memiliki kesempatan untuk mengubah jalanan yang terlupakan menjadi jaringan infrastruktur yang efisien, tangguh, dan berkelanjutan. Jika diterapkan secara luas, pendekatan berbasis data ini berpotensi menghemat anggaran publik dalam jumlah masif dalam dekade mendatang, secara drastis mengurangi jejak karbon dari kegiatan perawatan infrastruktur, dan yang terpenting, membuka potensi ekonomi penuh bagi jutaan masyarakat pedesaan yang selama ini terhubung oleh jalanan yang rapuh.
Sumber Artikel:
Mbiyana, K., Kans, M., Campos, J., & Håkansson, L. (2022). Literature Review on Gravel Road Maintenance: Current State and Directions for Future Research. Transportation Research Record, 2677(5), 506–522. https://doi.org/10.1177/03611981221133102