Sosial & Tenaga Kerja
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 25 September 2025
Bayangkan sebuah skenario sederhana: Anda seorang montir hebat dari Jawa Tengah yang diterima kerja di Kuala Lumpur. Sudah dua tahun terbang tinggi menyalurkan keterampilan, tapi tiba-tiba bos baru minta bukti sertifikat kompetensi Anda. Surat rekomendasi bos lama ada, portofolio proyek ada, tapi kenapa tetap ditolak karena “sistim kami tak kenal itu”? Kisah seperti ini nyata terjadi pada tenaga kerja migran. Keterampilan yang kita bangun di satu negara, tidak selalu diakui begitu saja di negara tetangga. Pengalaman sehari-hari ini mengawali diskusi tentang bagaimana ASEAN mencoba merajut jembatan pengakuan skill antarbatas negara. Saya terinspirasi membaca paper Surono Surono dan Tetty Ariyanto (2024) yang membahas tuntas isu “How Can ASEAN Improve the Skills Recognition Framework for Migrant Workers?”. Hasil risetnya mengejutkan sekaligus membuka mata betapa pentingnya pengakuan kompetensi lintas negara bagi ekonomi kita[1][2].
Studi Ini Mengubah Cara Kita Melihat Pekerjaan Lintas Negara
Studi akademik ini menggunakan metode kualitatif berupa Research & Development dengan pendekatan studi kasus etnografi. Artinya, mereka menyelami implementasi Kerangka Pengakuan Keterampilan ASEAN (ASEAN Skills Recognition Framework, SRF) di lapangan[3]. Hasilnya? Ada kabar baik dan pelajaran penting. Di satu sisi, banyak negara ASEAN sudah menyelaraskan kerangka kualifikasi nasional mereka dengan Kerangka Referensi Kualifikasi ASEAN (AQRF). Jadi, sertifikat keterampilan seseorang secara teori lebih mudah “diterjemahkan” ke standar regional[3][2]. Ini seperti memiliki KTP keterampilan yang berlaku di banyak negara.
Namun, studi ini juga menemukan hambatan berat: “variabilitas dalam sistem pengakuan, kesadaran yang rendah, dan proses yang kompleks masih menghambat potensi kerangka ini”[4]. Artinya, banyak perbedaan aturan antarnegara, orang belum tahu prosedur pengakuan skill, dan birokrasi masih ribet. Dalam kenyataan sehari-hari, ini bisa bikin pegal-pegel: misalnya seorang perawat Filipina yang jago, tapi sertifikatnya dianggap “kurang relevan” di Malaysia, atau tukang las Indonesia yang dianggap belum berpengalaman karena tidak lulus ujian kompetensi setempat.
Penelitian ini menyoroti beberapa temuan kunci yang benar-benar bisa mengubah cara kita membaca data:
Penjelasan di atas tentu masih terlalu kering tanpa konteks. Lebih baik kita lihat data real: pernah ada temuan bahwa jika sertifikat kompetensi diakui di banyak negara, mobilitas tenaga kerja yang terampil meningkat tajam[2]. Organisasi seperti ILO bahkan menekankan bahwa pengakuan keterampilan dapat memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dan menguntungkan pekerja, perusahaan, serta perekonomian negara[1]. Bayangkan, jika ada sinkronisasi keterampilan ini, Indonesia misalnya bisa mendapat lebih banyak insinyur dan pengrajin handal dari tetangga, tanpa kendala administrasi. Ekonomi ASEAN pun ikut untung karena sumber daya manusia jadi optimal.
Apa yang Bikin Saya Terkejut
Membaca studi ini, ada beberapa poin yang benar-benar bikin saya mengangguk heran (dalam arti positif!). Pertama, betapa kompleksnya proses pengakuan keterampilan migran. Faktanya, lembaga sertifikasi di tiap negara kadang kewalahan dengan beban administratif dan bahkan hambatan bahasa[7]. Ternyata ada kasus di mana bukti pelatihan dan pengalaman kerja seorang migran sulit dilacak karena data ada dalam bahasa lokal atau sistem arsip tak terintegrasi.
Kedua, pendekatan penelitian mereka menunjukkan betapa kaya perspektif sosio-kultural yang diperlukan. Saya kaget penelitian ini menggunakan kerangka serupa etnografi: mewawancarai pembuat kebijakan, sertifikasi, dan tentu saja pekerja migran sendiri di beberapa negara[4]. Dari sudut pandang orang awam seperti saya, ini menegaskan: kebijakan bukan cuma angka, tapi pengalaman nyata orang di lapangan. Analisisnya agak akademis, ya, tapi sangat membuka wawasan. Mungkin bagi yang belum akrab dengan istilah RPL atau AQRF, ini akan terasa berat. Sebagai catatan, formulasi seperti “melakukan penilaian kompetensi berbasis pekerjaan” mungkin bikin dahi berkerut bagi pendatang baru. Tapi keseluruhan paparan mereka dibuat agar kita “mempunyai roadmap” yang jelas untuk perbaikan kebijakan.
Ketiga, yang tak kalah mengagetkan: rekomendasi kebijakan praktisnya. Mereka menekankan “standarisasi dan pelatihan”[6]. Misalnya, menyelenggarakan lokakarya untuk sertifikasi agar penyelenggara lebih siap mengurus dokumen migran, atau membangun sistem informasi yang transparan agar semua bisa melihat status sertifikat secara daring[6]. Saya tiba-tiba berpikir, bagaimana kalau setiap pekerja migran punya akun portal skill? Ini super modern. Inovasi itu keren, tapi di Indonesia kita masih kesulitan akses e-governance; implementasinya mungkin harus bertahap.
Namun, dari semua yang hebat itu, ada kritik kecil dalam hati saya: pendekatan studinya terlalu teoritis untuk awam. Frasa seperti “mengintegrasikan kurikulum TVET dengan asesmen berbasis kompetensi”[8] memang penting, tapi butuh penerjemahan ke bahasa sehari-hari. Mungkin riset ini akan lebih ‘nendang’ kalau ada contoh studi kasus negara contohnya: misal pekerja migran di sektor apa yang paling terbantu, atau kisah nyata migran yang “dimekarkan sayapnya” dengan framework ini. Kritik lainnya: karena fokusnya ASEAN, detail soal perbedaan birokrasi tiap negara terkadang menurut saya kurang digali. Mungkin saya berharap ada wawancara dengan pekerja migran di sana-sini.
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Setelah tahu apa saja yang terjadi di tingkat ASEAN, pertanyaan saya: Apa artinya bagi kita sebagai individu atau perusahaan? Ternyata cukup banyak pelajaran praktis. Misalnya, sebagai pekerja kita jadi sadar pentingnya mendokumentasikan setiap kursus atau pengalaman kerja. Ikut kursus tidak hanya buat resume, tapi bisa jadi modal RPL di luar negeri. Perusahaan juga perlu “sokong” karyawannya, misal dengan mendaftarkan sertifikasi secara internasional, karena itu meningkatkan daya saing talent mereka.
Kalau saya bekerja di sektor pendidikan vokasi atau pelatihan, ini berarti konten kursus harus standar ASEAN. Metode “ajar di sini, validasi di sana” harus dibangun. Salah satu rekomendasi mereka adalah merumuskan standar TVET di tiap bidang[9]. Bayangkan kurikulum teknologi informasi kita dikaitkan dengan standar serupa di ASEAN: lulusan Indonesia lebih mudah diterima perusahaan-perusahaan Malaysia atau Filipina.
Berikut beberapa tindakan ringan yang bisa diambil sekarang:
Opini pribadi saya, langkah-langkah rekomendasi studi ini idealnya dibarengi semangat “gotong-royong ASEAN”. Misalnya, pembuatan portal online yang menampung database sertifikasi tenaga kerja migran bisa jadi proyek bersama Kementerian Ketenagakerjaan dengan ASEAN. Sedikit kritik kecil lagi: kebijakan keren tanpa dukungan teknologi tidak berjalan sempurna. Mereka sendiri menyebut perlu riset lebih lanjut soal peran teknologi dalam pengakuan keterampilan[6]. Ini kesempatan kita untuk mendorong Smart ASEAN, seperti blockchain skill certificate yang sedang tren.
Jika semua skema ini berjalan, dampaknya nyata: tenaga kerja migran Indonesia di Malaysia atau Singapura misalnya bisa menyelesaikan proses pengakuan kemampuannya lebih cepat. Tidak perlu lagi buang waktu dan biaya untuk “kegiatan uji sertifikasi ulang” yang sebenarnya mirip dengan yang sudah diikuti. Dampak ekonomi makro: produksi dan proyek bisa dipercepat karena tenaga kerja tepat guna langsung dimanfaatkan. Dari perspektif sosial, pekerja merasa dihargai, tidak terjebak “underutilized” skill.
Sebagai simpulan kecil, studi Surono & Ariyanto ini layak mendapat perhatian karena menghubungkan masalah teknis kebijakan ASEAN dengan cerita manusia di lapangan. Meskipun bahasanya agak akademis untuk pembaca awam, esensinya sangat relatable. Banyak hal di sini yang bisa kita pikirkan ulang dalam konteks karier dan pelatihan kerja kita. Saya pribadi jadi makin sadar, bahwa globalisasi bukan cuma bicara bebas barang, tapi juga tentang pengakuan mutu sumber daya manusia antarnegara.
Jika Anda penasaran lebih dalam tentang kerangka pengakuan keterampilan ini atau butuh data sahih untuk diskusi kebijakan, silakan baca paper aslinya. Banyak detail dan analisis yang bermanfaat di sana. Baca paper aslinya di sini untuk memahami seluk-beluk SRF secara penuh.
Teknologi & Industri
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 25 September 2025
Paper ini ditulis oleh Federico Agostini sebagai bagian dari tesis master di Università degli Studi di Padova, dengan judul lengkap Industrial Application of Machine Learning: Predictive Maintenance for Failure Detection. Penelitian ini menjadi salah satu referensi menarik di bidang predictive maintenance (perawatan prediktif) karena membahas penerapan machine learning (pembelajaran mesin) dalam mendeteksi potensi kerusakan mesin industri sebelum benar-benar terjadi.
Predictive maintenance (sering disingkat PdM) merupakan strategi perawatan mesin yang memanfaatkan data sensor, alarm, dan laporan teknisi untuk memprediksi kapan kerusakan akan muncul. Konsep ini sangat relevan di era Industry 4.0, yaitu fase revolusi industri keempat yang ditandai dengan integrasi teknologi digital, Internet of Things (IoT), big data, kecerdasan buatan, dan sistem otonom dalam dunia produksi.
Kalau di masa lalu industri masih mengandalkan run-to-failure (R2F), yaitu menunggu mesin rusak dulu baru diperbaiki, atau preventive maintenance (PvM), yaitu mengganti komponen secara terjadwal meskipun kadang masih layak pakai, kini PdM hadir sebagai jalan tengah. PdM memungkinkan perusahaan mengoptimalkan umur pakai komponen, menekan downtime, dan mengurangi biaya karena maintenance hanya dilakukan saat memang ada indikasi kerusakan nyata.
Nah, di sinilah machine learning masuk. Algoritma ML bisa belajar dari data sensor, log alarm, hingga laporan teknisi untuk mengenali pola kerusakan yang sering tersembunyi atau tidak kasat mata. Agostini dalam papernya menguji beberapa pendekatan populer, seperti XGBoost, Long-Short Term Memory (LSTM), model NLP (Natural Language Processing), ensemble model, hingga BERT (Bidirectional Encoder Representations from Transformers) untuk data teks. Selain itu, paper ini juga membahas implementasi pipeline berbasis AWS (Amazon Web Services) untuk deployment skala industri.
Dataset dan Kompleksitas Data Industri
Dataset yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari perusahaan besar di bidang refrigeration system atau sistem pendingin. Data ini mencakup:
Bayangin aja, data sebanyak ini sangat noisy (banyak gangguan atau error). Misalnya, laporan teknisi sering bercampur antara kerusakan serius dan hal remeh kayak lampu mati. Ada juga masalah delay: laporan teknisi kadang ditulis berhari-hari atau berbulan-bulan setelah kejadian. Jadi, tantangan besar penelitian ini bukan cuma bikin model prediksi, tapi juga membersihkan dan menyatukan data supaya lebih usable.
Agostini melakukan Exploratory Data Analysis (EDA) untuk memahami pola dasar. Hasilnya menunjukkan bahwa tiap fasilitas punya perilaku alarm yang unik. Artinya, mesin di lokasi A bisa sering memicu alarm tertentu, sementara di lokasi B tidak. Hal ini bikin sulit bikin satu model generik untuk semua fasilitas. Solusi yang diusulkan adalah menambahkan variabel lokasi dalam model agar algoritma bisa belajar perbedaan karakteristik antar fasilitas.
Pendekatan Machine Learning untuk Failure Prediction
XGBoost: Simple tapi Powerful
XGBoost (Extreme Gradient Boosting) adalah algoritma berbasis decision tree yang sering jadi andalan di kompetisi data science. Model ini terbukti unggul dalam penelitian Agostini. Dengan threshold probabilitas 0,3, XGBoost mampu mendeteksi sekitar 70% kasus kerusakan dengan tingkat false alarm sekitar 35%.
Kalau threshold diturunkan ke 0,1, hampir semua kerusakan bisa terdeteksi (recall tinggi), tapi trade-off-nya false positives melonjak. Bagi industri, ini berarti dilema klasik: apakah mau lebih aman dengan biaya maintenance lebih besar, atau lebih hemat dengan risiko ada kerusakan yang lolos.
Kekuatan XGBoost ada pada kemampuannya menangani data besar, tidak butuh asumsi distribusi data, dan relatif mudah diinterpretasi. Buat perusahaan yang butuh solusi praktis, ini sangat relevan.
LSTM: Harapan yang Gagal
Long-Short Term Memory (LSTM) adalah arsitektur neural network khusus untuk time series. Harapannya, LSTM bisa menangkap pola jangka panjang dari data alarm. Tapi, hasil di paper ini justru mengecewakan.
Model LSTM hanya menghasilkan AUC di bawah 0,5, artinya prediksinya bahkan lebih buruk dari tebak random. Kenapa bisa begitu? Karena kerusakan mesin di dataset ini ternyata bukan pola bertahap, tapi lebih sering muncul mendadak. Jadi, mencoba memprediksi dengan mengandalkan memori jangka panjang justru membuat model salah interpretasi.
Pelajaran penting: jangan asal pakai deep learning kalau tidak sesuai karakter data. Banyak praktisi industri terlalu cepat mengadopsi neural network, padahal model berbasis tree kayak XGBoost bisa jauh lebih robust.
NLP-like Model: Alarm Sebagai Bahasa
Agostini juga mencoba pendekatan kreatif dengan memperlakukan urutan alarm seperti kalimat. Jadi, tiap ID alarm dianggap kata, dan rangkaian alarm dianggap dokumen.
Sayangnya, pendekatan ini gagal. AUC model hanya sekitar 0,576. Hal ini bisa dipahami karena alarm sequence tidak punya kekayaan semantik seperti bahasa alami. Dengan kata lain, alarm ID bukanlah kata dengan makna, melainkan hanya sinyal teknis.
Ensemble LSTM + XGBoost
Kombinasi LSTM dan XGBoost diuji untuk melihat apakah dua pendekatan bisa saling melengkapi. Skemanya: LSTM memprediksi alarm esok hari, lalu hasil prediksi dipakai XGBoost untuk menentukan ada kerusakan atau tidak.
Hasilnya? AUC sekitar 0,66, alias lebih buruk dari XGBoost sendiri. Walau LSTM punya MAE (Mean Absolute Error) rendah dalam memprediksi jumlah alarm, tapi begitu digabung dengan XGBoost, performanya drop.
Artinya, ensemble ini tidak memberikan sinergi karena noise data dan imbalance class terlalu besar. Meski begitu, ide ensemble tetap menarik untuk dieksplorasi dengan teknik balancing data yang lebih baik.
Analisis Ticket Maintenance dengan Natural Language Processing (NLP)
Selain alarm, paper ini juga mengulik laporan teknisi. Data ini berupa teks pendek yang menjelaskan jenis masalah.
Unsupervised Approach: LDA, Doc2Vec, dan BERT
Kesimpulan: unsupervised NLP tidak efektif untuk ticket pendek.
Supervised Approach: SpectrumBoost vs BERT
Karena unsupervised gagal, penulis beralih ke supervised classification dengan 3 kategori kerusakan paling sering:
Dua metode dibandingkan:
Pelajaran praktis: jangan langsung pakai model mahal kayak BERT kalau datanya tidak cocok. Kadang metode lebih ringan justru lebih efektif dan efisien.
AWS Pipeline: Dari Riset ke Implementasi Nyata
Salah satu kontribusi penting paper ini adalah gambaran pipeline AWS (Amazon Web Services) untuk deployment predictive maintenance secara otomatis.
Alurnya:
Dengan pipeline ini, predictive maintenance bisa berjalan otomatis tanpa campur tangan manusia. Ini penting buat perusahaan dengan ribuan mesin tersebar, karena manual monitoring jelas tidak mungkin.
Kritik, Opini, dan Relevansi Dunia Nyata
Kesimpulan
Resensi ini menegaskan bahwa penelitian Agostini sangat aplikatif dan relevan dengan kebutuhan industri. Beberapa poin kunci yang bisa diambil:
Bagi perusahaan, temuan ini bisa langsung diadopsi untuk optimasi maintenance, mengurangi downtime, dan menekan biaya operasional. Inilah bukti nyata bagaimana machine learning bukan hanya jargon, tapi solusi konkret di era Industry 4.0.
Teknologi Industri & AI
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 25 September 2025
Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan (sering disingkat AI) makin lama makin jadi tulang punggung dalam industri berat, termasuk sektor energi dan perminyakan. Salah satu area yang sering dianggap “kurang sexy” tapi ternyata punya dampak besar adalah pompa lumpur (mud pump) dalam operasi pengeboran minyak dan gas. Pompa lumpur ini bisa dibilang adalah jantung sistem sirkulasi di rig pengeboran. Tesis karya Faraz Feizi (2022) dengan judul Artificial Intelligence-based Approach for Predicting Mud Pump Failures mencoba mengupas bagaimana AI bisa dipakai buat memprediksi kegagalan pompa lumpur dengan cara yang lebih sederhana, murah, tapi tetap efektif.
Kenapa topik ini penting? Karena pompa lumpur itu kalau rusak, seluruh operasi pengeboran bisa berhenti total. Bayangin aja, biaya sewa rig pengeboran bisa mencapai jutaan dolar per hari. Kalau pompa rusak, maka semua orang di lokasi harus menunggu sampai diperbaiki. Waktu tunggu inilah yang dalam industri dikenal dengan istilah Non-Productive Time (NPT), alias waktu terbuang yang bikin biaya meroket tanpa hasil apa pun. Selain kerugian finansial, ada juga risiko HSE (Health, Safety, and Environment), yaitu kesehatan, keselamatan kerja, dan dampak lingkungan. Jadi jelas, topik ini bukan cuma soal hemat duit, tapi juga soal keselamatan pekerja dan keberlanjutan operasi.
Latar Belakang: Masalah di Lapangan yang Mendorong Penelitian
Dalam operasi pengeboran, downtime akibat kegagalan mekanis adalah penyebab utama keterlambatan proyek. Feizi menyoroti bahwa pompa lumpur sering jadi sumber masalah karena sifat kerjanya yang berat. Pompa ini harus terus mengalirkan lumpur bor bertekanan tinggi untuk melumasi mata bor, menjaga lubang tetap stabil, dan mencegah ledakan akibat tekanan bawah tanah yang abnormal.
Masalah muncul karena komponen pompa lumpur sering aus atau gagal. Beberapa contoh umum adalah kegagalan katup (valve failure), piston rusak, liner aus, hingga kerusakan pada seat (tempat dudukan katup). Kalau salah satu komponen ini gagal, tekanan dan aliran lumpur langsung terganggu. Akibatnya operasi harus berhenti, bahkan kadang bisa memicu kegagalan berantai pada komponen lain.
Tradisi lama dalam industri adalah pakai perawatan reaktif (reactive maintenance), yaitu baru diperbaiki kalau sudah rusak. Metode ini jelas bikin biaya jadi tinggi. Ada juga preventive maintenance (perawatan pencegahan), misalnya ganti suku cadang setiap periode tertentu. Tapi masalahnya, jadwal ini kadang terlalu cepat (jadi boros biaya) atau malah terlambat (sehingga kegagalan tetap terjadi).
Nah, di sinilah masuk konsep Predictive Maintenance (PdM), yaitu pendekatan perawatan prediktif yang mencoba memperkirakan kapan sebuah komponen akan gagal dengan cara memonitor kondisi real-time. PdM memanfaatkan data, model matematis, hingga teknologi AI untuk “membaca tanda-tanda kerusakan” sebelum benar-benar rusak.
Tujuan Tesis Feizi
Feizi menetapkan beberapa tujuan jelas dalam penelitiannya.
Ambisi ini menarik karena biasanya prediksi kegagalan butuh banyak parameter dan sensor canggih. Feizi justru ingin membuktikan bahwa dengan data sederhana tapi relevan, AI bisa bekerja efektif.
Metodologi: Cara Penelitian Dijalankan
Metodologi yang dipakai Feizi lumayan sistematis dan praktis, mencerminkan pendekatan yang bisa langsung diadaptasi di lapangan.
1. Akuisisi Data
Data dikumpulkan dari dua sumber utama:
2. Persiapan Data
Data mentah sering punya masalah kayak noise, data hilang, atau outlier. Jadi Feizi melakukan preprocessing untuk memastikan data bisa dipakai.
3. Identifikasi Indikator Kondisi
Feizi berfokus pada indikator sederhana: tekanan dan aliran. Ide dasarnya adalah bahwa kegagalan komponen pompa pasti memunculkan pola anomali di tekanan atau aliran. Misalnya, kalau katup bocor, tekanan akan menurun meskipun flow rate tetap.
4. Pembuatan Model AI
Feizi menggunakan MATLAB Classification Learner dan Diagnostic Feature App untuk membangun model klasifikasi berbasis supervised machine learning. Artinya, model dilatih dengan data yang sudah diberi label “sehat” atau “gagal” berdasarkan catatan historis.
5. Validasi dengan Studi Kasus
Model kemudian diuji dengan data historis untuk melihat apakah benar bisa mendeteksi pola kegagalan sebelum terjadi kerusakan besar.
Hasil Utama: Apa yang Ditemukan?
Ada beberapa temuan penting dari penelitian ini:
Temuan ini memperkuat argumen bahwa kesederhanaan kadang lebih baik. Daripada investasi sensor mahal, cukup gunakan data yang sudah ada lalu olah dengan AI.
Analisis Praktis: Implikasi di Dunia Nyata
1. Penghematan Biaya
Setiap jam downtime di rig pengeboran bisa bernilai ribuan hingga jutaan dolar. Kalau AI bisa mendeteksi kegagalan lebih awal, biaya NPT bisa ditekan drastis.
2. Keselamatan dan Lingkungan
Pompa lumpur gagal bukan cuma soal downtime, tapi juga risiko HSE. Misalnya kalau lumpur tidak cukup menahan tekanan, bisa terjadi blowout yang berbahaya. Prediksi dini berarti risiko bisa diminimalkan.
3. Implementasi Sederhana
Karena hanya pakai sensor SPP dan flow rate, model ini bisa diadopsi tanpa perlu investasi besar. Ini penting buat perusahaan yang ingin hasil cepat tanpa biaya tambahan tinggi.
Kritik terhadap Penelitian
Walaupun menjanjikan, ada beberapa catatan kritis:
Relevansi dengan Industri 4.0
Tesis ini sejalan dengan tren besar Industri 4.0, yaitu integrasi dunia fisik dan digital. Beberapa poin relevansinya:
Dengan kombinasi itu, perusahaan bisa bergerak menuju operasi yang lebih efisien, aman, dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, tesis ini memberikan kontribusi praktis yang nyata. Feizi berhasil membuktikan bahwa AI bisa mendeteksi kegagalan pompa lumpur lebih awal hanya dengan data sederhana (tekanan & aliran). Temuan ini relevan banget buat industri pengeboran yang selama ini selalu dibayang-bayangi risiko downtime mahal.
Meskipun masih ada keterbatasan, arah yang ditunjukkan jelas: masa depan perawatan peralatan industri akan semakin bergantung pada AI, machine learning, dan data-driven decision making.
📄 Sumber resmi: Feizi, F. (2022). Artificial Intelligence-based Approach for Predicting Mud Pump Failures. Montanuniversität Leoben. DOI: 10.3990/AC17011574
Predictive Maintenance
Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 25 September 2025
Dalam industri modern, aset atau mesin bernilai tinggi—mulai dari turbin gas, pesawat terbang, sampai mesin pabrik—bukan cuma soal membeli dan mengoperasikan, tapi juga soal bagaimana memelihara agar umur pakainya maksimal. Disertasi berjudul Distributed Collaborative Prognostics oleh Adrià Salvador Palau (2019, University of Cambridge) menyoroti hal ini secara mendalam. Fokus utamanya adalah bagaimana memanfaatkan paradigma baru berbasis Multi-Agent Systems (MAS) untuk menciptakan model Distributed Collaborative Prognostics (DCP)—sebuah sistem prediksi kegagalan mesin yang bekerja real-time, adaptif, dan kolaboratif antar unit dalam sebuah fleet besar.
Kalau biasanya prediksi kegagalan (prognostics) masih terpusat (centralized approach), penelitian ini mencoba membalik paradigma: setiap mesin punya agen cerdas yang bisa belajar, berbagi informasi, dan menyesuaikan diri. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pendekatan ini lebih efisien, fleksibel, dan tangguh dalam menghadapi dinamika nyata industri.
Apa Itu Distributed Collaborative Prognostics?
Prognostics adalah ilmu untuk memperkirakan kapan sebuah mesin atau komponen akan gagal, berdasarkan data sensor, riwayat penggunaan, dan kondisi operasional. Tujuannya jelas: meminimalisir downtime (waktu berhenti produksi) dan biaya tak terduga.
Distributed Collaborative Prognostics (DCP) memperkenalkan konsep di mana:
Konsep ini relevan banget di era Internet of Things (IoT), karena tiap mesin sudah bisa dipasang sensor murah yang mengirimkan data real-time. Tantangan utama justru ada pada bagaimana mengolah data besar tersebut supaya bermanfaat, tanpa harus membebani server pusat.
Masalah yang Ingin Diselesaikan
Ada dua masalah utama yang jadi titik tolak penelitian ini:
Dua masalah ini sering bikin centralized prognostics gagal di lapangan, karena modelnya terlalu umum dan tidak fleksibel.
Metodologi: Dari Simulasi Hingga Studi Kasus Nyata
Disertasi ini diuji lewat tiga skenario:
Dengan metode bertingkat ini, Palau bisa membuktikan konsep DCP dari teori hingga praktik industri.
Arsitektur Multi-Agent Systems dalam DCP
Dalam implementasinya, ada beberapa bentuk arsitektur yang diuji:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distributed architecture lebih cocok untuk fleet besar dengan aset bernilai tinggi. Kenapa? Karena sistem lebih tangguh terhadap kegagalan agen tunggal, lebih scalable, dan tidak bottleneck di server pusat.
Temuan Utama Penelitian
1. Akurasi Prediksi Lebih Baik
2. Efisiensi Biaya
3. Skalabilitas dan Fleksibilitas
4. Kasus Nyata: Siemens Gas Turbine
Analisis Praktis: Dampak untuk Dunia Industri
Dari sisi aplikasi nyata, ada beberapa poin penting:
Dengan kata lain, investasi di DCP lebih layak untuk aset bernilai tinggi (turbin, pesawat, oil rigs) dibanding aset murah yang biaya IoT-nya tidak sepadan dengan penghematan.
Kritik dan Catatan Penting
Meski menjanjikan, penelitian ini juga menyisakan tantangan:
Relevansi untuk Industri Masa Depan
Melihat tren Industri 4.0 dan IoT, Distributed Collaborative Prognostics punya prospek besar untuk:
Namun adopsinya mungkin bertahap: dimulai dari aset bernilai tinggi, lalu perlahan meluas seiring turunnya biaya teknologi sensor dan komputasi.
Kesimpulan
Disertasi Distributed Collaborative Prognostics memberi kontribusi signifikan dengan membuktikan bahwa multi-agent collaborative learning bisa dipakai untuk meningkatkan akurasi, efisiensi, dan keandalan prediksi kegagalan mesin dalam fleet industri.
Secara praktis, penelitian ini menunjukkan bahwa:
Meski masih ada tantangan biaya, kompleksitas, dan risiko overfitting, ide ini sangat relevan untuk industri masa depan yang mengandalkan servitization dan digital twin.
📖 Sumber paper:
Palau, Adrià Salvador (2019). Distributed Collaborative Prognostics. PhD Thesis, University of Cambridge.
DOI Handle: https://doi.org/10.17863/CAM.42801
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 24 September 2025
Pendahuluan: IWRM dan Peran Modeling dalam Menjawab Tantangan Air Global
Integrated Water Resource Management (IWRM) bukan sekadar konsep, melainkan proses kompleks yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan, dan teknis dalam pengelolaan air. Artikel karya Badham et al. (2019) menyajikan panduan sistematis untuk praktik modeling IWRM yang efektif, dengan menekankan pentingnya konteks, keterlibatan pemangku kepentingan, dan siklus hidup model dari perencanaan hingga pemeliharaan.
Dengan melibatkan 21 penulis lintas disiplin dan pengalaman global, artikel ini menjadi referensi penting bagi praktisi, peneliti, dan pembuat kebijakan yang ingin menerapkan IWRM secara nyata dan berdampak.
Empat Fase Modeling IWRM: Kerangka Praktis yang Kontekstual.
Penulis membagi proses modeling IWRM ke dalam empat fase utama:
1. Perencanaan (Planning)
Fokus pada definisi masalah, identifikasi pemangku kepentingan, perencanaan proyek, dan pengembangan model konseptual awal.
Contoh: Dalam proyek Murray-Darling Basin di Australia, model digunakan untuk menentukan batas ekstraksi air yang berkelanjutan.
2. Pengembangan (Development)
Meliputi pengumpulan data, konstruksi model, kalibrasi, analisis ketidakpastian, dan pengujian.
Catatan penting: Kalibrasi tidak hanya teknis, tapi juga membangun kepercayaan pemangku kepentingan terhadap hasil model.
3. Aplikasi (Application)
Model digunakan untuk eksperimen skenario, visualisasi hasil, dan komunikasi kepada pemangku kepentingan.
Contoh: Model digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan alokasi air terhadap ekosistem dan petani.
4. Pemeliharaan (Perpetuation)
Termasuk dokumentasi, evaluasi proses, dan rencana pemutakhiran model.
Poin penting: Dokumentasi harus mencakup kode, asumsi, dan batasan model agar dapat direplikasi dan dikembangkan.
Studi Kasus dan Praktik Nyata: Dari Australia hingga AS
Artikel ini tidak hanya teoritis, tetapi juga menyajikan contoh nyata dari berbagai wilayah:
MurrayDarling Basin (Australia):
Chesapeake Bay (AS):
Kritik terhadap IWRM dan Peran Modeling sebagai Solusi
Penulis mengakui bahwa IWRM sering dikritik karena terlalu abstrak dan sulit diimplementasikan (Biswas, 2004). Namun, mereka berargumen bahwa modeling yang efektif dapat menjembatani kesenjangan antara konsep dan praktik.
Tiga tantangan utama IWRM yang diangkat:
Seperti konflik antar sektor, ketidakpastian iklim, dan keterbatasan data.
Banyak proyek gagal karena partisipasi hanya simbolik.
Model sering mengabaikan dimensi keadilan distribusi dan partisipasi.
Nilai Tambah Artikel: Lima Agenda Riset Masa Depan
Penulis mengusulkan lima area pengembangan modeling IWRM:
1. Berbagi Pengetahuan (Knowledge Sharing):
Dokumentasi praktik modeling harus sistematis dan terbuka.
2. Mengatasi Keterbatasan Data:
Gunakan pendekatan semikuantitatif, data satelit, dan media sosial.
3. Keterlibatan Pemangku Kepentingan yang Inklusif:
Gunakan visualisasi interaktif dan pendekatan partisipatif sejak awal.
4. Keadilan Sosial:
Model harus mempertimbangkan distribusi manfaat dan suara kelompok rentan.
5. Manajemen Ketidakpastian:
Gunakan pendekatan robust decisionmaking dan skenario ekstrem.
Opini dan Perbandingan: Apa yang Membuat Artikel Ini Unggul?
Dibandingkan dengan literatur IWRM lainnya, artikel ini menawarkan panduan praktis yang sangat aplikatif, bukan hanya kerangka konseptual. Pendekatannya mirip dengan design thinking dalam dunia teknologi berbasis iterasi, kolaborasi, dan kontekstualisasi.
Namun, satu kritik yang layak diajukan adalah kurangnya eksplorasi mendalam terhadap model berbasis kecerdasan buatan atau machine learning, yang kini mulai digunakan dalam prediksi air dan pengambilan keputusan berbasis data besar.
Relevansi Global dan Implikasi untuk Indonesia
Dengan tantangan pengelolaan air di DAS Citarum, Brantas, dan Kapuas, pendekatan modeling IWRM seperti yang dijabarkan dalam artikel ini sangat relevan. Terutama dalam:
Kesimpulan: Modeling sebagai Jembatan antara Ilmu dan Kebijakan
Artikel ini menegaskan bahwa modeling bukan sekadar alat teknis, tetapi proses sosial yang membentuk cara kita memahami, bernegosiasi, dan memutuskan masa depan air. Dengan pendekatan yang kontekstual, kolaboratif, dan reflektif, modeling dapat menjadi tulang punggung implementasi IWRM yang adil dan berkelanjutan.
Sumber Artikel :
Badham, J., Elsawah, S., Guillaume, J. H. A., Hamilton, S. H., Hunt, R. J., Jakeman, A. J., Pierce, S. A., Snow, V. O., BabbarSebens, M., Fu, B., Gober, P., Hill, M. C., Iwanaga, T., Loucks, D. P., Merritt, W. S., Peckham, S. D., Richmond, A. K., Zare, F., Ames, D., & Bammer, G. (2019). Effective modeling for Integrated Water Resource Management: A guide to contextual practices by phases and steps and future opportunities. Environmental Modelling & Software, 116, 40–56.
Banjir Bengkulu
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 24 September 2025
Bencana Banjir: Gejala Tahunan atau Kegagalan Tata Kelola?
Banjir bukan sekadar fenomena alam musiman di Indonesia melainkan cermin retaknya tata kelola ruang dan lingkungan. Dalam satu dekade terakhir, banjir konsisten menempati posisi teratas dalam daftar bencana nasional. Pada tahun 2019,tercatat lebih dari 3.800 kejadian bencana, dengan banjir mencakup 784 di antaranya. Bengkulu menjadi salah satu daerah paling terdampak, dengan banjir yang melanda sembilan kabupaten/kota, menewaskan 30 orang, dan merusak ribuan rumah, fasilitas umum, dan lahan pertanian.
Namun, banjir di Bengkulu bukan hanya akibat curah hujan ekstrem, melainkan hasil dari tata ruang yang disalahgunakan dan lemahnya pengawasan lingkungan.
Menguraikan Akar Masalah: Gagalnya Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Penelitian Sri Nurhayati Qodriyatun mengangkat permasalahan serius: alih fungsi lahan besar-besaran di Provinsi Bengkulu, yang mengabaikan peruntukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Alih fungsi kawasan hulu menjadi tambang dan perkebunan sawit, pemanfaatan sempadan sungai untuk hotel dan pasar, hingga hilir tanpa hutan lindung, membentuk efek domino yang merusak ekosistem secara sistemik.
Data dari Global Forest Watch mencatat hilangnya 11.400 hektar tutupan hutan di DAS Bengkulu antara tahun 2001 hingga 2018. Kawasan hulu yang dulu menyerap air kini berubah menjadi penyumbang limpasan. DAS bagian tengah digunakan untuk sektor komersial, sementara hilir dibiarkan gundul tanpa penyangga alami.
UU Penataan Ruang dan Cita-cita Tata Ruang Berkelanjutan
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Sejati telah memberikan kerangka hukum untuk mewujudkan ruang yang aman, produktif, dan berkelanjutan. Undang-undang ini mengizinkan pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan RTRW, dengan prinsip integrasi antara ekologi, ekonomi, dan sosial.
Namun, penelitian Qodriyatun menemukan bahwa implementasi di lapangan sangat lemah. Pemerintah daerah tidak melakukan penertiban terhadap bangunan liar di kawasan lindung, tidak menindak pelanggaran, dan bahkan menyikapi pelanggaran dengan merevisi RTRW agar menjadi “legal”.
Sentralisasi dalam RUU Cipta Kerja: Solusi atau Masalah Baru?
Masalah ini diperparah oleh rencana perubahan besar dalam tata kelola ruang melalui RUU Cipta Kerja. RUU ini menghapus sejumlah kewenangan pemerintah daerah dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang akan dipusatkan ke pemerintah pusat, dan jika daerah tidak segera menyusun RDTR, maka akan diambil alih oleh kementerian terkait.
Kebijakan ini dinilai kontraproduktif. Alih-alih memperbaiki pengawasan, sentralisasi justru berisiko memperpanjang rentang kendali dan memperlemah pengawasan di lapangan. Dalam praktiknya, pemerintah pusat mungkin akan merespons dengan cepat dan spesifik atas pelanggaran ruang yang terjadi di daerah seperti Bengkulu.
Studi Kasus: Pelanggaran di TWA Pantai Panjang dan Danau Dusun Besar
Pelanggaran pemanfaatan ruang di Bengkulu tidak sedikit. Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang yang seharusnya dilindungi, dijadikan lokasi pembangunan PLTU, lapangan golf, hingga pemukiman. Di Danau Dusun Besar, sawah beririgasi teknis berubah menjadi sarang walet dan kebun sawit. Ini bukti bahwa “pengendalian” yang seharusnya dijalankan di daerah malah diabaikan atau bahkan dimanipulasi.
Tren Industri dan Lingkungan: Di Mana Letak Kompromi?
Pemerintah berdalih bahwa penyederhanaan perizinan melalui RUU Cipta Kerja penting untuk investasi. Namun, investasi yang merusak tata ruang dan lingkungan bukanlah kemajuan. Keberlanjutan justru menjadi tren global: ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi standar penting di mata investor internasional.
Jika tata ruang Indonesia amburadul dan kawasan lindung terus menyusut, Indonesia justru bisa kehilangan kepercayaan global dalam jangka panjang.
Kawasan Lindung: Dari Target 30% Menjadi Realita yang Menyedihkan
UU Penataan Ruang menetapkan bahwa kawasan lindung minimal 30% dari luas daratan setiap pulau. Fakta di lapangan, Pulau Jawa hanya memiliki 16,4%, Sumatera 25,7%, dan Bali-Nusa Tenggara hanya 23,4%. Akibatnya, bencana banjir paling banyak terjadi di wilayah ketiga tersebut.
Studi di DAS Winongo Yogyakarta dan DAS Batang Arau Padang membuktikan bahwa konversi kawasan berhutan menjadi lahan terbangun meningkatkan debit banjir secara signifikan. Dengan terwujudnya kawasan lindung yang semakin rendah, dapat dipastikan frekuensi dan skala banjir akan semakin tinggi.
Kritik dan Rekomendasi: Tata Ruang Bukan Sekadar Peta
Pertama, pemerintah harus mengulangi sentralisasi tata ruang. Penanganan ruang tidak bisa satu arah dari pusat ke daerah; butuh respon lokal yang cepat dan adaptif. Kedua, audit tata ruang harus dilanjutkan dengan sanksi tegas, bukan sekadar evaluasi dokumen.
Kedua, daerah yang tidak memenuhi target kawasan lindung harus didorong untuk melakukan reboisasi dan pemulihan ekosistem. Empati, keterlibatan publik, akademisi, dan LSM dalam pengawasan tata ruang harus dipaksakan untuk menghindari kebijakan oligarki yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Penutup: Banjir Adalah Alarm Kegagalan Tata Ruang
Banjir Bengkulu bukan sekedar bencana; ia adalah peringatan keras atas kegagalan tata ruang. UU Penataan Ruang adalah fondasi penting, tetapi jika pelaksanaannya lemah dan malah digeser demi investasi semata, maka kita sedang menyusun resep untuk bencana yang lebih besar.
Sentralisasi tata ruang dalam RUU Cipta Kerja bisa terjadi secara tiba-tiba jika tidak ada penguatan pengawasan dan partisipasi lokal. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus sadar bahwa tata ruang bukan hanya soal izin dan peta, tetapi soal masa depan ekologis dan keselamatan jutaan jiwa.
Daftar Pustaka
Qodriyatun, SN (2020). Bencana Banjir: Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berdasarkan UU Penataan Ruang dan RUU Cipta Kerja . Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 11(1), 29–42.