Penelitian Ini Mengungkap Paradoks Anggaran Jalan Rp980 Miliar di Kendari – dan Ini Pelajaran Pentingnya bagi Kota Anda!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 Oktober 2025, 00.31

unsplash.com

Setiap pengemudi di perkotaan Indonesia pasti akrab dengan sensasi ini: desahan kolektif saat roda mobil menghantam lubang yang tak terlihat, getaran halus pada suspensi yang menandakan jalanan yang tak mulus, dan rasa frustrasi yang menumpuk dalam perjalanan sehari-hari. Ini adalah realitas infrastruktur yang kita hadapi. Namun, di balik setiap lubang dan retakan aspal di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, sebuah penelitian mendalam mengungkap sebuah cerita yang jauh lebih kompleks—sebuah paradoks anggaran yang mengejutkan.

Sebuah studi yang dipimpin oleh Mahmud Buburanda dari Universitas Halu Oleo baru-baru ini membongkar apa yang terjadi ketika dana infrastruktur yang masif tidak diiringi dengan strategi yang tepat. Selama periode lima tahun terakhir, Pemerintah Kota Kendari telah mengalokasikan dana yang sangat besar, mencapai total Rp 980 Miliar, untuk jaringan jalannya.1 Dengan angka sebesar itu, publik berhak mengharapkan jalanan yang mulus dan terawat. Namun, temuan penelitian ini menunjukkan gambaran yang berbeda. Sebagian besar jalan di kota tersebut berada dalam kondisi "Kerusakan Ringan hingga Sedang".1

Ini memunculkan pertanyaan kritis yang bergema jauh melampaui batas kota Kendari: Jika masalahnya bukan kekurangan uang, lalu apa? Penelitian ini berfungsi sebagai audit independen terhadap kebijakan publik, memegang cermin di hadapan tata kelola kota dan mengungkap sebuah kekeliruan fundamental dalam cara kita berpikir tentang pembangunan. Ini adalah kisah tentang bagaimana niat baik dan anggaran besar bisa tersesat tanpa strategi yang cerdas, sebuah pelajaran penting bagi setiap pemerintah daerah di Indonesia.

 

Potret Infrastruktur Kendari: Salah Alokasi Anggaran yang Mengejutkan

Untuk memahami skala masalahnya, penting untuk melihat lanskap infrastruktur Kota Kendari. Pemerintah kota bertanggung jawab atas jaringan jalan sepanjang 489,199 km, yang merupakan bagian dari total 584,709 km jalan jika digabungkan dengan jalan nasional dan provinsi yang melintasinya.1 Ini adalah aset vital yang menjadi urat nadi perekonomian, mobilitas penduduk, serta akses terhadap layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Sekilas, data kondisi jalan dari tahun 2018 hingga 2022 menunjukkan adanya kemajuan. Panjang jalan dalam kondisi "Baik" berhasil meningkat dari 248 km menjadi 314 km, sementara jalan yang "Rusak Berat" berkurang drastis dari 111 km menjadi hanya 59 km.1 Di atas kertas, ini tampak seperti sebuah keberhasilan. Namun, penelitian Buburanda dan timnya menggali lebih dalam dan menemukan biaya tersembunyi di balik angka-angka ini—sebuah pemulihan yang berjalan lambat dan luar biasa mahal.

Pusat dari temuan ini adalah alokasi anggaran yang sangat tidak seimbang. Dari total Rp 980 Miliar yang digelontorkan selama lima tahun, sebagian besar—sebesar Rp 858,4 Miliar atau 87,6%—dihabiskan untuk program "Peningkatan Jalan dan Pembangunan Jalan Baru".1 Ini adalah tindakan reaktif, seperti rekonstruksi total atau pembangunan dari awal, yang pada dasarnya dilakukan setelah jalan mencapai kondisi rusak parah. Sebaliknya, alokasi untuk program "Pemeliharaan Jalan dan Rehabilitasi Jalan"—tindakan preventif yang menjaga jalan bagus tetap dalam kondisi prima—hanya mendapatkan porsi remah, yaitu sebesar Rp 121,6 Miliar atau hanya 12,4% dari total anggaran.1

Untuk memahaminya dengan lebih mudah, bayangkan ini seperti seorang pemilik rumah yang mengabaikan atap yang bocor sedikit demi sedikit. Alih-alih memanggil tukang untuk perbaikan kecil yang murah, ia menunggu hingga seluruh langit-langit ambruk dan struktur rumah rusak parah oleh air hujan. Baru setelah itu, ia menghabiskan ratusan juta rupiah untuk renovasi total. Strategi Pemerintah Kota Kendari, seperti yang diungkap penelitian ini, adalah menunggu "rumah" infrastrukturnya nyaris roboh sebelum bertindak.

Pendekatan ini, yang oleh para peneliti disebut sebagai penanganan yang tidak tepat waktu dan tidak berdasarkan skala prioritas, menjadi akar dari segala masalah. Pemerintah kota cenderung menunggu hingga kondisi jalan berada pada level "Tidak Mantap atau Rusak Berat" sebelum mengintervensi.1 Padahal, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan secara eksplisit menyatakan bahwa pemeliharaan jalan adalah prioritas tertinggi dari semua jenis pengelolaan jalan.1 Dengan mengabaikan mandat ini, siklus perbaikan mahal yang tak berkesudahan terus berlanjut, menguras anggaran publik dan mengorbankan kenyamanan serta keselamatan warga.

 

Tiga Pilar Keberlanjutan yang Rapuh: Hasil Audit Kinerja Manajemen Jalan

Untuk mengukur dampak dari strategi yang keliru ini, para peneliti menggunakan sebuah alat analisis canggih yang disebut RAT-HMM (Rapid Assessment Techniques for Highway Maintenance Management). Metode ini memberikan semacam "kartu rapor" atau audit kesehatan terhadap sistem manajemen jalan kota, menilainya berdasarkan tiga dimensi krusial: Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan. Hasilnya, secara keseluruhan, manajemen jalan di Kendari dinilai "Cukup Berkelanjutan".1 Namun, istilah ini menipu. Di balik label yang terdengar memadai itu, tersembunyi kelemahan-kelemahan signifikan yang berdampak langsung pada kehidupan warga.

Dimensi Sosial (Skor: 64,64%) – Keselamatan dan Suara Warga yang Terpinggirkan

Dengan nilai indeks sebesar $64,64\%$, dimensi sosial menjadi pilar terlemah dalam sistem manajemen jalan Kendari.1 Skor ini nyaris tidak mencapai standar kelulusan, sebuah sinyal kuat bahwa aspek kemanusiaan menjadi korban utama dari strategi infrastruktur yang ada. Ini bukan sekadar angka; ini adalah cerminan dari biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat.

Penelitian ini secara gamblang menghubungkan strategi reaktif pemerintah dengan munculnya "keresahan sosial di masyarakat akibat meningkatnya angka kecelakaan karena menghindari kerusakan jalan".1 Ketika jalan dibiarkan rusak, kenyamanan dan keselamatan pengendara terganggu. Namun, masalahnya lebih dalam dari sekadar lubang di jalan. Analisis sensitivitas menemukan beberapa titik lemah yang paling berpengaruh:

  • Tingginya frekuensi kecelakaan kerja: Keselamatan para pekerja yang melakukan perbaikan jalan di tengah lalu lintas padat menjadi perhatian utama yang belum teratasi dengan baik.
  • Minimnya partisipasi publik: Suara warga, terutama masukan dari pertemuan di tingkat kelurahan, sering kali tidak didengar dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek konstruksi.
  • Aksesibilitas yang belum merata: Kemudahan akses bagi semua pengguna jalan, termasuk pejalan kaki, penyandang disabilitas, dan pengendara kendaraan non-motor, masih menjadi isu krusial.
  • Risiko kecelakaan pengguna jalan: Selama proyek konstruksi besar berlangsung, keselamatan pengguna jalan raya lainnya juga menjadi titik kritis yang sering terabaikan.1

Ketika partisipasi publik minim, proyek yang dihasilkan mungkin tidak menjawab kebutuhan nyata atau kekhawatiran keselamatan warga. Ini menciptakan lingkaran setan: pengeluaran yang tidak efisien menghasilkan infrastruktur yang tidak memuaskan, yang pada gilirannya memicu ketidakpuasan publik.

Dimensi Ekonomi (Skor: 72,19%) – Efisiensi di Atas Kertas, Boros dalam Praktik

Pada pandangan pertama, skor ekonomi sebesar $72,19\%$ tampak menjadi yang paling positif di antara ketiganya.1 Namun, skor ini menipu. Argumen inti dari penelitian ini adalah bahwa strategi yang dijalankan saat ini secara fundamental boros dan tidak efisien secara ekonomi. Skor yang relatif tinggi ini kemungkinan besar mencerminkan aspek-aspek prosedural yang sudah berjalan cukup baik, seperti mekanisme pemilihan kontraktor. Akan tetapi, ia gagal menangkap inefisiensi strategis yang lebih besar.

Kebijakan menunggu jalan rusak parah sebelum diperbaiki menciptakan dua jenis kerugian ekonomi. Pertama, ia "meningkatkan biaya pemeliharaan" bagi pemerintah dalam jangka panjang, karena biaya rekonstruksi total jauh lebih mahal daripada pemeliharaan rutin. Kedua, ia secara langsung "meningkatkan Biaya Operasional Kendaraan" bagi setiap warga.1 Jalan yang rusak berarti konsumsi bahan bakar yang lebih boros akibat kemacetan, serta biaya perbaikan kendaraan yang lebih sering untuk komponen seperti suspensi dan ban.

Kelemahan utama dalam dimensi ekonomi ini, menurut analisis, terletak pada beberapa faktor kunci:

  • Ketiadaan kajian biaya pemeliharaan: Salah satu kelalaian paling fatal adalah tidak adanya studi mendalam yang menghitung biaya operasional dan pemeliharaan jangka panjang sebagai dasar pengambilan keputusan.
  • Keterlibatan kontraktor dan pemasok yang belum optimal: Belum ada dorongan sistematis agar kontraktor dan pemasok material lebih proaktif dalam merancang dan menyediakan solusi yang lebih efisien dari segi sumber daya.
  • Pentingnya kontrak berbasis keberlanjutan: Klausul yang mewajibkan penerapan praktik-praktik berkelanjutan belum menjadi standar dalam setiap kontrak kerja konstruksi jalan.1

Dimensi Lingkungan (Skor: 65,82%) – Dari Genangan Banjir hingga Kebisingan Kota

Dengan skor hanya $65,82\%$, dimensi lingkungan jelas menjadi pertimbangan sekunder dalam sistem manajemen jalan di Kendari.1 Dampak ekologis dari infrastruktur yang tidak terawat sering kali tidak terlihat, tetapi sangat nyata. Penelitian ini menyoroti hubungan langsung antara pemeliharaan jalan yang buruk dengan masalah lingkungan yang konkret dan meresahkan.

Contoh paling gamblang adalah terjadinya "bencana banjir akibat drainase tidak berfungsi karena banyaknya endapan lumpur yang menumpuk".1 Ketika saluran air di sisi jalan tersumbat oleh sedimen dan sampah, fungsinya untuk mengalirkan air hujan hilang. Akibatnya, genangan air tidak hanya merusak badan jalan lebih cepat, tetapi juga menyebabkan banjir lokal yang mengganggu aktivitas warga.

Selain itu, beberapa isu lingkungan lain yang menjadi titik lemah adalah:

  • Masalah kebisingan: Tingkat kebisingan lalu lintas yang tinggi menjadi bentuk polusi suara yang mengganggu kualitas hidup warga yang tinggal di dekat jalan-jalan utama.
  • Sampah padat: Tumpukan sampah yang masih terlihat di sisi jalan menunjukkan pengelolaan kebersihan yang belum terintegrasi dengan pemeliharaan infrastruktur.
  • Rembesan air hujan: Sistem drainase yang buruk menyebabkan air hujan sering menggenangi pinggir jalan, yang tidak hanya menyebabkan banjir tetapi juga mempercepat kerusakan struktur aspal.
  • Hewan liar: Keberadaan hewan yang berkeliaran di beberapa ruas jalan juga diidentifikasi sebagai isu lingkungan sekaligus ancaman keselamatan.1

Ketiga dimensi ini saling terkait dalam sebuah lingkaran setan negatif. Strategi ekonomi yang reaktif menyebabkan jalan dibiarkan rusak. Kerusakan ini memicu masalah lingkungan seperti drainase tersumbat dan banjir. Pada gilirannya, jalan rusak dan proyek perbaikan besar yang mengganggu menimbulkan masalah sosial seperti kecelakaan dan keluhan publik. Semua ini kembali menciptakan biaya ekonomi tambahan, memperkuat pola pikir "hanya ada dana untuk darurat" yang melanggengkan strategi reaktif tersebut.

 

Sebuah Kritik Realistis: Pelajaran dari Kendari untuk Seluruh Indonesia

Penting untuk menyajikan temuan ini dengan perspektif yang seimbang. Studi ini adalah sebuah studi kasus yang mendalam dan spesifik untuk Kota Kendari. Angka-angka persis, alokasi anggaran, dan skor keberlanjutan mungkin tidak dapat diterapkan secara langsung ke kota-kota lain seperti Jakarta, Surabaya, atau Makassar, yang memiliki skala, kepadatan lalu lintas, dan struktur tata kelola yang berbeda.

Namun, di sinilah letak kekuatan universal dari penelitian ini. Meskipun datanya bersifat lokal, pelajarannya bersifat global. Kekeliruan strategis yang diidentifikasi—memprioritaskan rekonstruksi reaktif yang mahal di atas pemeliharaan proaktif yang hemat biaya—adalah penyakit umum dalam manajemen pekerjaan umum di seluruh Indonesia, bahkan di dunia. Seringkali, secara politis, proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan baru atau jembatan lebih menarik karena terlihat sebagai "warisan" pembangunan yang nyata. Pemeliharaan rutin, sebaliknya, adalah pekerjaan sunyi yang tidak terlihat saat berhasil, sehingga kurang memberikan imbalan politik.

Dengan demikian, Kendari berfungsi sebagai sebuah mikrokosmos, sebuah laboratorium nyata yang didukung oleh data kuat, yang memberikan cetak biru bagi pemerintah kota lain untuk melakukan introspeksi. Temuan ini seharusnya mendorong para pembuat kebijakan di daerah lain untuk bertanya pada diri mereka sendiri: Apakah kota kami juga terjebak dalam siklus "gali-tutup" yang mahal dan tidak efisien ini?

 

Kesimpulan: Jalan Baru Menuju Efisiensi dan Dampak Nyata bagi Warga

Pesan utama dari penelitian Buburanda dan timnya sangat jelas dan kuat: masalah jalan di Kendari bukanlah krisis uang, melainkan krisis strategi. Studi ini tidak hanya memberikan diagnosis yang akurat, tetapi secara implisit juga menawarkan resep untuk penyembuhannya.

Solusinya menuntut sebuah pergeseran paradigma fundamental, dari pendekatan reaktif menuju proaktif. Ini berarti keberanian untuk merealokasikan sebagian besar dari anggaran infrastruktur yang masif itu, dari proyek-proyek rekonstruksi besar ke pekerjaan pemeliharaan rutin, berkala, dan preventif yang seringkali dianggap sepele. Ini adalah tentang menambal lubang kecil hari ini untuk mencegah retakan besar besok.

Jika diterapkan, pergeseran strategis ini dapat membawa dampak transformatif. Dalam lima tahun ke depan, kebijakan yang memprioritaskan pemeliharaan preventif tidak hanya berpotensi menghemat ratusan miliar Rupiah dari anggaran publik, tetapi juga akan secara langsung mengurangi angka kecelakaan lalu lintas, menekan biaya operasional kendaraan bagi setiap warga, dan mencegah bencana ekologis skala kecil seperti banjir lokal yang selama ini mengganggu kehidupan kota. Ini adalah jalan menuju infrastruktur yang tidak hanya kuat, tetapi juga cerdas dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Buburanda, M., Rianse, U., Alwi, L. O., & Putra, A. A. (2023). Road maintenance management system in Kendari City, Southeast Sulawesi, Indonesia. Technium Social Sciences Journal, 45, 437-448.