Perubahan Iklim

Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Air di Wilayah Mediterania

Wilayah Mediterania dikenal sebagai kawasan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, khususnya terkait dengan ketersediaan air. Kekeringan, fluktuasi curah hujan, dan peningkatan suhu yang signifikan mengancam keberlanjutan sektor pertanian yang sangat bergantung pada irigasi. Dalam konteks ini, pengelolaan air yang efektif dan adaptif menjadi kunci untuk mencapai ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.

Paper berjudul “Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries” oleh Georgia Sismani, Vassilios Pisinaras, dan Georgios Arampatzis (2024) mengupas secara komprehensif bagaimana tata kelola air yang terintegrasi dan adaptif dapat diterapkan di tingkat organisasi petani untuk mendukung pertanian yang tahan iklim. Studi ini menyoroti pengalaman tiga organisasi petani (Farmers’ Organizations/F.ORs) di Crete, Yunani, dan Basilicata, Italia, sebagai pilot project yang mengimplementasikan skema tata kelola air berbasis standar European Water Stewardship (EWS).

Kerangka Tata Kelola Air Terintegrasi: Water Management Adaptation Strategy (WMAS) dan Agricultural Water Management System (AWMS)

Konsep dan Metodologi

Penelitian ini mengembangkan sebuah skema tata kelola air terintegrasi yang terdiri dari dua komponen utama:

  • Water Management Adaptation Strategy (WMAS): Strategi adaptasi pengelolaan air yang disusun oleh masing-masing organisasi petani berdasarkan evaluasi kondisi lokal, termasuk struktur organisasi, status sumber daya air, dan praktik pertanian yang diterapkan.
  • Agricultural Water Management System (AWMS): Sistem manajemen air pertanian yang dirancang untuk mengimplementasikan WMAS secara efektif melalui pembagian peran dan tanggung jawab di dalam organisasi, serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang sistematis.

WMAS dan AWMS dirancang mengacu pada standar European Water Stewardship (EWS), yang menekankan tiga prinsip utama: pengelolaan kuantitas air, kualitas air, dan pelestarian area bernilai konservasi tinggi (HCV), serta prinsip tata kelola yang transparan dan partisipatif.

Pembagian Peran dalam AWMS

Setiap F.OR menetapkan tiga peran kunci untuk pengelolaan air:

  1. Penanggung jawab aspek legal air: Memantau regulasi dan memastikan kepatuhan organisasi terhadap peraturan.
  2. Penghubung dengan Komite Daerah Aliran Sungai: Menjaga komunikasi dan koordinasi dengan lembaga pengelola sumber daya air di tingkat regional.
  3. Water Steward (WS): Bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengawasan WMAS dalam organisasi.

Ketiga peran ini saling berkomunikasi dan melapor ke manajemen organisasi untuk menjamin pelaksanaan yang efektif.

Studi Kasus: Implementasi di Tiga Organisasi Petani di Mediterania

Lokasi dan Karakteristik

  • Dua F.OR di Crete, Yunani (Platanias dan Mirabello): Fokus pada budidaya pohon zaitun dengan sumber air irigasi dari air tanah.
  • Satu F.OR di Basilicata, Italia (Metapontino): Fokus pada tanaman perkebunan dengan irigasi dari air permukaan melalui bendungan.

Mirabello mengalami tingkat kelangkaan air tertinggi di antara ketiga lokasi, menambah urgensi pengelolaan air yang efisien.

Monitoring dan Evaluasi

Untuk memantau implementasi AWMS, dibuat sistem formulir khusus yang diisi secara berkala oleh Water Steward dan petani anggota. Monitoring ini mencakup praktik pengelolaan air di 10 kebun per lokasi pilot, dengan pelatihan intensif bagi Water Steward untuk memastikan akurasi dan konsistensi data.

Hasil Implementasi dan Pelajaran Penting

Kepatuhan Regulasi dan Transparansi

  • Di dua F.OR Yunani, 18 regulasi terkait air diidentifikasi, dengan 6 di antaranya dianggap sangat penting. Di Italia, 6 regulasi utama juga dipantau.
  • Pelaporan kepatuhan dilakukan secara tahunan, membantu organisasi tetap up-to-date terhadap perubahan regulasi.
  • Transparansi internal dan eksternal menjadi fokus utama, dengan berbagai kegiatan pelatihan, seminar, dan penyebaran informasi kepada anggota dan pemangku kepentingan lokal.

Interrelasi Air dengan Energi dan Sumber Daya Lain

  • Studi mengukur konsumsi energi langsung (misal, pompa irigasi) dan tidak langsung (misal, pemupukan, pemangkasan) yang terkait dengan penggunaan air.
  • Hasil menunjukkan konsumsi energi lebih tinggi pada lahan irigasi, namun hubungan tidak langsung antara air dan energi dalam aktivitas lain kurang jelas.
  • Pengelolaan air juga dikaitkan dengan optimalisasi penggunaan sumber daya lain seperti tanah, pupuk, dan biomassa pohon, meskipun kuantifikasi hubungan ini kompleks.

Penanganan Keadaan Darurat

  • Setiap F.OR mengembangkan rencana tanggap darurat untuk berbagai risiko seperti kekeringan, banjir, kebakaran, dan pencemaran.
  • Rencana ini mencakup tindakan pencegahan dan penanganan kerusakan tanaman, disampaikan dalam bentuk dokumen dan brosur yang mudah diakses oleh petani.

Evaluasi dan Revisi Strategi

  • Setelah tiga tahun implementasi, monitoring dan evaluasi menunjukkan pelaksanaan rencana berjalan baik, meskipun ada tantangan dalam pelaporan tepat waktu.
  • Revisi WMAS dilakukan berdasarkan feedback internal dan eksternal, namun tidak ada perubahan besar yang diperlukan.
  • Minat petani untuk bergabung dan mengadopsi praktik WMAS meningkat, memperluas cakupan strategi di wilayah pilot.

Analisis Kritis dan Kaitan dengan Tren Global

Kompleksitas dan Adaptasi Standar EWS

Implementasi standar EWS di sektor pertanian terbukti lebih kompleks dibandingkan di industri, karena fragmentasi lahan, keragaman praktik, dan sumber air yang berbeda-beda. Hal ini menuntut adaptasi prinsip dan indikator EWS agar sesuai dengan konteks pertanian Mediterania.

Pentingnya Monitoring dan Konsultasi Ahli

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada monitoring yang sistematis dan dukungan ahli, terutama pada tahap awal. Pengalaman F.OR dengan standar lain seperti ISO atau EMS mempercepat adopsi AWMS.

Keterlibatan dan Komunikasi

Transparansi dan komunikasi internal yang intensif menjadi kunci keberhasilan, membantu mengatasi kesenjangan informasi antara manajemen dan anggota. Komunikasi terkait risiko iklim ekstrem, seperti kekeringan dan banjir, harus dilakukan secara proaktif untuk meningkatkan kesiapsiagaan.

Hubungan dengan Otoritas Lokal

Meski ada komunikasi dengan otoritas lokal, interaksi ini masih bersifat satu arah dan perlu diperkuat agar pengelolaan air dapat terintegrasi dengan kebijakan regional dan nasional. Mengingat sektor pertanian menyerap sekitar 80% penggunaan air nasional, peran F.OR dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sangat strategis.

Nilai Tambah dan Implikasi Kebijakan

  • Skema tata kelola air terintegrasi ini memberikan model praktis bagi organisasi petani untuk mengelola air secara efisien dan adaptif terhadap perubahan iklim.
  • Pendekatan berbasis standar internasional (EWS) yang disesuaikan dengan konteks lokal meningkatkan kredibilitas dan transparansi pengelolaan air.
  • Keterlibatan aktif petani dan pemangku kepentingan lokal memperkuat kapasitas adaptasi dan keberlanjutan pertanian.
  • Rencana tanggap darurat menghadirkan kesiapsiagaan yang diperlukan dalam menghadapi risiko iklim ekstrem yang semakin sering terjadi.
  • Perlu penguatan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif dan adaptif di sektor pertanian merupakan fondasi penting untuk membangun ketahanan iklim di wilayah Mediterania yang rentan terhadap kekeringan dan perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan strategi adaptasi pengelolaan air dan sistem manajemen yang jelas, organisasi petani dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, menjaga kualitas sumber daya, dan mempersiapkan diri menghadapi risiko iklim.

Pengalaman pilot project di tiga F.OR di Yunani dan Italia membuktikan bahwa pendekatan ini dapat diimplementasikan dengan baik, meskipun memerlukan monitoring yang ketat, dukungan ahli, dan komunikasi yang intensif. Keberlanjutan strategi ini juga bergantung pada keterlibatan aktif petani dan sinergi dengan kebijakan lokal dan nasional.

Model tata kelola air ini dapat menjadi referensi penting bagi wilayah lain yang menghadapi tantangan serupa, sekaligus mendukung pencapaian target mitigasi dan adaptasi iklim secara global.

Sumber Artikel :

Sismani, G.; Pisinaras, V.; Arampatzis, G. Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries. Water 2024, 16, 1103

Selengkapnya
Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Perubahan Iklim

Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Memahami Dimensi Sosial dalam Krisis Iklim Global

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang tidak hanya berdampak pada aspek fisik dan lingkungan, tetapi juga sangat terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Konferensi Internasional Socioecos 2024 yang diselenggarakan di Universidad del País Vasco, Bilbao, Spanyol, menghadirkan kumpulan riset dan diskusi interdisipliner yang mendalam mengenai praktik-praktik sosial-ekologis dalam konteks darurat iklim dan keberlanjutan. Buku prosiding konferensi ini, yang memuat lebih dari 800 abstrak dan puluhan makalah lengkap, menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana ilmu sosial berkontribusi dalam mengatasi krisis iklim yang kompleks.

Resensi ini akan mengulas tema utama konferensi, studi kasus penting, serta kontribusi beberapa pembicara kunci yang menyoroti hubungan antara perubahan iklim, keadilan sosial, dan transformasi masyarakat melalui praktik sosial-ekologis.

Dimensi Sosial dalam Perubahan Iklim: Kritik dan Tantangan

Salah satu isu utama yang diangkat dalam konferensi ini adalah keterlambatan ilmu sosial dalam merespons perubahan iklim secara komprehensif, terutama dibandingkan dengan ilmu biophysical yang lebih cepat mengadopsi isu ini. Kritik utama menyatakan bahwa pendekatan yang berfokus pada individu seringkali mengabaikan aspek institusional, sosial, dan budaya yang lebih luas, sehingga kebijakan yang dihasilkan kurang efektif dan tidak menyentuh akar masalah (Tejerina et al., 2024).

Lebih jauh, kerangka interpretatif dominan, termasuk laporan IPCC, dianggap mendepolitisasi diskursus iklim dengan mengabaikan analisis kritis terhadap sistem nilai, relasi kekuasaan, dan proses institusional yang menjadi penyebab utama krisis iklim. Konsep “post-politik” ini menyoroti bagaimana wacana ilmiah dan kebijakan iklim sering mempertahankan status quo sosial-ekonomi yang tidak adil.

Praktik Sosial-Ekologis: Dari Gerakan Sosial hingga Transformasi Budaya

Konferensi ini membagi diskusi ke dalam beberapa track tematik yang luas, antara lain:

  • Gerakan sosial ekologis dan politik iklim
    Misalnya, gerakan Extinction Rebellion (XR) dan Fridays For Future (FFF) yang menentang pendekatan pasar dan kebijakan “transisi hijau dari atas”, dan mendorong “transisi ekologis dari bawah” yang menekankan keadilan iklim dan interseksionalitas (Albanese, 2024).
  • Model produksi dan kerja baru di ambang krisis iklim
    Studi tentang perusahaan energi hijau seperti Som Energia di Spanyol yang menggabungkan ekonomi sosial dan akar ekologis (Castelló et al., 2024).
  • Praktik hidup dan konsumsi berkelanjutan
    Eksplorasi tentang konsumsi makanan berkelanjutan, pasar ekologis, dan arsitektur ramah lingkungan yang mengurangi jejak karbon (González Rivas, 2024).
  • Rewilding dan pelestarian alam melalui ilmu warga dan sains partisipatif
    Contohnya proyek MitigACT di Galicia, Spanyol, yang menggabungkan ilmu warga untuk mitigasi risiko kebakaran hutan (Santiago-Gómez & Rodríguez-Rodríguez, 2024).
  • Dimensi manusia dalam krisis iklim: kesadaran, kesejahteraan, dan perawatan
    Penelitian tentang dampak psikologis krisis iklim seperti eco-ansietas dan praktik perawatan kolektif sebagai respons sosial (Heidemann, 2024).
  • Seni, teknologi, dan desain untuk krisis iklim
    Proyek seni yang menggabungkan fiksi spekulatif dan pengetahuan ilmiah untuk mengatasi antroposein dan mendorong perspektif ekosentris, seperti konsep Plantocene (Bruna, 2024).

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Gerakan Extinction Rebellion (XR)
    XR mengusung “budaya regeneratif” yang menekankan perawatan diri, komunitas, dan lingkungan sebagai bentuk politik prefiguratif. Studi kualitatif dengan 25 wawancara mendalam menunjukkan dampak budaya ini pada individu, kelompok, dan masyarakat luas, termasuk peningkatan kecerdasan emosional dan praktik pengelolaan konflik secara non-kekerasan (Albanese, 2024).
  • Proyek AGORA (Horizon Europe)
    Inisiatif ini mengembangkan workshop kolaboratif di Spanyol, Italia, Swedia, dan Jerman untuk mendukung transformasi sosial menuju adaptasi iklim melalui co-creation dan pembelajaran bersama. Lebih dari 50 pemangku kepentingan lintas disiplin terlibat sebagai “pengikut” yang mengadopsi praktik terbaik (Mercogliano, 2024).
  • Diskursus NGO tentang Loss and Damage
    Analisis kritis terhadap posisi NGO dalam negosiasi iklim internasional mengungkapkan tiga pendekatan utama: manajemen risiko, adaptasi, dan keadilan iklim. NGO menuntut dana kompensasi dan mekanisme operasional yang jelas untuk membantu negara-negara berkembang yang paling rentan (Beltran & Sainz de Murieta, 2024).
  • Nasionalisme dan Krisis Iklim
    Studi oleh Daniele Conversi mengkritik bagaimana ideologi nasionalisme menjadi penghalang utama dalam aksi iklim global. Meskipun nasionalisme mendominasi politik dunia, belum ada integrasi serius antara studi nasionalisme dan perubahan iklim hingga tahun 2020. Nasionalisme juga berkontribusi pada keterlambatan dan hambatan dalam negosiasi iklim internasional (Conversi, 2024).

Analisis dan Nilai Tambah

Konferensi ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dari perspektif ilmiah dan teknis, tetapi harus melibatkan analisis kritis terhadap struktur sosial, budaya, dan politik yang mendasarinya. Pendekatan interdisipliner dan partisipatif menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang inklusif dan berkeadilan.

Gerakan sosial seperti Extinction Rebellion menunjukkan bahwa transformasi sosial yang nyata membutuhkan perubahan cara hidup dan hubungan antar manusia serta dengan alam, bukan sekadar kebijakan top-down. Konsep budaya regeneratif yang mereka usung memperlihatkan bagaimana praktik sosial dapat menjadi alat politik yang efektif.

Di sisi lain, analisis NGO tentang loss and damage menggarisbawahi pentingnya keadilan iklim dan tanggung jawab negara maju dalam mendukung negara berkembang, memperlihatkan kompleksitas negosiasi internasional yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan.

Studi nasionalisme oleh Conversi membuka ruang diskusi penting mengenai bagaimana ideologi politik dapat menjadi penghalang atau pendorong dalam aksi iklim, sebuah aspek yang sering diabaikan dalam studi perubahan iklim.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Memperkuat keterlibatan ilmu sosial dalam kebijakan iklim untuk mengatasi aspek politik, budaya, dan sosial yang sering terabaikan.
  • Mendukung gerakan sosial dan praktik prefiguratif yang berorientasi pada transformasi sosial-ekologis dari bawah.
  • Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam negosiasi internasional, khususnya terkait mekanisme loss and damage.
  • Mengintegrasikan pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam proyek adaptasi dan mitigasi iklim, seperti yang dilakukan oleh proyek AGORA.
  • Mengkritisi dan merefleksikan peran nasionalisme dalam politik iklim untuk menemukan solusi yang melampaui batas-batas negara.

Kesimpulan

Buku prosiding konferensi Socioecos 2024 memberikan gambaran luas dan mendalam tentang bagaimana perubahan iklim harus dipahami sebagai fenomena sosial-ekologis yang kompleks. Kontribusi ilmu sosial sangat penting untuk membuka ruang dialog kritis tentang keadilan, kekuasaan, dan transformasi budaya dalam menghadapi krisis iklim. Studi kasus dan diskusi dari berbagai disiplin ilmu dan gerakan sosial menunjukkan bahwa perubahan nyata membutuhkan aksi kolektif, inklusif, dan berkelanjutan yang menggabungkan ilmu, seni, politik, dan praktik sosial.

Sumber Artikel :

Tejerina, B., Miranda de Almeida, C., & Acuña, C. (Eds.). (2024). Climate Change, Sustainability and Socio-ecological Practices: Conference Proceedings June 6-7, 2024, Universidad del País Vasco/Euskal Herriko Unibertsitatea, Bilbao, Spain. Servicio Editorial de la Universidad del País Vasco / Euskal Herriko Unibertsitateko Argitalpen Zerbitzua. ISBN: 978-84-9082-680-5

 

Selengkapnya
Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024

Perubahan Iklim

Integrasi Penilaian Risiko dan Model Agro-Hidrologi untuk Adaptasi Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Menyatukan Risiko Kekeringan dan Dampak Perubahan Iklim dalam Pengelolaan Air dan Pertanian

Perubahan iklim membawa tantangan besar bagi ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya air, terutama di wilayah yang rentan terhadap kekeringan dan perubahan pola curah hujan. Dalam disertasi doktoral yang ditulis oleh Lorenzo Villani, yang merupakan hasil kolaborasi antara University of Florence dan Vrije Universiteit Brussel, dikaji secara mendalam bagaimana dampak perubahan iklim terhadap sistem pertanian dapat dianalisis melalui integrasi penilaian risiko kekeringan dan pemodelan agro-hidrologi menggunakan model SWAT+.

Penelitian ini menyoroti dua wilayah studi utama: lima DAS di Tuscany, Italia, dan DAS Juba dan Shabelle di Somalia. Studi ini tidak hanya mengukur risiko kekeringan dan dampak perubahan iklim, tetapi juga mengevaluasi kapasitas adaptasi sistem pertanian serta menguji strategi adaptasi agronomi yang relevan. Dengan pendekatan ini, penelitian memberikan kontribusi penting bagi pembuat kebijakan dan praktisi dalam mengelola tantangan air dan pangan di masa depan.

Metodologi: Pendekatan Terpadu Penilaian Risiko dan Pemodelan Agro-Hidrologi

Penelitian Villani menggabungkan dua pendekatan utama:

  1. Penilaian Risiko Kekeringan: Menggunakan indikator komposit yang mencakup bahaya (hazard), paparan (exposure), dan kerentanan (vulnerability). Indikator ini meliputi data historis dan proyeksi masa depan dari indeks curah hujan standar (SPI), indeks kesehatan vegetasi (VHI), serta indikator iklim dari model regional EURO-CORDEX.
  2. Model Agro-Hidrologi SWAT+: Model ini menggabungkan simulasi hidrologi dan pertumbuhan tanaman untuk menilai dampak perubahan iklim pada aliran air, evapotranspirasi, dan hasil panen. Model dikalibrasi dan divalidasi menggunakan data pengukuran lapangan di DAS Ombrone, Tuscany.

Penelitian juga mengintegrasikan narasi SSP (Shared Socioeconomic Pathways) dan skenario RCP (Representative Concentration Pathways) untuk memproyeksikan berbagai kemungkinan masa depan iklim dan dampaknya.

Studi Kasus di Tuscany: Risiko Kekeringan dan Dampak Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian

Risiko Kekeringan di Lima DAS Tuscany

Analisis risiko kekeringan dilakukan pada lima DAS pesisir di Tuscany: Cecina, Cornia, Bruna, Ombrone, dan Albegna, yang memiliki karakteristik pertanian intensif dan tekanan tinggi pada sumber daya air, terutama di musim panas.

  • Hazard: Wilayah pesisir selatan Tuscany, terutama Provinsi Grosseto, diprediksi mengalami risiko kekeringan paling tinggi di masa depan. Indikator SPI dan VHI menunjukkan frekuensi dan durasi kekeringan meningkat.
  • Exposure: Wilayah pesisir dan daerah penghasil anggur bernilai tinggi seperti Chianti menunjukkan paparan tinggi karena ketergantungan pada irigasi.
  • Vulnerability: Pola kerentanan lebih beragam, dengan daerah pedalaman seperti Pisa dan Siena menunjukkan tingkat kerentanan sosial dan ekologis yang lebih tinggi.

Klasterisasi dan Strategi Adaptasi

Melalui analisis klaster, tujuh tipe wilayah dengan karakteristik risiko dan kerentanan berbeda diidentifikasi, seperti klaster dengan irigasi pesisir tinggi, produk bernilai tinggi, dan daerah rawan erosi. Strategi adaptasi disesuaikan untuk setiap klaster, misalnya:

  • Klaster irigasi pesisir tinggi: Meningkatkan efisiensi irigasi, pengelolaan akuifer terkontrol, dan pengurangan penggunaan air domestik dan industri.
  • Klaster produk bernilai tinggi: Mengadopsi irigasi suplementer dan pembangunan kolam penampungan air untuk mengatasi kekeringan.

Dampak Perubahan Iklim pada Hasil Panen dan Penggunaan Air

Model SWAT+ menunjukkan bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi hasil tanaman seperti gandum durum, bunga matahari, dan jagung, serta meningkatkan jejak air (water footprint) pertanian. Namun, penerapan strategi adaptasi agronomi seperti perubahan tanggal tanam dan varietas tanaman dapat mengurangi dampak negatif tersebut secara signifikan.

Studi Kasus di Somalia: Risiko Iklim dan Kapasitas Adaptasi Sistem Agro-Pastoral

Wilayah DAS Juba dan Shabelle di Somalia dipilih sebagai studi kasus kedua karena kerentanan tinggi terhadap bencana iklim seperti kekeringan dan banjir, serta ketergantungan masyarakat pada pertanian dan peternakan skala kecil.

  • Risiko Iklim: Dengan menggunakan model SWAT+ yang dikombinasikan dengan penilaian risiko, penelitian ini memetakan risiko iklim masa depan berdasarkan lima narasi SSP. Risiko tertinggi terkait dengan skenario SSP3 (regional rivalry) yang menunjukkan tantangan mitigasi dan adaptasi yang besar.
  • Kapasitas Adaptasi: Penelitian menilai kapasitas coping, adaptasi, dan transformasi masyarakat agro-pastoral, yang sangat penting untuk ketahanan sistem pangan lokal.
  • Rekomendasi Kebijakan: Hasil penelitian memberikan informasi penting untuk pengambilan keputusan lokal dan nasional dalam mengelola risiko iklim dan meningkatkan ketahanan sistem pertanian.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah Studi

Penelitian ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan penilaian risiko dan pemodelan agro-hidrologi, yang selama ini sering dipisah dalam studi perubahan iklim dan pengelolaan air. Penggunaan indikator komposit yang lengkap dan metode validasi robust meningkatkan keandalan hasil.

Namun, beberapa tantangan tetap ada, seperti ketidakpastian model iklim dan keterbatasan data lokal, terutama di wilayah seperti Somalia. Penelitian juga menyoroti pentingnya memasukkan kapasitas adaptasi sosial dan ekonomi dalam penilaian risiko, aspek yang sering diabaikan.

Dibandingkan dengan studi lain, integrasi ini memperkuat pemahaman holistik tentang dampak perubahan iklim pada sistem pertanian dan sumber daya air, serta memberikan kerangka kerja yang dapat diadaptasi di wilayah lain dengan kondisi serupa.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Disertasi ini menegaskan bahwa untuk menghadapi perubahan iklim, diperlukan pendekatan terpadu yang menggabungkan penilaian risiko kekeringan dan pemodelan agro-hidrologi. Studi kasus di Tuscany dan Somalia menunjukkan bahwa adaptasi agronomi yang tepat dapat mengurangi dampak negatif perubahan iklim pada hasil panen dan ketersediaan air.

Penerapan metode ini dapat membantu pembuat kebijakan dalam merancang strategi mitigasi dan adaptasi yang efektif, dengan mempertimbangkan ketidakpastian iklim dan kapasitas adaptasi lokal. Selain itu, pendekatan ini mendukung agenda global seperti Paris Agreement dan Sustainable Development Goals dalam mengatasi krisis iklim dan pangan.

Sumber Artikel:

Villani, L. (2023). Exploring climate change impacts and adaptive capacity of agricultural systems: Integration of risk assessment and agro-hydrological modelling. Doctoral Thesis, University of Florence and Vrije Universiteit Brussel.

Selengkapnya
Integrasi Penilaian Risiko dan Model Agro-Hidrologi untuk Adaptasi Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian

Perubahan Iklim

Meningkatkan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terintegrasi di Indonesia untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Tinjauan Komprehensif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Tantangan Perubahan Iklim dan Peran Pengelolaan DAS Terintegrasi

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, ketersediaan air, energi, dan kesehatan lingkungan. Hampir seluruh wilayah Indonesia rentan terhadap banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan, dan hujan ekstrem. Dalam konteks ini, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terintegrasi menjadi salah satu strategi kunci untuk mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Paper berjudul "Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review" oleh Tyas Mutiara Basuki dan rekan (2022) memberikan tinjauan mendalam mengenai upaya Indonesia dalam mengelola DAS secara terintegrasi, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi perbaikan untuk mendukung target nasional dan komitmen internasional seperti Paris Agreement.

Konsep dan Realitas Pengelolaan DAS Terintegrasi di Indonesia

Regulasi dan Kebijakan Pendukung

Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan DAS, termasuk Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (diubah dengan UU No. 17/2019), UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS. Regulasi ini menegaskan prinsip keberlanjutan, keadilan, transparansi, dan integrasi lintas sektor serta wilayah administratif.

Namun, kompleksitas regulasi yang sektoral dan tumpang tindih menyebabkan lemahnya sinkronisasi dan koordinasi antar lembaga. Misalnya, kewenangan pengelolaan DAS yang dialihkan ke tingkat provinsi belum diikuti dengan mekanisme koordinasi yang efektif, sehingga implementasi di lapangan masih terbatas.

Institusi dan Tata Kelola

Pengelolaan DAS melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga masyarakat lokal. Keterlibatan multi-institusi ini menimbulkan tantangan koordinasi, terutama karena batas wilayah DAS yang tidak sesuai dengan batas administratif. Studi menunjukkan bahwa kurangnya mekanisme integrasi dan sanksi tegas atas pengelolaan sumber daya yang buruk memperburuk kondisi DAS.

Contoh nyata adalah pengelolaan DAS Bribin yang terhambat oleh pergeseran kewenangan dan keterbatasan sumber daya manusia di tingkat daerah. Selain itu, partisipasi masyarakat masih minim karena pendekatan yang cenderung top-down dan kurang transparan.

Perencanaan, Implementasi, dan Monitoring-Evaluasi Pengelolaan DAS

Perencanaan

Perencanaan pengelolaan DAS di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan No. P.60/Menhut-II/2013 yang mengatur proses identifikasi masalah, penetapan tujuan, dan penyusunan program. Namun, dalam praktiknya, rencana pengelolaan DAS yang telah disahkan oleh gubernur seringkali tidak menjadi acuan bagi sektor lain karena tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan kurang terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah seperti RPJP dan RPJM.

Implementasi

Kegiatan pengelolaan DAS fokus pada konservasi tanah dan air melalui tindakan mekanis dan vegetatif, seperti rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Contoh keberhasilan implementasi dapat dilihat di DAS Cidanau, di mana sektor industri di hilir memberikan insentif kepada petani di hulu untuk menjaga vegetasi, sehingga keberlanjutan DAS terjamin.

Namun, tantangan besar adalah tingginya erosi di daerah hulu akibat praktik pertanian intensif di lahan miring dan kurangnya penerapan konservasi tanah yang tepat. Di daerah hilir, masalah utama adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan.

Monitoring dan Evaluasi (MONEV)

MONEV sangat penting untuk mengukur kemajuan dan efektivitas pengelolaan DAS, termasuk dampaknya terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kriteria MONEV meliputi aspek lahan, kualitas dan kuantitas air, sosial ekonomi, investasi, dan pemanfaatan ruang.

Sayangnya, hasil MONEV sering tidak digunakan untuk memperbaiki perencanaan karena kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan. Monitoring juga masih didominasi oleh sektor kehutanan dan belum melibatkan semua pihak secara terpadu.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS di Indonesia

Dampak Biophysical

Perubahan iklim mengganggu siklus hidrologi yang menyebabkan perubahan pola curah hujan, suhu, dan kejadian ekstrim. Studi memprediksi penurunan hasil panen padi hingga 12,1% secara nasional pada 2040-2050, serta peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan.

Banjir di Indonesia meningkat signifikan, dengan 1518 kejadian banjir pada 2020 yang menyebabkan 132 kematian dan mengungsikan lebih dari 780 ribu orang. Kekeringan juga berdampak pada produktivitas pertanian dan memicu kebakaran hutan yang luas, seperti pada periode El Niño 1997/98 yang membakar 11,7 juta hektar lahan.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi sangat besar, misalnya banjir di Jakarta dan Solo yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Kekeringan mempengaruhi pendapatan petani dan ketahanan pangan, dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah di beberapa desa.

Selain itu, perubahan iklim memperburuk kondisi kesehatan masyarakat, meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, dan stres. Konflik sosial juga berpotensi meningkat akibat persaingan sumber daya air yang semakin terbatas.

Strategi Perbaikan Pengelolaan DAS Terintegrasi untuk Mitigasi dan Adaptasi

Perencanaan Adaptif dan Terintegrasi

Perencanaan pengelolaan DAS harus bersifat adaptif, melibatkan data berkualitas tinggi dari teknologi GIS dan remote sensing, serta partisipasi luas dari pemangku kepentingan. Penggunaan model mikro DAS (micro watershed model) dengan skala sekitar 1000-5000 hektar memudahkan koordinasi dan partisipasi masyarakat.

Implementasi Berbasis Partisipasi dan Teknologi

Paradigma pengelolaan harus bergeser ke arah kolaborasi lintas sektor dan partisipasi masyarakat, menggabungkan pendekatan bottom-up dan top-down. Teknologi konservasi tanah dan air seperti agroforestri, bio-pore infiltration, dan sistem drainase ramah lingkungan perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi lokal.

Agroforestri terbukti efektif meningkatkan retensi air, mengurangi erosi, dan menyerap karbon, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui diversifikasi tanaman.

Peningkatan Monitoring dan Evaluasi

MONEV harus dilakukan secara terpadu dengan indikator sederhana namun representatif, seperti tutupan vegetasi permanen, kualitas dan kuantitas air, serta indeks pembangunan manusia sebagai indikator sosial ekonomi. Data hasil monitoring harus dipublikasikan secara transparan melalui platform daring agar dapat diakses oleh semua pihak.

Penguatan Aspek Sosial dan Kelembagaan

Pengelolaan DAS harus mengintegrasikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang masih relevan, seperti sistem penanaman tradisional dan norma sosial pengelolaan sumber daya. Desa sebagai unit pembangunan harus diberdayakan melalui program-program seperti ProKlim dan SDGs Desa untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi.

Koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat, daerah, maupun lintas negara (untuk DAS transboundary), harus diperkuat dengan regulasi yang jelas dan mekanisme insentif serta sanksi yang efektif.

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Luas rehabilitasi DAS di Indonesia mencapai 395.168 hektar pada 2019, dengan penyerapan karbon sekitar 771.653 ton CO2e.
  • Di DAS Cidanau, integrasi sektor industri dan petani upstream berhasil menjaga keberlanjutan sumber daya air melalui pembayaran jasa lingkungan.
  • Data bencana 2020 mencatat 1518 kejadian banjir dengan 132 korban jiwa dan 782.054 pengungsi.
  • Penurunan hasil panen padi diperkirakan mencapai 12,1% secara nasional pada 2040-2050, dengan defisit beras mencapai 90 juta ton pada 2050.
  • Kerugian ekonomi akibat banjir di beberapa daerah mencapai miliaran rupiah setiap tahun, misalnya banjir Jakarta 2002 mencapai IDR 6,7 miliar.

Opini dan Perbandingan dengan Tren Global

Pengelolaan DAS terintegrasi sebagai strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat relevan dengan tren global yang menekankan pendekatan lanskap dan ekosistem. Namun, tantangan klasik seperti tumpang tindih regulasi, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan minimnya partisipasi masyarakat juga dialami banyak negara berkembang.

Perbaikan integrasi data dan teknologi informasi serta pemberdayaan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan. Pendekatan mikro DAS yang responsif terhadap kondisi lokal sejalan dengan praktik terbaik di beberapa negara seperti India dan Ethiopia.

Namun, Indonesia perlu memperkuat aspek kelembagaan dan hukum agar rencana pengelolaan DAS tidak hanya menjadi dokumen formal, melainkan pedoman yang diikuti seluruh sektor.

Kesimpulan

Pengelolaan DAS terintegrasi di Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, air, dan lingkungan. Meskipun regulasi dan kebijakan sudah cukup lengkap, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala koordinasi, partisipasi, dan integrasi data.

Perbaikan strategi harus dimulai dari perencanaan adaptif yang melibatkan teknologi modern dan kearifan lokal, implementasi berbasis kolaborasi dan teknologi konservasi, serta monitoring-evaluasi yang transparan dan terpadu. Penguatan kelembagaan dan pemberdayaan desa menjadi fondasi penting untuk keberlanjutan pengelolaan DAS.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat lebih efektif mencapai target NDC dan Paris Agreement, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Sumber Artikel :

Basuki, T. M., Nugroho, H. Y. S. H., Indrajaya, Y., Pramono, I. B., Nugroho, N. P., Supangat, A. B., Indrawati, D. R., Savitri, E., Wahyuningrum, N., Purwanto, et al. (2022). Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review. Sustainability, 14(16), 9997.

Selengkapnya
Meningkatkan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terintegrasi di Indonesia untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Tinjauan Komprehensif

Perubahan Iklim

Adaptive Co-Management untuk Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Barents: Resensi Mendalam dan Relevansi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Mengelola Kompleksitas Perubahan Iklim dengan Adaptive Co-Management

Perubahan iklim menghadirkan tantangan besar bagi kawasan-kawasan sensitif seperti Kawasan Barents, yang meliputi wilayah utara Finlandia, Norwegia, Rusia, dan Swedia. Dampak perubahan iklim seperti mencairnya permafrost, perubahan pola cuaca, dan naiknya permukaan laut berpotensi mengganggu ekosistem, mata pencaharian masyarakat lokal, serta infrastruktur penting. Dalam konteks ini, Ryan Plummer dan Julia Baird (2013) menawarkan pendekatan adaptive co-management (ACM) sebagai strategi tata kelola yang responsif dan kolaboratif untuk menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas perubahan iklim di Barents.

Resensi ini akan membahas konsep ACM, studi kasus penerapannya di Niagara, Kanada, serta pertimbangan penting untuk mengimplementasikannya di Barents. Selain itu, artikel ini memberikan analisis kritis dan menghubungkan dengan tren global agar relevan dan menarik bagi pembaca lintas disiplin.

Adaptive Co-Management: Konsep dan Karakteristik Utama

Adaptive co-management merupakan gabungan dari dua tradisi pengelolaan sumber daya alam: pengelolaan kolaboratif (co-management) dan pengelolaan adaptif (adaptive management). Pendekatan ini menekankan:

  • Pluralisme dan komunikasi: Melibatkan berbagai aktor dari berbagai level sosial dan sektor untuk membangun pemahaman bersama melalui dialog dan negosiasi. Konflik dianggap sebagai peluang untuk pembelajaran.
  • Pengambilan keputusan dan kewenangan bersama: Kekuasaan dan tanggung jawab dibagi di antara para aktor, dengan pengakuan terhadap berbagai sumber pengetahuan.
  • Keterhubungan lintas skala: Jaringan aktor yang terhubung secara horizontal dan vertikal, dari komunitas lokal hingga tingkat nasional, dengan mempertahankan otonomi masing-masing.
  • Pembelajaran dan adaptasi: Kebijakan dan tindakan dianggap sebagai eksperimen yang dievaluasi secara kolektif untuk pembelajaran berkelanjutan, termasuk perubahan nilai dan tata kelola.

ACM bukanlah proses linear, melainkan siklus dinamis yang terus berkembang, di mana aktor bergerak dari tahap awal yang terpisah menuju kolaborasi yang lebih erat dan aksi bersama yang adaptif.

Studi Kasus Niagara, Kanada: Penerapan ACM dalam Adaptasi Perubahan Iklim

Wilayah Niagara di Kanada, dikenal dengan keindahan Niagara Falls dan statusnya sebagai UNESCO Biosphere Reserve, merupakan sistem sosial-ekologis yang kompleks dengan populasi sekitar 425.000 jiwa. Ekonomi lokal bertumpu pada manufaktur, pertanian, dan pariwisata yang menyumbang pengeluaran wisatawan sebesar $2,3 miliar per tahun.

Dalam menghadapi perubahan iklim yang berpotensi mengganggu sektor-sektor ini, sebuah inisiatif ACM dimulai ketika perencana wilayah Niagara menghubungi peneliti untuk mengembangkan rencana adaptasi iklim. Langkah awal adalah melakukan inventarisasi sosial-ekologis dengan mewawancarai 38 individu dari 33 organisasi untuk memahami aktivitas dan nilai yang ada terkait perubahan iklim.

Selanjutnya, serangkaian empat workshop interaktif digelar untuk berbagi informasi tentang proyeksi iklim dan dampaknya, serta memperkuat interaksi antar peserta. Proses ini menghasilkan pembentukan Niagara Climate Change Network, sebuah jaringan kolaboratif yang menyusun piagam perubahan iklim dan membentuk komite pengarah untuk menggerakkan aksi bersama.

Pelajaran penting dari Niagara adalah bahwa kolaborasi lintas sektor dapat memperkuat pemahaman dan aksi adaptasi, meskipun hasil jangka panjang dari proses ini masih dalam evaluasi. Keberhasilan ini menekankan pentingnya dialog, pembelajaran sosial, dan komitmen jangka panjang dalam ACM.

Pertimbangan Kunci untuk Mengimplementasikan ACM di Kawasan Barents

Kawasan Barents yang luas dan kaya sumber daya alam dihuni oleh sekitar 5,3 juta orang, dengan sekitar 7% penduduknya bergantung pada perburuan, perikanan, peternakan rusa, dan kehutanan. Dampak perubahan iklim di kawasan ini meliputi perubahan suhu, mencairnya permafrost, dan gangguan ekosistem laut serta darat. Selain itu, tekanan dari eksploitasi minyak, gas, dan mineral menambah kompleksitas tata kelola.

Tiga pertimbangan utama dalam menerapkan ACM di Barents adalah:

  1. Memiliki ekspektasi yang realistis terhadap ACM
    Meskipun ACM diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sosial-ekologis dan orientasi keberlanjutan, pengalaman menunjukkan hasilnya bervariasi. Ada kasus di mana ACM tidak meningkatkan kepatuhan, memperburuk konflik, atau bahkan memperkuat marginalisasi kelompok tertentu. ACM bukan solusi ajaib dan tidak selalu cocok di semua konteks. Contohnya, kebijakan Uni Eropa yang mengharuskan fasilitas pemotongan hewan tertentu telah memaksa peternak rusa di Barents melakukan perjalanan lebih jauh, menunjukkan bagaimana kebijakan tingkat tinggi dapat menimbulkan tantangan di tingkat lokal.
  2. Menyesuaikan ACM dengan konteks lokal untuk meningkatkan adaptabilitas
    Tidak ada formula tunggal untuk ACM; pendekatan harus disesuaikan dengan karakteristik sosial, budaya, dan ekologis setempat. Misalnya, peternakan rusa di Barents sangat terkait erat dengan ekosistem lokal dan budaya masyarakat adat Sami. Perubahan iklim dan kebijakan yang tidak sensitif dapat menimbulkan disonansi antara pengetahuan tradisional dan kondisi baru, serta menimbulkan stres mental dan kekhawatiran akan masa depan.
  3. Memusatkan perhatian pada kondisi pendukung keberhasilan ACM
    Keberhasilan ACM dipengaruhi oleh sejumlah kondisi, seperti sistem sumber daya yang jelas, skala pengelolaan yang sesuai, entitas sosial dengan kepentingan bersama, hak kepemilikan yang jelas, akses ke alat manajemen yang adaptif, komitmen jangka panjang, sumber daya dan pelatihan, kepemimpinan yang kuat, pengakuan terhadap berbagai jenis pengetahuan, serta dukungan kebijakan di berbagai level pemerintahan. Memperkuat dan membangun kondisi-kondisi ini sangat penting untuk meningkatkan peluang keberhasilan ACM di Barents.

Studi Kasus dan Data Penting dari Kawasan Barents dan Niagara

Di Barents, sekitar 7% penduduk bergantung pada mata pencaharian tradisional seperti peternakan rusa, perikanan, dan kehutanan. Perubahan kebijakan Uni Eropa terkait fasilitas pemotongan hewan memaksa peternak rusa melakukan perjalanan lebih jauh, menambah beban ekonomi dan sosial. Kasus komunitas Pomor di pesisir Laut Putih menunjukkan bagaimana kebijakan federal yang mendorong industrialisasi dan pariwisata dapat mengancam praktik perikanan berkelanjutan tradisional.

Di Niagara, 38 individu dari 33 organisasi terlibat dalam inventarisasi sosial-ekologis yang menjadi dasar pembentukan jaringan adaptasi iklim. Dengan 30 juta wisatawan per tahun dan ekonomi senilai $2,3 miliar, kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, sehingga ACM menjadi pendekatan yang relevan untuk mengelola risiko tersebut.

Analisis Kritis dan Hubungan dengan Tren Global

Adaptive co-management bukan solusi universal. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa tanpa sensitivitas terhadap konteks sosial-politik dan etika, ACM bisa menjadi sekadar "hiasan" yang menyembunyikan masalah kekuasaan dan ketidakadilan yang sudah ada. ACM juga sering efektif pada skala lokal atau regional, tetapi dapat tertindas oleh kebijakan dan kekuatan di tingkat nasional atau internasional.

Namun, ACM memiliki keunggulan dibandingkan model pengelolaan tradisional yang kaku, karena menggabungkan kolaborasi lintas sektor dan pembelajaran adaptif. Tren global dalam tata kelola sumber daya alam dan adaptasi iklim semakin mengarah pada model tata kelola hibrid dan multi-level yang melibatkan masyarakat adat dan lokal sebagai aktor kunci.

Industri dan kebijakan global juga mulai mengadopsi prinsip ekonomi sirkular dan inovasi sosial yang menekankan kolaborasi, pembelajaran, dan adaptasi berkelanjutan—sejalan dengan prinsip ACM.

Rekomendasi untuk Implementasi ACM di Barents dan Wilayah Serupa

  • Mulai dengan dialog dan inventarisasi sosial-ekologis untuk memahami aktor, nilai, dan jaringan yang ada serta membangun kepercayaan.
  • Kembangkan jaringan dan identitas bersama yang dapat menjadi motor aksi adaptasi, seperti yang terlihat di Niagara.
  • Pastikan dukungan kebijakan dan sumber daya dari tingkat lokal hingga nasional agar kolaborasi dapat berjalan efektif.
  • Lakukan evaluasi dan adaptasi berkelanjutan untuk menyesuaikan strategi dengan dinamika sosial-ekologis yang terus berubah.

Adaptive co-management menawarkan kerangka tata kelola yang fleksibel, partisipatif, dan adaptif untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di kawasan kompleks seperti Barents. Keberhasilannya bergantung pada ekspektasi yang realistis, penyesuaian dengan konteks lokal, dan pemenuhan kondisi pendukung yang telah terbukti. ACM bukan solusi instan, melainkan proses jangka panjang yang menuntut komitmen dan kolaborasi lintas sektor.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan komunitas lokal, ACM layak dijadikan pendekatan utama dalam adaptasi perubahan iklim, dengan penyesuaian yang cermat agar sesuai dengan karakteristik unik setiap wilayah.

Sumber Artikel :

Plummer, R., & Baird, J. (2013). Adaptive Co-Management for Climate Change Adaptation: Considerations for the Barents Region. Sustainability, 5(2), 629-642.

Selengkapnya
Adaptive Co-Management untuk Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Barents: Resensi Mendalam dan Relevansi Global

Perubahan Global

Sand and Sustainability: Finding New Solutions for Environmental Governance of Global Sand Resources

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Pasir, Fondasi Tak Terlihat yang Kini Terancam

Pasir dan kerikil adalah bahan dasar tak tergantikan dalam pembangunan dunia modern—mulai dari beton, kaca, hingga elektronik. Namun, laporan “Sand and Sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources” yang diterbitkan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2019, mengungkapkan bahwa konsumsi pasir global telah melonjak tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, mencapai 50 miliar ton per tahun atau sekitar 18 kg per orang per hari. Ironisnya, di balik peran vitalnya, pasir merupakan salah satu sumber daya yang paling tidak diatur dan paling rentan terhadap eksploitasi berlebihan, kerusakan lingkungan, serta konflik sosial1.

Artikel ini akan mengupas laporan tersebut secara kritis, menyoroti data dan studi kasus utama, membandingkan dengan tren global, serta menawarkan analisis dan rekomendasi bagi pembaca industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.

 Skala Permasalahan: Pasir sebagai Krisis Sumber Daya Abad ke-21

Lonjakan Permintaan dan Konsumsi

  • Konsumsi pasir global: 40–50 miliar ton per tahun, didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran, terutama di Asia1.
  • China dan India: Menyumbang 67% produksi agregat global. China sendiri mengonsumsi 14,3 ton agregat per kapita per tahun, jauh di atas rata-rata dunia1.
  • Korelasi dengan semen: Untuk setiap 1 ton semen, digunakan 6–10 ton agregat (pasir dan kerikil). Dengan produksi semen global mencapai 4,1 miliar ton (2017), diperkirakan kebutuhan agregat untuk beton saja mencapai 28,7–32,8 miliar ton1.

Keterbatasan Data dan Pengawasan

  • Tidak ada sistem pemantauan global yang komprehensif untuk ekstraksi pasir, meski dampaknya sangat luas1.
  • Sebagian besar pasir dikonsumsi secara regional karena biaya transportasi tinggi, sehingga pengawasan dan penegakan hukum sering kali lemah di tingkat lokal.

Dampak Lingkungan dan Sosial: Dari Erosi hingga Konflik Sosial

Dampak Lingkungan

  • Erosi sungai dan pesisir: Ekstraksi pasir dari sungai dan pantai menyebabkan erosi, hilangnya habitat, dan menurunnya kualitas air. Di banyak sungai besar dunia, 50–95% sedimen alami tidak lagi mencapai laut karena penambangan dan pembangunan bendungan1.
  • Kehancuran ekosistem: Penambangan pasir di kawasan sensitif mengancam spesies langka, seperti penyu dan lumba-lumba air tawar, serta menghancurkan habitat ikan dan burung air1.
  • Dampak pada pertanian dan infrastruktur: Erosi sungai menyebabkan hilangnya lahan pertanian, penurunan muka air tanah, dan kerusakan struktur seperti jembatan dan dinding penahan1.

Dampak Sosial dan Ekonomi

  • Risiko keselamatan: Banyak pekerja penambangan pasir menghadapi risiko tenggelam, longsor, dan kecelakaan fatal lainnya.
  • Sand mafia: Di India, Maroko, dan negara lain, penambangan pasir ilegal dikuasai kelompok kriminal terorganisir, memicu kekerasan dan korupsi1.
  • Konflik dengan masyarakat lokal: Komunitas yang terdampak sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan hanya memperoleh manfaat ekonomi jangka pendek, sementara menanggung kerugian jangka panjang1.

Studi Kasus Kunci: Dampak Nyata di Lapangan

A. Singapura: Raksasa Impor Pasir Dunia

  • Ekspansi wilayah: Dalam 45 tahun, luas Singapura bertambah 23% (137 km²) melalui reklamasi lahan dengan pasir impor1.
  • Impor pasir: 517 juta ton pasir diimpor selama 20 tahun terakhir, terutama dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Namun, data ekspor-impor tidak sinkron, menunjukkan adanya perdagangan ilegal sekitar 120 juta ton1.
  • Dampak regional: Penambangan pasir untuk kebutuhan Singapura menyebabkan erosi pantai di Indonesia dan Vietnam, serta memicu ketegangan diplomatik1.

B. Braamspunt, Suriname: Konflik Konservasi dan Ekonomi

  • Ekstraksi pasir di kawasan konservasi: Pantai Braamspunt, habitat penting penyu langka, menjadi lokasi penambangan pasir legal dan ilegal meski sudah ada zona konservasi1.
  • Kebijakan tumpang tindih: Izin penambangan diberikan tanpa konsultasi kementerian lingkungan, dan tanpa analisis dampak lingkungan yang wajib1.
  • Aksi masyarakat sipil: LSM lokal berupaya menekan pemerintah agar perlindungan tidak hanya berlaku di atas kertas, tetapi juga di lapangan1.

C. Maroko: Sand Mafia dan Erosi Pantai

  • Penambangan ilegal: Sekitar 10 juta m³ pasir per tahun diambil secara ilegal dari pantai, mengubah lanskap dan mengancam industri pariwisata1.
  • Kerusakan ekonomi: Erosi pantai akibat penambangan pasir mengancam hotel dan infrastruktur wisata, ironi karena pasir digunakan untuk membangun fasilitas tersebut1.

Tantangan Tata Kelola: Fragmentasi, Kurangnya Data, dan Lemahnya Penegakan

Fragmentasi Regulasi

  • Di banyak negara, penambangan pasir diatur secara nasional atau regional, namun implementasi dan pengawasan sering kali lemah karena keterbatasan sumber daya dan korupsi1.
  • Banyak negara telah melarang penambangan pasir di sungai, danau, atau pantai, tetapi penegakan hukum sering tidak efektif.

Peran Aktor Global

  • Hanya sekitar 5% agregat yang diperdagangkan lintas negara, tetapi negara-negara seperti Singapura, UEA, dan Arab Saudi menjadi indikator tren masa depan bagi negara dengan sumber daya terbatas1.
  • Lima perusahaan besar dunia (misal: Sibelco, Holcim, Heidelberg, CRH, Chinese Harbour & Construction Ltd.) menguasai rantai pasok utama, namun ribuan operasi kecil dan informal sulit diawasi1.

Solusi dan Inovasi: Menuju Tata Kelola Pasir yang Berkelanjutan

A. Mengurangi Konsumsi Pasir Alam

  • Perencanaan kota kompak: Mengurangi kebutuhan pembangunan baru dan memperpanjang umur bangunan melalui perawatan dan adaptasi ulang1.
  • Green infrastructure: Menggantikan infrastruktur beton dengan solusi hijau seperti permeable pavement yang mengurangi kebutuhan pasir sekaligus mengatasi banjir kota1.
  • Studi kasus: Permeable Pavement
    • Digunakan di kota-kota baru di China dan India untuk mengurangi limpasan air dan kebutuhan pasir dalam pembangunan jalan dan trotoar1.
    • Beton permeabel mengurangi kebutuhan pasir hingga 100% pada beberapa desain1.

B. Substitusi dan Daur Ulang Material

  • Agregat daur ulang: Negara seperti Jerman telah mendaur ulang 87% limbah agregat konstruksi, mengurangi tekanan pada sumber daya primer1.
  • Material alternatif: Penggunaan fly ash, slag baja, limbah plastik, kulit kelapa sawit, dan material limbah lainnya sebagai pengganti pasir telah diujicoba di India, Malaysia, China, dan Australia1.
  • Studi kasus: Waste-to-Energy di China
    • Pabrik waste-to-energy terbesar di Shenzhen akan mengolah 5.000 ton sampah per hari, menghasilkan abu dasar yang dapat digunakan sebagai agregat pengganti pasir dalam konstruksi1.

C. Standar dan Praktik Terbaik

  • Adopsi standar internasional: Konvensi seperti Ramsar, UNCLOS, dan berbagai perjanjian regional dapat diadaptasi untuk mengatur ekstraksi pasir1.
  • Praktik industri: Di Inggris, pajak agregat dan pelaporan transparan telah mendorong praktik penambangan yang lebih bertanggung jawab dan restorasi lahan pasca-ekstraksi1.
  • Studi kasus: Restorasi tambang di Eropa
    • Proyek “Life in Quarries” di Belgia berhasil meningkatkan keanekaragaman hayati dengan mengelola tambang sebagai habitat sementara bagi burung langka1.

Rekomendasi dan Arah Kebijakan: Jalan Menuju Tata Kelola Pasir Berkelanjutan

A. Penguatan Standar dan Penegakan

  • Setiap negara perlu memiliki kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk perizinan dan pengawasan penambangan pasir, dengan memperhatikan konteks lokal1.
  • Adaptasi pengalaman Eropa dalam pengelolaan agregat dapat menjadi acuan, namun harus disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi setempat.

B. Investasi dalam Pemantauan dan Data

  • Pengumpulan data dasar tentang ekstraksi, konsumsi, dan dampak pasir harus menjadi prioritas. Sistem pemantauan nasional dan regional perlu diperkuat, termasuk pelacakan rantai pasok1.
  • Studi sedimentasi di DAS dan pesisir sangat penting untuk menentukan kuota ekstraksi yang berkelanjutan.

C. Dialog dan Transparansi Multi-Pihak

  • Semua aktor—pemerintah, industri, masyarakat sipil, dan komunitas lokal—harus dilibatkan dalam dialog transparan dan akuntabel untuk merumuskan kebijakan dan solusi bersama1.
  • Integrasi sektor pasir ke dalam inisiatif transparansi ekstraktif global seperti Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dapat menjadi langkah awal.

Kritik dan Perbandingan dengan Tren Global

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data dan transparansi: Tanpa data yang akurat, kebijakan sering reaktif dan tidak efektif.
  • Dominasi aktor informal: Ribuan operasi kecil dan sand mafia sulit dijangkau oleh regulasi formal.
  • Perubahan perilaku lambat: Masyarakat dan industri masih memandang pasir sebagai sumber daya tak terbatas.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Penelitian Gavriletea (2017) dan Beiser (2018) menguatkan temuan UNEP tentang dampak destruktif penambangan pasir dan perlunya tata kelola lintas sektor.
  • Studi WWF (2018) menyoroti dampak penambangan pasir di Mekong dan Asia Tenggara, sejalan dengan kasus Singapura dan Vietnam dalam laporan ini.

Konteks Industri dan Tren Masa Depan

  • Circular economy: Industri konstruksi global mulai beralih ke prinsip ekonomi sirkular, mendaur ulang limbah dan mencari material alternatif.
  • Teknologi material: Inovasi seperti beton hijau, agregat dari limbah plastik, dan penggunaan fly ash semakin berkembang, namun adopsi massal masih terbatas oleh biaya dan standar teknik.
  • Urbanisasi berkelanjutan: Kota-kota di China, India, dan Afrika menjadi laboratorium penting untuk solusi pengelolaan pasir yang inovatif.

Paradigma Baru untuk Sumber Daya Tak Terbarukan

Laporan UNEP 2019 menegaskan bahwa krisis pasir adalah salah satu tantangan keberlanjutan terbesar abad ini. Solusi teknis sudah tersedia—mulai dari perencanaan kota kompak, substitusi material, hingga praktik industri terbaik—namun tantangan utama terletak pada tata kelola, transparansi, dan perubahan paradigma bahwa pasir bukanlah sumber daya tak terbatas1.

Masa depan pembangunan berkelanjutan bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola sumber daya dasar seperti pasir secara bertanggung jawab, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan berinovasi dalam kebijakan, teknologi, dan perilaku konsumsi. Jika tidak, kita akan menghadapi konsekuensi ekologis, sosial, dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar kekurangan bahan bangunan.

Sumber Artikel :

UNEP 2019. Sand and sustainability: Finding new solutions for environmental governance of global sand resources. GRID-Geneva, United Nations Environment Programme, Geneva, Switzerland.

Selengkapnya
Sand and Sustainability: Finding New Solutions for Environmental Governance of Global Sand Resources
« First Previous page 166 of 1.194 Next Last »