Saya Terobsesi dengan Paper Akademis Ini—Dan Inilah Peta Masa Depan Karier STEM di ASEAN yang Terungkap

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

27 September 2025, 22.52

Saya Terobsesi dengan Paper Akademis Ini—Dan Inilah Peta Masa Depan Karier STEM di ASEAN yang Terungkap

Mengapa Saya Terobsesi dengan Paper Akademis yang (Seharusnya) Membosankan Ini

Jujur saja, saya biasanya tidak menghabiskan akhir pekan dengan membaca review bibliometrik. Judulnya saja sudah bikin menguap: "A Bibliometric Review of Research on STEM Education in ASEAN: Science Mapping the Literature in Scopus Database, 2000 to 2019". Terdengar seperti obat tidur dalam bentuk PDF, kan?  

Tapi rasa penasaran mengalahkan saya. Saya membukanya, dan yang saya temukan bukanlah tumpukan data kering, melainkan sebuah peta harta karun. Bayangkan seorang arkeolog yang dengan sabar membersihkan debu dari artefak kuno, dan perlahan, pola-pola yang rumit dan indah mulai terlihat. Itulah yang saya rasakan. Di balik jargon akademis dan grafik yang padat, paper ini menceritakan sebuah kisah—kisah tentang ambisi, persaingan, peluang yang terlewatkan, dan yang terpenting, petunjuk tentang ke mana arah pendidikan dan karier di Asia Tenggara.

Paper ini menganalisis 175 publikasi ilmiah tentang pendidikan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) di seluruh negara ASEAN selama dua dekade. Pada dasarnya, para peneliti ini memetakan semua jejak riset yang ada untuk melihat: Siapa yang paling aktif? Apa yang mereka teliti? Dengan siapa mereka bekerja sama? Dan di mana mereka membagikan temuannya?  

Jadi, mari kita kesampingkan dulu citra akademis yang kaku. Anggap saja kita akan membedah peta ini bersama-sama. Saya akan menjadi pemandu Anda untuk menyoroti titik-titik paling menarik, permata tersembunyi, dan bahkan beberapa area misterius yang bertanda "di sini ada naga". Percayalah, apa yang kita temukan akan mengubah cara Anda memandang masa depan talenta di kawasan kita.

Gelombang Besar yang Datang Diam-Diam: Ledakan Riset STEM di Tiga Tahun Terakhir

Hal pertama yang membuat saya terbelalak adalah sebuah grafik sederhana—Figure 1 dalam paper tersebut. Grafik itu menunjukkan jumlah publikasi riset STEM di ASEAN dari tahun ke tahun. Selama bertahun-tahun, garisnya nyaris datar. Riset pertama baru muncul pada tahun 2007, dan setelah itu pertumbuhannya lambat dan stabil, seperti detak jantung yang tenang. Dari 2007 hingga 2016, jumlahnya naik sedikit demi sedikit. Tidak ada yang dramatis.  

Lalu, sesuatu terjadi.

Mulai tahun 2017, garis itu melesat ke atas seperti roket. Bayangkan sebuah sleeper wave—gelombang raksasa yang datang tiba-tiba setelah lautan tenang. Dalam periode tiga tahun saja, dari 2017 hingga 2019, jumlah publikasi riset STEM meledak, menyumbang 67,43% dari total publikasi selama dua dekade penuh!.  

Ini bukan sekadar angka. Ini adalah sinyal seismik yang menunjukkan pergeseran fundamental dalam prioritas regional. Bayangkan jika Anda mengatur ritme kerja seperti ini: setelah bertahun-tahun melakukan persiapan dalam diam, tiba-tiba dalam tiga tahun Anda menghasilkan dua pertiga dari seluruh hasil kerja Anda. Itulah yang sedang terjadi di level regional.

Apa yang memicu ledakan ini? Paper ini tidak berspekulasi secara liar, tetapi petunjuknya jelas. Pertumbuhan eksponensial ini bukan fenomena yang terjadi secara kebetulan. Ini adalah respons langsung terhadap intervensi kebijakan yang terencana dan disengaja. Negara-negara di ASEAN, terutama para pemain utamanya, mulai menyadari bahwa masa depan ekonomi mereka bergantung pada talenta STEM. Mereka tidak hanya bicara, mereka bertindak—mengalokasikan dana, mereformasi kurikulum, dan mendorong universitas untuk fokus pada bidang ini.

Ledakan riset ini adalah buah dari investasi kebijakan tersebut. Ini adalah bukti nyata bahwa ketika pemerintah di kawasan kita serius tentang suatu bidang, ekosistem akademisnya akan merespons dengan cepat dan masif. Ini adalah sebuah blueprint yang bisa ditiru oleh negara-negara lain yang ingin mengejar ketertinggalan.

Para Raksasa dan Ruang Kosong: Siapa yang Memimpin Perlombaan Riset STEM?

Jika ledakan riset adalah gelombangnya, maka siapa yang menunggangi gelombang itu? Peta ini menunjukkan lanskap yang sangat tidak merata. Ada beberapa raksasa yang mendominasi, sementara beberapa wilayah lain masih berupa ruang kosong yang menunggu untuk dijelajahi.

Malaysia Adalah Juaranya, dan Itu Bukan Kebetulan

Satu negara berdiri jauh di atas yang lain: Malaysia. Dari 175 total publikasi, Malaysia menyumbang 83 di antaranya—hampir separuh dari seluruh output riset di ASEAN. Thailand menyusul di posisi kedua dengan 35 publikasi, dan Indonesia di posisi ketiga dengan 24.  

Dominasi Malaysia bukan hanya soal kuantitas. Ketika kita melihat institusi mana yang paling produktif, ceritanya menjadi lebih jelas. Dari 12 universitas dengan publikasi terbanyak, tujuh di antaranya berasal dari Malaysia, dengan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM) memimpin di puncak.  

Mengapa Malaysia begitu dominan? Paper ini memberikan jawaban yang lugas: kebijakan. Pemerintah Malaysia secara eksplisit menjadikan pendidikan STEM sebagai elemen inti dalam Malaysian Education Blueprint (2013-2025). Mereka tidak hanya berharap talenta STEM akan muncul, mereka membangun ekosistem untuk menumbuhkannya.  

  • 🚀 Raja Konten: Malaysia memproduksi 47,42% dari total riset di ASEAN!.  

  • 🧠 Pusat Kekuatan: 7 dari 12 universitas paling produktif ada di Malaysia, menunjukkan konsentrasi talenta dan sumber daya yang luar biasa.  

  • 💡 Pelajaran Utama: Fokus kebijakan pemerintah yang jelas, ditambah dengan dukungan institusional yang kuat, adalah resep keberhasilan yang terbukti. Ini bukan sihir, ini strategi.  

Keberhasilan Malaysia menunjukkan bahwa ini bukan sekadar hasil kerja beberapa peneliti jenius. Ini adalah buah dari pembangunan ekosistem yang terintegrasi—dari kebijakan tingkat tinggi hingga dukungan nyata di level universitas. Ini adalah pelajaran penting bagi negara-negara lain di kawasan ini.

Misteri Tiga Negara yang Hilang dari Peta

Di sisi lain spektrum, ada sebuah temuan yang sama menariknya: ada tiga negara yang benar-benar absen dari peta riset ini. Para peneliti tidak menemukan satu pun publikasi dari penulis yang berafiliasi dengan Brunei Darussalam, Laos, atau Myanmar.  

Alih-alih melihat ini sebagai sebuah kegagalan, saya melihatnya sebagai "ruang kosong di peta"—sebuah terra incognita yang penuh dengan potensi. Ini menyoroti kesenjangan, tetapi juga peluang besar untuk pertumbuhan. Bayangkan potensi yang belum tergali di negara-negara ini, talenta yang menunggu untuk dikembangkan, dan masalah lokal yang bisa dipecahkan melalui pendekatan STEM. Ini adalah panggilan bagi para pembuat kebijakan, pendidik, dan organisasi regional untuk berinvestasi di wilayah-wilayah ini dan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Bertetangga Tapi Tak Saling Sapa: Ironi Kolaborasi di ASEAN

Ini adalah bagian dari paper yang paling membuat saya mengernyitkan dahi. Secara logika, kita akan berpikir bahwa negara-negara ASEAN, dengan kedekatan geografis, budaya, dan tantangan yang serupa, akan sering berkolaborasi dalam riset. Ternyata, tidak.

Paper ini menyebut kolaborasi intra-ASEAN "tidak terlalu jelas dan efektif" (not really clear and effective). Sebaliknya, para peneliti di negara-negara top seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura justru lebih sering bekerja sama dengan mitra dari...  

Amerika Serikat.  

Analogi yang muncul di benak saya adalah sebuah komplek perumahan mewah. Para tetangga tinggal bersebelahan, memiliki masalah serupa (misalnya, keamanan komplek atau iuran bulanan), tetapi mereka jarang berbicara satu sama lain. Sebaliknya, masing-masing dari mereka lebih sering menelepon kerabat jauh mereka di benua lain untuk meminta nasihat. Ironis, bukan?

Ini adalah salah satu temuan yang paling membuat saya berpikir. Ada potensi kolaborasi regional yang begitu besar untuk memecahkan masalah bersama—mulai dari perubahan iklim, ketahanan pangan, hingga transformasi digital—namun tampaknya potensi itu belum tergali maksimal. Mungkin kita terlalu sering melihat ke "luar" untuk mencari validasi, pendanaan, atau prestise, dan lupa bahwa kekuatan terbesar kita mungkin ada di tetangga sebelah.

Tentu saja, ini bukan sekadar soal preferensi. Pola ini kemungkinan besar mencerminkan warisan infrastruktur akademik global. Universitas-universitas di AS memiliki dana riset yang besar, jaringan yang mapan, dan jurnal-jurnal paling bergengsi. Wajar jika para peneliti kita ingin terhubung dengan ekosistem tersebut. Namun, ini juga menjadi pengingat bahwa untuk mendorong kolaborasi regional yang lebih kuat, kita tidak bisa hanya mengandalkan seruan "ayo bekerja sama". Kita perlu membangun infrastruktur kolaborasi yang nyata: skema pendanaan bersama, program pertukaran peneliti yang mudah diakses, dan platform regional yang bergengsi untuk berbagi pengetahuan.

Kualitas di Atas Kuantitas? Sebuah Kritik Halus yang Perlu Kita Dengar

Sekarang, mari kita bicara tentang sesuatu yang sedikit sensitif: kualitas. Paper ini tidak hanya melihat berapa banyak riset yang dipublikasikan, tetapi juga di mana riset itu dipublikasikan. Di dunia akademis, kualitas sebuah jurnal sering diukur dengan sistem kuartil (Q1, Q2, Q3, Q4).

Bayangkan ini seperti liga sepak bola. Jurnal Q1 adalah Liga Champions, tempat tim-tim terbaik dunia bersaing dan disaksikan oleh audiens global. Jurnal Q4 lebih seperti liga nasional—tetap kompetitif dan penting, tetapi dengan dampak dan jangkauan yang lebih terbatas.

Temuannya? Para peneliti di ASEAN cenderung mempublikasikan karya mereka di jurnal Q3 dan Q4. Dari 10 jurnal yang paling banyak menampung riset STEM ASEAN, tidak ada satupun yang masuk kategori Q1.  

Ini adalah kritik halus yang perlu kita dengar. Meskipun jumlah publikasi meroket, "panggung" tempat kita menampilkan temuan-temuan kita masih bisa ditingkatkan. Ini bukan hanya soal gengsi. Mempublikasikan di jurnal-jurnal top berarti ide-ide brilian dari para peneliti kita diuji oleh standar global tertinggi, didengar oleh audiens yang lebih luas, dan pada akhirnya, memberikan dampak yang lebih besar.

Saya bahkan berpikir, mungkin ada hubungan antara rendahnya kolaborasi intra-ASEAN dengan tren publikasi ini. Riset yang dilakukan secara terisolasi mungkin cenderung memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan riset yang lahir dari kolaborasi yang kuat dan beragam. Ketika para peneliti terbaik dari berbagai negara bekerja sama, mereka saling menantang, berbagi sumber daya, dan menggabungkan perspektif unik, yang sering kali menghasilkan karya yang lebih inovatif dan berkualitas tinggi—jenis karya yang layak masuk Liga Champions. Jadi, mungkin dengan memperbaiki masalah kolaborasi, kita juga bisa secara tidak langsung meningkatkan kualitas riset kita.

Pelajaran Praktis untuk Anda: Bagaimana 'Peta' Ini Bisa Memandu Karier dan Bisnis Anda

Baik, setelah menjelajahi tren makro, apa artinya semua ini bagi kita secara pribadi? Bagaimana peta ini bisa membantu Anda menavigasi karier atau bisnis Anda? Inilah bagian "so what?"-nya.

Paper ini menganalisis kata kunci dari semua 175 publikasi untuk melihat apa topik yang paling sering diteliti. Hasilnya sangat jelas: fokus terbesar ada pada subjek mahasiswa dan pelajar, dengan dua bidang yang mendominasi: Pendidikan Komputer (Education Computing) dan Pendidikan Teknik (Engineering Education).  

Bagi para pendidik dan pembuat kebijakan, ini adalah sinyal emas. Energi inovasi pendidikan di ASEAN saat ini terkonsentrasi di dua bidang ini. Jika Anda ingin mengembangkan kurikulum yang relevan atau program pelatihan guru yang berdampak, inilah area yang harus menjadi fokus utama.

Bagi para profesional, mahasiswa, dan siapa pun yang sedang merencanakan karier, pesannya bahkan lebih kuat. Lonjakan riset di bidang komputasi dan teknik bukanlah kebetulan. Ini adalah cerminan langsung dari kebutuhan industri yang masif. Perusahaan-perusahaan di seluruh Asia Tenggara sedang berteriak mencari talenta dengan keahlian di bidang teknologi, data, dan rekayasa. Peta riset ini adalah validasi berbasis data bahwa keahlian di bidang-bidang inilah yang akan menjadi mata uang paling berharga di pasar kerja masa depan.

Jika Anda ingin menjadi bagian dari gelombang ini dan memastikan karier Anda tetap relevan, meningkatkan keahlian di bidang data dan teknologi adalah langkah yang tidak bisa ditawar. Program seperti(https://diklatkerja.com/online-course/) bisa menjadi langkah awal yang strategis untuk membangun fondasi yang kuat dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan masa depan yang sudah ada di depan mata.

Langkah Anda Selanjutnya: Membaca Peta Sendiri

Perjalanan kita membedah peta ini hampir berakhir. Kita telah melihat gelombang besar riset yang datang, para raksasa yang memimpin, ironi kolaborasi, dan petunjuk praktis untuk masa depan.

Tentu saja, seperti peta mana pun, peta ini memiliki keterbatasan. Para penulis sendiri mengakui bahwa mereka hanya menggunakan satu database (Scopus), jadi mungkin ada beberapa riset lain yang tidak tercakup. Namun, sebagai gambaran besar, ini adalah alat yang sangat kuat.  

Peta ini sudah ada di tangan Anda. Pertanyaannya sekarang, ke mana Anda akan melangkah? Apakah Anda akan menggunakan wawasan ini untuk mengarahkan pilihan studi Anda? Mengubah strategi rekrutmen di perusahaan Anda? Atau mungkin, memulai sebuah kolaborasi riset dengan tetangga yang selama ini Anda abaikan?

Jika Anda merasa tertantang dan ingin menyelam lebih dalam, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya. Jangan biarkan judulnya yang panjang membuat Anda takut. Sekarang Anda sudah memiliki kerangkanya, Anda akan melihatnya bukan sebagai teks akademis yang kering, tetapi sebagai cerita yang menarik tentang masa depan kita bersama.

(https://doi.org/10.29333/ejmste/8500)