Perumahan dan Permukiman

Perumahan Layak sebagai Pendorong Pembangunan: Tinjauan Kritis terhadap Laporan 'Home Equals' yang Memodelkan Dampak Perumahan di Permukiman Informal terhadap Pembangunan Manusia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 16 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah pertanyaan fundamental bagi para pembuat kebijakan dan praktisi pembangunan: Apa dampak terukur dari perbaikan perumahan di permukiman informal terhadap pembangunan manusia secara luas? Secara tradisional, dampak dari perumahan yang layak—seperti kepemilikan yang aman (security of tenure), akses ke layanan dasar, dan material yang memadai—sering kali bersifat kualitatif atau sulit diukur dalam skala makro.   

Kerangka teoretis laporan ini secara inovatif menghubungkan elemen-elemen perumahan layak secara langsung dengan tiga dimensi inti dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI):
(1) Pendapatan (diukur dengan GNI per kapita), (2) Kesehatan (diukur dengan harapan hidup), dan (3) Pendidikan (diukur dengan tahun harapan sekolah). Hipotesis yang mendasari studi ini adalah bahwa perbaikan perumahan yang komprehensif bukan hanya intervensi sosial, tetapi juga investasi ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan signifikan dan terukur pada indikator-indikator HDI nasional.   

Metodologi dan Kebaruan

Untuk menguji hipotesis ini, penelitian ini mengadopsi metodologi pemodelan statistik kuantitatif yang canggih, yang dibangun di atas tinjauan literatur ekstensif terhadap lebih dari 130 penelitian. Proses metodologisnya melibatkan beberapa langkah kunci:   

  1. Analisis Skenario: Tiga skenario dampak dirancang: Hati-hati (Cautious), Moderat, dan Optimis. Skenario "Optimis", misalnya, mengasumsikan bahwa perbaikan perumahan multi-sektoral dapat menghasilkan kenaikan pendapatan sebesar 10% bagi penghuni permukiman informal.   

  2. Pembuatan Tipologi: Alih-alih menganalisis setiap negara secara individual, laporan ini membangun sebuah tipologi (bukan taksonomi) yang mengelompokkan negara ke dalam empat tipe teoretis berdasarkan tingkat HDI dan persentase penghuni kawasan kumuh (misalnya, Tipe 1: HDI Tinggi/Kumuh Rendah; Tipe 3: HDI Sedang/Kumuh Tinggi).   

  3. Pemodelan Statistik: Model ini kemudian menghitung potensi perubahan pada setiap komponen HDI (GNI, harapan hidup, tahun sekolah) untuk setiap tipe negara di bawah setiap skenario.   

Kebaruan dari karya ini terletak pada upayanya untuk mengkuantifikasi dampak pembangunan secara holistik. Alih-alih hanya mengisolasi satu variabel (misalnya, dampak kesehatan dari air bersih), model ini mencoba menangkap efek gabungan dari perbaikan perumahan yang komprehensif terhadap metrik pembangunan nasional yang paling diakui secara global, yaitu HDI.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis pemodelan menghasilkan serangkaian temuan kuantitatif yang kuat yang menyoroti potensi transformatif dari investasi perumahan.

  1. Dampak Signifikan pada Peringkat HDI: Temuan utama menunjukkan bahwa intervensi perumahan dapat secara signifikan mengubah skor dan peringkat HDI suatu negara. Dalam skenario "Optimis", negara-negara Tipe 1 (HDI Tinggi) dapat mengalami kenaikan HDI sebesar 2,9% (dari 0,798 menjadi 0,822), yang berpotensi memindahkan mereka dari kategori "Tinggi" ke "Sangat Tinggi". Ini secara efektif berarti negara-negara tersebut dapat "melompat" dalam peringkat HDI global.   

  2. Dampak Terukur pada Pendidikan: Model ini memberikan angka nyata pada hasil sosial. Ditemukan bahwa akses ke perumahan yang layak dapat mencegah lebih dari 20-25 juta anak dan remaja putus sekolah (terutama di negara-negara Tipe 3 dan 4, di mana populasi permukiman informal terbesar).   

  3. Dampak pada Kesehatan dan Pendapatan: Di luar pendidikan, model ini menghitung dampak langsung pada harapan hidup dan GNI per kapita. Skenario "Optimis" menunjukkan potensi peningkatan harapan hidup dan variasi persentase yang signifikan dalam GNI, yang secara kolektif berkontribusi pada peningkatan skor HDI secara keseluruhan.   

Secara kontekstual, temuan-temuan ini memberikan "bukti"  empiris bahwa perumahan yang layak di permukiman informal adalah fondasi untuk pembangunan manusia, yang berdampak langsung pada modal manusia (kesehatan, pendidikan) dan kemakmuran ekonomi (pendapatan).   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu kesenjangan data yang signifikan (existing data gaps). Kesenjangan ini merupakan "kendala metodologis penting"  yang membatasi ketepatan model. Secara khusus, data UN-HABITAT untuk sebagian besar negara berpenghasilan tinggi tidak tersedia, yang mengharuskan pengecualian negara-negara berpenghasilan tinggi dari analisis.   

Selain itu, penting untuk diingat bahwa model ini didasarkan pada tipologi (konstruk teoretis berdasarkan rata-rata tertimbang), bukan taksonomi (klasifikasi empiris yang kaku), sehingga Tipe 1-4 adalah representasi teoretis, bukan pengelompokan definitif negara.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, laporan ini adalah alat advokasi yang kuat. Ia dirancang untuk mendukung kampanye "Home Equals"  dengan menyediakan data kuantitatif bagi para pembuat kebijakan untuk membenarkan investasi besar dalam perbaikan permukiman informal, tidak hanya atas dasar moral tetapi juga atas dasar ekonomi dan pembangunan. Laporan ini menyerukan intervensi yang komprehensif dan partisipatif sebagai strategi pembangunan yang paling efektif.   

Untuk penelitian di masa depan, karya ini menyoroti kebutuhan mendesak akan pengumpulan data global yang lebih baik mengenai permukiman informal  untuk menutup kesenjangan yang ada dan meningkatkan akurasi model-model prediktif di masa depan.   

Sumber

Habitat for Humanity & IIED. (2023). Improving housing in informal settlements: Assessing the impacts in human development

Selengkapnya
Perumahan Layak sebagai Pendorong Pembangunan: Tinjauan Kritis terhadap Laporan 'Home Equals' yang Memodelkan Dampak Perumahan di Permukiman Informal terhadap Pembangunan Manusia

Ekonomi Pariwisata

Wisata Kemiskinan di Irak: Tinjauan Kritis terhadap Peran Pariwisata Kawasan Kumuh dalam Pembangunan Perkotaan

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 16 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah pergeseran konseptual dalam studi pariwisata yang bisa dibilang menjadi peluang usaha yang unik. Di era postmodern, terjadi pergeseran dari pariwisata tradisional yang berfokus pada warisan budaya atau kenikmatan hedonistik, menuju pencarian pengalaman yang lebih mendalam, termasuk "belajar tentang budaya lokal dan pengalaman kehidupan sehari-hari" di lokasi-lokasi yang tidak konvensional. Fenomena "wisata kawasan kumuh"—yang bukan merupakan fenomena baru dan telah ada sejak 1884 —masuk ke dalam kategori ini.   

Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa meskipun pariwisata kawasan kumuh menawarkan potensi ekonomi, hal ini juga menghadirkan paradoks etika yang signifikan, terutama dalam konteks di mana kebutuhan dasar (seperti yang digariskan dalam piramida Maslow) bagi banyak penghuni kawasan kumuh tidak terpenuhi. Namun, penelitian ini berhipotesis bahwa "strategi stimulasi perkotaan memiliki dimensi positif dalam mengaktifkan pariwisata di area-area tersebut" dan dapat memberikan dampak nyata bagi pembangunan berkelanjutan. Secara khusus dalam konteks Irak, studi ini mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan yang krusial: kesadaran akan konsep pariwisata kawasan kumuh di kalangan masyarakat "tidak tinggi."   

Metodologi dan Kebaruan

Untuk menguji hipotesisnya dan mengukur tingkat kesadaran, penelitian ini mengadopsi metodologi survei kuantitatif. Pendekatan ini melibatkan pengumpulan data demografis  dan persepsi dari komunitas lokal di Irak. Kuesioner dirancang untuk mengukur berbagai variabel, termasuk:   

  • Pandangan umum komunitas terhadap kawasan kumuh dan pengembangannya (misalnya, "Saya merasa sulit menerimanya").   

  • Preferensi aktivitas yang mungkin dilakukan responden saat mengunjungi kawasan kumuh.   

  • Persepsi mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk mengembangkan pariwisata di area tersebut.   

  • Identifikasi tantangan utama yang dihadapi pariwisata kawasan kumuh di Irak.   

Kebaruan dari karya ini terletak pada aplikasinya yang spesifik. Sementara sebagian besar literatur tentang wisata kemiskinan berfokus pada lokus yang sudah mapan (seperti township di Afrika Selatan atau favela di Brazil), studi ini mengalihkan lensa ke Irak—sebuah konteks yang secara signifikan kurang terwakili dalam diskursus ini. Studi ini memberikan data empiris awal yang berharga mengenai persepsi lokal di wilayah tersebut.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data survei menghasilkan serangkaian temuan yang melukiskan gambaran yang kompleks mengenai potensi wisata kawasan kumuh di Irak.

  1. Kesadaran Rendah, Namun Persepsi Penting: Temuan utama mengonfirmasi hipotesis awal: "kesadaran akan pariwisata kawasan kumuh di Irak tidak tinggi," dengan "persentase besar anggota komunitas tidak terbiasa dengan konsep tersebut." Namun, secara paradoksal, penelitian ini juga menemukan bahwa "terdapat persentase besar dari komunitas lokal yang percaya pada pentingnya" (mengembangkan) kawasan tersebut.   

  2. Identifikasi Tantangan: Tantangan utama yang menghambat pengembangan wisata kawasan kumuh di Irak, menurut 11,3% partisipan, adalah "kurangnya (sistem) yang terintegrasi." Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya yang bersifat sporadis atau tidak terkoordinasi dipandang sebagai penghalang signifikan.   

  3. Preferensi Aktivitas: Studi ini berhasil mengidentifikasi preferensi spesifik di antara responden. Ditemukan bahwa 23,3% partisipan tertarik untuk mempraktikkan aktivitas tertentu saat berkunjung, yang sejalan dengan motivasi teoretis pariwisata ini, seperti "menemukan pengalaman baru, menjelajahi tempat yang tidak dikenal," dan "pemahaman budaya."   

  4. Peluang Postmodern: Secara konseptual, penelitian ini menegaskan bahwa pergeseran di era postmodern dari pariwisata warisan budaya tradisional merupakan sebuah peluang. Dengan "mengganti ide warisan budaya," destinasi baru yang tidak konvensional seperti kawasan kumuh dapat dieksplorasi, membuka jalan bagi model pembangunan alternatif.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Meskipun menyajikan data yang penting, keterbatasan utama dari studi ini adalah fokusnya pada persepsi dan preferensi. Studi ini mengukur apa yang diyakini atau diinginkan oleh komunitas, tetapi tidak dapat mengukur dampak ekonomi atau sosial yang aktual dari implementasi pariwisata semacam itu.

Secara kritis, studi ini menyoroti ketegangan etis dari "wisata kemiskinan" dengan merujuk pada piramida Maslow. Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasar para penghuni sambil secara bersamaan "menjual" pengalaman kemiskinan mereka tetap menjadi inti permasalahan yang harus ditangani oleh setiap strategi pembangunan di masa depan.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti. Temuan ini berfungsi sebagai dasar untuk rekomendasi kebijakan yang konkret. Rekomendasi utama yang disarankan oleh penelitian ini adalah "Mengembangkan infrastruktur, meningkatkan akses ke kawasan kumuh, menghubungkan mereka dengan atraksi wisata di kota, dan mengintegrasikan mereka ke dalam tatanan perkotaan."

Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka jalan bagi studi intervensi. Setelah mengidentifikasi persepsi positif (meskipun kesadaran rendah) dan tantangan (kurangnya sistem terintegrasi), langkah logis berikutnya adalah merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi proyek percontohan (pilot project) wisata kawasan kumuh berskala kecil di Irak. Studi semacam itu akan sangat penting untuk mengukur dampak empiris aktual—baik positif maupun negatif—terhadap pendapatan, pemberdayaan, dan kualitas hidup penghuni kawasan kumuh.

Sumber

AL-TAEE, O., & JALEEL, A. (2024). THE ROLE OF SLUM TOURISM IN SUSTAINABLE URBAN DEVELOPMENT OF SLUM AREAS IN IRAQ. Civil and Environmental Engineering, 20(2), 933-947.   

Selengkapnya
Wisata Kemiskinan di Irak: Tinjauan Kritis terhadap Peran Pariwisata Kawasan Kumuh dalam Pembangunan Perkotaan

Perguruan Tinggi

Melembagakan Service-Learning: Tinjauan Multi-Kasus terhadap Proses, Alat, dan Keberlanjutan di Pendidikan Tinggi

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 16 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah masalah fundamental: tanpa pelembagaan (institutionalization), pedagogi Service-Learning (SL) tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Ketika SL tetap bersifat marjinal dan para pendukungnya terus "berjuang untuk bertahan hidup," sulit untuk mengembangkan atau mempertahankan kursus berkualitas tinggi. Lebih lanjut, dari perspektif komunitas, adalah "tidak bertanggung jawab" bagi sebuah institusi untuk mendorong kemitraan komunitas tanpa menciptakan infrastruktur yang diperlukan untuk menopang kemitraan tersebut dari waktu ke waktu.   

Kerangka teoretis yang diusung oleh buku ini adalah bahwa pelembagaan adalah sebuah proses perpindahan SL "dari pinggiran ke arus utama," menjadikannya bagian dari struktur akademik yang sah. Buku ini secara eksplisit mengadopsi metafora "polihedron" (bidang banyak) dari Paus Fransiskus, yang menyiratkan bahwa tujuannya bukanlah untuk menyajikan satu model yang sukses, melainkan untuk mempromosikan dialog dan membangun rasa kebersamaan dengan menyajikan berbagai sisi dan pengalaman dari institusi yang berbeda. Dengan demikian, tujuan utama dari kompilasi ini adalah untuk menyajikan beragam perspektif dan studi kasus dari lebih dari empat belas universitas di berbagai benua mengenai bagaimana mereka menavigasi proses pelembagaan SL.   

Metodologi dan Kebaruan

Sebagai sebuah volume kolektif, metodologi utama yang digunakan adalah studi multi-kasus komparatif dan analisis teoretis. Buku ini mengumpulkan dan menyajikan pengalaman mendalam dari berbagai Institusi Pendidikan Tinggi (IPT), terutama Institusi Pendidikan Tinggi Katolik (IPTK), dari berbagai konteks budaya dan struktural, termasuk studi kasus dari Chili , Belgia , Spanyol , Jerman , Kenya , Filipina , Argentina , Meksiko , Afrika Selatan , dan Hong Kong.   

Sebuah komponen metodologis utama yang dibahas dan digunakan di seluruh volume adalah Rubrik Penilaian Mandiri untuk Pelembagaan Service-Learning (Self-Assessment Rubric for the Institutionalization of Service-Learning), yang dikembangkan oleh Andrew Furco. Rubrik ini berfungsi sebagai alat diagnostik utama, yang mengukur kemajuan institusi melalui tiga tahap (Membangun Massa Kritis, Membangun Kualitas, Pelembagaan Berkelanjutan)  di lima dimensi utama: (1) Filosofi dan Misi, (2) Keterlibatan dan Dukungan Fakultas, (3) Keterlibatan dan Dukungan Mahasiswa, (4) Partisipasi Komunitas, dan (5) Dukungan Institusional.   

Kebaruan dari karya ini terletak pada cakupan globalnya yang luas dan presentasi beragam "wajah" dari proses pelembagaan, yang secara kolektif didukung oleh kerangka kerja penilaian yang konkret.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis terhadap berbagai kerangka kerja teoretis dan studi kasus di dalam volume ini menghasilkan serangkaian temuan kunci mengenai proses pelembagaan SL.

  1. Sinergi "Top-Down" dan "Bottom-Up": Temuan yang paling konsisten di berbagai studi kasus adalah bahwa proses pelembagaan yang paling sukses dan langgeng terjadi ketika ada sinergi antara inisiatif "bottom-up" (energi dan komitmen dari fakultas dan mahasiswa yang terlibat) dengan "top-down" (dukungan, kebijakan, dan sumber daya dari otoritas universitas). Dukungan dari pimpinan puncak, seperti Rektor, terbukti krusial dalam memberikan keberlanjutan, visibilitas , dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan.   

  2. Risiko dan Hambatan Pelembagaan: Proses ini tidak bersifat linier dan menghadapi risiko yang signifikan. Hambatan yang paling umum adalah resistensi dari fakultas atau administrator yang menganut paradigma "menara gading," yang khawatir bahwa keterlibatan komunitas akan "menurunkan tingkat akademik." Tantangan lainnya adalah apa yang disebut "imunitas terhadap perubahan" (immunity to change), yaitu dinamika institusional mendarah daging yang lebih fokus pada "persaingan antar individu... daripada... kapasitas untuk bekerja sama."   

  3. Beragam Jalur, Tujuan yang Sama: Studi kasus menunjukkan tidak ada satu cara yang benar untuk melembagakan SL. Pontifical Catholic University of Chile, misalnya, menunjukkan proses konsolidasi selama 15 tahun yang didasarkan pada model yang sangat sistematis dan pengembangan panduan internal. Sebaliknya, De La Salle University di Filipina menggambarkan "Pendekatan Bibingka" yang sangat kontekstual , dan University of Deusto di Spanyol mengintegrasikannya dengan tradisi Ignatian mereka.   

  4. Pentingnya Penilaian Mandiri: Penggunaan Rubrik Penilaian Mandiri (seperti yang dijelaskan oleh Furco) terbukti penting bukan hanya untuk mendapatkan "skor," tetapi untuk memfasilitasi perencanaan strategis dan "langkah-langkah tindakan strategis" guna memajukan SL lebih lanjut.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Volume ini, melalui bab oleh Furco, secara transparan mengakui keterbatasan dari alat penilaian utamanya. Rubrik Penilaian Mandiri awalnya dikembangkan di Amerika Serikat dan secara alami "bergantung pada perspektif Utara dan Barat." Tantangan signifikan muncul dalam penerjemahan—tidak hanya bahasa (misalnya, "faculty" vs "facultad") tetapi juga konsep—ke dalam konteks budaya dan sistem pendidikan tinggi yang berbeda di seluruh dunia.   

Selain itu, rubrik ini sebagian besar berfokus pada faktor internal institusi dan tidak sepenuhnya memperhitungkan kekuatan eksternal (seperti kebijakan pemerintah atau pengaturan budaya) yang juga mempengaruhi pelembagaan SL.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, buku ini berfungsi sebagai sumber daya yang komprehensif, menawarkan cetak biru, studi kasus, dan alat diagnostik (termasuk berbagai rubrik di Apendiks ) bagi institusi pendidikan tinggi mana pun yang ingin memulai atau memperkuat perjalanan pelembagaan SL mereka.   

Untuk penelitian di masa depan, karya ini menyerukan perlunya investigasi lebih lanjut mengenai aspek-aspek pelembagaan SL yang unik dalam konteks spesifik, seperti di dalam Institusi Pendidikan Tinggi Katolik  dan di luar konteks Barat. Tujuannya adalah untuk terus mengadaptasi dan menyempurnakan alat diagnostik agar lebih relevan secara kontekstual di seluruh dunia.   

Sumber

Jouannet, C., Arocha, L., Tapia, M. N., Peregalli, A., Furco, A., dkk. (2023). Institutionalization of Service-Learning in Higher Education. (Uniservitate Collection, 4). CLAYSS.   

Selengkapnya
Melembagakan Service-Learning: Tinjauan Multi-Kasus terhadap Proses, Alat, dan Keberlanjutan di Pendidikan Tinggi

Infrastruktur dan Lingkungan

Urbanisme 'Ruang-Antara': Tinjauan Kritis terhadap Peran Otla dalam Membentuk Kehidupan di Permukiman Informal Ahmedabad

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 16 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah realitas yang tak terbantahkan: kota-kota di negara berkembang sering kali kewalahan (overpopulated) dan tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menampung gelombang migrasi massal dari perdesaan ke perkotaan yang didorong oleh pencarian kerja. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa kemunculan kawasan kumuh merupakan akibat langsung dari kegagalan perencanaan kota (failed city planning) dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan fasilitas perumahan yang terjangkau.   

Kerangka teoretis yang diusung oleh penulis secara tegas menghubungkan fenomena kawasan kumuh dengan agenda pembangunan global, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Penulis berargumen bahwa SDGs, dengan sifatnya yang inklusif dan terintegrasi, merupakan kerangka kerja yang tepat karena mengakui bahwa isu-isu di kawasan kumuh (kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan) "saling terkait" (interconnected) dan tidak dapat diselesaikan secara sektoral. Dengan demikian, tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana pendekatan pembangunan berkelanjutan dapat diimplementasikan untuk perbaikan kawasan kumuh, dengan belajar dari pengalaman di tingkat kota, nasional, dan internasional.   

Metodologi dan Kebaruan

Studi ini mengadopsi metode tinjauan literatur konseptual dan historis. Pendekatan ini tidak menyajikan data empiris baru, melainkan mensintesis berbagai perspektif—mulai dari pemikiran modern era Victoria tentang kawasan kumuh  hingga teori-teori perbaikan permukiman pasca-2000—untuk membangun sebuah argumen yang koheren.   

Proses metodologisnya melibatkan penelusuran evolusi kebijakan kawasan kumuh. Secara khusus, studi ini menyoroti karya John F. C. Turner sebagai titik awal pergeseran paradigma dalam kebijakan perbaikan kawasan kumuh di negara-negara berkembang. Kebaruan dari karya ini terletak pada sintesisnya yang kuat antara diskursus kawasan kumuh dengan kerangka kerja SDGs. Alih-alih hanya berfokus pada kemiskinan atau perumahan, studi ini secara holistik mengintegrasikan dimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta secara kritis mengidentifikasi hambatan finansial yang sistemik.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Sebagai sebuah tinjauan konseptual, temuan utama dari penelitian ini adalah identifikasi dari dinamika, kontribusi, dan hambatan utama dalam pembangunan kawasan kumuh.

  1. Pergeseran Paradigma Kebijakan: Penelitian ini mencatat adanya transformasi historis yang penting dalam kebijakan perkotaan. Pendekatan awal yang bersifat destruktif—seperti "pembersihan total dan deportasi" (complete clearance and deportation)—telah bergeser menuju pendekatan yang "lebih lunak" dan lebih berkelanjutan, yang mempertimbangkan aspek ekonomi, budaya, sosial, dan lingkungan.   

  2. Kontribusi Ekonomi Kawasan Kumuh: Tinjauan ini secara tegas menantang narasi bahwa kawasan kumuh hanya menjadi beban. Ditemukan bahwa penghuni kawasan kumuh memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi perkotaan , baik sebagai "bagian besar dari angkatan kerja formal" maupun sebagai penyedia jasa perkotaan yang esensial, seperti pengumpulan sampah.   

  3. Hambatan Finansial Sistemik: Salah satu temuan paling kritis adalah identifikasi kegagalan dalam sistem keuangan formal. Bank-bank terbukti "memberikan jumlah pinjaman yang sangat sedikit" (very meager amount of loans) kepada penghuni kawasan kumuh. Lebih lanjut, sistem penjaminan seperti Fogarim (yang dirancang untuk membantu) justru memberikan "manfaat yang rendah bagi para pekerja berpenghira tidak tetap" (low benefit to nonregular-income earners), yang pada akhirnya mengecualikan mereka yang paling membutuhkan dari akses ke sumber daya keuangan.   

  4. Kawasan Kumuh sebagai Target Intervensi SDGs: Karena konsentrasi kemiskinan yang tinggi, kawasan kumuh menjadi "target sempurna untuk intervensi" yang bertujuan untuk pengurangan kemiskinan, pengurangan angka kematian anak, dan penanganan HIV/AIDS.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya sebagai tinjauan literatur. Studi ini tidak menyajikan studi kasus empiris baru atau data kuantitatif primer. Akibatnya, ia berhasil dalam memetakan lanskap konseptual dan hambatan yang diketahui, namun tidak dapat memberikan evaluasi mendalam tentang keberhasilan atau kegagalan program spesifik di lapangan.   

Secara kritis, meskipun studi ini menyoroti pentingnya SDGs, ia tidak mengeksplorasi potensi konflik antar-tujuan SDGs dalam konteks kawasan kumuh (misalnya, antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan).

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas. Ia memberikan argumen kuat bagi para pembuat kebijakan untuk meninggalkan pendekatan sektoral yang terfragmentasi. Kegagalan sistem keuangan formal dalam menjangkau pekerja informal menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan inovasi dalam produk keuangan mikro (micro-finance) dan skema penjaminan yang dirancang khusus untuk realitas ekonomi penghuni kawasan kumuh.   

Untuk penelitian di masa depan, karya ini menyerukan perlunya evaluasi yang lebih sistematis terhadap implementasi program perbaikan kawasan kumuh. Studi selanjutnya harus berfokus pada pengembangan dan pengujian "tindakan yang inklusif dan terintegrasi" (inclusive, integrated actions) yang secara simultan mengatasi dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagaimana diamanatkan oleh kerangka kerja SDGs.   

Sumber

Sustainable Development of Slum Living. (2021). Chapter.    

Selengkapnya
Urbanisme 'Ruang-Antara': Tinjauan Kritis terhadap Peran Otla dalam Membentuk Kehidupan di Permukiman Informal Ahmedabad

Ekonomi Hijau

Mendorong Transformasi Sirkular di Sektor Tekstil Indonesia melalui Implementasi Prinsip 9R

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 14 November 2025


Industri tekstil Indonesia menghadapi tekanan yang semakin besar terkait konsumsi material, tingginya limbah, ketergantungan pada serat berbasis minyak, serta persoalan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular menawarkan pendekatan pemulihan nilai yang lebih sistematis dan terukur, terutama melalui kerangka Prinsip 9R.

Kerangka ini memberikan panduan praktis bagi pelaku industri — mulai dari produsen, distributor, peritel, konsumen, hingga pengelola limbah — untuk membangun siklus hidup produk tekstil yang lebih berkelanjutan. Sumber yang dianalisis menyiapkan peta rinci bagaimana setiap prinsip dapat diterapkan pada rantai nilai (value chain) tekstil, dari produksi hingga pemulihan material.

Transformasi Sirkular melalui Prinsip 9R

1. Refuse (R0): Menghindari Material dan Proses Tidak Perlu

Tahap awal transformasi dimulai dari keputusan untuk tidak menggunakan bahan atau proses yang berdampak negatif.
Ini mencakup:

  • menghindari serat sintetik berbasis minyak yang tidak terurai,

  • menghindari zat kimia berbahaya (misalnya PFAS),

  • tidak memakai kemasan plastik dalam distribusi dan penjualan,

  • mendorong produksi tekstil yang lebih awet.

Strategi ini menciptakan perubahan pola produksi sekaligus membentuk preferensi konsumen ke arah produk yang lebih ramah lingkungan.

2. Rethink (R1): Mengubah Cara Produk Digunakan

Rethink menekankan optimalisasi penggunaan produk, termasuk:

  • memproduksi barang multifungsi atau multi-rupa,

  • memperluas model bisnis berbasis sewa atau berbagi,

  • penggunaan fasilitas produksi yang lebih fleksibel.

Prinsip ini membantu sektor tekstil mengurangi kebutuhan produksi baru tanpa mengorbankan utilitas.

3. Reduce (R2): Efisiensi Material dan Energi

Prinsip Reduce mendorong:

  • pengurangan penggunaan bahan baku baru,

  • peningkatan penggunaan material daur ulang,

  • efisiensi air, listrik, dan energi termal,

  • penggunaan bahan kemasan yang lebih sedikit,

  • preferensi terhadap slow fashion.

Di hilir, Reduce juga bertujuan menekan jumlah limbah tekstil yang masuk ke TPA melalui pengelolaan yang lebih baik.

4. Reuse (R3): Pemanfaatan Ulang Produk Layak Pakai

Reuse memperpanjang umur produk melalui:

  • kemasan yang dapat dikembalikan,

  • penggunaan ulang pakaian dan produk tekstil lainnya yang masih layak pakai,

  • penguatan ekosistem secondhand dan thrift.

Reuse memberikan dampak sosial-ekonomi penting dengan memperluas akses produk berkualitas bagi lebih banyak masyarakat.

5. Repair (R4): Memperpanjang Umur Produk melalui Perbaikan

Repair menekankan pada kemampuan memperbaiki produk, baik oleh produsen, peritel, maupun konsumen.
Ini memerlukan sistem layanan perbaikan yang terintegrasi agar produk tidak langsung menjadi limbah.

6. Remanufacture (R5) dan 7. Refurbish (R6)

Dalam konteks tekstil, dua prinsip ini tidak dapat diterapkan secara fungsional karena sifat produk dan struktur material tekstil.
Namun, keduanya tetap relevan secara konseptual untuk mendorong inovasi desain di masa depan.

8. Repurpose (R7): Mengubah Fungsi Material Lama menjadi Produk Baru

Repurpose memungkinkan bahan tekstil lama dimanfaatkan sebagai komponen produk lain, misalnya:

  • quilting menggunakan kain perca,

  • pakaian lama diubah menjadi lap, selimut, atau aksesori rumah.

Ini membuka jalur kreativitas baru dalam industri fesyen berkelanjutan.

9. Recycle (R8): Daur Ulang Material Tekstil

Recycle menjadi pilar penting dalam mengatasi lonjakan limbah tekstil. Penerapannya mencakup:

  • penggunaan hasil pencacahan tekstil sebagai bahan serat baru,

  • pemanfaatan limbah kapas untuk proses rayon,

  • program take-back,

  • kolaborasi dengan sektor informal untuk pengumpulan limbah tekstil.

10. Recover (R9): Pemulihan Energi dari Material Tekstil

Recover adalah opsi terakhir ketika material tidak dapat dikembalikan ke rantai nilai.
Tekstil yang tidak lagi bisa diproses dapat dikonversi menjadi sumber energi alternatif, membantu mengurangi beban TPA.

Membangun Ekosistem Tekstil Sirkular Indonesia

Agar Prinsip 9R dapat diterapkan secara menyeluruh, industri tekstil Indonesia membutuhkan:

  • regulasi yang mendukung Extended Producer Responsibility (EPR),

  • infrastruktur pengumpulan limbah tekstil yang terintegrasi,

  • insentif bagi industri untuk menggunakan material daur ulang,

  • edukasi konsumen mengenai konsumsi tekstil berkelanjutan,

  • kolaborasi erat antara pemerintah, industri, UMKM, dan sektor informal.

Jika ekosistem ini berjalan, industri tekstil Indonesia berpotensi besar menjadi salah satu model transisi sirkular di Asia Tenggara, sekaligus memberikan manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial.

 

Daftar Pustaka

Bappenas. (2021). Peta Jalan Ekonomi Sirkular Indonesia 2022–2045. Kementerian PPN/Bappenas.

Ellen MacArthur Foundation. (2017). A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future. EMF.

European Environment Agency. (2022). Textiles and the Environment: The Role of Design in Europe’s Circular Economy. EEA Report No. 5/2022.

United Nations Environment Programme. (2020). Sustainability and Circularity in the Textile Value Chain: Global Stocktaking Report. UNEP.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2023). Circular Economy in the Textile and Apparel Sector. OECD Publishing.

World Bank. (2021). Circular Fashion: Towards a Waste-Free Textile Industry in Emerging Markets. World Bank Group.

World Economic Forum. (2023). Scaling Circularity in Fashion and Textiles: Pathways to System Transformation. WEF.

Indonesia Ministry of Industry. (2022). Industri Tekstil dan Produk Tekstil Nasional: Tantangan dan Transformasi Menuju Keberlanjutan. Kemenperin RI.

Selengkapnya
Mendorong Transformasi Sirkular di Sektor Tekstil Indonesia melalui Implementasi Prinsip 9R

Ekonomi Hijau

Menerapkan Prinsip 9R di Sektor Konstruksi: Membangun Industri yang Lebih Efisien dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 14 November 2025


Sektor konstruksi merupakan salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia, tetapi juga penyumbang besar terhadap konsumsi material dan timbulan sampah. Model pembangunan konvensional—berbasis ekstraksi material, konstruksi, lalu pembuangan—menyebabkan pemborosan sumber daya sekaligus tekanan ekologis yang terus meningkat. Di tengah kebutuhan percepatan pembangunan infrastruktur, pendekatan ekonomi sirkular menjadi fondasi penting untuk memastikan bahwa peningkatan kapasitas konstruksi tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan.

Kerangka Prinsip 9R memberi arah yang komprehensif bagi sektor konstruksi untuk meminimalkan penggunaan material baru, memaksimalkan pemakaian ulang, serta mengelola limbah sebagai sumber daya. Melalui penerapan yang terstruktur di seluruh rantai nilai—mulai dari produsen material, kontraktor, konsultan perencana, hingga sektor informal—transisi menuju sistem konstruksi sirkular dapat diwujudkan secara bertahap namun signifikan.

Transformasi Konstruksi melalui Prinsip 9R

1. Refuse (R0): Menghindari Material Tidak Perlu Melalui Modularisasi

Refuse di sektor konstruksi diwujudkan melalui penggunaan modular dan beton pracetak yang menggantikan formwork konvensional.
Beberapa manfaatnya meliputi:

  • pengurangan limbah kayu dan material insitu,

  • proses konstruksi yang lebih cepat dan presisi,

  • efisiensi biaya jangka panjang.

Modularisasi dapat direncanakan sejak tahap desain, diawasi dalam pelaksanaan, dan didukung sepenuhnya oleh pemasok serta manajemen konstruksi.

2. Rethink (R1): Meningkatkan Intensitas Pemakaian Alat dan Logistik

Rethink mendorong penggunaan sumber daya secara lebih efisien melalui:

  • sewa alat berat dibandingkan kepemilikan,

  • penggunaan alat angkut secara berulang,

  • metode kerja yang memaksimalkan pemakaian peralatan secara intensif.

Model bisnis sewa ini mengurangi kebutuhan produksi alat baru dan menekan biaya proyek.

3. Reduce (R2): Efisiensi Material dan Pengurangan Limbah

Prinsip Reduce dapat diterapkan melalui:

  • penggunaan FABA (Fly Ash Bottom Ash) sebagai campuran beton,

  • beton pracetak yang mengurangi limbah konstruksi on-site,

  • perencanaan yang memastikan material digunakan secara optimal.

Pendekatan ini efektif menekan penggunaan material primer dan mengurangi residu konstruksi.

4. Reuse (R3): Memanfaatkan Kembali Material Layak Pakai

Reuse memiliki potensi besar terutama pada bangunan eksisting. Contoh praktiknya:

  • penggunaan genteng, seng, atau asbes bekas,

  • desain yang memadukan material layak pakai ke dalam bangunan baru.

Peran pemasok dan sektor informal sangat penting sebagai penyedia material reuse.

5. Repair (R4): Pemulihan Material untuk Memperpanjang Usia Pakai

Repair diterapkan untuk meningkatkan nilai material lama, misalnya:

  • memoles pintu atau kusen lama agar tampak baru,

  • perawatan komponen bangunan agar dapat digunakan kembali.

Upaya sederhana seperti ini secara langsung menekan kebutuhan material baru.

6. Remanufacture (R5): Renovasi Bangunan sebagai Bentuk Reproduksi Nilai

Remanufacture diterapkan dalam skala bangunan melalui:

  • renovasi struktur, interior, atau eksterior,

  • pembaruan sistem dan komponen utama.

Proses ini melibatkan kontraktor, konsultan perencana, dan pemasok untuk memastikan bangunan lama memiliki umur layak yang lebih panjang.

7. Refurbish (R6): Tidak Relevan untuk Sektor Konstruksi

Pada sektor konstruksi, Refurbish dalam bentuk industri tidak lazim karena struktur bangunan tidak dapat diproses ulang sebagaimana produk manufaktur. Transformasi dilakukan melalui renovasi (R5).

8. Repurpose (R7): Mengalihkan Fungsi Material Konstruksi

Repurpose sangat relevan dalam pengelolaan sisa material. Contoh implementasinya:

  • serbuk gergaji menjadi papan partikel,

  • sisa batu bata menjadi material urugan,

  • pemanfaatan sisa material lain sebagai bahan penunjang proyek baru.

Praktik ini membantu memaksimalkan nilai material yang tidak digunakan di proyek utama.

9. Recycle (R8): Daur Ulang Material Bangunan

Recycle menjadi pilar penting dalam konstruksi sirkular:

  • baja ringan bekas didaur ulang menjadi material baru,

  • beton dan aspal lama dihancurkan menjadi agregat daur ulang,

  • pemilahan material konstruksi untuk proses daur ulang yang lebih optimal.

Pendekatan ini sangat potensial untuk mengurangi kebutuhan material primer.

10. Recover (R9): Pemanfaatan Energi dari Limbah Konstruksi

Recover menjadi solusi akhir untuk material low-value seperti:

  • residu konstruksi yang diolah menjadi bahan bakar RDF,

  • material organik yang dimanfaatkan dalam insinerator energi.

Langkah ini memastikan tidak ada material tersisa yang berakhir tanpa nilai.

Penutup

Penerapan Prinsip 9R dalam sektor konstruksi menghadirkan peluang besar untuk membangun industri yang lebih kokoh secara ekonomi dan lingkungan. Dengan modularisasi, efisiensi logistik, pemanfaatan material bekas, serta optimalisasi daur ulang, sektor konstruksi Indonesia dapat bergerak menuju model pembangunan yang lebih adaptif, hemat sumber daya, dan berorientasi masa depan.

Praktik ini bukan hanya mengurangi limbah, tetapi juga membentuk paradigma baru: bahwa pembangunan dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan dalam satu model pertumbuhan yang saling menguatkan.

 

Daftar Pustaka

Bappenas. (2024). Peta Jalan Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Kementerian PPN/Bappenas.

Ellen MacArthur Foundation. (2022). Circular Construction: Building a Sustainable Future. EMF.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2023). Pedoman Pengurangan Limbah Konstruksi dan Pemanfaatan Material Ulang. Kementerian PUPR RI.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2023). Resource Efficiency and Circularity in the Construction Sector. OECD Publishing.

United Nations Environment Programme. (2023). Circularity in the Built Environment: Global Status Report. UNEP.

World Bank. (2023). Circular Construction and Infrastructure Development in Emerging Economies. World Bank Group.

Selengkapnya
Menerapkan Prinsip 9R di Sektor Konstruksi: Membangun Industri yang Lebih Efisien dan Berkelanjutan
page 1 of 1.291 Next Last »