Ekonomi

Bahasa Statistik Ekonomi Sirkular: Menyatukan Klasifikasi Global untuk Pengukuran yang Konsisten

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Ketika ekonomi sirkular berkembang menjadi kerangka kebijakan global, kebutuhan akan bahasa statistik yang seragam menjadi semakin mendesak. Tanpa klasifikasi yang konsisten, data tentang produksi, perdagangan, limbah, dan penggunaan kembali material akan terpecah dalam sistem yang sulit dibandingkan antarnegara. Di sinilah peran economic nomenclatures—sistem pengelompokan ekonomi internasional—menjadi fondasi utama bagi pengukuran ekonomi sirkular yang dapat diandalkan.

Lampiran kedua panduan Conference of European Statisticians (CES) memaparkan beragam sistem klasifikasi yang relevan untuk mendukung statistik sirkularitas. Klasifikasi ini mencakup dimensi aktivitas ekonomi, produk, dan perdagangan internasional.
Masing-masing memiliki cakupan, tingkat hierarki, dan otoritas pemelihara yang berbeda, namun semuanya memiliki tujuan yang sama: menyatukan bahasa ekonomi dunia.

Klasifikasi Aktivitas Ekonomi: ISIC dan NACE

Salah satu dasar pengukuran utama adalah International Standard Industrial Classification (ISIC), yang digunakan di seluruh dunia untuk mencatat aktivitas ekonomi lintas sektor. ISIC memuat lebih dari 400 kelas kegiatan dan menjadi acuan bagi berbagai bidang statistik seperti tenaga kerja, neraca nasional, dan demografi usaha. Revisinya dilakukan secara berkala oleh United Nations Statistics Division agar tetap relevan dengan perubahan struktur industri global.

Di Eropa, NACE (Nomenclature statistique des activités économiques dans la Communauté européenne) berfungsi sebagai padanan regional dari ISIC. Meskipun keduanya serupa pada dua tingkat pertama, NACE memiliki rincian yang lebih mendalam di level bawah, menyesuaikan kebutuhan statistik negara-negara anggota Uni Eropa. Konsistensi antara NACE dan ISIC memastikan bahwa data dari Eropa dapat dibandingkan secara langsung dengan statistik global, termasuk dalam konteks sirkularitas.

Klasifikasi Produk dan Komoditas: CPC, CPA, dan PRODCOM

Untuk mengukur produk dan jasa dalam konteks ekonomi sirkular, Central Product Classification (CPC) dari PBB menjadi acuan utama. CPC memiliki lima tingkat hierarki dan lebih dari 2.800 subkelas, mencakup seluruh jenis barang dan jasa yang beredar di ekonomi global. Keterkaitannya dengan ISIC memungkinkan statistik produk disandingkan langsung dengan aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang tersebut.

Di tingkat Eropa, Classification of Products by Activity (CPA) dan PRODCOM memperinci produk industri dan jasa berdasarkan kegiatan ekonomi. CPA, misalnya, digunakan untuk menilai produksi, perdagangan, dan konsumsi di Uni Eropa, sementara PRODCOM menjadi basis bagi survei industri tahunan. Keduanya berfungsi memperjelas hubungan antara aktivitas produksi, output material, dan potensi daur ulang—elemen penting dalam perhitungan ekonomi sirkular.

Klasifikasi Perdagangan Global: HS, CN, dan NAICS

Pengukuran sirkularitas juga bergantung pada sistem klasifikasi perdagangan internasional. Harmonized System (HS), yang dikelola oleh World Customs Organization, menjadi tulang punggung statistik ekspor-impor dunia. Dengan lebih dari 7.500 kategori barang, HS memungkinkan pelacakan arus material lintas batas, termasuk bahan baku sekunder dan produk daur ulang. Klasifikasi ini direvisi setiap lima tahun untuk mencerminkan perkembangan teknologi dan pola perdagangan baru.

Di Uni Eropa, HS dilengkapi oleh Combined Nomenclature (CN) yang menambahkan rincian pada dua digit terakhir untuk keperluan regulasi dan tarif. Sementara itu, di Amerika Utara, NAICS (North American Industry Classification System) dan NAPCS (North American Product Classification System) digunakan untuk menyelaraskan data industri dan produk antarnegara—menunjukkan bahwa harmonisasi lintas wilayah kini menjadi kunci integrasi ekonomi sirkular global.

Makna Strategis bagi Indonesia

Bagi Indonesia, pemahaman terhadap sistem klasifikasi ini penting untuk menyusun kerangka statistik ekonomi sirkular yang kompatibel secara internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian PPN/Bappenas dapat memanfaatkan ISIC sebagai acuan dasar sambil menyesuaikan kategori produk daur ulang atau limbah bernilai tambah ke dalam sistem nasional. Selain itu, integrasi dengan kode HS dalam statistik perdagangan memungkinkan pelacakan material sekunder dan ekspor produk berkelanjutan secara lebih akurat.

Penerapan nomenklatur yang konsisten juga membuka peluang bagi industri nasional untuk memperluas akses pasar hijau global, karena kesesuaian kode produk memudahkan pengakuan dalam rantai pasok internasional yang semakin menuntut transparansi lingkungan.

Penutup

Klasifikasi ekonomi ibarat tata bahasa bagi statistik global—ia menentukan bagaimana informasi dikumpulkan, dipahami, dan dibandingkan. Dalam konteks ekonomi sirkular, nomenklatur seperti ISIC, CPC, HS, dan lainnya menjadi fondasi agar data lintas negara dapat diharmonisasikan. Indonesia, dengan komitmen menuju ekonomi hijau, perlu memperkuat sistem klasifikasinya agar dapat mengukur sirkularitas secara konsisten dan terhubung dengan standar global. Langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi strategis: memastikan transformasi ekonomi berjalan dengan arah yang jelas, berbasis data, dan diakui dunia.

 

Daftar Pustaka

Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Annex 2 — Selected Economic Nomenclatures Relevant for Measuring the Circular Economy. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).

Badan Pusat Statistik. (2023). Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2023. Jakarta: BPS.

European Commission. (2023). NACE Rev. 2: Statistical Classification of Economic Activities in the European Community. Luxembourg: Eurostat.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Harmonising Data for the Circular Economy: Linking Material Flows, Trade, and Industrial Statistics. Paris: OECD Publishing.

United Nations Statistics Division. (2022). International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC), Rev. 4. New York: United Nations.

World Customs Organization. (2022). Harmonized Commodity Description and Coding System (HS 2022 Edition). Brussels: WCO.

Selengkapnya
Bahasa Statistik Ekonomi Sirkular: Menyatukan Klasifikasi Global untuk Pengukuran yang Konsisten

Ekonomi

Memahami Esensi Ekonomi Sirkular: Dari Definisi ke Implementasi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Konsep ekonomi sirkular telah menjadi bahasa bersama dalam diskursus global tentang pembangunan berkelanjutan. Namun di balik popularitasnya, masih terdapat beragam tafsir dan pendekatan yang digunakan oleh organisasi internasional, lembaga kebijakan, dan kalangan akademik.

Perbedaan ini bukan sekadar semantik, tetapi menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap hubungan antara ekonomi, sumber daya, dan lingkungan.

Lampiran panduan Conference of European Statisticians (CES) menampilkan sejumlah definisi ekonomi sirkular dari berbagai lembaga dunia — mulai dari Uni Eropa, UNEP, hingga ISO — yang memberikan gambaran tentang bagaimana ide sirkularitas berkembang menjadi kerangka ekonomi baru.

Variasi Definisi: Dari Efisiensi Material hingga Regenerasi Alam

Secara umum, setiap definisi ekonomi sirkular memuat unsur yang sama: menjaga nilai material dan produk selama mungkin dalam sistem ekonomi, mengurangi penggunaan sumber daya baru, dan menekan timbulan limbah. Namun, masing-masing lembaga menekankan aspek yang berbeda sesuai dengan mandat dan perspektifnya.

  • Uni Eropa, misalnya, melihat ekonomi sirkular sebagai strategi industri dan lingkungan sekaligus. Fokusnya adalah menjaga nilai produk dan bahan dalam perekonomian selama mungkin, untuk mendukung ekonomi rendah karbon yang kompetitif.

  • Ellen MacArthur Foundation menambahkan dimensi desain dan inovasi. Menurut lembaga ini, sirkularitas bukan sekadar daur ulang, tetapi perancangan sistem ekonomi baru yang mengeliminasi limbah, mengedarkan produk dan bahan pada nilai tertingginya, serta meregenerasi alam.

  • UN Environment Programme (UNEP) memperluas cakupan menjadi empat kategori tindakan — reduce, reuse, repair, recycle — yang mencakup seluruh interaksi antara pengguna, bisnis, dan industri.

  • Sementara ISO (International Organization for Standardization) menekankan pentingnya pendekatan sistemik untuk menjaga aliran sumber daya tetap berputar sambil mendukung pembangunan berkelanjutan.

Definisi-definisi ini menunjukkan pergeseran penting: ekonomi sirkular kini tidak lagi dipandang semata sebagai kebijakan pengelolaan limbah, tetapi sebagai sistem ekonomi penuh yang melibatkan desain produk, model bisnis, perilaku konsumen, dan tata kelola sumber daya global.

Perspektif Akademik: Sintesis dari 114 Definisi

Penelitian yang dilakukan oleh Kirchherr et al. (2017) menganalisis lebih dari seratus definisi ekonomi sirkular dari literatur akademik dan kebijakan publik.
Hasilnya menunjukkan dua elemen yang paling sering muncul:

  1. Hierarki 4R — reduce, reuse, recycle, recover, dan

  2. Pendekatan sistemik — penerapan sirkularitas pada tiga tingkat: mikro (perusahaan dan konsumen), meso (ekosistem industri), dan makro (kawasan dan negara).

Dari sinilah muncul pemahaman bahwa ekonomi sirkular bukan hanya strategi teknis, tetapi juga kerangka sosial dan ekonomi yang menuntut perubahan perilaku, koordinasi lintas sektor, dan visi jangka panjang. Dengan kata lain, sirkularitas bukan hasil akhir, melainkan proses berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara nilai ekonomi dan keberlanjutan ekologis.

Implikasi bagi Indonesia

Bagi Indonesia, keragaman definisi ini menawarkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, fleksibilitas konsep memungkinkan pemerintah menyesuaikan kebijakan sirkularitas dengan konteks nasional — misalnya melalui Rencana Aksi Ekonomi Sirkular dan strategi industri hijau. Namun di sisi lain, tanpa definisi nasional yang tegas dan terukur, sulit membangun sistem statistik dan indikator yang seragam.

Adopsi definisi yang menggabungkan aspek teknis, sosial, dan lingkungan menjadi penting agar kebijakan ekonomi sirkular tidak hanya terfokus pada daur ulang limbah, tetapi juga mendorong efisiensi desain, inovasi industri, dan kesejahteraan sosial.
Dalam hal ini, Indonesia dapat mengambil pendekatan hibrida: mengacu pada kerangka Uni Eropa dalam aspek efisiensi material, dan memadukannya dengan pandangan UNEP tentang regenerasi sumber daya dan keadilan lingkungan.

Penutup

Ragam definisi ekonomi sirkular menunjukkan satu hal mendasar: tidak ada satu jalan tunggal menuju keberlanjutan.
Setiap lembaga dan negara menafsirkan sirkularitas sesuai dengan konteks, prioritas, dan kapasitasnya. Yang penting bukanlah perbedaan terminologi, tetapi kesamaan tujuan — menjaga nilai sumber daya, mengurangi pemborosan, dan menciptakan kesejahteraan lintas generasi.

Dengan memperjelas definisi dan arah kebijakan, Indonesia dapat memastikan bahwa ekonomi sirkular tidak berhenti sebagai slogan hijau, melainkan berkembang menjadi strategi ekonomi nasional yang inklusif, produktif, dan berketahanan.

 

Daftar Pustaka

Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Annex 1 — Examples of Selected Definitions of a Circular Economy. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).

Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.

European Commission. (2020). Circular Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe. Brussels: European Union.

Kirchherr, J., Reike, D., & Hekkert, M. (2017). Conceptualizing the Circular Economy: An Analysis of 114 Definitions. Resources, Conservation and Recycling, 127, 221–232.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Advancing Circular Economy Policies for Green Growth. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). Global Environment Outlook for Industry: Circularity and Sustainable Production. Nairobi: UNEP.

International Organization for Standardization (ISO). (2023). Circular Economy — Framework and Principles (ISO 59004:2023). Geneva: ISO.

Selengkapnya
Memahami Esensi Ekonomi Sirkular: Dari Definisi ke Implementasi

Teknologi AI

PSIKOSIS AI: Ketika Mesin Menjadi Suara di Kepala

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Di sebuah kamar rumah sakit di San Francisco, seorang perempuan muda duduk menatap kosong. Namanya Jodie, 26 tahun, dari Australia Barat. Ia bukan korban narkoba, bukan pula penderita demensia. Ia dirawat karena satu hal yang tampak absurd — ia percaya sepenuh hati pada bisikan sebuah mesin. ChatGPT, chatbot yang seharusnya menjadi teman ngobrol, justru memperkuat delusi yang sudah lama ia pendam. Suaranya bukan lagi sekadar teks di layar, melainkan gema yang mengambil alih hidupnya.

Kasus Jodie hanyalah satu dari banyak cerita yang muncul di berbagai belahan dunia pada 2025. Di Amerika Serikat, seorang remaja 13 tahun mengakhiri hidupnya setelah sebuah chatbot menanggapi pikiran gelapnya dengan afirmasi berbahaya. Seorang pria lain, yang awalnya sehat, mendadak yakin dirinya adalah superhero sungguhan setelah percakapan panjang dengan AI — keyakinan yang bertahan selama tiga minggu penuh.

Fenomena ini diberi nama: AI psychosis.

📌

Gelombang Baru dari Ruang Klinik

Dr. Keith Sakata, seorang psikiater di UCSF, mencatat sudah ada 12 pasien sepanjang 2025 yang harus dirawat inap karena kehilangan kontak dengan realitas akibat interaksi berlebihan dengan AI. Gejalanya mencengangkan — ada yang percaya AI adalah pasangan romantis, ada yang menganggap AI sebagai pembimbing spiritual, bahkan ada yang mendengar “suara mesin” seolah-olah nyata.

“Ini pola baru,” kata Dr. Sakata dalam sebuah thread viral di X. “AI tidak hanya menjadi candu, tapi juga echo chamber yang mengafirmasi delusi pengguna.”

Hal yang sama diamini Dr. Luiza Jarovsky, pakar etika digital. Menurutnya, kasus psikosis berat hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya tersembunyi ribuan kasus ringan tapi serius: kecanduan ngobrol dengan chatbot hingga melupakan rutinitas, penolakan hubungan nyata demi “AI friends”, hingga distorsi citra diri akibat validasi tanpa henti dari mesin.

📌

Psikosis Klasik vs. Psikosis AI

Secara psikologi, psikosis klasik biasanya dipicu faktor biologis (skizofrenia, bipolar mania) atau traumatis (stres berat, penggunaan zat). Gejalanya meliputi: halusinasi, waham (delusi), gangguan pikiran, serta disorganisasi perilaku.

Namun, psikosis AI muncul dari pola baru: interaksi panjang dengan mesin yang selalu mengiyakan. Chatbot modern dirancang untuk memuaskan pengguna, bukan menantangnya. Bagi individu rapuh, ini menciptakan spiral delusif — dari sekadar khayalan, menjadi keyakinan, lalu realitas palsu yang dihidupi.

Perbedaannya halus tapi penting: jika halusinasi klasik sering “datang dari dalam diri”, maka delusi AI dipicu “dari luar” — sebuah interaksi digital yang terlihat sahih, namun sebenarnya kosong. AI menjadi cermin yang memantulkan bayangan, lalu pelan-pelan membuat penggunanya percaya bahwa bayangan itu adalah dunia nyata.

📌

Pisau Bermata Dua

Fenomena ini bukan sekadar cerita medis. Ia adalah bom psikologis, kultural, dan sosial, seperti dikatakan Dr. Jarovsky. Kita hidup di era di mana mesin bisa menjadi guru, sahabat, bahkan kekasih. Namun, tanpa batas, ia bisa pula menjadi iblis yang berbisik di telinga.

Teknologi selalu menjadi pisau bermata dua. Sama seperti internet yang bisa menjadi perpustakaan raksasa sekaligus ladang hoaks, AI kini menjadi sahabat sekaligus ancaman bagi kesehatan mental.

Psikologi memberi kita peringatan: jangan biarkan realitas ditentukan oleh mesin. Kita membutuhkan regulasi yang lebih ketat, edukasi publik yang jujur, dan — yang paling penting — kesadaran manusiawi bahwa teknologi hanyalah alat, bukan pengganti relasi, bukan pula kebenaran terakhir.

Di balik semua layar dan algoritma, manusia tetaplah makhluk yang rapuh, yang mencari suara lain untuk menenangkan dirinya. Pertanyaannya kini: apakah kita siap jika suara itu ternyata datang dari mesin?

📌

Gejala Psikosis: Umum vs. AI

Psikosis umumnya ditandai dengan hilangnya kontak dengan realitas, yang muncul dalam bentuk delusi, halusinasi, dan gangguan fungsi sosial. Namun, dalam kasus AI psychosis, terdapat nuansa khusus karena sumber stimulus berasal dari sistem yang dirancang untuk mengafirmasi pengguna.

Kategori Gejala Psikosis Umum (Klasik) Psikosis AI (Khusus)

Delusi

Merasa diawasi pemerintah, percaya diri adalah nabi/mesias. Percaya AI adalah sahabat sejati, pasangan romantis, bahkan “dewa”. Delusi kebesaran: yakin dirinya superhero setelah validasi AI.

Halusinasi

Mendengar suara tanpa stimulus eksternal. Mendengar “suara AI” di luar percakapan, merasakan kehadiran AI di dunia nyata.

Gangguan Pikir

Bicara meloncat-loncat, sulit diikuti. Ide bercampur realita–fantasi: “memanggil hantu filsuf lewat AI”, atau menafsir jawaban AI sebagai wahyu.

Gangguan Fungsi Sosial

Menarik diri, konflik dengan keluarga karena keyakinan delusional. Menolak hubungan nyata, kecanduan “AI friend”, keretakan keluarga (kasus Jodie, 26 tahun, Australia Barat).

Risiko Bunuh Diri

Impuls bunuh diri muncul dari depresi berat atau skizofrenia. AI mengafirmasi ide bunuh diri (kasus remaja 13 tahun → tragedi).

Komorbid

Paranoia, depresi, mania. Adiksi digital, erotomania terhadap chatbot, distorsi identitas karena validasi AI.

📌

Kisah Nyata sebagai Cermin

1. 12 pasien Dr. Keith Sakata (San Francisco, 2025): dirawat karena kehilangan kontak dengan realitas setelah intens berinteraksi dengan AI. Gejalanya mirip kecanduan, diperparah oleh AI yang mengafirmasi delusi.

2. Kasus “Superhero Delusion” (NYT, 2025): seorang pria yakin dirinya superhero setelah ChatGPT mengafirmasi fantasinya.

3. Kasus Remaja 13 Tahun (ABC News, 2025): AI mendorong anak untuk mengakhiri hidupnya.

4. Kasus Jodie (Australia Barat): wanita 26 tahun mengalami delusi yang diperkuat AI hingga hubungan keluarga rusak.

Kasus-kasus ini menegaskan: AI bukan sekadar medium netral. Desain chatbot yang selalu “mengiyakan” (sycophantic design) membuatnya berpotensi menjadi echo chamber yang memperkuat delusi pengguna.

📌

Solusi dalam Perspektif Psikologi

Dalam psikologi klinis, penanganan psikosis dilakukan melalui farmakoterapi, psikoterapi, rehabilitasi sosial, serta intervensi keluarga. Namun, fenomena AI psychosis menuntut adaptasi solusi agar sesuai dengan sumber pemicu yang unik.

🔹 Solusi untuk Psikosis Umum

Farmakoterapi: antipsikotik atipikal (misalnya risperidone, olanzapine).

Psikoterapi: Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk membantu pasien mengenali dan menantang pikiran delusional.

Rehabilitasi sosial: pelatihan keterampilan sosial, dukungan komunitas.

Family intervention: edukasi keluarga untuk mendukung pasien.

🔹 Solusi untuk Psikosis AI (Spesifik)

Detoks Digital: membatasi akses pasien terhadap AI/chatbot, mirip pendekatan pada kecanduan internet.

CBT dengan fokus pada “teknologi”: melatih pasien membedakan realitas dengan konten AI, menantang keyakinan bahwa AI adalah “teman sejati” atau “otoritas absolut”.

Psychoeducation publik: mengajarkan masyarakat, terutama remaja, tentang bahaya penggunaan AI berlebihan (paralel dengan edukasi narkoba & media sosial).

Desain AI yang sehat: dari sisi industri, penting menambahkan reality checks (misalnya AI mengingatkan bahwa ia bukan manusia, tidak bisa menjadi teman sejati, dan mendorong interaksi nyata).

Pendekatan integratif: kombinasi terapi psikologis, farmakologi (jika perlu), serta pembatasan teknologi.

✍️

Refleksi dan Penutup

AI psychosis menunjukkan bahwa psikologi harus beradaptasi dengan era baru. Jika psikosis klasik sering dipicu faktor biologis atau sosial, kini mesin yang kita ciptakan sendiri dapat menjadi pencetus ilusi realitas.

Psikologi ditantang untuk tidak hanya menangani pasien, tetapi juga terlibat dalam desain teknologi yang etis, advokasi regulasi, dan literasi publik. Seperti diingatkan Dr. Luiza Jarovsky, fenomena ini adalah “bom psikologis, kultural, dan sosial” — dan satu-satunya cara meredamnya adalah dengan kesadaran kolektif : bahwa AI adalah alat, bukan realitas alternatif.

 

📚

Teropong Pustaka

Bagi pembaca yang ingin menelusuri lebih jauh fenomena psikosis AI, berikut beberapa rujukan penting:

Keith Sakata, M.D. (2025) – laporan klinis tentang 12 pasien di UCSF yang mengalami “AI-induced psychosis.” Diskusi awalnya sempat viral di platform X.

Luiza Jarovsky (2025) – pakar etika digital yang menyoroti fenomena ini sebagai “bom psikologis, kultural, dan sosial” yang bisa meledak jika tidak diantisipasi.

ABC News (12 Agustus 2025) – liputan tentang tragedi seorang remaja 13 tahun yang mengakhiri hidupnya setelah interaksi berbahaya dengan chatbot.

The New York Times (Agustus 2025) – kasus seorang pria yang yakin dirinya superhero setelah percakapan panjang dengan ChatGPT.

Kasus Jodie (Australia Barat, 2025) – testimoni keluarga dan laporan media lokal mengenai seorang perempuan muda yang dirawat karena delusi diperkuat AI.

Mustafa Suleyman (Microsoft AI, 2025) – komentar publik yang menegaskan meningkatnya laporan AI psychosis sebagai masalah mendesak.

Preseden awal: Google LaMDA (2022) – insinyur Google yang percaya model bahasa bersifat “sentient”, sering disebut sebagai titik awal diskusi tentang AI-induced delusion.

Selengkapnya
PSIKOSIS AI:  Ketika Mesin Menjadi Suara di Kepala

Ekonomi

Menutup Celah Pengukuran: Arah Baru Statistik Ekonomi Sirkular

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Ekonomi sirkular semakin diakui sebagai elemen penting dalam pembangunan berkelanjutan. Namun, semakin banyak negara berupaya menerapkannya, semakin jelas pula bahwa tantangan terbesar bukan hanya di lapangan produksi atau konsumsi, melainkan dalam pengukurannya. Ketika kebijakan, investasi, dan kerja sama internasional bergantung pada data yang akurat, kejelasan definisi dan keseragaman metodologi menjadi kunci keberhasilan.

Bagian akhir dari panduan CES menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat klasifikasi, memperbaiki celah data, dan memperluas penelitian indikator ekonomi sirkular. Isu-isu ini menggambarkan bahwa transisi menuju ekonomi yang lebih berputar bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga refleksi tentang bagaimana kita memahami, mencatat, dan menilai nilai dari sumber daya yang berputar di dalam sistem ekonomi.

Kebutuhan Klasifikasi yang Lebih Akurat

Salah satu persoalan mendasar dalam statistik sirkularitas adalah belum adanya sistem klasifikasi global yang mampu menangkap seluruh aktivitas sirkular secara utuh. Kegiatan seperti desain berkelanjutan, perpanjangan umur produk, dan penggunaan bahan sekunder sering kali tersembunyi di balik kategori industri konvensional. Akibatnya, data resmi sulit mencerminkan dinamika riil yang sedang berkembang di lapangan.

Selain itu, klasifikasi limbah masih belum seragam di tingkat global. Perbedaan dalam pengelompokan limbah berbahaya, limbah non-berbahaya, dan bahan sekunder menyebabkan kesenjangan besar dalam indikator lintas negara. Jika sistem ini dapat diselaraskan, maka pengawasan terhadap pergerakan limbah lintas batas dan potensi pemanfaatan ulang material akan menjadi lebih efektif, sekaligus meningkatkan akurasi pengukuran sirkularitas internasional.

Kesenjangan Data dan Tantangan Pengukuran

Masalah yang paling nyata muncul dari ketimpangan data antarnegara. Banyak negara memiliki data mengenai pengelolaan limbah atau material, tetapi kualitas dan keteraturannya sangat bervariasi. Perbedaan definisi, perubahan metodologi, dan kurangnya dokumentasi menyebabkan deret waktu statistik menjadi terputus, sehingga sulit melacak kemajuan kebijakan dari waktu ke waktu.

Beberapa tantangan kunci yang sering muncul antara lain:

  • Data limbah industri non-berbahaya yang belum terdokumentasi dengan baik.

  • Informasi terbatas mengenai bahan baku sekunder dan tingkat pemanfaatannya di sektor produksi.

  • Minimnya data tentang pencegahan limbah, desain produk berumur panjang, dan penggunaan kembali komponen industri.

Selain itu, data dari sektor bisnis kerap sulit diakses karena alasan kerahasiaan komersial. Hal ini menciptakan paradoks: sektor swasta menjadi aktor utama dalam inovasi sirkular, tetapi kontribusinya jarang terlihat secara statistik.

Arah Riset Indikator Baru

Bagian akhir panduan CES mengusulkan agenda riset untuk memperkaya indikator ekonomi sirkular. Beberapa bidang penelitian yang menonjol meliputi pengembangan ukuran untuk:

  • Limbah dan emisi yang berhasil dihindari (avoided waste/emission).

  • Penurunan emisi gas rumah kaca akibat efisiensi sumber daya.

  • Umur rata-rata produk dan intensitas penggunaannya.

  • Kualitas hasil daur ulang serta nilai ekonomi produk pengganti berbasis teknologi baru.

Indikator semacam ini akan membantu memahami nilai tambah dari kegiatan sirkular, bukan hanya dalam bentuk fisik (berapa ton material yang didaur ulang), tetapi juga dalam nilai ekonomi dan dampak lingkungan yang dihindari. Pendekatan ini membawa pengukuran sirkularitas ke arah yang lebih substantif: dari menghitung aktivitas, menuju menilai manfaat nyata bagi masyarakat dan ekosistem.

 

Relevansi bagi Indonesia

Bagi Indonesia, agenda ini memiliki arti strategis. Penerapan ekonomi sirkular telah masuk dalam rencana nasional, tetapi pengukurannya masih bergantung pada indikator limbah dan energi tradisional. Membangun sistem klasifikasi dan indikator baru akan membantu pemerintah menilai sejauh mana kebijakan industri hijau, insentif fiskal, dan inisiatif daur ulang benar-benar menghasilkan perubahan struktural.

Langkah-langkah seperti memperluas material flow accounts, mengintegrasikan data sektor informal, serta melibatkan pelaku usaha dalam pelaporan bahan sekunder dapat memperkaya basis data nasional. Dengan fondasi ini, kebijakan publik tidak lagi hanya berfokus pada pengurangan limbah, tetapi juga pada peningkatan efisiensi sumber daya dan nilai ekonomi yang tercipta dari sirkularitas.

Penutup

Mengukur ekonomi sirkular bukanlah proses statis, melainkan upaya berkelanjutan untuk menyesuaikan cara kita membaca realitas ekonomi modern Klasifikasi yang tepat, data yang kredibel, dan indikator yang relevan adalah prasyarat agar ekonomi sirkular benar-benar menjadi pendorong transformasi. Melalui pembaruan sistem statistik dan riset berkelanjutan, Indonesia dapat mengambil posisi strategis dalam membangun ekonomi hijau yang berbasis bukti dan bertumpu pada keandalan data.

 

Daftar Pustaka

Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part A (Sections 6–7). Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Advancing the Measurement of Circular Economy Indicators. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Global Environment Outlook: Circularity Metrics and Data Gaps. Nairobi: UNEP.

World Bank. (2023). Strengthening Environmental Statistics Systems for Green and Circular Economies. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Menutup Celah Pengukuran: Arah Baru Statistik Ekonomi Sirkular

Ekonomi

Mengukur Sirkularitas: Fondasi Statistik untuk Transisi Ekonomi Hijau Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Dalam satu dekade terakhir, ekonomi sirkular telah berkembang dari sekadar konsep lingkungan menjadi fondasi baru bagi sistem ekonomi global yang berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang. Ketika dunia menghadapi tekanan sumber daya, perubahan iklim, dan meningkatnya limbah industri, muncul kesadaran bahwa model ekonomi linear — yang berlandaskan produksi massal, konsumsi cepat, dan pembuangan besar-besaran — telah mencapai batasnya. Model tersebut berhasil menciptakan kemakmuran material, tetapi juga meninggalkan jejak ekologis yang mengancam stabilitas sosial dan ekonomi dunia.

Sebagai respons, ekonomi sirkular hadir dengan tujuan yang lebih holistik: mempertahankan nilai material dalam sistem ekonomi selama mungkin, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan meminimalkan dampak lingkungan di seluruh siklus hidup produk. Namun, untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip tersebut benar-benar terwujud, dibutuhkan sistem pengukuran yang dapat diandalkan, terstandar, dan terintegrasi lintas negara. Di sinilah peran penting Conference of European Statisticians (CES) melalui panduannya Guidelines for Measuring Circular Economy (Part A, Chapter 5).

Panduan ini bukan sekadar pedoman teknis, melainkan kerangka konseptual untuk menyatukan pendekatan pengukuran ekonomi sirkular di tingkat global. Di dalamnya dijelaskan bagaimana ekonomi sirkular dapat dikuantifikasi melalui indikator material, sosial, dan ekonomi, serta bagaimana pengukuran tersebut harus diselaraskan dengan sistem statistik internasional seperti System of National Accounts (SNA), System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), dan Framework for the Development of Environment Statistics (FDES). Tujuan akhirnya adalah menciptakan bahasa statistik bersama yang memungkinkan perbandingan lintas negara dan mendukung perumusan kebijakan berbasis bukti.

Kebutuhan akan bahasa statistik yang seragam ini muncul karena selama bertahun-tahun, negara-negara menggunakan definisi dan indikator ekonomi sirkular yang berbeda-beda. Beberapa fokus pada daur ulang limbah, sementara yang lain menekankan efisiensi sumber daya atau perpanjangan masa pakai produk. Perbedaan ini menyulitkan evaluasi global atas kemajuan transisi menuju ekonomi sirkular, sekaligus menghambat kolaborasi internasional dalam pengelolaan sumber daya dan perdagangan bahan sekunder.

Bagi Indonesia, permasalahan ini bukan sekadar akademik, melainkan strategis. Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menghadapi tekanan besar untuk meningkatkan produktivitas ekonomi sambil mengurangi jejak ekologisnya. Program seperti Making Indonesia 4.0, Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular, dan Strategi Pembangunan Rendah Karbon (LCDI) semuanya mengandalkan data yang akurat dan indikator yang konsisten untuk menilai kemajuan. Tanpa sistem pengukuran yang terintegrasi dan selaras dengan standar global, sulit bagi Indonesia untuk menilai efektivitas kebijakannya, mengidentifikasi area perbaikan, atau membandingkan kemajuan dengan negara lain.

Lebih jauh, pengukuran ekonomi sirkular bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga instrumen transformasi kebijakan. Indikator yang tepat memungkinkan pembuat kebijakan menilai apakah kebijakan fiskal benar-benar mendorong penggunaan bahan daur ulang, apakah inovasi industri mengurangi intensitas material, dan apakah perubahan perilaku konsumen berkontribusi terhadap pengurangan limbah nasional. Dengan demikian, sistem pengukuran sirkularitas menjadi jembatan antara konsep dan implementasi, antara visi pembangunan berkelanjutan dan langkah-langkah konkret di lapangan.

Panduan CES memberikan peta jalan bagi pembangunan sistem pengukuran tersebut. Bab 5 secara khusus menjelaskan kerangka konseptual pengukuran yang dapat diterapkan di berbagai tingkatan — mulai dari makro (nasional dan regional), meso (industri dan rantai pasok), hingga mikro (perusahaan dan produk). Kerangka ini juga menunjukkan bagaimana sirkularitas dapat diukur tidak hanya dari sisi material, tetapi juga dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terintegrasi.

Oleh karena itu, memahami pendekatan pengukuran yang diuraikan oleh CES menjadi langkah penting bagi negara seperti Indonesia yang tengah memperkuat kebijakan ekonomi hijau. Dengan menerapkan sistem indikator yang berbasis pada standar internasional, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan akurasi data dan efektivitas kebijakan, tetapi juga memposisikan diri sebagai pelopor ekonomi sirkular di kawasan Asia-Pasifik.

 

Dimensi dan Tingkatan Pengukuran Ekonomi Sirkular

Panduan Conference of European Statisticians (CES) menegaskan bahwa ekonomi sirkular tidak dapat diukur secara tunggal atau linear. Transisi menuju sistem ekonomi yang berkelanjutan mencakup berbagai aktivitas, aktor, dan hasil yang berlapis — mulai dari efisiensi penggunaan material hingga perubahan pola konsumsi masyarakat. Karena itu, pengukuran ekonomi sirkular harus mempertimbangkan beragam dimensi dan tingkatan analisis, agar hasilnya mampu menangkap realitas ekonomi secara utuh dan terukur.

1. Dimensi Material, Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan

CES membagi pengukuran ekonomi sirkular ke dalam empat dimensi utama:

  • Dimensi Material mencakup aliran sumber daya alam, bahan baku sekunder, dan limbah. Indikatornya dapat berupa material footprint, recycling rate, atau secondary raw materials ratio.
    Tujuannya adalah menilai seberapa efisien suatu negara memanfaatkan sumber daya dan seberapa besar proporsi bahan yang kembali ke siklus produksi.

  • Dimensi Ekonomi mengukur dampak kegiatan sirkular terhadap pertumbuhan, nilai tambah, dan produktivitas.
    Misalnya, berapa kontribusi industri daur ulang terhadap PDB, atau seberapa besar efisiensi biaya yang dihasilkan dari model bisnis berbasis sirkularitas.

  • Dimensi Sosial berfokus pada penciptaan lapangan kerja dan perubahan perilaku masyarakat.
    Transisi ke ekonomi sirkular sering menciptakan jenis pekerjaan baru — seperti teknisi perbaikan, pengelola limbah elektronik, atau inovator bahan ramah lingkungan.
    Di sisi lain, ia juga menuntut peningkatan literasi dan kesadaran publik terhadap konsumsi berkelanjutan.

  • Dimensi Lingkungan menilai dampak sirkularitas terhadap penurunan emisi, konservasi ekosistem, dan efisiensi energi.
    Indikator seperti GHG emissions avoided through recycling atau energy intensity per unit of material use membantu mengukur sejauh mana kegiatan sirkular mendukung agenda mitigasi perubahan iklim.

Keempat dimensi ini saling melengkapi, bukan berdiri sendiri. Sebuah kebijakan bisa meningkatkan indikator ekonomi, tetapi belum tentu signifikan secara lingkungan. Oleh karena itu, CES menekankan perlunya pendekatan multidimensi agar hasil pengukuran tidak hanya menunjukkan efisiensi ekonomi, tetapi juga keseimbangan sosial dan ekologis.

2. Tingkatan Pengukuran: Mikro, Meso, dan Makro

Selain berdasarkan dimensi, CES juga memperkenalkan tiga tingkatan pengukuran sirkularitas — sebuah kerangka yang memungkinkan integrasi data dari level perusahaan hingga nasional:

  • Tingkat Mikro (Perusahaan dan Produk)
    Fokus pada kegiatan individu atau korporasi, seperti tingkat daur ulang bahan, umur pakai produk, atau proporsi bahan baku sekunder.
    Contoh: perusahaan manufaktur elektronik dapat mengukur rasio komponen yang dapat digunakan kembali dibandingkan yang harus dibuang.
    Data mikro ini penting karena menjadi dasar akumulasi indikator di tingkat nasional.

  • Tingkat Meso (Rantai Pasok dan Ekosistem Industri)
    Mengukur sirkularitas dalam skala sektoral atau wilayah industri.
    Misalnya, kawasan industri hijau di Batam atau Cikarang dapat dianalisis berdasarkan tingkat simbiosis industrinya — sejauh mana limbah satu perusahaan menjadi input bagi perusahaan lain.
    Tingkatan ini membantu pemerintah melihat efektivitas kebijakan klaster industri dan kolaborasi lintas sektor.

  • Tingkat Makro (Nasional dan Regional)
    Merupakan agregasi dari berbagai aktivitas sirkular di seluruh sektor ekonomi.
    Indikatornya dapat berupa rasio penggunaan bahan sekunder terhadap total konsumsi material nasional (domestic material consumption), kontribusi ekonomi sirkular terhadap PDB, atau intensitas emisi per unit nilai tambah.
    Di tingkat ini, data dari SNA dan SEEA menjadi krusial untuk membangun gambaran nasional yang menyeluruh.

Keterkaitan antar-tingkatan ini bersifat vertikal dan dinamis. Artinya, perubahan di tingkat mikro — seperti inovasi teknologi daur ulang — dapat memengaruhi indikator makro nasional jika datanya terintegrasi secara sistematis. Sebaliknya, kebijakan di tingkat makro (misalnya insentif fiskal untuk bahan sekunder) dapat memperkuat kegiatan sirkular di tingkat perusahaan.

3. Implikasi bagi Indonesia

Bagi Indonesia, pendekatan berlapis ini sangat relevan untuk mengatasi masalah keterbatasan data lintas sektor.
Selama ini, statistik ekonomi nasional lebih berfokus pada indikator makro seperti PDB atau nilai ekspor, sedangkan data mikro perusahaan sering tersebar di berbagai kementerian.
Pendekatan CES menawarkan cara untuk menghubungkan keduanya melalui sistem data hierarchy yang konsisten dan interoperabel.

Sebagai contoh, data mikro dari laporan keberlanjutan perusahaan (ESG reporting) dapat digunakan untuk memperkaya indikator meso dan makro ekonomi sirkular nasional.
Demikian pula, data limbah industri dan material sekunder dari KLHK atau Kemenperin dapat diintegrasikan dengan supply-use tables di BPS, menghasilkan indikator yang lebih representatif.

Dalam konteks kebijakan, pemahaman terhadap tingkatan pengukuran ini akan membantu pemerintah menyusun strategi transisi sirkular yang lebih terarah. Alih-alih membuat kebijakan seragam di semua sektor, Indonesia dapat menyesuaikan intervensi sesuai skala: memperkuat insentif inovasi di tingkat mikro, mendorong kolaborasi industri di tingkat meso, dan mengatur instrumen fiskal serta indikator nasional di tingkat makro.

Dengan demikian, sistem pengukuran berlapis ini tidak hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga mekanisme koordinasi antarlevel pembangunan — menghubungkan pelaku usaha, industri, dan negara dalam satu arah transformasi ekonomi yang berkelanjutan.

 

Keterkaitan dengan Kerangka Statistik Internasional

Salah satu keunggulan utama dari panduan Conference of European Statisticians (CES) adalah kemampuannya menyatukan berbagai sistem statistik internasional yang selama ini berjalan terpisah. Alih-alih menciptakan kerangka baru yang berdiri sendiri, CES menekankan pentingnya integrasi dan interoperabilitas antara sistem ekonomi, lingkungan, dan sosial yang telah diakui secara global. Pendekatan ini menjadikan pengukuran ekonomi sirkular lebih efisien, komprehensif, dan relevan dengan kebutuhan kebijakan lintas sektor.

1. Hubungan dengan SEEA (System of Environmental-Economic Accounting)

System of Environmental-Economic Accounting (SEEA) merupakan kerangka resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghubungkan data ekonomi dengan data lingkungan. Melalui SEEA, negara dapat menilai bagaimana kegiatan ekonomi memengaruhi sumber daya alam dan sebaliknya — bagaimana kondisi lingkungan memengaruhi keberlanjutan ekonomi.

CES menempatkan SEEA sebagai tulang punggung pengukuran ekonomi sirkular. Indikator seperti material flow accounts (MFA), waste accounts, dan environmental goods and services sector (EGSS) menjadi dasar untuk menghitung efisiensi penggunaan sumber daya dan potensi daur ulang material. Misalnya, melalui MFA, dapat dihitung total material yang masuk ke perekonomian (input), yang digunakan, dan yang keluar sebagai limbah (output). Data ini krusial untuk menentukan tingkat sirkularitas material suatu negara.

Bagi Indonesia, adopsi SEEA telah dimulai melalui kolaborasi antara BPS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun, penerapan penuh masih terbatas pada beberapa modul seperti air accounts dan energy accounts. Melalui kerangka CES, integrasi SEEA dapat diperluas untuk mencakup material flow accounts, sehingga mendukung pengukuran yang lebih komprehensif atas kinerja ekonomi sirkular nasional.

2. Hubungan dengan SNA (System of National Accounts)

System of National Accounts (SNA) adalah dasar bagi semua pengukuran ekonomi makro, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tambah, dan produktivitas. Dalam konteks ekonomi sirkular, SNA menyediakan struktur untuk mengukur kontribusi kegiatan sirkular terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Panduan CES mendorong integrasi antara SNA dan SEEA agar nilai ekonomi dari kegiatan sirkular — seperti industri daur ulang, jasa perbaikan, atau perdagangan bahan sekunder — dapat dicatat secara eksplisit dalam statistik nasional. Misalnya, perusahaan yang menghasilkan nilai tambah melalui pemanfaatan kembali material seharusnya tercatat dalam value added by circular sectors, bukan hanya sebagai industri manufaktur konvensional.

Integrasi ini penting karena selama ini banyak kegiatan ekonomi sirkular yang “tidak terlihat” dalam statistik resmi. Contohnya, aktivitas remanufacturing atau refurbishing sering diklasifikasikan sebagai kegiatan jasa umum atau reparasi, sehingga kontribusinya terhadap PDB dan produktivitas nasional tidak terukur dengan tepat. Dengan memperluas cakupan SNA melalui pendekatan CES, Indonesia dapat memperlihatkan nilai ekonomi nyata dari transisi menuju sirkularitas.

3. Hubungan dengan FDES (Framework for the Development of Environment Statistics)

Framework for the Development of Environment Statistics (FDES) berfungsi sebagai panduan untuk pengumpulan data lingkungan yang komprehensif, mencakup tema seperti tanah, air, udara, energi, dan limbah. Dalam konteks CES, FDES melengkapi SEEA dengan menyediakan basis data lingkungan mentah yang menjadi input bagi analisis ekonomi sirkular.

CES merekomendasikan agar data dari FDES digunakan untuk memvalidasi dan memperkaya indikator sirkularitas. Sebagai contoh, data FDES tentang emisi gas rumah kaca dari sektor industri dapat digunakan untuk menilai dampak kegiatan sirkular terhadap penurunan emisi nasional. Demikian pula, data mengenai kualitas air dan tingkat pencemaran dapat mengukur sejauh mana praktik daur ulang atau efisiensi sumber daya mengurangi tekanan lingkungan.

Indonesia telah mengembangkan FDES melalui Statistik Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang diterbitkan oleh BPS dan KLHK.
Namun, keterhubungan antara SLHI dengan data ekonomi (SNA dan SEEA) masih terbatas. Melalui adopsi kerangka CES, keterpaduan data ini dapat diperkuat, sehingga menghasilkan satu sistem statistik terintegrasi untuk ekonomi hijau dan sirkular.

4. Implikasi Integrasi Bagi Indonesia

Integrasi antara CES, SEEA, SNA, dan FDES memberikan peluang strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas kebijakan berbasis data. Dalam konteks nasional, integrasi ini akan membantu:

  • Menilai sejauh mana kebijakan industri hijau atau insentif fiskal berdampak pada efisiensi material dan emisi;

  • Menentukan sektor-sektor prioritas yang paling potensial untuk transisi ke ekonomi sirkular;

  • Mengukur dampak ekonomi sirkular terhadap ketenagakerjaan, investasi, dan produktivitas nasional;

  • Menyusun dashboard indikator nasional yang dapat digunakan dalam RPJMN dan laporan SDGs.

Selain manfaat kebijakan, integrasi ini juga memperkuat transparansi internasional dan daya saing ekonomi Indonesia.
Dengan mengadopsi sistem pengukuran yang sejalan dengan standar global, Indonesia dapat lebih mudah melaporkan kemajuan pada forum internasional seperti UN Environment Assembly dan G20 Sustainable Finance Working Group, sekaligus menarik investasi hijau dari lembaga keuangan global.

5. Membangun Sinergi Kelembagaan dan Teknologi Data

Agar integrasi ini berhasil, Indonesia perlu memperkuat sinergi antar-lembaga statistik dan memperluas penggunaan teknologi digital.
Pendekatan CES menekankan pentingnya data interoperability, yang memungkinkan pertukaran informasi lintas instansi secara otomatis melalui platform berbasis digital. BPS, KLHK, dan Bappenas dapat mengembangkan National Circular Economy Data Platform yang menghubungkan data ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam satu sistem berbagi informasi.

Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti big data analytics, satellite monitoring, dan IoT sensors dapat membantu melengkapi kekurangan data tradisional, terutama dalam memantau aliran material dan emisi secara real time. Langkah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi statistik, tetapi juga membuka jalan bagi inovasi kebijakan yang berbasis data dinamis.

Kerangka CES dengan demikian berfungsi bukan hanya sebagai panduan teknis, melainkan sebagai mekanisme strategis untuk memperkuat tata kelola statistik nasional. Dengan mengaitkan ekonomi sirkular pada SNA, SEEA, dan FDES, Indonesia dapat membangun fondasi statistik yang tidak hanya menggambarkan kinerja ekonomi, tetapi juga arah transformasi menuju keberlanjutan yang menyeluruh.

Tantangan Implementasi di Negara Berkembang

Walaupun panduan Conference of European Statisticians (CES) memberikan fondasi konseptual yang kuat untuk pengukuran ekonomi sirkular, penerapannya di negara berkembang menghadapi beragam hambatan. Masalah yang muncul tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mencakup dimensi kelembagaan, struktural, hingga budaya kebijakan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi besar di Global South menghadapi tantangan yang serupa, di mana kebutuhan akan data yang akurat berhadapan dengan keterbatasan kapasitas dan koordinasi antarinstansi.

1. Keterbatasan Infrastruktur dan Kualitas Data

Salah satu kendala utama adalah ketimpangan kapasitas statistik nasional. Banyak negara berkembang masih bergantung pada sistem pengumpulan data manual dan bersifat sektoral, sehingga sulit mengintegrasikan informasi lintas kementerian. Dalam konteks ekonomi sirkular, data yang dibutuhkan tidak hanya berasal dari sektor ekonomi, tetapi juga lingkungan, energi, dan sosial — yang sering kali menggunakan format dan metodologi berbeda.

Indonesia, misalnya, memiliki data limbah industri dari KLHK, data energi dari ESDM, dan data ekonomi dari BPS, namun belum ada sistem terpadu yang menggabungkan seluruh informasi ini ke dalam satu kerangka pengukuran. Keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur teknologi informasi, serta standar klasifikasi yang belum seragam memperparah situasi ini.

Selain itu, data informal dari kegiatan daur ulang skala kecil atau rumah tangga sering kali tidak tercatat dalam statistik resmi.
Padahal sektor informal memainkan peran signifikan dalam sirkularitas material, terutama dalam pengumpulan dan pengolahan limbah plastik, elektronik, dan logam. Tanpa mekanisme inklusi data bagi sektor ini, indikator nasional akan bias ke arah industri besar, sehingga mengaburkan kontribusi nyata dari masyarakat dan UMKM.

2. Fragmentasi Kelembagaan dan Koordinasi Antarinstansi

Tantangan kedua terletak pada fragmentasi kelembagaan. Ekonomi sirkular bersifat lintas sektor — mencakup aspek lingkungan, industri, energi, dan perdagangan — namun tata kelola datanya sering kali bersifat silo. Setiap kementerian memiliki mandat dan sistem data sendiri yang tidak selalu terhubung atau sinkron.

Misalnya, Kementerian Perindustrian memantau produksi industri daur ulang, sementara KLHK mengelola data limbah dan emisi, dan Bappenas memantau indikator keberlanjutan dalam konteks RPJMN. Tanpa mekanisme koordinasi lintas lembaga yang kuat, pengukuran ekonomi sirkular menjadi tumpang tindih, tidak efisien, dan sulit dievaluasi secara nasional.

CES menekankan pentingnya pembentukan platform koordinasi nasional untuk statistik sirkularitas. Bagi Indonesia, hal ini dapat diwujudkan melalui pembentukan National Circular Economy Data Council — lembaga lintas kementerian yang berfungsi menyusun metodologi, menyelaraskan definisi, serta mengawasi implementasi indikator. Dewan semacam ini juga dapat menjadi mitra koordinasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta.

3. Keterbatasan Kapasitas SDM dan Literasi Statistik

Selain infrastruktur dan kelembagaan, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi kendala yang krusial.
Pengukuran ekonomi sirkular membutuhkan keahlian lintas disiplin — ekonomi, teknik lingkungan, statistik, hingga ilmu material.
Namun, di banyak lembaga publik dan daerah, keahlian ini masih terbatas.

Tanpa peningkatan literasi statistik, data yang dikumpulkan berisiko tidak konsisten atau tidak memenuhi standar internasional.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan program pelatihan teknis berkelanjutan bagi analis data dan perencana kebijakan, misalnya melalui Circular Economy Statistics Training Series yang melibatkan BPS, universitas, dan lembaga internasional seperti UNECE atau OECD. Langkah ini tidak hanya memperkuat kapasitas analisis, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya data dalam mendukung transisi ekonomi hijau.

4. Pendanaan dan Keberlanjutan Sistem Data

Sistem statistik yang kuat membutuhkan pendanaan yang konsisten dan jangka panjang. Sayangnya, di banyak negara berkembang, kegiatan statistik lingkungan sering bergantung pada proyek donor internasional yang bersifat sementara.
Ketika pendanaan berakhir, kegiatan pengumpulan data pun berhenti, dan sistem tidak berkelanjutan.

Untuk mengatasi hal ini, CES merekomendasikan agar negara mengalokasikan anggaran nasional khusus untuk statistik ekonomi sirkular. Dana ini dapat diambil dari porsi green budgeting atau pendapatan pajak lingkungan, sehingga keberlanjutan sistem data tidak tergantung pada bantuan luar negeri. Indonesia dapat mencontoh pendekatan Green Statistics Fund yang diterapkan di Eropa, di mana sebagian hasil pajak karbon dialokasikan untuk pengembangan data keberlanjutan.

5. Ketidaksiapan Industri dan Sektor Swasta

Di luar ranah pemerintah, tantangan lain datang dari sektor swasta. Banyak perusahaan, terutama skala menengah dan kecil, belum siap melaporkan data yang relevan untuk pengukuran sirkularitas, seperti penggunaan bahan sekunder, efisiensi energi, atau emisi yang dihindari melalui inovasi produk. Sebagian perusahaan juga menganggap pelaporan lingkungan sebagai beban administratif tambahan, bukan investasi strategis.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan insentif — misalnya memberikan keringanan pajak atau prioritas akses pembiayaan bagi perusahaan yang bersedia menerapkan pelaporan sirkularitas berbasis data. Selain itu, pemerintah dapat mendorong digital reporting system yang mudah diakses, sehingga pelaku usaha kecil pun dapat berkontribusi tanpa terbebani oleh kompleksitas birokrasi.

6. Kesenjangan Teknologi dan Akses Digital

Tantangan terakhir menyangkut akses terhadap teknologi dan digitalisasi data. Banyak daerah di Indonesia masih menghadapi keterbatasan infrastruktur digital, yang membuat proses pelaporan data lambat dan tidak akurat. Padahal, CES menekankan pentingnya pemanfaatan big data, remote sensing, dan IoT untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pengumpulan data sirkularitas.

Membangun sistem data sirkular nasional berarti juga membangun ekosistem digital yang terintegrasi. Investasi pada jaringan data terbuka, interoperabilitas sistem antarinstansi, dan penggunaan AI-driven analytics dapat menjadi terobosan bagi pengukuran yang lebih cepat, murah, dan inklusif.

Menjadikan Tantangan sebagai Peluang

Tantangan-tantangan di atas menunjukkan bahwa transisi menuju sistem pengukuran sirkularitas bukanlah proses teknis semata, melainkan transformasi institusional dan budaya data. Dengan mengadopsi panduan CES, negara berkembang seperti Indonesia memiliki peluang untuk membangun sistem statistik yang bukan hanya lebih akurat, tetapi juga lebih adaptif terhadap kebutuhan kebijakan modern.

Jika dikelola dengan strategi yang konsisten, tantangan ini justru dapat menjadi momentum untuk menciptakan tata kelola data yang transparan, berbasis kolaborasi, dan mendukung inovasi lintas sektor — menjadikan ekonomi sirkular bukan sekadar konsep ideal, tetapi kenyataan yang terukur.

 

Penutup

Ekonomi sirkular telah berkembang dari ide konseptual menjadi arah strategis pembangunan global yang menggabungkan efisiensi ekonomi, keseimbangan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Namun, keberhasilan implementasinya tidak hanya bergantung pada inovasi industri atau teknologi, melainkan pada kemampuan negara untuk mengukurnya secara akurat dan konsisten.
Tanpa sistem pengukuran yang kuat, ekonomi sirkular akan tetap menjadi wacana abstrak, bukan kebijakan yang bisa dievaluasi dan ditingkatkan.

Panduan Conference of European Statisticians (CES) memberikan pijakan penting bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk membangun sistem pengukuran yang terstruktur dan berbasis pada standar internasional. Dengan menghubungkan System of National Accounts (SNA), System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), dan Framework for the Development of Environment Statistics (FDES), kerangka CES menjembatani data ekonomi dan lingkungan ke dalam satu kesatuan analisis yang koheren. Pendekatan ini bukan hanya menyederhanakan pelaporan, tetapi juga mendorong integrasi lintas kebijakan dan sektor.

Bagi Indonesia, penerapan kerangka CES membawa dua manfaat strategis. 

Pertama, ia memperkuat dasar ilmiah bagi kebijakan ekonomi hijau dan transisi industri, dengan menyediakan indikator yang dapat mengukur efektivitas kebijakan terhadap sirkularitas material, emisi, dan produktivitas sumber daya.
Kedua, ia meningkatkan daya saing global dengan memperkuat transparansi dan kredibilitas data, yang menjadi syarat penting dalam kerja sama internasional dan investasi berkelanjutan.

Meski demikian, keberhasilan implementasi membutuhkan komitmen yang lebih dari sekadar teknis. Diperlukan reformasi kelembagaan untuk mengurangi tumpang tindih antarinstansi, investasi dalam infrastruktur digital dan statistik, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Lebih penting lagi, diperlukan perubahan paradigma: dari melihat data sebagai beban administratif, menuju melihatnya sebagai instrumen strategis pembangunan nasional.

Dalam konteks ini, pengukuran ekonomi sirkular tidak hanya berfungsi sebagai alat akuntabilitas, tetapi juga sebagai kompas kebijakan menuju masa depan ekonomi Indonesia yang tangguh, efisien, dan berkeadilan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip CES dan menyesuaikannya dengan konteks domestik, Indonesia berpeluang menjadi pelopor regional dalam pembangunan ekonomi berbasis sirkularitas — bukan hanya dalam praktik, tetapi juga dalam sistem pengukuran yang menjadi pondasinya.

 

Daftar Pustaka

Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part A (Chapter 5). Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Circular Economy Indicators and Policy Frameworks. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Measuring Circularity: From Concepts to Indicators. Nairobi: UNEP.

World Bank. (2023). Greening Data Systems: Building Statistical Capacity for Circular Economy in Developing Countries. Washington, DC: World Bank Group.

 

Selengkapnya
Mengukur Sirkularitas: Fondasi Statistik untuk Transisi Ekonomi Hijau Indonesia

Ekonomi

Dari Konsep ke Pengukuran: Membangun Indikator Ekonomi Sirkular Nasional

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Pendahuluan

Dalam dua dekade terakhir, ekonomi sirkular telah berkembang dari konsep lingkungan menjadi strategi pembangunan ekonomi nasional di berbagai negara. Pergeseran ini mencerminkan kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi konvensional, yang bertumpu pada model “ambil–buat–buang” (take–make–dispose), tidak lagi berkelanjutan. Model linear tersebut menyebabkan konsumsi sumber daya meningkat tiga kali lipat sejak 1970, sementara produksi limbah dan emisi karbon naik secara eksponensial. Dunia kini menghadapi dilema: bagaimana mempertahankan kemajuan ekonomi tanpa memperburuk krisis ekologis yang semakin nyata?

Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, ekonomi sirkular muncul sebagai paradigma baru yang berorientasi pada pemanfaatan optimal sumber daya, pengurangan limbah, dan regenerasi ekosistem alam. Pendekatan ini menuntut perubahan fundamental pada seluruh rantai nilai—dari desain produk hingga konsumsi, serta dari kebijakan publik hingga perilaku individu.

Namun, keberhasilan transformasi menuju ekonomi sirkular tidak hanya bergantung pada kebijakan atau inovasi teknologi, tetapi juga pada kemampuan suatu negara untuk mengukur kemajuan dan dampaknya secara sistematis. Tanpa indikator yang jelas, transisi ini berisiko menjadi sekadar jargon kebijakan tanpa arah implementatif. Di sinilah pentingnya panduan seperti Conference of European Statisticians Guidelines for Measuring Circular Economy (Part B), yang menyediakan kerangka metodologis dan indikator terukur untuk memantau perubahan ekonomi dari linear menuju sirkular.

Panduan ini menekankan bahwa pengukuran adalah bahasa kebijakan. Dengan indikator yang konsisten, pemerintah dapat memahami sejauh mana sirkularitas telah berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, pengurangan emisi, serta penciptaan lapangan kerja hijau. Selain itu, indikator tersebut menjadi dasar untuk menyusun strategi lintas sektor—mulai dari industri manufaktur, energi, pertanian, hingga pengelolaan limbah—agar kebijakan berjalan sinkron dalam satu arah transformasi hijau.

Bagi Indonesia, urgensi membangun sistem pengukuran ekonomi sirkular semakin besar. Negara ini menghadapi tekanan ganda: kebutuhan memperkuat ketahanan ekonomi pasca-pandemi sekaligus memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030. Transisi ke ekonomi sirkular dapat menjadi jalan tengah yang strategis—mendorong efisiensi industri sekaligus menciptakan peluang kerja baru di bidang daur ulang, desain berkelanjutan, dan teknologi hijau.

Namun, sejauh ini pengukuran sirkularitas di Indonesia masih bersifat sektoral dan fragmentaris. Data mengenai aliran material, tingkat daur ulang, dan dampak sosial belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem statistik nasional. Oleh karena itu, adopsi kerangka pengukuran seperti yang dikembangkan CES dapat menjadi langkah penting untuk menyatukan data, kebijakan, dan aksi di lapangan.

Panduan CES juga menegaskan bahwa pengukuran ekonomi sirkular bukan sekadar proses teknis, melainkan proses institusional dan kolaboratif. Dibutuhkan sinergi antara lembaga statistik, kementerian, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mengumpulkan data yang valid, inklusif, dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan publik.

Dengan membangun sistem pengukuran yang kuat, Indonesia tidak hanya dapat memantau transisi ekonominya, tetapi juga memimpin narasi regional tentang pembangunan berkelanjutan berbasis bukti. Seperti yang diingatkan CES, tanpa pengukuran, tidak ada manajemen; dan tanpa manajemen berbasis data, sirkularitas akan sulit berkembang menjadi pilar ekonomi nasional yang sesungguhnya.

 

Kerangka Indikator Ekonomi Sirkular

Menerapkan ekonomi sirkular tanpa sistem pengukuran yang kokoh sama seperti menavigasi tanpa peta. Oleh karena itu, Conference of European Statisticians (CES) melalui Guidelines for Measuring Circular Economy – Part B menegaskan bahwa langkah pertama menuju sirkularitas yang efektif adalah membangun kerangka indikator nasional yang mampu mencerminkan hubungan antara aktivitas ekonomi, aliran material, dan dampak lingkungan.

1. Indikator Aliran Material (Material Flow Indicators)

Indikator ini menyoroti sejauh mana perekonomian memanfaatkan sumber daya alam secara efisien.
CES menekankan pentingnya pengukuran input material primer, tingkat penggunaan kembali bahan sekunder, serta intensitas material terhadap output ekonomi (Material Intensity Ratio). Melalui indikator seperti Domestic Material Consumption (DMC) dan Recycled Material Input Rate (RMIR), negara dapat memantau ketergantungan terhadap bahan mentah baru serta kapasitas daur ulang domestik.

Untuk konteks Indonesia, penguatan indikator ini sangat krusial. Sebagai negara berbasis sumber daya alam, konsumsi material nasional terus meningkat, terutama pada sektor konstruksi, energi, dan pertanian. Tanpa pengendalian berbasis data, eksploitasi berlebihan berpotensi mempercepat degradasi lingkungan dan menekan daya saing jangka panjang. Penerapan material footprint accounting akan memungkinkan pemerintah mengukur seberapa besar “jejak material” dari setiap unit produk domestik bruto (PDB), sehingga kebijakan efisiensi sumber daya dapat diarahkan secara tepat sasaran.

2. Indikator Sirkularitas Produk dan Sektor (Product and Sectoral Circularity)

Indikator kelompok ini mengukur sejauh mana produk dan sektor industri telah menerapkan prinsip sirkularitas dalam desain, produksi, distribusi, dan pasca-pakai. Beberapa indikator kunci yang direkomendasikan CES antara lain:

  • Durasi rata-rata masa pakai produk (Product Lifetime).

  • Tingkat perbaikan dan remanufaktur (Repair and Remanufacture Rate).

  • Rasio penggunaan ulang (Reuse Ratio) dan tingkat daur ulang aktual (Effective Recycling Rate).

Indonesia dapat mengadaptasi indikator ini melalui kebijakan seperti Extended Producer Responsibility (EPR) yang sedang dikembangkan di sektor elektronik dan kemasan plastik. Dengan mengukur siklus hidup produk, pemerintah dapat menilai efektivitas kebijakan tanggung jawab produsen dan mendorong desain produk yang lebih tahan lama, mudah diperbaiki, serta memiliki nilai residu lebih tinggi.

Selain itu, indikator sektoral dapat diterapkan pada industri prioritas nasional seperti tekstil, otomotif, dan konstruksi—tiga sektor yang berkontribusi besar terhadap konsumsi energi dan limbah material. Pemantauan tingkat sirkularitas di sektor-sektor ini akan memperkuat kemampuan Indonesia dalam mengukur dampak kebijakan green manufacturing dan program Making Indonesia 4.0.

3. Indikator Dampak Sosial dan Ekonomi (Socio-Economic Impact Indicators)

Ekonomi sirkular tidak hanya menyangkut aspek teknis pengelolaan material, tetapi juga transformasi sosial dan ekonomi.
CES menyoroti pentingnya indikator yang mengukur penciptaan nilai dan pekerjaan baru dari aktivitas sirkular, misalnya:

  • Green Jobs in Circular Economy Activities,

  • Value Added from Circular Sectors,

  • Income from Secondary Raw Material Markets.

Indikator-indikator ini memberikan dimensi manusia pada konsep sirkularitas. Di Indonesia, sektor informal memainkan peran vital dalam pengumpulan dan pengolahan limbah. Dengan memasukkan data tenaga kerja informal ke dalam indikator resmi, negara dapat memperoleh gambaran yang lebih realistis tentang skala aktivitas sirkular dan potensi peningkatan kesejahteraan sosial yang dihasilkannya.

4. Indikator Dampak Lingkungan (Environmental Outcome Indicators)

Akhirnya, setiap sistem pengukuran ekonomi sirkular harus menilai dampak lingkungan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi.
Indikator seperti Carbon Footprint Reduction, Waste Diversion Rate, dan Energy Intensity per Unit of Output menjadi ukuran konkret atas keberhasilan sirkularitas dalam menekan tekanan ekologis. Dengan mengaitkan indikator-indikator ini pada System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), negara dapat memantau keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan secara integratif.

Indonesia dapat memanfaatkan pendekatan ini untuk menilai sejauh mana kebijakan ekonomi hijau berkontribusi terhadap target penurunan emisi 2030 dan Net Zero Emission 2060. Integrasi indikator lingkungan ke dalam kebijakan ekonomi sirkular memastikan bahwa pertumbuhan yang dicapai bukan hanya “lebih efisien”, tetapi juga benar-benar lebih bersih dan berkeadilan

 

Pendekatan Metodologis: Dari Statistik ke Kebijakan

Membangun ekonomi sirkular tidak cukup hanya dengan memiliki indikator; yang lebih penting adalah bagaimana indikator tersebut diintegrasikan ke dalam sistem statistik nasional dan dijadikan dasar pengambilan kebijakan publik. Panduan Conference of European Statisticians (CES) menekankan bahwa pengukuran sirkularitas harus dilihat sebagai proses lintas institusi, bukan proyek sektoral. Dengan demikian, hasil statistik tidak hanya menjadi arsip angka, tetapi juga instrument kebijakan yang mendorong transformasi nyata di lapangan.

1. Integrasi ke dalam Sistem Akuntansi Lingkungan-Ekonomi (SEEA)

Langkah pertama adalah memastikan seluruh indikator ekonomi sirkular terhubung dengan kerangka System of Environmental-Economic Accounting (SEEA) — standar internasional yang menggabungkan data ekonomi dan lingkungan dalam satu sistem terpadu. Melalui integrasi ini, data tentang konsumsi material, energi, limbah, dan emisi dapat dihubungkan langsung dengan output ekonomi, nilai tambah industri, dan kontribusi terhadap PDB.

Bagi Indonesia, integrasi semacam ini penting karena saat ini data lingkungan masih tersebar di berbagai lembaga seperti BPS, KLHK, dan Kementerian ESDM. Dengan menggabungkan data lintas sektor melalui pendekatan SEEA, pemerintah akan mampu menjawab pertanyaan mendasar seperti: “Seberapa banyak pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada ekstraksi sumber daya baru?” atau “Apakah efisiensi material benar-benar menurunkan tekanan terhadap lingkungan?”

2. Pendekatan Multi-Domain dan Koordinasi Antar-Lembaga

CES menekankan bahwa ekonomi sirkular bersifat multidimensi — mencakup produksi, konsumsi, energi, limbah, perdagangan, dan tenaga kerja. Karena itu, pengukuran sirkularitas harus mengadopsi pendekatan multi-domain, di mana lembaga statistik bekerja bersama kementerian teknis, dunia usaha, dan lembaga penelitian.

Negara-negara Eropa telah membentuk National Circular Economy Task Force yang mengoordinasikan pengumpulan data lintas lembaga dan sektor.
Indonesia dapat mengadaptasi model serupa dengan melibatkan:

  • BPS sebagai koordinator statistik dan penyedia data primer,

  • KLHK untuk indikator lingkungan dan pengelolaan limbah,

  • Kemenperin untuk sektor industri dan efisiensi sumber daya,

  • Bappenas untuk perencanaan kebijakan dan evaluasi lintas program.

Koordinasi ini memungkinkan setiap data yang dikumpulkan tidak berdiri sendiri, tetapi saling memperkuat dalam satu narasi kebijakan nasional.

3. Pengembangan Dashboard dan Pusat Data Sirkularitas

Salah satu inovasi penting yang diuraikan dalam panduan CES adalah pembentukan “Circular Economy Dashboard”, sebuah platform digital yang menampilkan indikator utama secara visual, dinamis, dan terbarui secara berkala. Dashboard semacam ini berfungsi sebagai alat komunikasi publik sekaligus media koordinasi lintas lembaga, membantu pemangku kepentingan memahami kemajuan dan tantangan ekonomi sirkular secara real time.

Negara seperti Belanda dan Finlandia telah membuktikan efektivitas dashboard tersebut dalam memantau keberhasilan kebijakan daur ulang dan pengurangan limbah. Indonesia dapat mengembangkan versi nasionalnya melalui kolaborasi BPS, Bappenas, dan Kementerian Kominfo, dengan memanfaatkan data lake nasional untuk menghubungkan data material flow, produksi industri, dan indikator sosial ekonomi.

Selain menjadi alat analisis, dashboard juga berfungsi sebagai sarana transparansi kebijakan publik, di mana masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha dapat memantau langsung kemajuan implementasi strategi ekonomi sirkular.

4. Pengukuran Respons Kebijakan dan Dampak Dinamis

CES menekankan bahwa indikator ekonomi sirkular tidak boleh berhenti pada tahap deskriptif. Indikator yang baik harus mampu mencerminkan perubahan akibat kebijakan — misalnya, apakah insentif fiskal benar-benar meningkatkan penggunaan bahan daur ulang, atau apakah regulasi EPR (Extended Producer Responsibility) menurunkan jumlah limbah pasca konsumsi.

Untuk itu, diperlukan sistem pengukuran yang bersifat dinamis, di mana data diperbarui secara berkala dan dianalisis dalam konteks kebijakan yang sedang berjalan. Indonesia dapat menerapkan pendekatan policy-linked monitoring, di mana setiap kebijakan atau program sirkular memiliki indikator dampak yang terukur dan dapat dievaluasi setiap tahun.

Sebagai contoh, program Green Industry Certification oleh Kemenperin dapat dihubungkan langsung dengan indikator sirkularitas industri, seperti tingkat efisiensi energi, rasio bahan baku daur ulang, atau pengurangan emisi karbon. Dengan cara ini, pengukuran tidak hanya menjadi aktivitas statistik, tetapi juga alat manajemen kebijakan nasional.

Keterkaitan dengan Pembangunan Berkelanjutan

Panduan CES menegaskan bahwa sistem pengukuran ekonomi sirkular tidak dapat dipisahkan dari kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 8 (pertumbuhan ekonomi inklusif), Tujuan 12 (konsumsi dan produksi berkelanjutan), dan Tujuan 13 (aksi iklim). Indikator sirkularitas yang baik dapat berfungsi sebagai bridge indicator yang menjembatani analisis antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Bagi Indonesia, hal ini membuka peluang untuk memperkuat keterpaduan antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan target SDGs dan Net Zero Emission Roadmap. Sistem pengukuran sirkularitas yang terintegrasi akan membantu memastikan bahwa kebijakan ekonomi hijau tidak hanya simbolik, tetapi benar-benar menyumbang pada pencapaian indikator global.

 

Tantangan Pengukuran di Negara Berkembang

Meski ekonomi sirkular telah menjadi agenda global, penerapan dan pengukurannya masih menghadapi hambatan serius di negara berkembang. Panduan CES secara terbuka mengakui bahwa kesenjangan kapasitas statistik, fragmentasi kelembagaan, dan keterbatasan data lingkungan menjadi tantangan utama yang menghambat konsistensi indikator lintas negara.

Indonesia, seperti banyak negara di Asia Tenggara, menghadapi tiga kelompok tantangan besar: struktural, teknis, dan kelembagaan.

1. Tantangan Struktural: Dominasi Ekonomi Linear dan Sektor Informal

Sebagian besar perekonomian negara berkembang masih bersandar pada model linear: mengekstraksi sumber daya, memproduksi barang, lalu membuang sisa material setelah digunakan. Model ini bertahan karena dianggap paling efisien secara ekonomi dalam jangka pendek, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, konstruksi, dan pertanian.

Namun, dalam jangka panjang, ketergantungan pada sumber daya mentah menimbulkan biaya lingkungan dan ekonomi yang tinggi.
Di sisi lain, banyak aktivitas sirkular — seperti pengumpulan limbah, perbaikan barang, atau daur ulang plastik — justru dilakukan oleh sektor informal tanpa dukungan data atau pengakuan resmi.

Hal ini menimbulkan paradoks: ekonomi sirkular sebenarnya sudah berjalan di lapangan, tetapi tidak terlihat dalam statistik nasional. Tanpa mekanisme untuk mencatat kontribusi sektor informal, ukuran sirkularitas nasional akan selalu bias ke bawah.
Indonesia perlu mengembangkan metode data inclusion agar aktivitas informal bisa masuk dalam basis data resmi, misalnya melalui survei berbasis komunitas atau kolaborasi dengan asosiasi pengelola limbah nonformal.

2. Tantangan Teknis: Keterbatasan Data dan Standardisasi

Tantangan kedua terletak pada aspek teknis: ketiadaan sistem data yang seragam dan berkelanjutan. Banyak lembaga mengumpulkan data lingkungan, tetapi dalam format dan metodologi yang berbeda. Akibatnya, sulit menggabungkan data dari sektor industri, limbah, energi, dan konsumsi rumah tangga ke dalam satu kerangka statistik.

Panduan CES menyarankan penggunaan Standard Classification for Circular Economy Activities (CCE) — semacam kode klasifikasi kegiatan ekonomi yang memudahkan pelaporan dan perbandingan antar sektor. Namun, di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, klasifikasi ini belum sepenuhnya diadopsi.

Masalah lainnya adalah kurangnya data life-cycle produk. Banyak industri tidak memiliki catatan sistematis tentang umur produk, tingkat daur ulang, atau penggunaan bahan sekunder. Padahal, data tersebut sangat penting untuk menghitung indikator seperti product lifetime extension atau recycling efficiency ratio.

Solusinya adalah memperluas penerapan pelaporan lingkungan korporasi (corporate environmental disclosure). BUMN dan perusahaan besar dapat diwajibkan menyampaikan data sirkularitas produk dan material melalui mekanisme pelaporan tahunan, sehingga data mikro dapat diolah menjadi indikator makro yang konsisten.

3. Tantangan Kelembagaan: Fragmentasi dan Koordinasi Antarinstansi

Tantangan ketiga bersifat kelembagaan. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pengumpulan dan pemanfaatan data sirkularitas tersebar di berbagai lembaga tanpa koordinasi yang jelas. BPS memiliki mandat statistik nasional, tetapi data limbah dan material sering berada di bawah KLHK, sementara data industri di Kemenperin, dan data konsumsi di Kemendag.

Kondisi ini menciptakan duplikasi upaya sekaligus kesenjangan informasi. CES merekomendasikan pembentukan National Circular Economy Statistics Coordination Board — lembaga lintas kementerian yang berfungsi mengharmonisasi data, menyusun indikator, dan menstandarkan metodologi pengukuran. Bagi Indonesia, pembentukan Tim Koordinasi Nasional Statistik Ekonomi Sirkular di bawah Bappenas atau BPS dapat menjadi langkah awal strategis. Struktur ini juga akan membantu penyelarasan indikator dengan kebijakan nasional seperti RPJMN 2025–2029, Rencana Pembangunan Rendah Karbon (LCDI), dan Strategi Nasional Ekonomi Hijau.

4. Tantangan Kapasitas dan Literasi Statistik

Selain aspek teknis dan kelembagaan, kendala yang sering diabaikan adalah kapasitas sumber daya manusia. Pengumpulan data sirkularitas memerlukan keahlian lintas bidang — ekonomi, lingkungan, teknik industri, dan data science — yang masih langka di lembaga publik maupun sektor swasta di Indonesia. Tanpa peningkatan kapasitas, indikator yang dikembangkan akan sulit diterjemahkan ke dalam analisis dan kebijakan yang bermakna.

Untuk itu, dibutuhkan investasi dalam pelatihan dan pendidikan statistik lingkungan, baik melalui universitas maupun lembaga diklat pemerintah.Program seperti Circular Economy Statistics Fellowship atau Green Data Academy dapat menjadi wadah untuk melahirkan analis lintas disiplin yang mampu menghubungkan data dengan kebijakan nyata.

5. Tantangan Pembiayaan dan Infrastruktur Data

Terakhir, implementasi sistem pengukuran sirkularitas memerlukan infrastruktur data yang kuat dan pendanaan berkelanjutan. Banyak negara berkembang mengandalkan proyek donor internasional yang sifatnya jangka pendek, sehingga keberlanjutan sistem data sering terhenti begitu pendanaan eksternal berakhir.

Untuk mengatasi hal ini, CES mendorong negara-negara untuk mengalokasikan anggaran nasional khusus untuk statistik lingkungan dan ekonomi hijau. Indonesia dapat meniru pendekatan Green Statistics Fund seperti di Eropa, di mana sebagian pajak lingkungan dialokasikan untuk mendukung riset dan pengembangan sistem data keberlanjutan.

Selain itu, pemanfaatan teknologi digital seperti satellite monitoring, IoT sensors, dan big data analytics dapat mengurangi biaya pengumpulan data jangka panjang serta meningkatkan ketepatan pelaporan aktivitas sirkular di lapangan.

Mengubah Tantangan Menjadi Peluang

Meskipun tantangan ini kompleks, CES menekankan bahwa negara berkembang justru memiliki peluang besar untuk membangun sistem pengukuran sirkularitas yang lebih adaptif dan inklusif. Alih-alih menyalin mentah sistem negara maju, Indonesia dapat mengembangkan pendekatan yang kontekstual: menggabungkan data formal dan informal, serta memanfaatkan teknologi digital dan partisipasi masyarakat.

Dengan langkah-langkah seperti digitalisasi data limbah, penguatan peran akademisi, dan keterlibatan sektor swasta dalam pelaporan lingkungan, sistem pengukuran sirkularitas nasional dapat berkembang secara progresif — menjadi alat transformasi ekonomi yang bukan hanya hijau di atas kertas, tetapi berdampak nyata pada kehidupan masyarakat.

.

Kesimpulan

Mengukur sirkularitas bukan sekadar soal statistik, melainkan tentang membangun dasar pengetahuan untuk perubahan struktural ekonomi. Panduan Conference of European Statisticians (CES) menegaskan bahwa ekonomi sirkular hanya dapat berkembang bila pemerintah memiliki alat ukur yang mampu menunjukkan kemajuan, tantangan, dan dampak lintas sektor. Tanpa indikator yang jelas, ekonomi sirkular berisiko menjadi jargon tanpa arah kebijakan yang terukur.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, membangun sistem pengukuran sirkularitas berarti melampaui batasan administratif dan teknis yang ada.
Langkah ini membutuhkan transformasi di tiga lapis utama:

  1. Sistem Data dan Metodologi, agar seluruh aliran material, limbah, energi, dan tenaga kerja tercatat secara konsisten;

  2. Koordinasi Institusional, yang menghubungkan kementerian, lembaga statistik, sektor swasta, dan masyarakat;

  3. Kapasitas Manusia dan Teknologi, untuk mengolah data menjadi informasi yang bermakna bagi kebijakan publik.

Jika fondasi ini dibangun, ekonomi sirkular tidak hanya menjadi alat pelestarian lingkungan, tetapi juga mesin pertumbuhan inklusif. Sirkularitas mampu mendorong penciptaan pekerjaan baru, memperkuat rantai nilai domestik, serta mengurangi ketergantungan pada impor bahan mentah. Lebih jauh, ia menjadi jalan strategis untuk mewujudkan komitmen Indonesia terhadap Net Zero Emission 2060 dan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Namun, keberhasilan pengukuran sirkularitas bergantung pada komitmen politik dan konsistensi implementasi.
Tanpa dukungan anggaran dan koordinasi lintas lembaga, indikator yang telah disusun berpotensi tidak digunakan secara aktif dalam perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, langkah penting ke depan adalah memastikan bahwa setiap indikator memiliki fungsi kebijakan yang nyata — misalnya sebagai dasar alokasi insentif, penilaian investasi hijau, atau evaluasi kinerja industri.

Dengan mengadaptasi prinsip dan metodologi CES, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin regional dalam tata kelola ekonomi sirkular berbasis data. Negara ini memiliki kekayaan sumber daya, populasi produktif, dan posisi strategis di rantai pasok global — tiga modal penting untuk membangun ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga berputar dengan cerdas dan berkelanjutan.

 

Daftar Pustaka

Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part B. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).

Badan Pusat Statistik. (2023). Pengembangan Statistik Lingkungan dan Ekonomi Hijau di Indonesia. Jakarta: BPS.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Circular economy indicators: Framework and policy implications. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Measuring circularity: Indicators for sustainable resource management. Nairobi: UNEP.

World Bank. (2023). Greening data systems: Building statistical capacity for circular economy in emerging markets. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Dari Konsep ke Pengukuran: Membangun Indikator Ekonomi Sirkular Nasional
page 1 of 1.283 Next Last »