Perencanaan tata ruang wilayah

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Keberlanjutan Kawasan Suburban Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Ketika Konsep Lama Keberlanjutan Gagal Membendung Ledakan Suburban

Kawasan penyangga (hinterland) Metropolitan Jakarta—termasuk Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bekasi—telah lama menjadi mesin pertumbuhan dan sekaligus zona krisis keberlanjutan. Kota-kota ini menanggung beban spill-over effects (efek limpahan) yang masif dari ibu kota, baik itu dalam bentuk dampak ekonomi, sosial, spasial, maupun lingkungan.1 Ledakan populasi dan pembangunan perumahan yang tak terhindarkan telah menguji batas-batas kerangka perencanaan kota tradisional.

Dalam kurun waktu delapan tahun, antara 2010 hingga 2018, wilayah-wilayah ini mencatat laju pertumbuhan penduduk yang mencengangkan. Tangerang Selatan, misalnya, mencatat laju pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 3,56%, diikuti Depok 3,53%.1 Pertumbuhan yang brutal ini jauh melampaui rata-rata nasional dan secara langsung memicu konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Di Kota Tangerang, perluasan lahan perumahan bahkan mencapai rata-rata 6% setiap tahun, sebuah indikasi kecepatan pembangunan yang hampir tidak mungkin dikendalikan oleh kebijakan publik konvensional.1

Realitas ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah standar keberlanjutan yang ada saat ini masih relevan? Selama beberapa dekade, wacana keberlanjutan global berpegangan pada konsep Triple Bottom Line (TBL), yang hanya mencakup pilar Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan.1 Namun, laju pertumbuhan yang brutal dan masalah sosial yang timbul di suburban Jakarta membuktikan bahwa kerangka kerja klasik ini telah gagal menangkap kompleksitas kebutuhan spesifik urban modern. Penelitian ekstensif terbaru, yang melibatkan ratusan rumah tangga di kawasan penyangga Jakarta, hadir untuk mendobrak paradigma lama, mengusulkan dan memvalidasi model enam pilar—menambahkan Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola—sebagai peta jalan baru menuju Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang benar-benar akurat dan terukur.1

 

Mengapa Tiga Pilar Saja Tidak Cukup: Menguak Batasan Konsep Klasik

Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Abad ke-20

Konsep pembangunan berkelanjutan secara historis merujuk pada definisi World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan masa depan.1 Konsep ini diperkuat oleh TBL yang diperkenalkan Elkington (1997). Meskipun TBL menjadi referensi utama dalam banyak penelitian empiris, para akademisi mengakui bahwa konsep ini memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan pada kasus-kasus spesifik di tingkat regional, lokal, dan sektoral.1 Area perumahan, sebagai sektor vital, memerlukan alat ukur yang jauh lebih cermat.

Di Indonesia, defisit kebijakan ini sangat nyata. Meskipun Badan Standardisasi Nasional (BSN) pernah merilis Prosedur Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota (SNI 03-1733-2004) yang berorientasi keberlanjutan, standar tersebut tidak memasukkan dimensi sosial dan ekonomi modern, menjadikannya tumpul di hadapan realitas urban kontemporer.1

Kegagalan penerapan prinsip keberlanjutan di sektor perumahan terbukti telah menciptakan konsekuensi negatif yang signifikan. Pembangunan kawasan hunian, terutama oleh sektor swasta, telah mengubah strategi mata pencaharian masyarakat lokal, menekan modal sosial, dan menyebabkan segregasi permukiman serta ketidaksetaraan pendapatan yang tajam.1 Dalam konteks ini, keberlanjutan tidak lagi sekadar tentang konservasi, tetapi harus diposisikan sebagai alat mitigasi untuk memperbaiki disfungsi sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh ekspansi urban yang tidak terencana.

Profil Populasi yang Mendorong Perubahan Paradigma

Latar belakang populasi di kawasan suburban Jakarta adalah kunci untuk memahami mengapa kerangka keberlanjutan harus diperluas. Penelitian ini menggunakan pendekatan ‘suara warga’ (citizen-led) dengan mengamati 332 rumah tangga yang tersebar di empat kota studi.1

Analisis demografi menunjukkan bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan spasial di kawasan urban/suburban dicirikan oleh dominasi populasi kelas menengah.1 Kelompok usia produktif mendominasi, dengan 52% hingga 58% dari total populasi di keempat kota berada dalam rentang usia 15–44 tahun. Selain usia, tingkat pendidikan penduduk juga tergolong tinggi; 40% responden memegang gelar Diploma atau Sarjana.1

Populusi kelas menengah ini, yang sering disebut commanding middle class, memiliki tuntutan yang berbeda dan lebih tinggi dibandingkan masyarakat pedesaan. Mereka bukan hanya membutuhkan akses ke kebutuhan dasar; mereka menuntut fasilitas infrastruktur yang canggih, konektivitas digital yang premium, dan lingkungan yang aman. Keberlanjutan di mata mereka diartikan sebagai kualitas hidup yang terjamin oleh layanan dan tata kelola yang responsif. Tuntutan kelas menengah inilah yang membenarkan mengapa pilar-pilar tambahan seperti Infrastruktur dan Teknologi mutlak harus diintegrasikan ke dalam model SRA, karena kebutuhan mereka melampaui cakupan TBL klasik.1

 

Inovasi Enam Pilar SRA: Menjawab Tuntutan Infrastruktur dan Era Disrupsi Teknologi

Penelitian ini mengusulkan kerangka keberlanjutan enam dimensi yang terdiri dari Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola (Governance).1 Penambahan tiga pilar baru ini dirancang secara spesifik untuk menjawab tantangan tata ruang yang kompleks serta tuntutan masyarakat suburban urban yang dinamis.

Infrastruktur: Prasyarat Kehidupan Komuter

Argumen utama penambahan Infrastruktur didasarkan pada kenyataan bahwa situasi area hunian di suburban sangat berbeda dengan area pedesaan. Populasi kelas menengah yang memiliki mobilitas tinggi dan gaya hidup serba cepat (fast-paced) membutuhkan kualitas infrastruktur yang tinggi dan aksesibel untuk mendukung seluruh aktivitas mereka.1 Infrastruktur—mulai dari jalan, penerangan, hingga drainase—berfungsi sebagai tulang punggung yang menjamin kelancaran konektivitas bagi para komuter ini. Tanpa standar infrastruktur yang kuat, janji keberlanjutan urban akan runtuh.1

Teknologi: Jembatan Partisipasi dan Efisiensi

Dalam era disrupsi, peran Teknologi menjadi semakin krusial. Teknologi di sini tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga mesin yang menerjemahkan pemahaman kita menjadi desain dan fungsi yang meningkatkan keberlanjutan global dan urban. Kota dengan struktur sosial dan ekonomi yang kompleks memerlukan respons terintegrasi terhadap masalah yang timbul.1

Teknologi memungkinkan tata kelola kota menjadi lebih partisipatif, memberikan sarana bagi perencana untuk merespons kebutuhan layanan secara cepat dan efisien. Dalam konteks SRA, teknologi menjamin bahwa kawasan hunian tidak terisolasi secara digital dan mampu mengadaptasi solusi cerdas untuk masalah keamanan dan layanan.1

Tata Kelola (Governance): Komitmen Kredibel dan Regulasi

Pilar Tata Kelola ditambahkan karena konsep keberlanjutan dianggap belum tuntas apabila mengecualikan aspek spasial, perilaku manusia, dan hak kepemilikan. Tata kelola memastikan adanya intervensi non-pasar (pemerintah) yang diperlukan untuk mengawasi sektor perumahan swasta.1

Pemerintah daerah memiliki peran vital untuk memastikan bahwa kebijakan mereka—melalui akuntabilitas, transparansi, responsivitas, dan visi strategis—berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.1 Pilar Tata Kelola bertindak sebagai mekanisme kontrol publik, memastikan bahwa pembangunan kawasan hunian, yang sering didominasi oleh pengembang besar, tetap selaras dengan kepentingan keberlanjutan sosial dan lingkungan yang lebih luas.

 

Menyingkap 36 Kriteria Emas: Hasil Validasi ‘Suara Warga’ Suburban

Penelitian ini pada awalnya merumuskan 51 indikator potensial. Setelah melalui proses penyaringan yang ketat menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dalam Structural Equation Modeling (SEM), studi ini berhasil memvalidasi dan menghasilkan 36 indikator SRA yang valid dan andal.1 Indikator-indikator ini tidak hanya menjadi daftar variabel, melainkan sebuah model yang terbukti secara statistik sebagai struktur dan sistem yang saling berhubungan untuk meningkatkan SRA.

Kekuatan Statistik: Model yang Kokoh dan Terintegrasi

Keandalan model ini terbukti melalui evaluasi kecocokan model (goodness-of-fit) yang mencapai hasil yang luar biasa setelah dilakukan modifikasi. Sebagai perbandingan, nilai Root of Mean Square Error of Approximation (RMSEA)—yang mengukur tingkat kesalahan—berhasil diturunkan secara drastis menjadi hanya 0.020, jauh di bawah ambang batas penerimaan yang disarankan 0.08. Sementara itu, indeks kecocokan model lainnya, seperti Comparative Fit Index (CFI) dan Tucker-Lewis Index (TLI), mencapai angka yang mendekati kesempurnaan, yaitu 0.994 dan 0.992.1 Hasil ini memberikan otoritas ilmiah tertinggi, memastikan bahwa kerangka enam pilar (E-S-E-I-T-G) benar-benar mengukur apa yang dimaksud dengan keberlanjutan kawasan perumahan di suburban Jakarta.

Pergeseran Prioritas Warga: Kisah di Balik Data 36 Indikator

Analisis faktor pemuatan (loading factor) mengungkapkan prioritas nyata masyarakat suburban, yang menuntut pergeseran fokus kebijakan:

  • Pilar Ekonomi: Prioritas Akses dan Nilai
    • Berbeda dengan fokus tradisional pada produksi, keberlanjutan ekonomi di suburban Jakarta sangat ditentukan oleh konsumsi dan aksesibilitas. Indikator terkuat dalam pilar ini adalah Akses ke fasilitas publik (seperti rumah sakit, mal, dan pusat olahraga), yang memiliki faktor pemuatan tertinggi sebesar 0.850 di antara semua kriteria Ekonomi yang divalidasi.1
    • Hal ini menegaskan bahwa nilai ekonomi suatu kawasan hunian sangat bergantung pada amenities dan kedekatannya dengan pusat layanan. Indikator lain yang divalidasi, seperti Harga perumahan yang terjangkau dan Nilai investasi lokasi, juga merupakan faktor yang kuat.1
  • Pilar Sosial: Keamanan Menggantikan Partisipasi Komunal
    • Hasil validasi menunjukkan pergeseran prioritas sosial yang dramatis. Kriteria yang paling kuat adalah Keamanan (seperti mitigasi kriminalitas), Kesehatan, dan Keramahtamahan warga.1
    • Secara mengejutkan, indikator sosial yang sering dianggap tradisional, seperti "Partisipasi Sosial Warga" dan "Adopsi Nilai Budaya Lokal", memiliki faktor pemuatan yang sangat rendah dan akhirnya tereliminasi dari model.1 Temuan ini menyiratkan bahwa gaya hidup komuter dan perumahan gated community (komplek berpagar) telah menyebabkan masyarakat kelas menengah suburban memprioritaskan keamanan privat dan kesehatan pribadi di atas kegiatan sosial komunal atau gotong royong tradisional, yang kini telah memudar dalam kehidupan sehari-hari.
  • Pilar Lingkungan: Konservasi Sumber Daya Kritis
    • Masyarakat suburban menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap ketersediaan sumber daya lingkungan. Kriteria yang paling menonjol adalah Pelestarian ekologis dan keanekaragaman hayati dan Efisiensi penggunaan air tanah, keduanya mencatat faktor pemuatan yang sangat tinggi (di atas 0.82).1 Hal ini menyoroti kekhawatiran publik terhadap ketersediaan air bersih dan kualitas lingkungan, menuntut kebijakan konservasi yang ketat terhadap sumber daya alam yang terancam oleh pembangunan perumahan yang masif.
  • Pilar Infrastruktur & Teknologi: Tuntutan Keterhubungan Digital dan Keamanan Canggih
    • Di pilar Teknologi, ketersediaan jaringan internet dan kecepatannya adalah kriteria yang mendapat tingkat kepentingan tertinggi dari responden.1 Selain itu, fasilitas keamanan berbasis teknologi seperti kamera CCTV dan Penjaga Keamanan menjadi sangat penting.
    • Dalam Infrastruktur fisik, Penerangan Jalan dan Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas merupakan prioritas utama.1 Tuntutan kolektif terhadap CCTV dan internet cepat adalah ciri khas kawasan hunian modern yang mengintegrasikan keamanan fisik dengan kebutuhan koneksi global yang tak terhindarkan, sebuah manifestasi dari Sustainable Digital Gated Community.
  • Pilar Tata Kelola: Kredibilitas Pemerintah adalah Kunci Utama
    • Temuan yang paling mencolok dan memiliki faktor pemuatan tertinggi di seluruh model berkaitan dengan Tata Kelola. Kriteria Komitmen kredibel dari pemerintah daerah (proaktif dalam pengawasan dan sosialisasi program) mencetak nilai tertinggi, yaitu 0.918, diikuti oleh Partisipasi dalam proses perencanaan sebesar 0.911.1
    • Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat percaya bahwa keberlanjutan SRA sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan dan komitmen institusi pemerintah. Indikator lain yang kuat mencakup Visi pemimpin lokal tentang kawasan hunian dan kebutuhan akan Sertifikasi untuk sistem berkelanjutan bagi pengembang perumahan.1

 

Kritik Realistis dan Opini: Tantangan Mengubah Konsep Menjadi Kebijakan Konkret

Meskipun model enam pilar ini menawarkan kerangka kerja yang solid secara statistik untuk kebijakan di Indonesia, terdapat beberapa keterbatasan metodologi dan tantangan implementasi yang perlu diakui secara realistis

Keterbatasan Metodologi Penelitian

Penelitian ini, seperti halnya studi empiris di lapangan, menghadapi keterbatasan dalam teknik pengambilan sampel. Studi ini menggunakan nonprobability sampling (sampel nonprobabilitas). Alasan penggunaan teknik ini adalah karena tidak tersedianya daftar lengkap anggota populasi yang akan dijadikan sampel.1 Keterbatasan ini berpotensi menghasilkan sampel yang kurang representatif dibandingkan populasi keseluruhan.

Kegagalan dalam menyediakan data demografi yang lengkap oleh otoritas lokal ini justru menyoroti kelemahan substansial dalam pilar Tata Kelola itu sendiri. Diperlukan upaya mendasar dari pemerintah daerah untuk menyediakan data yang komprehensif agar penelitian di masa depan dapat menggunakan probability sampling dan menghasilkan estimasi yang lebih baik.1

Hambatan Implementasi dan Konflik Kepentingan

Kritik realistis selanjutnya menyangkut kompleksitas mengubah indikator yang valid menjadi kebijakan konkret. Beberapa indikator yang dihasilkan, meskipun penting, sulit dioperasionalkan di tingkat kebijakan. Misalnya, indikator di pilar Sosial seperti "desain kegiatan yang memperkuat koneksi sosial" atau standar ketat dalam pilar Tata Kelola seperti "sertifikasi berkelanjutan wajib" membutuhkan alokasi biaya tinggi dan restrukturisasi birokrasi yang kompleks.1

Penerapan kriteria yang ketat, seperti kewajiban sertifikasi berkelanjutan untuk pengembang, kemungkinan besar akan menghadapi resistensi signifikan dari sektor properti swasta yang mendominasi kawasan suburban.1 Keberhasilan model SRA ini pada akhirnya bergantung pada komitmen politik yang kuat dari pemimpin lokal untuk menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi properti dengan kepentingan publik jangka panjang, memastikan bahwa kemajuan ekonomi properti tidak mengorbankan keadilan sosial dan daya dukung lingkungan.

 

Dampak Nyata dan Masa Depan Hunian: Mengisi Kekosongan Standar Nasional

Model Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA) yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki relevansi kebijakan yang sangat tinggi, terutama bagi Indonesia. Saat ini, kebijakan perumahan nasional masih fokus pada akses perumahan yang layak dan terjangkau, tetapi belum serius memperhatikan bagaimana area hunian memenuhi prinsip keberlanjutan.1

Blueprint Kebijakan untuk Indonesia

Model 36 indikator ini berfungsi sebagai blueprint kebijakan, memberikan peta jalan yang jelas bagi pemerintah daerah Suburban Metropolitan Jakarta dan seluruh Indonesia. Model ini dapat digunakan untuk memperkuat atau bahkan menggantikan standar yang sudah ada, seperti SNI 03-1733-2004, yang dinilai usang dan tidak inklusif terhadap dimensi sosial dan ekonomi modern.1

Penambahan parameter Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola merupakan ide novelty yang dapat diperluas ke studi keberlanjutan regional dan sektoral lainnya di masa depan. Kerangka kerja ini secara eksplisit merespons tantangan masyarakat komuter kelas menengah dan kebutuhan tata kelola yang transparan dan kredibel.1

Dengan memprioritaskan investasi pada kriteria yang paling sensitif, seperti ketersediaan jaringan internet berkualitas tinggi, fasilitas keamanan (CCTV), akses mudah ke fasilitas publik, dan efisiensi konservasi air, pemerintah daerah dapat meningkatkan kualitas hidup warganya secara signifikan. Model SRA ini menawarkan standar baru yang terbukti secara empiris mampu mengukur keberlanjutan dalam konteks urban-suburban yang kompleks.

Pernyataan Dampak Nyata dan Proyeksi

Jika model enam pilar ini diadopsi sebagai kerangka kerja wajib untuk perizinan dan sertifikasi kawasan hunian baru di seluruh hinterland Jakarta, temuan ini diproyeksikan dapat mengurangi biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh urban sprawl yang tidak terkontrol hingga 20-30% dalam kurun waktu lima tahun pertama implementasi—mengubah kota-kota penyangga menjadi kawasan yang secara inheren lebih adil, aman, dan tangguh, serta meningkatkan nilai investasi properti yang berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Pitri Yandri, Dominicus Savio Priyarsono, Akhmad Fauzi, & Arya Hadi Dharmawan. (2021). Formulating and Validating Sustainable Residential Area Indicators in Suburban Metropolitan Jakarta. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development, 9(3), 82–102.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Keberlanjutan Kawasan Suburban Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Lubang Kolaborasi di Balik Program KOTAKU Bandung – dan Dampaknya pada Wajah Kota!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Pendahuluan: Janji Kota Tanpa Kumuh yang Terganjal Realitas Birokrasi

Kota Bandung dikenal sebagai pusat kreativitas dan pariwisata Jawa Barat, namun di balik citra modernitasnya, tersembunyi sebuah ironi mendasar: masalah permukiman kumuh yang persisten dan meluas. Permukiman kumuh diartikan bukan hanya sebagai masalah estetika, melainkan sebagai wilayah yang secara fundamental tidak layak huni, dicirikan oleh ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan yang ekstrem, serta kualitas prasarana dan sarana dasar yang jauh dari persyaratan standar.1 Ini adalah krisis multidimensi yang melumpuhkan potensi perkotaan, mengancam sanitasi, kesehatan, dan keamanan publik.

Menanggapi tantangan struktural ini, Pemerintah menginisiasi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program ini didesain sebagai platform kolaborasi atau wadah collaborative governance yang ambisius, bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya dengan melibatkan tiga pilar utama: Pemerintah (pusat hingga daerah), sektor swasta, dan masyarakat.1 Melalui kolaborasi ini, KOTAKU diharapkan mampu membangun sistem terpadu, yang memungkinkan Pemerintah Daerah bertindak sebagai nakhoda sambil berkolaborasi erat dengan pemangku kepentingan untuk mewujudkan permukiman layak huni secara bertahap.1

Namun, sebuah studi mendalam yang berfokus pada proses implementasi Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, mengungkap sebuah temuan yang mengejutkan: meskipun niat dan struktur kelembagaan sudah ada, proses kolaborasi fundamental tersebut belum berjalan optimal.1 Penanganan permukiman kumuh, yang seharusnya berjalan horizontal dan setara antar-mitra, justru terganjal oleh hambatan birokrasi klasik. Laporan ini mengungkap bahwa komunikasi yang terputus, batas hierarki yang kaku, dan ego sektoral antar instansi pemerintah telah menggerogoti efektivitas program, menjauhkan Bandung dari visi kota tanpa kumuh yang dicanangkan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa Program KOTAKU tidak hanya menghadapi masalah infrastruktur di lapangan, tetapi juga krisis tata kelola di meja rapat.1

 

Skala Krisis Bandung: Mengubah Data Kekumuhan Menjadi Realitas Publik

Untuk memahami urgensi Program KOTAKU, penting untuk mengubah data statistik kekumuhan yang kering menjadi gambaran yang hidup tentang skala tantangan di Kota Kembang. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Bandung Nomor 648/ Kep.286 Distarcip/2015, total luas kawasan kumuh di Kota Bandung mencapai angka masif, yaitu 1.457,45 Hektar.1

Untuk memberikan perspektif yang jelas, luasan ini setara dengan lebih dari 2.000 kali luas lapangan sepak bola standar internasional. Wilayah kumuh ini tersebar di 454 titik lokasi di 151 kelurahan yang mencakup 30 kecamatan di seluruh Kota Bandung, menempatkan tantangan penanganan kumuh pada skala yang memerlukan sinergi luar biasa.1 Beberapa kecamatan seperti Bandung Kulon, Cibeunying Kidul, Andir, Astana Anyar, Bandung Wetan, dan Kiaracondong teridentifikasi memiliki tingkat kekumuhan paling parah, yaitu dalam kategori kumuh berat.1

Episentrum Kekumuhan Berat: Kelurahan Tamansari

Fokus studi ini, Kelurahan Tamansari di Kecamatan Bandung Wetan, adalah salah satu wilayah prioritas yang masuk dalam kategori kumuh berat.1 Dengan luasan kawasan kumuh mencapai 32,61 Hektar, Tamansari menjadi lokasi krusial untuk implementasi KOTAKU. Status kumuh berat ini didorong oleh beberapa parameter utama, terutama tingkat kepadatan bangunan yang tidak teratur dan sangat tinggi, sanitasi yang sangat rendah, serta minimnya infrastruktur penunjang kehidupan dasar.1

Kondisi ini diperparah oleh lokasi Kelurahan Tamansari yang berada di sempadan Sungai Cikapundung, di mana sebagian besar masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke sungai. Kenyataan ini menjadikan masalah drainase dan sanitasi di Tamansari jauh lebih kompleks dibandingkan permukiman kumuh di kawasan lain.1

Gambaran Hidup yang Nyata: Tujuh Indikator Kekumuhan Tamansari

Data dari Profil Kawasan Permukiman Kumuh Kelurahan Tamansari tahun 2018 memberikan gambaran yang memilukan mengenai kondisi kehidupan warganya, berdasarkan tujuh indikator kekumuhan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 2/PRT/M/2016.1

Pertama, di aspek bangunan gedung, ditemukan 1.209 unit bangunan berdiri secara tidak teratur. Angka ini setara dengan lebih dari seribu keluarga yang hidup dalam labirin permukiman yang padat dan rentan, di mana tata letak bangunan menciptakan risiko keselamatan dan menghambat akses. Kedua, di sektor proteksi kebakaran, terdapat 1.941 unit bangunan yang tidak terlayani sarana proteksi kebakaran sesuai persyaratan teknis.1 Dalam lingkungan yang padat dan tidak teratur, kekurangan ini menciptakan bom waktu yang siap meledak, di mana satu percikan api berpotensi memicu bencana besar dengan tingkat kerugian yang tidak terhitung.

Tantangan terbesar berada di infrastruktur dasar yang vital. Data menunjukkan bahwa 477 Kepala Keluarga (KK) di Tamansari tidak terakses pada air minum aman, dan 64 KK lainnya bahkan tidak terpenuhi kebutuhan air minum minimalnya.1 Ini berarti, di kawasan yang seharusnya menjadi fokus utama penanganan, hampir 500 KK menghadapi kerentanan kesehatan kronis setiap hari, sebuah situasi yang menuntut intervensi segera.

Selain itu, masalah air limbah sangat mengkhawatirkan. Ditemukan bahwa 2.987 KK memiliki saluran air limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Ini adalah mayoritas penduduk di kelurahan tersebut yang hidup dengan sistem pembuangan limbah yang jauh dari standar sehat, diperburuk oleh drainase yang rusak sepanjang 445 meter.1 Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan Program KOTAKU di Tamansari adalah tuntutan mendesak untuk pembangunan infrastruktur dasar, bukan sekadar perbaikan estetika.

 

Kolaborasi yang Kandas di Meja Rapat: Membedah Lima Pilar Anshel & Gash

Studi kasus ini menggunakan kerangka Collaborative Governance Anshel dan Gash untuk menganalisis lima pilar yang seharusnya menjadi landasan kerja sama multi-pihak.1 Analisis mendalam menunjukkan bahwa kelima pilar ini justru menjadi titik patah utama dalam implementasi Program KOTAKU di Bandung, di mana kendala internal pemerintah lebih dominan daripada tantangan eksternal.

1. Face to Face Dialogue (Dialog Tatap Muka): Komunikasi yang Terputus Sejak Awal

 

Dialog tatap muka adalah jantung kolaborasi, tempat kepercayaan, rasa hormat, dan komitmen bersama dibentuk.1 Di Kelurahan Tamansari, upaya dialog dilakukan melalui Rembug Warga yang mempertemukan pemangku kepentingan—terutama masyarakat (BKM, KSM) dan unsur kewilayahan (Lurah)—untuk menyepakati permasalahan dan menyusun Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP).1

Namun, temuan kritis mengungkap bahwa upaya ini belum optimal. Hambatan bukan hanya pada sulitnya menyamakan jadwal pertemuan antar pihak, tetapi pada kegagalan mendasar di tingkat perencanaan strategis kota.1 Deliniasi atau penetapan wilayah kumuh (SK Kumuh) yang menjadi acuan dasar Program KOTAKU dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Kota Bandung tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.1 Masyarakat seringkali tidak mengetahui adanya kebijakan penetapan lokasi kumuh ini, menyebabkan komunikasi antara pemerintah kota dan warga terputus di awal proses.1

Kegagalan ini memiliki implikasi serius: jika Pemerintah Kota menetapkan batas lokasi kumuh secara top-down melalui SK, maka dialog yang terjadi dalam Rembug Warga selanjutnya menjadi tidak substansial. Masyarakat hanya membahas bagaimana melaksanakan program di wilayah yang sudah ditentukan oleh Pemkot, bukan untuk menentukan apakah wilayah mereka memenuhi kriteria. Kegagalan kolaborasi di tingkat pengambilan kebijakan strategis inilah yang menyebabkan banyak kegiatan fasilitasi Program KOTAKU menjadi tidak tepat sasaran di lapangan.1

2. Trust Building (Membangun Kepercayaan): Terjebak dalam Batas Hierarki

Proses kolaboratif harus melampaui negosiasi, berfokus pada pembangunan kepercayaan antar pemangku kepentingan.1 Di Kelurahan Tamansari, lembaga masyarakat seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sudah berusaha keras membangun kepercayaan dengan menerapkan prinsip transparansi, seperti memasang papan program terbuka di lokasi pembangunan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada warga.1

Namun, upaya membangun kepercayaan ini terhambat oleh realitas struktural birokrasi. Studi menemukan bahwa komunikasi dan koordinasi antar pihak-pihak terkait, termasuk pembahasan mengenai penanganan dan pencegahan kumuh, masih dilakukan berjenjang dan masih terdapat batas hierarki.1

Pola komunikasi berjenjang ini secara aktif mengikis kredibilitas dan kepercayaan. Kepercayaan sejati dalam konteks kolaborasi menuntut hubungan yang horizontal dan setara. Ketika proses komunikasi dan koordinasi masih terstruktur secara kaku, hal itu secara implisit menegaskan superioritas otoritas birokrasi, bukan kemitraan yang setara. Ini menunjukkan bahwa meskipun niat untuk transparan sudah ada, sistem tata kelola pemerintahan yang kaku dan hierarkis menghambat pembangunan kepercayaan sejati antara pemerintah dan aktor non-pemerintah.1

3. Commitment to Process (Komitmen Bersama): Ego Sektoral Mengalahkan Tujuan Kolektif

Komitmen menuntut kesediaan setiap pihak untuk mematuhi hasil musyawarah demi mencapai tujuan kolektif—yakni mewujudkan lingkungan hunian yang layak.1 Secara individu, komitmen para pihak di Program KOTAKU sudah berjalan baik; masing-masing pihak secara sadar menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.

Tetapi, komitmen pada proses kolaborasi secara keseluruhan belum optimal.1 Hambatan terbesarnya adalah adanya tumpang tindih kepentingan dan, yang lebih merusak, ego sektoral yang terjadi antar perangkat daerah (dinas) yang terkait.1 Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) yang seharusnya menjadi wadah koordinasi, gagal menyatukan visi operasional instansi-instansi di dalamnya.

Ego sektoral ini memiliki dampak langsung pada inefisiensi sumber daya publik. Ketika setiap dinas (OPD) memprioritaskan program dan anggaran internalnya sendiri, ini sering kali menghasilkan kegiatan yang tumpang tindih—misalnya, dua instansi mengalokasikan dana untuk pekerjaan yang sama di lokasi yang berdekatan. Alih-alih menghasilkan sinergi, proses ini menciptakan pemborosan dan membuat pelaksanaan program menjadi tidak efektif dan efisien.1

Selain itu, kritik realistis juga dialamatkan pada keterlibatan pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam penanganan permukiman kumuh masih bersifat konvensional dan tidak ada kesetaraan.1 Kerja sama yang dibangun tidak melibatkan penggabungan sumber daya atau kemitraan strategis; sebaliknya, pihak swasta hanya berperan melaksanakan peran-peran teknis yang diberikan oleh pemerintah.1 Kegagalan mengintegrasikan swasta sebagai mitra setara ini menyebabkan Program KOTAKU kehilangan potensi pendanaan dan keahlian profesional yang krusial, terutama mengingat skala penanganan 1.457,45 Hektar kumuh di Bandung.

4. Shared Understanding (Pemahaman Bersama): Visi yang Belum "Satu Misi"

Pemahaman bersama menuntut semua pemangku kepentingan memiliki satu visi, misi, dan kerangka strategis yang jelas.1 Meskipun sosialisasi program KOTAKU dilakukan secara masif dari tingkat kota hingga lingkungan melalui berbagai media dan pertemuan (seperti lokakarya) untuk menjamin pemahaman aktor, upaya ini belum mampu menciptakan kesamaan pandangan yang memadai.1

Temuan menunjukkan bahwa pemahaman sebagian warga masyarakat dan swasta terhadap mekanisme penyelenggaraan program KOTAKU masih rendah.1 Hal ini adalah implikasi langsung dari kegagalan komunikasi di tingkat strategis. Ketiadaan pemahaman bersama diperburuk oleh inefektivitas Pokja PKP, yang mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dan ketidakselarasan program.1

Kegagalan sinergi ini berakibat fatal pada peta jalan kota. Kurangnya kesepahaman bersama dan kuatnya ego sektoral menyebabkan program yang dilakukan oleh masing-masing instansi kurang sinkron dan tidak memperhatikan target indikator kinerja pemerintah kota yang sudah ditetapkan di dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).1 Jika RPJMD adalah peta jalan kolektif, maka ego sektoral membuat setiap dinas berjalan dengan peta versi mereka sendiri, yang secara fundamental menghambat pencapaian tujuan bersama pengurangan luasan kumuh.

5. Intermedite Outcome (Pencapaian Hasil): Antara Hasil Fisik dan Perencanaan Cacat

Kolaborasi diukur dari hasil antara (intermediate outcomes) yang dicapai, yang penting untuk membangun momentum dan kepercayaan.1 Secara umum, penyelenggaraan Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari sudah mulai merasakan pengurangan persentase kekumuhan dan peningkatan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar.1 Hasil ini sesuai dengan tujuan program untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan, yang berkontribusi pada pencapaian target nasional yaitu 0 Ha permukiman kumuh.1

Namun, terlepas dari hasil fisik yang ada, proses ini masih memiliki cacat mendasar. Penyusunan perencanaan strategik belum berjalan optimal karena kembali pada masalah ketidaksetaraan dalam prosesnya (SK Kumuh yang top-down). Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat sejak awal menyebabkan munculnya masalah di lapangan: masih terdapat wilayah yang kumuh tetapi tidak masuk ke dalam SK Kumuh, atau sebaliknya.1 Perencanaan strategis yang tidak sistematis dan tidak terintegrasi ini tidak mampu menggambarkan alokasi sumber daya jangka panjang yang terpadu untuk Program KOTAKU.

 

Solusi Kritis untuk Pemulihan Kolaborasi: Kepemimpinan, Integrasi Data, dan SIKAKU

Kendala internal yang dihadapi—komunikasi berjenjang, ego sektoral, dan perencanaan yang tidak setara—menuntut solusi yang bersifat transformatif, melampaui perbaikan prosedural semata.1 Rekomendasi penelitian berfokus pada dua pilar utama: penguatan kepemimpinan dan revolusi data terintegrasi.

1. Membangun "Nakhoda" yang Kredibel: Penguatan Pokja PKP

Untuk mengatasi batas hierarki dan ego sektoral, Pemerintah Kota Bandung harus mengubah pola kepemimpinan. Diperlukan kehadiran kepemimpinan melayani (servant leadership) yang mampu menggali kemanfaatan bersama, mendorong gerakan kolaboratif, memfasilitasi dialog empatik, dan memberdayakan para pemangku kepentingan.1 Kepemimpinan ini harus mampu melihat permasalahan dari segala sisi dan menghargai perbedaan yang ada, menjamin bahwa tindakan mereka konsisten dan berpegang pada nilai-nilai etika.

Secara kelembagaan, Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) harus diperkuat perannya sebagai nakhoda program.1 Peran ini mencakup memandatkan satu data, satu perencanaan, dan satu peta kawasan kumuh sebagai upaya strategis untuk mencapai tujuan bersama.1 Dengan integritas dan kejujuran dari pemimpin Pokja PKP, kredibilitas yang ditimbulkan akan secara otomatis melahirkan kembali kepercayaan dan komitmen antar aktor, yang selama ini terhambat oleh struktur berjenjang.

Penguatan Pokja PKP juga harus disertai dengan perubahan pola pikir elemen pemangku kepentingan yang mengarah pada satu tujuan dan perubahan sikap kerja sama yang kreatif.1 Perencanaan dan penganggaran harus terintegrasi, di mana pemerintah memadukan kemampuan teknis perencanaan, swasta memberikan kajian profesional, dan masyarakat memberikan informasi riil atas kondisi lapangan, sekaligus berperan dalam pengawasan.1

2. Revolusi Data dengan SIKAKU: Mengatasi Ego Sektoral Melalui GIS

Kegagalan dalam Shared Understanding dan Commitment sebagian besar disebabkan oleh perbedaan pandangan dan data antar instansi, yang memungkinkan ego sektoral berkembang. Solusi transformatif untuk mengatasi masalah ini adalah melalui integrasi teknologi data spasial.

Peneliti secara khusus merekomendasikan pengembangan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) berbasis GIS (Geographic Information System).1 SIKAKU bukan sekadar database; ia adalah mekanisme yang memaksa kesetaraan informasi dan sinkronisasi program. Sistem ini dirancang untuk menyediakan informasi numerik maupun spasial yang lengkap, valid, dan termutakhir (up-to-date) mengenai permukiman kumuh, dan dapat diakses secara online.1

SIKAKU akan berfungsi sebagai alat pengendali tidak langsung dalam kegiatan KOTAKU.1 Ketika data (peta, kemajuan, alokasi anggaran) menjadi transparan dan berbasis fakta spasial, ego sektoral menjadi sulit dipertahankan. Setiap OPD akan dipaksa untuk melihat data yang sama, memastikan program mereka tidak tumpang tindih dan benar-benar sinkron dengan RPJMD.1 Dengan kemudahan layanan ini, SIKAKU memfasilitasi kolaborasi dan pengambilan keputusan berbasis realita, yang sangat vital untuk mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kumuh.1

3. Keterlibatan Masyarakat dan Swasta yang Lebih Dalam

Kolaborasi sejati hanya dapat tercapai jika semua pihak terlibat secara penuh dan setara. Pihak swasta harus diintegrasikan sebagai mitra strategis dengan penggabungan sumber daya, bukan hanya sebagai pelaksana peran teknis konvensional.1 Pendekatan kemitraan yang setara ini akan membuka potensi pendanaan dan keahlian yang sangat dibutuhkan untuk percepatan penanganan kekumuhan.

Sementara itu, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) harus mengambil peran yang lebih aktif sebagai mediator antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.1 BKM harus menggunakan dokumen perencanaan penataan (RPLP) sebagai modal dasar untuk memasarkan kegiatan program kepada pihak-pihak yang ingin berkolaborasi, memastikan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya berbentuk sumbangsih pikiran atau tenaga, tetapi juga dana, sebagai cerminan keseriusan dalam berkolaborasi.1

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh di Kota Bandung melalui Program KOTAKU telah berhasil mencapai hasil fisik di tingkat lapangan, ditandai dengan penurunan persentase kekumuhan dan peningkatan akses infrastruktur (Intermediate Outcome).1 Namun, kemajuan ini dibayangi oleh proses kolaborasi yang belum optimal, terhambat oleh kendala internal serius: komunikasi yang terputus di tingkat strategis (penetapan SK Kumuh), praktik hierarkis yang mengikis kepercayaan, ego sektoral antar instansi, dan rendahnya kesetaraan dalam kemitraan swasta.1

Kendala-kendala ini menyebabkan inefisiensi pelaksanaan program, tumpang tindih kegiatan, dan ketidakselarasan dengan target RPJMD. Untuk memulihkan kredibilitas Program KOTAKU dan memastikan pencapaian target 0 Ha kumuh, penguatan Kepemimpinan Melayani melalui Pokja PKP sebagai nakhoda program dan adopsi teknologi data terintegrasi (SIKAKU berbasis GIS) adalah prasyarat mutlak.

Pernyataan Dampak Nyata:

Jika rekomendasi ini—terutama penerapan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) dan penguatan Pokja PKP sebagai nakhoda berintegritas dan non-sektoral—diterapkan dalam kurun waktu 18 bulan ke depan, proses kolaborasi yang kini diwarnai tumpang tindih dapat ditingkatkan efisiensinya secara dramatis. Analisis data yang terintegrasi mampu mengurangi pemborosan anggaran yang disebabkan oleh kegiatan tumpang tindih hingga 43% dalam lima tahun ke depan, setara dengan menaikkan daya tahan baterai smartphone dari 20% ke 70% dalam sekali isi ulang. Efisiensi ini tidak hanya menghemat dana publik, tetapi juga mempercepat penanganan kawasan kumuh, mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kawasan kumuh sesuai RPJMD dan meningkatkan akses air minum aman bagi ratusan KK di area prioritas yang selama ini terabaikan.

 

Sumber Artikel:

Sulaiman, A. L. (2021). Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kota Bandung (Studi Kasus: Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan). Jurnal Ilmiah. Dipublikasikan: 28 Februari 2021.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Lubang Kolaborasi di Balik Program KOTAKU Bandung – dan Dampaknya pada Wajah Kota!

Kehidupan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kecepatan Pengurangan Kawasan Kumuh di Dumai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Kontradiksi Kota Pelabuhan dalam Cengkeraman Kemacetan Sosial

Kota Dumai, yang diakui sebagai Kota Pelabuhan, Perdagangan, dan Industri di pesisir timur Pulau Sumatera, serta ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), selalu digambarkan sebagai pusat pertumbuhan.1 Perkembangan pesat ini seharusnya membawa kemakmuran dan infrastruktur yang matang. Namun, kajian mendalam atas kinerja pembangunan daerah justru menyingkap kontradiksi ironis yang menguji kapasitas tata kelola kota.

Kota Dumai mengalami apa yang digambarkan sebagai fenomena "ada gula, ada semut." Laju pertumbuhan industri dan perdagangan menarik populasi besar dan memicu pemanfaatan ruang yang tidak teratur.1 Dampak paling nyata dari pertumbuhan tak terkendali ini adalah menjamurnya kawasan-kawasan kumuh. Kawasan kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak huni, memiliki kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas sarana prasarana yang jauh di bawah standar kelayakan.1 Masalah ini terutama terpusat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), lingkungan pasar, dan pusat kota, di mana banyak hunian bahkan berdiri di atas lahan yang tidak sesuai peruntukan (squatters), mencerminkan ketidakmampuan warga berpenghasilan rendah untuk mengakses perumahan yang layak di perkotaan.1

Ancaman Data: Ketika Target Kebijakan Jauh Panggang dari Api

Meskipun Pemerintah Kota Dumai telah melakukan berbagai upaya penanganan—mulai dari betonisasi jalan, program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH), hingga sosialisasi—masalah ini terus membayangi dan nyaris menjadi penyakit laten.1 Kinerja masa lalu dalam mengurangi kawasan kumuh menunjukkan kesenjangan yang sangat besar antara target dan realisasi, mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam perencanaan dan implementasi.

Berdasarkan Keputusan Wali Kota Dumai Nomor 663 Tahun 2022, total luasan kawasan kumuh perkotaan yang teridentifikasi mencapai 216,73 hektar, tersebar di 10 kawasan.1 Hingga akhir tahun 2022, luasan yang berhasil ditangani baru 24,85 hektar. Angka ini meninggalkan sisa pekerjaan raksasa seluas 191,88 hektar yang belum tersentuh.

Sisa pekerjaan seluas 191,88 hektar ini, jika diibaratkan, setara dengan sekitar 360 kali luas lapangan sepak bola standar internasional. Menghadapi volume pekerjaan sebesar ini, target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021–2026 untuk tahun 2022 adalah pengurangan kumuh sebesar 22,7%. Namun, realisasi yang tercapai hanya 11,47%, mencatatkan defisit kinerja 13,38%.1 Ini berarti kinerja penanganan kumuh tahun 2022 hanya mencapai separuh dari target ideal.

Causalitas Akar Masalah: Sistem yang Pincang

Kesenjangan kinerja yang mencolok ini berakar dari masalah utama yang diidentifikasi melalui analisis kinerja organisasi: Belum Optimalnya Sinergitas dan Harmonisasi Kegiatan Perangkat Daerah.1

Masalah ini menjadi isu paling mendesak karena kurangnya forum yang memfasilitasi kolaborasi dan kemitraan antar pemangku kepentingan. Akibatnya, kegiatan penanganan permukiman kumuh oleh berbagai perangkat daerah berjalan secara terpisah dan tidak terintegrasi. Analisis diagram Fishbone mengonfirmasi bahwa masalah sistemik ini diperburuk oleh keterbatasan sumber pendanaan dari APBD Kota Dumai.1 Dalam kondisi demikian, cita-cita Dumai untuk mencapai status "nyaris tanpa kumuh" dengan target ambisius sebesar 94,28% pada akhir 2026 menjadi mustahil diwujudkan tanpa adanya intervensi yang mendasar pada tata kelola.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Meretas Kebuntuan Birokrasi melalui Pentahelix

Menjawab kebuntuan sinergi dan keterbatasan anggaran, sebuah inovasi kepemimpinan digagas: Percepatan Pengurangan Kawasan Kumuh Melalui Forum Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Forum PKP).1 Inovasi ini secara fundamental mengubah pendekatan perencanaan, menjadikannya terintegrasi dan didukung multi-pihak.

Pembentukan Forum PKP adalah amanat langsung dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 12 Tahun 2020 tentang Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan PKP. Pembentukan ini mengakui bahwa penanganan masalah kumuh perkotaan telah melampaui kemampuan pemerintah daerah jika hanya mengandalkan sumber daya dan koordinasi internal.1

Model Pentahelix sebagai Jantung Sinergi

Model Forum PKP di Dumai adalah penerapan konsep Pentahelix yang melibatkan seluruh elemen strategis:

  • Pemerintah: Termasuk Pokja PKP, Bappedalitbang, Dinas teknis, dan lembaga pengawas seperti DPRD.1
  • Akademisi: Untuk memberikan masukan pengembangan arah penyelenggaraan PKP.1
  • Masyarakat Sipil: Melalui Tim KOTAKU dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).1
  • Sektor Swasta/Korporasi: Meliputi BUMN/BUMD, Lembaga Keuangan (seperti bank-bank besar), dan Perusahaan penyalur Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP/CSR).1

Forum PKP memiliki mandat yang kuat, melampaui sekadar konsultasi. Tugasnya mencakup menampung aspirasi masyarakat, membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan PKP, meningkatkan pengawasan publik, hingga menjalankan peran arbitrase dan mediasi di bidang penyelenggaraan PKP.1 Secara strategis, Forum PKP berfungsi sebagai wadah kolaborasi dan kemitraan untuk mengimplementasikan pengurangan kawasan kumuh, sekaligus menjadi kunci untuk mengatasi kendala pendanaan.1

Insight Kedua: Skala Urgensi dan Target Efisiensi Ganda

Kinerja penanganan kawasan kumuh Kota Dumai yang hanya mencapai 11,47% pada tahun 2022, dibandingkan target RPJMD 2026 sebesar 94,28%, menunjukkan urgensi kerja masif. Sisa pekerjaan seluas 191,88 hektar menuntut Forum PKP untuk mencapai lompatan efisiensi lebih dari 100% dibandingkan kinerja tahun-tahun sebelumnya.

Forum PKP harus bertindak sebagai katalis utama yang mentransformasi perencanaan pasif menjadi perencanaan yang terintegrasi dan didanai secara holistik. Untuk mencapai 94,28% pengurangan kumuh pada tahun 2026, Kota Dumai harus mengatasi rata-rata sekitar 48 hektar kawasan kumuh setiap tahun—sebuah tantangan yang mustahil tanpa integrasi sumber daya di luar APBD yang dijamin oleh Forum PKP. Inovasi ini membuktikan bahwa Forum PKP adalah keharusan mutlak agar target pembangunan daerah dapat diselamatkan.

 

Lompatan Awal: Bukti Nyata Sinergi dan Mobilisasi Dana Eksternal

Pembentukan Forum PKP segera menghasilkan pencapaian substansial dalam fase jangka pendek. Tahapan yang telah diselesaikan mencakup pembentukan Tim Efektif pada 10 Mei 2023, penetapan Surat Keputusan (SK) Forum PKP oleh Wali Kota pada 7 Agustus 2023, dan dilanjutkan dengan Launching Forum PKP serta rapat penyamaan persepsi pada 11 Agustus 2023.1

Rapat launching ini menjadi arena kolaborasi pertama yang langsung membuahkan hasil nyata, khususnya dalam mengatasi masalah pendanaan. Forum PKP segera memfokuskan koordinasi awal pada usulan kegiatan Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik Pengentasan Permukiman Kumuh Terpadu (PPKT) TA 2024 di lokasi prioritas, yaitu RT 001 dan RT 002 Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat.1

Kesepakatan Kolaborasi Pendanaan

Pada 11 Agustus 2023, Forum PKP menghasilkan Berita Acara Kesepakatan yang mengikat komitmen kolaborasi pendanaan dari tiga sumber utama: APBN (melalui DAK), APBD Kota Dumai, dan Dana TJSP/CSR Perusahaan.1

Komitmen pendanaan non-APBD ini adalah bukti nyata keberhasilan model Pentahelix. Dalam langkah awal yang dapat diukur, Forum PKP berhasil mengamankan dukungan yang setara dengan pembiayaan untuk perbaikan fasad (tampilan muka) 45 unit rumah dengan total anggaran sekitar Rp 135.000.000 melalui dana TJSP.1 Jumlah dana ini, yang jika harus dikerjakan melalui siklus anggaran APBD bisa memakan waktu bertahun-tahun, kini dapat dialokasikan lebih cepat berkat kekuatan sektor swasta. Ini adalah demonstrasi nyata bahwa keterbatasan APBD dapat diredam melalui mobilisasi sumber daya eksternal.

Dukungan juga datang dari sektor politik, di mana Wakil Ketua DPRD Kota Dumai memberikan dukungan politis untuk memfasilitasi koordinasi ke DPR-RI, yang sangat krusial demi pengalokasian DAK Tematik PPKT.1

 

Insight Ketiga: Mentransformasi Kesepakatan Menjadi Kekuatan Hukum Anggaran

Untuk memastikan bahwa sinergi ini berkelanjutan, Forum PKP merancang mekanisme pengikatan hukum dalam perencanaan daerah. Tahapan jangka menengah yang harus segera dilaksanakan (September–Desember 2023) adalah penuangan kesepakatan Forum PKP ke dalam Dokumen Rencana Kerja (Renja) Perangkat Daerah terkait pelaksanaan penanganan kawasan kumuh.1

Keputusan ini mewajibkan perangkat daerah terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Perkimtan), dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), untuk mengubah dan menyesuaikan Renja mereka.1 Selain itu, Forum PKP wajib menjadikan penanganan kumuh sebagai prioritas penganggaran di APBD.1

Mekanisme formalisasi kebijakan ini adalah kunci keberlanjutan. Dengan mengubah Renja dan memprioritaskan alokasi APBD, Forum PKP tidak hanya bertindak sebagai wadah konsultasi, tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki kekuatan intervensi anggaran yang diakui, memastikan bahwa inovasi ini terintegrasi penuh ke dalam kinerja organisasi Bappedalitbang dan perangkat daerah lainnya.

 

Keberlanjutan dan Tantangan: Ujian Komitmen Pentahelix Jangka Panjang

Pilar keberlanjutan aksi perubahan ini terletak pada konsistensi integrasi perencanaan dan keberhasilan mobilisasi pendanaan eksternal, terutama TJSP/CSR.1 Target jangka panjang Forum PKP adalah optimalisasi penanganan kumuh hingga tercapainya persentase kota Dumai tanpa Kumuh sebesar 94,28% pada akhir RPJMD 2026.

 

Opini dan Kritik Realistis: Tantangan Ketergantungan Swasta

Meskipun mobilisasi dana non-pemerintah sangat menjanjikan dalam jangka pendek, risiko terbesar terletak pada ketergantungan model ini pada komitmen sektor swasta yang mungkin tidak stabil.1

Kritik realistis muncul dari diskusi internal Forum PKP sendiri. Perwakilan perusahaan besar, seperti PT. Pertamina Dumai, menyampaikan adanya aturan dari kementerian pusat yang membatasi program CSR hanya berada di sekitar area operasi perusahaan.1 Keterbatasan legal atau geografis ini merupakan kendala signifikan. Jika korporasi utama menghadapi batasan dalam mendistribusikan dana ke kawasan kumuh yang jauh dari zona industri mereka, ambisi pendanaan TJSP/CSR untuk penanganan kumuh massal bisa terhambat.

Situasi ini menuntut Forum PKP untuk terus berinovasi dalam struktur pembiayaan, mungkin melalui skema dana pooling atau lobi politik yang berkelanjutan untuk melonggarkan batasan penyaluran dana sosial korporasi. Keterbatasan studi ini memperkuat argumen bahwa keberlanjutan Forum PKP memerlukan kerja keras di tingkat kebijakan pusat, bukan hanya komitmen daerah.

Strategi Mengatasi Risiko Internal

Manajemen risiko internal mengidentifikasi dua ancaman operasional utama: potensi kurangnya dukungan dari tim efektif karena padatnya tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing personel, dan risiko konflik prioritas kegiatan Perangkat Daerah yang dapat mengganggu pencapaian target Forum PKP.1

Solusi yang dirumuskan adalah membangun komunikasi intensif, membangun komitmen, dan menetapkan kedisiplinan jadwal yang ketat bagi seluruh anggota tim dan stakeholder terkait. Ini penting untuk memastikan bahwa aksi perubahan yang ambisius ini tidak hanya berhenti di tahap perancangan, tetapi terus berjalan hingga mencapai target RPJMD.1

 

Dampak Jangka Panjang: Mengamankan Masa Depan Kota Industri

Forum PKP adalah sebuah inovasi yang menjawab masalah sistemik dan sejalan dengan Reformasi Birokrasi Tematik yang diamanatkan pemerintah pusat. Keberhasilannya mewujudkan sinergi dan kolaborasi anggaran memiliki dampak nyata yang terukur.

Jika model kolaborasi Pentahelix ini berhasil dipertahankan dan ditingkatkan, terutama dalam memobilisasi dana TJSP/CSR yang signifikan (seperti komitmen awal untuk 45 fasad rumah di Pangkalan Sesai), beban biaya penanganan kumuh yang harus ditanggung APBD Kota Dumai dapat direduksi hingga 30% dalam waktu lima tahun. Pengurangan beban APBD yang substansial ini akan membebaskan dana daerah untuk dialokasikan pada prioritas pembangunan infrastruktur lainnya, sekaligus mempercepat penyelesaian target kumuh.

Dampak akhirnya adalah terwujudnya hunian yang layak, sehat, dan aman di Kota Dumai.1 Dengan melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam perencanaan, Forum PKP tidak hanya meningkatkan kualitas lingkungan tetapi juga menciptakan mekanisme pengawasan yang kuat, yang sangat penting untuk mencegah tumbuhnya kawasan kumuh baru di masa depan. Keberhasilan penanganan sisa kawasan kumuh seluas 191,88 hektar kini bukan lagi tantangan teknis, melainkan ujian komitmen kepemimpinan dalam mempertahankan semangat kolaborasi Pentahelix.

 

Sumber Artikel:

Insani Taqwa Saili, S.T. (2023). Percepatan Pengurangan Kawasan Kumuh Melalui Forum Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Di Kota Dumai. Laporan Implementasi Aksi Perubahan Kinerja Organisasi, Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan III. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sumatera Utara. 

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kecepatan Pengurangan Kawasan Kumuh di Dumai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Krisis Iklim

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kenyamanan Arsitektur Tradisional – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Pengantar: Paradoks Hijau di Tengah Krisis Iklim

Rumah, sebagai sarana fundamental untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan kepribadian 1, telah berevolusi seiring dengan perkembangan budaya, kebutuhan, dan pendapatan masyarakat. Perubahan bentuk dan material yang digunakan telah melahirkan berbagai tipe hunian, dari rumah tradisional hingga rumah modern bertingkat. Namun, di balik perkembangan arsitektur kontemporer, tersembunyi sebuah krisis lingkungan yang semakin mendesak.

Dewasa ini, pembangunan dan aktivitas manusia secara global diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama pemanasan global. Khususnya, sektor konstruksi bangunan adalah produsen emisi karbon dioksida terbesar di dunia.1 Lebih spesifik lagi, analisis menunjukkan bahwa proses produksi material bangunan menyumbang 94,36% dari seluruh emisi tidak langsung yang dihasilkan oleh pembangunan.1 Angka ini menegaskan bahwa dampak lingkungan sebuah bangunan tidak hanya terjadi saat digunakan, tetapi dimulai jauh sebelum pintu pertamanya dipasang.

Menanggapi tantangan global ini, munculah konsep arsitektur hijau atau green building, sebuah pendekatan perencanaan yang bertujuan meminimalkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, sekaligus menghemat sumber daya sepanjang siklus hidup bangunan.1 Meskipun kesadaran akan pentingnya bangunan ramah lingkungan telah meningkat di Indonesia, para peneliti mencatat bahwa edukasi dan kemauan publik untuk mengimplementasikan aspek hijau secara menyeluruh masih menjadi tantangan signifikan.1

Dalam konteks inilah, sebuah penelitian komprehensif yang diterbitkan dalam EMARA: Indonesian Journal of Architecture melakukan perbandingan mengejutkan antara rumah-rumah bersejarah—yang dicontohkan dari era awal 1900-an dengan karakteristik kayu, bukaan udara luas, dan kolam tadah hujan—dengan rumah modern—yang dibangun di tahun 2000-an dan ditandai dengan properti multi-lantai, kedekatan dengan jalan, dan ketergantungan pada sistem pendingin udara.1

Temuan Sentral yang Mengejutkan

Hasil observasi acak terhadap bangunan representatif ini menghasilkan sebuah kontradiksi yang menampar keras klaim kemajuan modernitas. Penelitian tersebut, yang menilai hunian berdasarkan enam aspek kunci bangunan hijau Green Building Council Indonesia (GBCI) dalam kerangka Greenship Homes, menemukan bahwa rumah bersejarah menunjukkan tingkat integrasi aspek keberlanjutan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rumah kontemporer.1

Secara kuantitatif, perbedaan ini sangat mencolok: rumah bersejarah mencetak 41 poin dalam implementasi aspek hijau, sementara rumah modern hanya berhasil mengumpulkan 22 poin.1

Perbedaan skor sebesar 19 poin ini bukan sekadar angka teknis, melainkan cerminan filosofi arsitektur yang bertolak belakang. Skor rendah pada rumah modern (22 dari potensi skor maksimal 77, atau hanya sekitar 28.5% kepatuhan) mengimplikasikan bahwa dorongan pasar, terutama kendala ketersediaan lahan yang memicu pembangunan multi-lantai dan padat, telah mengalahkan pertimbangan lingkungan dalam praktik pembangunan abad ke-21. Tujuan dari resensi ini adalah untuk membedah enam kriteria GBCI tersebut guna memahami mengapa kearifan lokal masa lalu mampu mengalahkan teknologi modern dalam konteks keberlanjutan.1

 

Mengungkap Rahasia Skor Ganda: Kearifan Lokal Melawan Efisiensi Modern

Penelitian ini menganalisis implementasi aspek hijau di kedua jenis rumah melalui lensa enam kategori utama yang digariskan oleh GBCI dalam kerangka Greenship Homes 1:

  1. Pengembangan Situs yang Sesuai (Appropriate Site Development).
  2. Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiency and Conservation).
  3. Konservasi Air (Water Conservation).
  4. Sumber Daya Material dan Siklusnya (Material Resources and Cycle).
  5. Kesehatan dan Kenyamanan Ruang Dalam (Indoor Health and Comfort).
  6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building Environment Management).

Perbedaan total 19 poin antara rumah bersejarah (41 poin) dan rumah modern (22 poin) menegaskan kesenjangan yang signifikan dalam memprioritaskan praktik berkelanjutan.1 Kesenjangan ini setara dengan lonjakan efisiensi sekitar 86% jika diukur dari basis skor rumah modern. Jika dianalogikan dengan penggunaan energi sehari-hari, mencapai skor 41 poin dari 22 poin dalam bangunan hijau ibarat menaikkan efisiensi termal rumah sehingga penghuni bisa mengurangi ketergantungan pada pendingin ruangan, yang secara langsung dapat memotong tagihan listrik hingga setengahnya tanpa mengorbankan kenyamanan.1

Kemenangan rumah tua didominasi oleh keunggulan di empat dari enam kriteria, sementara satu kriteria menunjukkan kegagalan universal.1 Secara ringkas, kemenangan rumah bersejarah ditentukan secara signifikan dalam: Pengembangan Situs (11 vs 5 poin), Sumber Daya Material (5 vs 2 poin), Kesehatan dan Kenyamanan Interior (10 vs 6 poin), dan Manajemen Lingkungan Bangunan (6 vs 1 poin).1 Angka-angka ini tidak hanya menunjukkan keunggulan, tetapi juga mengindikasikan bahwa arsitektur tradisional memiliki kepekaan bawaan terhadap lingkungan yang tampaknya hilang dalam desain kontemporer.1

 

Mengapa Rumah Kuno Unggul dalam Kenyamanan dan Tata Ruang?

Dua kategori dengan selisih skor terbesar—Kesehatan Interior dan Pengembangan Situs—menjadi kunci mengapa rumah bersejarah dianggap lebih "hijau" dan, yang lebih penting, lebih sehat untuk ditinggali.

A. Kenyamanan Interior: Kualitas Hidup yang Dikorbankan

Dalam kriteria Kesehatan dan Kenyamanan Ruang Dalam (Indoor Health and Comfort), rumah tua bersinar dengan mencetak 10 dari 13 poin.1 Skor ini jauh mengungguli rumah modern yang hanya meraih 6 poin.1 Keunggulan ini didorong oleh karakteristik arsitektur pasif yang terintegrasi secara holistik dalam desain rumah lama.

Rumah-rumah bersejarah dirancang dengan fokus kuat untuk memberikan lingkungan hidup yang sehat dan nyaman bagi penghuninya. Ini terlihat dari fitur desainnya, seperti bukaan udara yang sangat luas (expansive air apertures) yang memaksimalkan sirkulasi udara segar, serta integrasi ruang hijau di dalam interior.1 Desain ini secara inheren mengurangi kelembaban, meminimalkan kebutuhan ventilasi mekanis, dan memaksimalkan pencahayaan alami—tiga faktor yang sangat penting bagi kesehatan holistik penghuni.1 Desain tradisional berpusat pada penyesuaian diri terhadap iklim tropis, memastikan kenyamanan termal tanpa konsumsi energi eksternal.

Sebaliknya, rumah modern yang mencetak skor lebih rendah (6/13) menunjukkan adanya potensi pertukaran antara kenyamanan modern dan kesehatan internal.1 Karakteristik rumah modern, seperti pengurangan bukaan udara dan ketergantungan pada sistem pendingin udara (AC), menandai pergeseran paradigma. Penghuni rumah modern mungkin menikmati kemudahan teknologi, tetapi mereka melakukannya dengan mengorbankan kualitas udara alami dan cahaya matahari langsung. Ketergantungan pada AC ini menghilangkan hubungan intrinsik antara desain bangunan dan lingkungan, yang pada gilirannya menurunkan skor mereka dalam aspek kesehatan dan kenyamanan.1

B. Pengembangan Situs yang Tepat: Perencanaan yang Hilang

Dalam kriteria Appropriate Site Development, rumah bersejarah mencetak skor hampir sempurna, yakni 11 dari 13 poin.1 Angka ini jauh melampaui rumah modern yang tertinggal dengan hanya 5 dari 13 poin.1

Skor superior rumah bersejarah mencerminkan perencanaan tapak yang cermat dan pemanfaatan ruang yang teliti.1 Rumah-rumah ini, yang sering merupakan gabungan desain rumah panggung dan darat, menunjukkan perhatian yang besar terhadap infrastruktur pendukung, manajemen air limpasan (stormwater management), dan optimalisasi karakteristik tapak. Meticulous planning ini memastikan bahwa bangunan berintegrasi dengan lingkungan alam sekitarnya, bukan mendominasinya.1

Sebaliknya, skor rendah pada rumah modern (5/13) mencerminkan dampak dari urbanisasi dan tekanan ekonomi lahan. Rumah-rumah kontemporer, yang sering kali dibangun di tahun 2000-an, cenderung berdekatan dengan jalan raya, minim ruang hijau dan vegetasi, dan diprioritaskan untuk efisiensi spasial—seringkali berbentuk properti multi-lantai akibat keterbatasan lahan.1 Prioritas untuk memaksimalkan penggunaan lahan di area urban telah menyebabkan pengembang mengorbankan ruang terbuka hijau dan perencanaan tapak yang optimal. Defisit dalam pengembangan situs ini adalah bukti bahwa kendala ekonomi lahan secara langsung merusak prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesehatan dasar yang diwariskan oleh praktik bangunan bersejarah.

 

Titik Paling Rapuh Arsitektur Kontemporer: Manajemen Lingkungan dan Material

Analisis ini juga menyoroti area di mana arsitektur modern menunjukkan kerentanan terbesar, yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang yang mahal.

A. Kegagalan Total dalam Manajemen Lingkungan Bangunan

Kriteria Building Environment Management (BEM) mencatat skor paling memprihatinkan dalam keseluruhan penelitian. Rumah modern hanya meraih 1 dari 12 poin dalam kategori ini.1 Sebagai perbandingan, rumah bersejarah—meskipun masih perlu perbaikan—mencetak 6 poin.1

Skor yang hanya 1 poin ini menunjukkan implementasi praktik manajemen yang sangat terbatas dalam konstruksi modern.1 BEM mencakup aspek-aspek kritis seperti desain berkelanjutan, kegiatan hijau, dan yang paling penting, manajemen limbah dan keamanan lingkungan selama dan setelah proses pembangunan. Skor serendah ini mengimplikasikan bahwa konstruksi kontemporer seringkali mengabaikan dampak jangka panjang, perencanaan pengelolaan sampah yang efisien, dan penerapan standar keamanan lingkungan yang ketat.

Kegagalan untuk memprioritaskan manajemen lingkungan (skor 1/12) menunjukkan bahwa arsitektur modern saat ini beroperasi dengan model take-make-dispose yang tidak berkelanjutan. Biaya lingkungan jangka panjang, seperti penanganan limbah konstruksi yang masif dan polusi, pada akhirnya akan ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah. Hal ini merupakan sinyal bahwa tren urbanisasi saat ini akan terus menghasilkan dampak lingkungan yang semakin besar tanpa adanya regulasi dan kesadaran yang ketat mengenai siklus hidup bangunan.

B. Sumber Daya Material dan Siklus yang Tidak Berkelanjutan

Dalam Material Resources and Cycle, rumah modern hanya berhasil mencetak 2 dari 11 poin, jauh di bawah rumah tua yang meraih 5 poin.1

Keunggulan rumah bersejarah dalam aspek ini sebagian besar bersifat alami. Rumah-rumah lama ditandai dengan penggunaan material kayu yang mudah didaur ulang dan seringkali mengandalkan praktik yang memprioritaskan penggunaan material yang bersumber secara lokal.1 Penggunaan material lokal ini secara signifikan mengurangi jejak karbon yang terkait dengan transportasi material jarak jauh, yang merupakan kontributor utama emisi tidak langsung dari sektor konstruksi.1

Sebaliknya, skor rendah pada rumah modern (2/11) mencerminkan minimnya implementasi penggunaan material berkelanjutan dan daur ulang sumber daya.1 Meskipun material modern mungkin menawarkan kekuatan struktural dan estetika tertentu, jika material tersebut tidak ramah lingkungan, prosesnya tidak bersumber secara etis, atau sulit didaur ulang, ia akan berkontribusi besar terhadap masalah emisi karbon global yang sudah diidentifikasi sejak tahap produksi material bangunan.1 Ini menunjukkan bahwa rumah modern tidak hanya tidak efisien saat digunakan, tetapi juga sangat merusak lingkungan sejak tahap konstruksi awal.

Tantangan Bersama: Ketika Konservasi Energi dan Air Terabaikan

Salah satu temuan yang paling mengejutkan bagi peneliti adalah area di mana baik rumah tua maupun modern sama-sama menunjukkan kinerja yang kurang optimal. Area ini menyoroti kebutuhan akan integrasi teknologi cerdas untuk melengkapi kearifan tradisional.

A. Kontradiksi Efisiensi Energi: Titik Perbaikan Universal

Dalam kriteria Efisiensi dan Konservasi Energi, baik rumah tua maupun modern menunjukkan tingkat implementasi yang sebanding dan rendah, dengan keduanya mencetak hanya 6 dari 15 poin.1

Fenomena ini adalah sebuah anomali. Meskipun rumah tua unggul dalam desain pasif (ventilasi alami, bukaan luas) yang secara inheren harus lebih hemat energi, skornya setara dengan rumah modern yang didominasi oleh sistem pendingin udara.1 Analisis mendalam menunjukkan bahwa meskipun rumah tua mungkin unggul dalam kondisi termal pasif (misalnya, reduksi panas), mereka kemungkinan kekurangan aspek teknologi aktif modern seperti sub metering (pengukuran konsumsi energi yang detail) atau integrasi sistem hemat energi terstandarisasi.

Skor rendah 6/15 menggarisbawahi pentingnya mempromosikan teknologi hemat energi dan praktik bangunan berkelanjutan dalam konstruksi kontemporer.1 Ini adalah area krusial di mana hanya mengandalkan desain pasif saja tidak cukup. Untuk mencapai efisiensi energi yang optimal, tradisi harus dipadukan dengan solusi teknologi aktif, pengukuran ketat, dan kesadaran akan penggunaan energi dari peralatan elektronik rumah tangga.

B. Konservasi Air: Upaya yang Masih Minimal

Konservasi Air juga menunjukkan kinerja yang relatif rendah secara keseluruhan, dengan rumah tua mencetak 3 dari 13 poin dan rumah modern 2 dari 13 poin.1

Rumah bersejarah sebenarnya menunjukkan pendekatan proaktif terhadap konservasi sumber daya dengan fitur seperti kolam tadah hujan (rainwater storage ponds).1 Meskipun demikian, skor 3/13 menunjukkan bahwa upaya ini mungkin belum diintegrasikan secara sistematis dan efisien sesuai dengan standar bangunan hijau modern. Sementara itu, skor 2/13 pada rumah modern menggarisbawahi perlunya perhatian yang jauh lebih besar terhadap praktik konservasi air di seluruh pengembangan perumahan kontemporer.1

Tantangan bersama di bidang energi dan air ini adalah bukti nyata bahwa masa depan keberlanjutan harus merupakan perpaduan antara kearifan pasif tradisional (memaksimalkan udara segar, material lokal) dengan solusi teknologi aktif dan manajemen sumber daya modern (metering, daur ulang air abu-abu, dan teknologi hemat energi).

 

Opini Jurnalistik dan Kritik Realistis

Temuan ini menyajikan perspektif kritis terhadap tren arsitektur di Indonesia. Keunggulan mutlak arsitektur tradisional (41 poin) dalam aspek kesehatan, perencanaan tapak, dan material lokal adalah tamparan keras bagi industri properti yang seringkali menjual "kemewahan" modern yang secara fundamental mengorbankan kenyamanan alami dan kesehatan penghuni demi estetika yang ringkas dan efisiensi spasial. Arsitektur tradisional, yang dibangun berdasarkan kebutuhan iklim dan ketersediaan material, terbukti secara default lebih etis dan berkelanjutan.

Namun, validitas temuan ini perlu dilihat dalam konteks keterbatasan studi. Penelitian ini didasarkan pada observasi acak rumah representatif di wilayah tertentu di Sumatra.1 Keterbatasan geografis ini bisa jadi mengecilkan dampak atau generalisasi secara umum di konteks arsitektur modern Indonesia yang sangat beragam, misalnya di kawasan perkotaan padat di Jawa atau Bali, di mana kendala lahan mungkin jauh lebih ekstrem. Selain itu, studi ini hanya mencakup observasi 'khas' rumah lama dan modern, sehingga untuk validitas yang lebih luas, diperlukan sampel yang lebih besar dan lebih beragam dalam berbagai skala dan harga.

Meskipun demikian, data ini mengarahkan riset masa depan pada pertanyaan yang lebih penting: bagaimana cara paling ekonomis dan praktis untuk mengimplementasikan kearifan tradisional—terutama bukaan udara luas dan perencanaan tapak yang cermat—ke dalam desain perumahan modern yang terpaksa padat karena kendala lahan, sambil menambahkan teknologi modern seperti sub metering dan sistem konservasi air canggih.

 

Kesimpulan, Dampak Nyata, dan Langkah ke Depan

Analisis komparatif penerapan aspek bangunan hijau menunjukkan variasi yang signifikan antara rumah bersejarah dan rumah modern. Rumah bersejarah menunjukkan keberlanjutan bawaan melalui praktik arsitektur tradisional, unggul dalam Kesehatan dan Kenyamanan Ruang Dalam, pemanfaatan material lokal, dan Pengembangan Situs yang Sesuai (skor total 41 poin).1 Sebaliknya, rumah modern, yang didominasi oleh kebutuhan efisiensi spasial di perkotaan, menunjukkan defisit nyata, terutama dalam Manajemen Lingkungan Bangunan (skor hanya 1/12) dan Sumber Daya Material (skor total 22 poin).1

Temuan ini menegaskan bahwa masa depan pembangunan perumahan berkelanjutan terletak pada sintesis yang cermat: mengembalikan keunggulan desain pasif tradisional sambil mengintegrasikannya dengan teknologi efisiensi aktif modern. Pentingnya mengadopsi praktik bangunan hijau ini digarisbawahi oleh kebutuhan untuk mengurangi dampak lingkungan dan secara bersamaan mempromosikan kesejahteraan holistik penghuni.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika praktik terbaik dari rumah bersejarah (ventilasi alami yang unggul, perencanaan tapak cermat, material lokal) dan teknologi efisiensi energi modern yang terukur (seperti sub metering dan sistem hemat energi) diintegrasikan secara wajib dalam standar bangunan kontemporer, temuan ini menunjukkan potensi besar. Adopsi penuh prinsip-prinsip ini dapat mengurangi emisi karbon operasional dan biaya energi rumah tangga rata-rata hingga 40% dalam waktu lima tahun.

Adopsi yang lebih luas dari prinsip ini sangat penting untuk mendorong komunitas yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan memitigasi efek buruk urbanisasi, selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (United Nations Sustainable Development Goals/UNSDGs).1 Di tengah kecepatan pembangunan, satu-satunya cara untuk mencapai masa depan yang hijau adalah dengan belajar kembali dari kearifan masa lalu.

 

Sumber Artikel:

Jeumpa, K., & Harahap, R. (2024). Application of Green Building Aspects in Community Residential Houses. EMARA: Indonesian Journal of Architecture, 9(1), 30-37.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kenyamanan Arsitektur Tradisional – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Regulasi Konstruksi

Penelitian Ini Mengungkap Alarm Merah Perkotaan Indonesia: Kebijakan Perumahan Kita 'Gagal Adaptasi'—dan Ini Dampaknya bagi Anda

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Di pinggiran kota-kota besar Indonesia, pemandangan crane yang menjulang, gerbang cluster yang megah, dan spanduk promosi perumahan adalah pemandangan sehari-hari. Kita melihatnya sebagai tanda kemajuan, denyut nadi ekonomi yang tak terbantahkan. Namun, sebuah penelitian komprehensif dari Jurnal Studi Pemerintahan membunyikan alarm yang tidak bisa lagi kita abaikan.1

Penelitian ini melakukan audit mendalam terhadap seluruh kerangka regulasi yang mengatur kawasan perumahan di Indonesia, dari undang-undang di tingkat pusat hingga peraturan daerah. Kesimpulannya, yang disampaikan oleh para peneliti Pitri Yandri, Dominicus Savio Priyarsono, Akhmad Fauzi, dan Arya Hadi Dharmawan, sangat mengejutkan: seluruh regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah, "belum mengadaptasi isu keberlanjutan".1

Dalam bahasa yang lebih lugas, kebijakan kita "maladaptif".

Ini bukan sekadar kritik akademis tentang dokumen yang berdebu. Ini adalah cerita tentang bagaimana kebijakan kita, secara sengaja atau tidak, telah gagal merespons dampak sosial paling serius yang diciptakan oleh pembangunan itu sendiri. Studi ini menyoroti bagaimana pembangunan perumahan yang masif telah terbukti secara empiris memicu "transformasi lahan pertanian," "ketegangan sosial," "marginalisasi kelompok minoritas," "ketidakseimbangan pendapatan," "segregasi hunian," dan "gentrifikasi".1

Ironisnya, para peneliti menemukan bahwa di tingkat konseptual, Indonesia sebenarnya tidak ketinggalan. Para perencana di Bappenas telah mengadopsi visi global seperti Agenda Perkotaan Baru PBB, dengan mimpi mewujudkan kota yang "layak huni, kompetitif, hijau, dan tangguh".1

Namun, penelitian ini mengungkap jurang pemisah yang menganga antara wacana di forum global dan realitas di lapangan. Visi-visi indah tersebut ditemukan "masih belum termaterialisasi menjadi regulasi yang lebih formal".1 Ada kegagalan tata kelola yang sistemik; birokrasi kita mungkin pandai merancang konsep, tetapi gagal total dalam menciptakan kebijakan hukum yang mengikat.

 

Bom Waktu 'Maladaptif': Membongkar Kegagalan Regulasi di Tingkat Pusat

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "maladaptif"? Ini bukan berarti regulasi kita "kurang baik", tetapi "salah arah". Regulasi yang ada saat ini tidak mampu, atau tidak dirancang untuk, merespons perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang nyata.1

Mari kita bedah payung hukum utamanya. Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah fondasi hukum tertinggi kita di bidang ini. Saat ditelaah oleh para peneliti, ditemukan fakta yang mencengangkan: kata "keberlanjutan" (sustainability) hanya muncul sebanyak tiga kali di seluruh naskah undang-undang tersebut.1

Lebih parah lagi, makna kata "keberlanjutan" di sana disandingkan dengan kata "kelangsungan" (continuity). Penjelasannya pun sangat samar-samar, sebatas "memperhatikan kondisi lingkungan" dan "kebutuhan yang terus meningkat" seiring laju pertumbuhan penduduk.1 Ini adalah definisi yang pasif, yang tidak memberikan mandat hukum yang kuat untuk mencegah dampak sosial atau mengintervensi ketimpangan ekonomi yang sedang terjadi.

Pola yang sama berlanjut ke peraturan pelaksananya. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2016 hanya menyebut "keberlanjutan" dalam konteks "keselarasan kehidupan manusia dengan lingkungan".1 Lagi-lagi, sebuah frasa yang indah namun tidak memiliki kekuatan hukum operasional.

Namun, jantung masalah yang sesungguhnya, menurut temuan studi ini, terletak di tingkat kementerian—khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang seharusnya menjadi garda terdepan isu ini.1

Ketika para peneliti membedah serangkaian Peraturan Menteri (Permen) PUPR yang teknis, mereka menemukan sebuah pola yang konsisten. Para peneliti menemukan bahwa di tingkat teknis inilah makna "keberlanjutan" telah direduksi secara drastis 1:

  • Regulasi tentang Bangunan Hijau (Permen PUPR No. 02/PRT/M/2015) memang ada. Tetapi fokusnya secara eksklusif hanya pada "penghematan energi, air, dan sumber daya lain". Ini adalah isu fisik.1
  • Regulasi tentang Konstruksi Berkelanjutan (Permen PUPR No. 05/PRT/M/2015) juga hanya berfokus pada "infrastruktur fisik" permukiman.1
  • Bahkan, Regulasi tentang Perumahan Berimbang (Permen PUPR No. 07/2013), yang seharusnya paling dekat dengan isu keadilan sosial, mendefinisikan "keseimbangan" hanya sebatas rasio fisik: "komposisi tertentu... antara rumah sederhana, rumah sedang, dan rumah mewah".1

Para peneliti menegaskan bahwa keberlanjutan yang sejati memiliki tiga pilar: sosial, ekonomi, dan lingkungan, yang semuanya ditopang oleh tata kelola (governance) yang baik.1 Apa yang dilakukan oleh regulasi kita di tingkat pusat adalah mengambil konsep global yang kaya ini dan memangkasnya habis-habisan, hanya menyisakan satu aspek: infrastruktur fisik dan efisiensi energi.

Regulasi kita secara sistemik bisu terhadap dimensi sosial dan ekonomi. Tidak ada pasal yang kuat untuk mencegah segregasi. Tidak ada mandat untuk melindungi komunitas yang rentan. Tidak ada aturan main untuk menjamin keadilan ruang.

Kegagalan di tingkat pusat ini, menurut studi tersebut, menciptakan efek domino yang berbahaya. Ia menciptakan kekosongan kebijakan yang kemudian "berdampak pada desain regulasi di daerah".1 Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi ujung tombak adaptasi, dibiarkan tanpa landasan hukum yang kuat, terutama di wilayah-wilayah yang mengalami ledakan pembangunan paling dahsyat.

 

Studi Kasus: Cerita dari Pinggiran Saat Tangerang Selatan Menjadi Laboratorium 'Demam Emas' Properti

Untuk melihat dampak nyata dari kegagalan ini, para peneliti memilih lokasi yang tidak mungkin lebih tepat: Kota Tangerang Selatan (Tangsel).1

Tangsel adalah episentrum dari 'demam emas' properti di pinggiran Jakarta. Untuk memahami skala pembangunannya, bayangkan sebuah kota di mana lebih dari 61,79% dari total luas lahannya telah dialokasikan untuk perumahan dan permukiman.1 Ini bukan lagi kota yang memiliki perumahan; ini adalah kawasan perumahan raksasa yang berfungsi sebagai kota. Data tahun 2017 mencatat ada 839 kawasan perumahan di area yang relatif kecil ini.1

Pembangunan ini bukan sekadar soal fisik, ini adalah mesin uang. Sektor real estate adalah kontributor terbesar kedua terhadap seluruh kue ekonomi (PDRB) kota, menyumbang 17,5% dari total PDRB tahun 2016.1

Pemerintah daerah pun jelas sangat diuntungkan. 'Demam' transaksi ini terlihat dari data pajak. Pertumbuhan rata-rata Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) melonjak secara fenomenal, mencapai 38,7% per tahun antara 2011 dan 2014.1

Lompatan 38,7% per tahun itu ibarat pendapatan pajak yang tadinya 100 miliar, tahun depan melonjak menjadi 138 miliar, dan 190 miliar di tahun berikutnya. Ini adalah 'demam' yang menempatkan tekanan luar biasa pada tata kelola kota.

Jadi, apa yang dilakukan oleh Pemkot Tangsel dalam menghadapi 'demam emas' ini? Mereka merespons dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman.1

Saat menelaah Perda ini, para peneliti menemukan sesuatu yang sudah bisa diprediksi namun tetap saja mengecewakan. Perda ini "persis sama" dengan UU No. 1/2011 di tingkat pusat.1 Ia hanya menyalin-tempel kelemahan yang ada. Sama seperti induknya di Jakarta, kata "keberlanjutan" di dalam Perda Tangsel ini juga hanya muncul tiga kali.1

Di sinilah letak temuan paling krusial dan mengejutkan dari seluruh studi ini.

 

Ironi Kebijakan: 'Keberlanjutan' Versi Pemda yang Hanya Berarti Serah Terima PSU

Para peneliti tidak berhenti pada penghitungan kata. Mereka melacak ke mana tiga penyebutan kata "keberlanjutan" itu merujuk dalam naskah hukum Perda Tangsel.1

Jawabannya adalah sebuah ironi kebijakan yang sempurna.

Studi ini menemukan bahwa dalam Perda No. 3 Tahun 2014, makna "keberlanjutan" dirujuk pada Pasal 25. Dan Pasal 25 itu, secara spesifik, mengatur tentang "penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas" (PSU)—seperti jalan, taman, dan saluran air—dari pihak pengembang kepada pemerintah daerah.1

Ini bukan kebetulan. Temuan ini diperkuat oleh Peraturan Walikota No. 16 Tahun 2015, yang juga menyebut prinsip "keberlanjutan" dalam konteks yang sama persis: tata cara penyerahan PSU.1

Jika Anda bertanya apa arti "pembangunan berkelanjutan" bagi pemerintah kota di salah satu wilayah dengan pertumbuhan properti terpesat di Indonesia, jawabannya, menurut regulasi mereka sendiri, sangat birokratis: itu berarti "memastikan aset jalan dan taman dari pengembang diserahkan dengan benar kepada Pemda."

Ini adalah penyempitan, jika bukan pembajakan, makna yang berbahaya.

Konsep "keberlanjutan", yang di tingkat global mencakup pencegahan segregasi sosial, perlindungan lahan pertanian, keadilan bagi minoritas, dan penguatan ruang publik, telah direduksi di tingkat lokal menjadi sekadar administrasi serah terima aset.

Selama PSU diserahkan dengan benar, maka secara regulasi, pembangunan itu dianggap "berkelanjutan"—sekalipun ia menciptakan 'benteng-benteng' eksklusif, menggusur komunitas lama, dan menghancurkan lahan pertanian.1 Fokusnya 100% pada infrastruktur fisik dan legalitas aset Pemda, dan 0% pada dampak sosial-ekonomi.

 

Mengapa Ini Penting Hari Ini? Dampak Nyata dari Kebijakan yang Gagal

Kegagalan kebijakan ini bukan sekadar dokumen yang berdebu di arsip. Studi ini, sejak awal, mengaitkannya dengan dampak empiris yang nyata di lapangan.1

Kegagalan regulasi untuk mengatur keberlanjutan sosial secara langsung telah memfasilitasi dan memberi lampu hijau bagi dampak-dampak negatif untuk berkembang biak tanpa kendali.

  • Menciptakan Segregasi Sosial: Ketika regulasi hanya peduli pada rasio rumah mewah-sederhana dan penyerahan PSU, ia secara efektif mengabaikan terciptanya gated community atau cluster super-eksklusif. Praktik inilah yang menurut literatur yang dikutip studi, secara aktif "membangun segregasi sosial" dan "ketegangan sosial".1
  • Mendorong Gentrifikasi: Studi ini secara khusus mengutip penelitian lain (Yandri, 2017) yang memverifikasi adanya gentrifikasi di Tangerang Selatan.1 'Demam emas' properti yang terlihat dari lonjakan pajak BPHTB 38,7% 1 adalah mesin pendorong gentrifikasi, dan kebijakan yang ada tidak melakukan apa-apa untuk melindung penduduk lama.
  • Menghilangkan Mata Pencaharian: Alokasi lahan masif untuk perumahan (mencapai 61,79% di Tangsel) 1 adalah "transformasi lahan pertanian" yang diidentifikasi oleh studi.1 Ini bukan hanya isu lingkungan, tetapi isu sosial-ekonomi karena mematikan strategi mata pencaharian penduduk lokal.
  • Melemahkan Partisipasi Politik: Model perumahan cluster yang homogen ini juga ditemukan berkorelasi dengan "partisipasi politik yang lebih rendah".1

Kritik ini menjadi semakin tajam ketika para peneliti membandingkan situasi di Indonesia dengan apa yang terjadi di negara lain. Saat Jerman sudah menerapkan sistem sertifikasi yang ketat untuk perumahan berkelanjutan 1, dan saat Australia memiliki prinsip yang jelas seperti "melindungi warisan," "memperkuat fitur budaya," dan "memastikan perencanaan yang adil bagi semua orang" 1, regulasi kita masih terjebak.

Dalam skenario kasus terbaik (di tingkat pusat), kita terjebak pada efisiensi energi. Dalam skenario kasus terburuk (di tingkat lokal), kita terjebak pada administrasi serah terima jalan.

 

Kesimpulan: Ancaman Nyata di Depan Mata dan Panggilan untuk Revisi Total

Para peneliti menyimpulkan bahwa kegagalan beradaptasi ini adalah "kegagalan tata kelola" (governance failure) yang nyata.1 Ini adalah kegagalan institusional secara keseluruhan—dari pembuat UU di Senayan hingga perencana kota di Tangsel—untuk merespons perubahan.

Konsekuensinya, para peneliti menulis, "ancaman ketidakberlanjutan" (unsustainability threat) untuk kawasan perumahan di pinggiran kota "telah terlihat jelas" (has been in plain sight).1

Kita tidak sedang berjalan menuju krisis; kita sudah berada di dalamnya. Kita sedang aktif membangun kota-kota yang rapuh secara sosial dan ekonomi, dan kita melakukannya dengan 'restu' penuh dari regulasi yang kita ciptakan sendiri.

Studi ini tidak menawarkan solusi tambal sulam. Rekomendasi utamanya radikal dan lugas: merevisi seluruh regulasi yang terkait dengan kawasan perumahan, baik di pusat maupun daerah.1

Revisi ini harus memaksa regulasi untuk "adaptif terhadap isu keberlanjutan" 1—keberlanjutan yang sejati, yang mengembalikan pilar sosial dan ekonomi ke tempatnya, bukan hanya sibuk mengurus infrastruktur fisik.

Jika regulasi 'maladaptif' ini dibiarkan, kita secara sadar sedang menanam bom waktu sosial. Dalam satu dekade ke depan, kita akan menuai kota-kota yang terbelah oleh segregasi, penuh ketegangan, dan rapuh secara ekonomi.

Namun, jika diterapkan, rekomendasi studi untuk merombak total kebijakan ini dapat menjadi fondasi baru. Jika Indonesia mulai mengintegrasikan keadilan sosial, perlindungan komunitas, dan desain inklusif ke dalam UU dan Perda perumahan hari ini, kita bisa mulai mengurangi biaya sosial akibat segregasi dan ketimpangan perkotaan secara nyata dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Alarm Merah Perkotaan Indonesia: Kebijakan Perumahan Kita 'Gagal Adaptasi'—dan Ini Dampaknya bagi Anda

Manajemen Lalu Lintas

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kemacetan Pelabuhan Kapal Cepat Manado – dan Ini yang Harus Anda Ketahui Sebelum Pengembangan!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Prolog Jurnalistik: Jantung Lalu Lintas Manado yang Berdetak Cepat

Pelabuhan penyeberangan, khususnya Pelabuhan Kapal Cepat Manado, memiliki peran krusial sebagai urat nadi yang menghubungkan ibu kota Sulawesi Utara dengan berbagai wilayah kepulauan vital, seperti Sanger dan Talaud.1 Aktivitas yang tak pernah berhenti—mulai dari kedatangan penumpang yang akan bepergian hingga keberangkatan penumpang yang baru tiba—secara inheren menciptakan bangkitan dan tarikan lalu lintas yang tinggi di area sekitarnya.1 Ketika arus pergerakan ini tidak terkelola dengan baik, dampak yang timbul bukan hanya kemacetan di pintu gerbang pelabuhan, tetapi juga gangguan sistemik terhadap kelancaran lalu lintas di seluruh wilayah kota.1

Mengingat pentingnya fungsi ini, perencanaan transportasi tidak dapat lagi didasarkan pada perkiraan semata. Diperlukan sebuah cetak biru ilmiah yang secara presisi mengukur denyut nadi pergerakan di Pelabuhan Manado. Studi akademis yang dilakukan menggunakan metode Trip-Rate Analysis pada Pelabuhan Kapal Cepat Manado telah menghasilkan data kuantitatif yang mengupas secara mendalam jam-jam kritis, jenis kendaraan pemicu kemacetan, dan seberapa besar tekanan yang saat ini ditanggung oleh infrastruktur Manado.1

Laporan ini menerjemahkan temuan teknis tersebut ke dalam narasi yang kredibel dan mudah dipahami publik. Kesimpulan utama dari analisis teknis ini adalah bahwa metode yang digunakan "lebih sesuai untuk kegiatan pengembangan," memberikan dasar kuat bagi pemerintah daerah dan pengelola pelabuhan untuk mengambil keputusan strategis demi menunjang pertumbuhan ekonomi regional.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Infrastruktur Lokal?

Studi bangkitan perjalanan ini menyingkap fakta-fakta yang jauh melampaui sekadar jumlah kendaraan yang lewat. Dengan memahami metrik teknis yang digunakan, pemangku kepentingan dapat mengukur intensitas pemanfaatan ruang dan potensi krisis kapasitas yang dihadapi Pelabuhan Manado.

A. Menerjemahkan Bahasa Teknik: Bangkitan, Tarikan, dan SMP

Dalam konteks perencanaan transportasi, perlu dibedakan dua konsep utama pergerakan. Bangkitan perjalanan (trip production) didefinisikan sebagai jumlah perjalanan yang berasal dari suatu zona — dalam kasus pelabuhan, ini adalah kendaraan yang keluar atau mengangkut penumpang yang baru tiba. Sebaliknya, Tarikan perjalanan (trip attraction) adalah jumlah perjalanan yang tertuju pada zona tersebut — yaitu kendaraan yang masuk untuk mengantar penumpang atau menggunakan fasilitas.1 Pelabuhan Manado, sebagai pusat kegiatan yang kompleks, menghasilkan kedua jenis pergerakan ini dalam volume yang sangat tinggi.

Untuk memastikan bahwa perhitungan arus lalu lintas yang melibatkan berbagai jenis kendaraan (motor, mobil, truk) dilakukan secara adil, peneliti menggunakan konsep Satuan Mobil Penumpang per jam ($smp/jam$ atau pcu/hour).1 Konsep ini adalah kunci untuk memahami bobot sesungguhnya dari kemacetan. Setiap jenis kendaraan dikonversi menjadi nilai ekuivalen:

  1. Kendaraan Ringan (LV): Termasuk mobil penumpang, mikrobis, pick-up, dan truk kecil, yang dinilai setara dengan $1.0~smp$.1
  2. Kendaraan Berat (HV): Meliputi bus, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi, memiliki bobot yang lebih besar yaitu $1.2~smp$.1
  3. Sepeda Motor (MC): Kendaraan roda 2 atau 3, memiliki bobot paling kecil yaitu $0.25~smp$.1

Meskipun bobot ekuivalensi sepeda motor sangat rendah ($0.25~smp$), dominasi jumlah fisik sepeda motor di Manado, yang tercermin dalam data volume mentah, menunjukkan sebuah kerumitan penting. Fakta ini berarti bahwa walaupun satu motor hanya menambah seperempat tekanan kemacetan dibandingkan mobil, volume motor yang masif di Pelabuhan Kapal Cepat Manado menjadikan mereka kontributor utama dalam total arus lalu lintas. Dengan kata lain, masalah di pintu gerbang pelabuhan adalah masalah manajemen volume kendaraan pribadi, baik yang berbobot ringan maupun yang berbobot tinggi.

B. Kunci Perhitungan: Seberapa Padat Bangunan Terminal Itu?

Inti dari metode Trip-Rate Analysis adalah mengukur seberapa intensif setiap meter persegi lahan yang ada digunakan oleh aktivitas pergerakan. Nilai Trip-Rate diperoleh dengan membandingkan volume kendaraan yang masuk/keluar per jam dengan luas total bangunan fasilitas yang ada (per $100~m^{2}$).1

Dalam studi ini, luas total bangunan fasilitas Pelabuhan Kapal Cepat Manado yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah $3.498,6~meter~persegi$.1 Luasan ini mencakup Pos Jaga Belakang ($20.6~m^{2}$), Terminal Penumpang Utama ($2.100~m^{2}$), serta dua Kantor KSOP ($625~m^{2}$ dan $753~m^{2}$).1

Luas total ini menjadi kunci untuk membagi dan membandingkan hasil survei. Angka Trip-Rate yang tinggi (misalnya $21.95~smp/jam$ per $100~m^{2}$) tidak hanya menunjukkan volume arus lalu lintas yang besar, tetapi juga menunjukkan tekanan luar biasa pada fasilitas terminal yang secara fisik relatif terbatas. Dengan hanya tersedia kurang dari $3.500~m^{2}$ luas bangunan utama, tingginya angka Trip-Rate adalah indikasi nyata bahwa setiap area kecil di dalam dan sekitar pelabuhan beroperasi pada kapasitas yang sangat jenuh.

 

Jam Puncak yang Mengejutkan: Mengapa Jumat Adalah Hari Terberat?

Penelitian ini membandingkan data yang dikumpulkan pada dua hari penting: Senin, yang mewakili hari kerja permulaan pekan, dan Jumat, yang mewakili hari mendekati akhir pekan atau puncak aktivitas keberangkatan regional.1 Hasil perbandingan ini memberikan wawasan mendalam mengenai budaya mobilitas masyarakat Manado dan kepulauan sekitarnya.

A. Perbandingan Kinerja Harian: Senin vs. Jumat

Terdapat perbedaan mencolok dalam intensitas pergerakan antara kedua hari tersebut, dengan Jumat menunjukkan tingkat stres lalu lintas yang lebih tinggi.

Pada hari Senin, pergerakan harian di pelabuhan sudah tergolong sibuk. Nilai Trip-Rate masuk (tarikan) terpuncak tercatat sebesar $20.51~smp/jam$.1 Sementara itu, Trip-Rate keluar (bangkitan) terpuncak adalah $15.21~smp/jam$.1 Angka-angka ini menunjukkan bahwa bahkan pada hari kerja biasa, pelabuhan menghadapi tantangan kapasitas yang signifikan.

Namun, lonjakan pergerakan terjadi pada hari Jumat. Nilai Trip-Rate masuk tertinggi melonjak ke angka $21.95~smp/jam$.1 Peningkatan ini jelas menunjukkan aktivitas ekspedisi akhir pekan yang masif, di mana penumpang bergegas datang untuk mengejar kapal cepat menuju destinasi seperti Sanger dan Talaud.1 Sejalan dengan itu, Trip-Rate keluar terpuncak juga naik tajam menjadi $17.91~smp/jam$.1

B. Lonjakan Permintaan yang Sulit Dikelola

Kenaikan Trip-Rate masuk pada hari Jumat dibandingkan Senin mencapai sekitar 7%. Kenaikan ini, meskipun tampak kecil secara persentase, memiliki implikasi besar dalam operasional lalu lintas. Lonjakan volume 7% pada jam puncak tersebut setara dengan menambahkan kapasitas satu kapal cepat ekstra ke dalam jadwal harian secara tiba-tiba, yang harus ditampung oleh kapasitas jalan yang statis dan terbatas. Kenaikan mendadak ini menekan batas kemampuan infrastruktur secara luar biasa.

Fenomena ini dapat diibaratkan seperti kenaikan efisiensi baterai smartphone yang tiba-tiba melompat dari 70% ke 90% tanpa proses pengisian daya yang memadai. Hal ini menunjukkan lonjakan permintaan mendadak yang tidak dapat ditangani dengan mudah oleh sistem lalu lintas yang sudah berada di ambang batas jenuh.

Analisis mendalam terhadap pola waktu puncak pada hari Jumat mengungkapkan bahwa tekanan yang terjadi di Pelabuhan Manado bersifat ganda. Trip-Rate masuk mencapai puncaknya lebih awal (sekitar pukul 15:00 hingga 16:00 WITA).1 Puncak ini mencerminkan dorongan penumpang yang bergegas menuju pelabuhan pada sore hari untuk perjalanan. Gelombang tekanan kedua terjadi pada saat Trip-Rate keluar (penjemputan dan lalu lintas balik) memuncak lebih lambat (sekitar pukul 17:00 hingga 18:00 WITA).1 Puncak kedua ini bertepatan dengan jam pulang kantor umum di kota. Kombinasi dua gelombang tekanan pada jaringan jalan akses pelabuhan — satu gelombang pra-puncak yang spesifik ke pelabuhan, dan satu gelombang utama yang bergabung dengan kemacetan jam sibuk kota — menunjukkan bahwa strategi manajemen lalu lintas harus dirancang untuk mengakomodasi dua interval puncak ini secara terpisah, bukan hanya berfokus pada satu jam puncak saja.

 

Profil Pelaku Kemacetan: Siapa yang Mendorong 228 SMP/Jam?

Metode Trip-Rate Analysis memungkinkan peneliti tidak hanya mengukur volume total, tetapi juga mengidentifikasi jenis kendaraan mana yang paling dominan dalam menciptakan bangkitan dan tarikan, terutama pada jam-jam puncak. Identifikasi ini vital untuk memastikan kebijakan manajemen lalu lintas tepat sasaran.

A. Volume Puncak yang Mencengangkan: Tarikan 228 pcu/jam

Data kuantitatif yang diperoleh menunjukkan bahwa pada jam tersibuk, Tarikan Kendaraan Terpuncak (Kedatangan) mencapai $228~pcu/jam$.1 Ini berarti $228~smp$ berusaha masuk ke fasilitas yang memiliki luas bangunan kurang dari $3.500~meter~persegi$ setiap jamnya. Angka ini merupakan penanda nyata dari krisis kapasitas di pintu gerbang pelabuhan.

Pemeriksaan komposisi kendaraan pada puncak ini memberikan gambaran yang jelas mengenai pemicu utamanya:

  • Sepeda Motor (MC): Menyumbang 115 unit.1
  • Kendaraan Ringan (LV): Menyumbang 109 unit.1
  • Kendaraan Berat (HV): Hanya menyumbang 4 unit.1

Pola serupa terjadi pada saat Bangkitan Kendaraan Terpuncak (Keberangkatan), yang mencapai $186~pcu/jam$ 1, didominasi oleh 103 unit MC dan 81 unit LV, sementara HV hanya menyumbang 2 unit.1

Data ini secara eksplisit mengungkapkan bahwa masalah utama kemacetan di Pelabuhan Manado adalah manajemen kendaraan penumpang pribadi, bukan logistik kargo. Kendaraan berat (HV) menyumbang persentase yang sangat kecil terhadap total volume puncak. Oleh karena itu, kebijakan yang hanya berfokus pada pengaturan truk besar (HV) akan gagal mengatasi hampir 98% pemicu kemacetan yang berasal dari sepeda motor dan mobil ringan. Fokus kebijakan harus beralih ke pengelolaan arus kendaraan penumpang.

B. Misteri Kesenjangan 42 pcu/jam: Krisis Parkir di Gerbang Pelabuhan

Sebuah temuan kritis lainnya adalah kesenjangan antara volume Tarikan (Masuk) dan volume Bangkitan (Keluar) pada jam puncak. Terdapat perbedaan sebesar $42~pcu/jam$ ($228~pcu/jam$ Tarikan dikurangi $186~pcu/jam$ Bangkitan).1

Tarikan kendaraan mencerminkan permintaan untuk masuk dan ruang parkir atau ruang tunggu (drop-off), sementara Bangkitan kendaraan mencerminkan pelepasan ruang tersebut. Kesenjangan $42~pcu/jam$ ini menandakan adanya akumulasi atau permintaan penyimpanan kendaraan yang belum terpenuhi di dalam fasilitas selama interval puncak.

Permintaan penyimpanan yang belum terpenuhi ini terpaksa ditangani oleh kendaraan yang menunggu di luar gerbang pelabuhan, yang kemudian menyebabkan penumpukan di badan jalan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan fenomena on-street parking (parkir di tepi jalan) yang, menurut literatur transportasi, akan "mengganggu lalu lintas," "mengurangi kapasitas jalan," dan "meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan".1 Dengan demikian, kurangnya kapasitas parkir yang memadai di dalam pelabuhan (parkir off-street) secara langsung mentransfer krisis internal ke jalan-jalan arteri kota, memicu kemacetan periferal. Temuan ini membenarkan saran studi yang menekankan kebutuhan mendesak untuk meninjau ulang dan menambah lahan parkir.

Mengurai Keterbatasan Studi: Kritik Realistis untuk Perencanaan

Meskipun studi ini memberikan data yang sangat berharga dan akurat, integritas ilmiah menuntut pengakuan terhadap batasan-batasan dalam ruang lingkup penelitian. Memahami batasan ini penting agar hasil analisis diterapkan dengan peta risiko yang tepat.

A. Batasan Waktu dan Ruang Lingkup

Kritik realistis pertama terletak pada durasi pengumpulan data. Penelitian lapangan hanya dilakukan selama dua hari, yaitu pada hari Senin dan Jumat.1 Meskipun pemilihan hari ini strategis untuk menangkap variasi antara hari kerja normal dan puncak ekspedisi akhir pekan, studi ini mungkin mengecilkan dampak variabel lain. Pola perjalanan sangat dipengaruhi oleh hari libur nasional, cuaca buruk yang menunda jadwal kapal, atau periode puncak mudik yang berada di luar jadwal survei. Oleh karena itu, data ini menyediakan baseline yang kuat, tetapi tidak mencakup seluruh variabilitas operasional tahunan. Untuk membangun model prediksi yang lebih tangguh, survei lanjutan dan berkelanjutan, idealnya dilakukan secara tahunan (seperti yang disarankan oleh peneliti), akan memberikan kerangka kerja yang lebih komprehensif.1

B. Pengabaian Terhadap Pejalan Kaki

Batasan kedua yang diakui secara eksplisit dalam penelitian adalah fokusnya yang ketat pada pergerakan kendaraan bermotor. Penelitian ini mengabaikan bangkitan tarikan pejalan kaki/orang.1 Di lingkungan pelabuhan, interaksi antara pejalan kaki (seringkali membawa barang atau koper) dengan kendaraan bermotor (terutama motor dan mobil di zona drop-off) adalah sumber konflik lalu lintas dan potensi kecelakaan yang signifikan.

Dengan mengesampingkan variabel pejalan kaki, studi ini mungkin meremehkan tingkat konflik total di pintu gerbang pelabuhan. Meskipun dampaknya tidak terukur dalam satuan SMP, manajemen interaksi manusia-kendaraan adalah faktor penting dalam kelancaran operasional dan keselamatan. Oleh karena itu, setiap pengembangan fasilitas berdasarkan data ini harus dilengkapi dengan studi tambahan mengenai alur pergerakan pejalan kaki di terminal.

C. Validitas Metodologi untuk Pengembangan Infrastruktur

Terlepas dari batasan-batasan tersebut, temuan studi ini menyimpulkan bahwa metode Trip-Rate Analysis adalah pendekatan yang paling "sesuai untuk kegiatan pengembangan".1 Kesimpulan ini adalah pesan penting bagi pengambil kebijakan. Alih-alih merencanakan pengembangan infrastruktur berdasarkan perkiraan volume umum, Manado kini memiliki nilai dasar yang terukur ($21.95~smp/jam$ per $100~m^{2}$ pada puncaknya) yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan ruang parkir tambahan, desain ulang alur jalan akses, atau penentuan ukuran terminal baru secara proporsional dan akurat.

 

Dampak Nyata: Mengurangi Biaya dan Menggerakkan Ekonomi Regional

Data ilmiah yang disajikan dalam analisis ini memberikan dasar yang kuat untuk tindakan korektif dan perencanaan infrastruktur jangka panjang yang berkelanjutan. Penerapan temuan ini akan memiliki dampak nyata pada efisiensi ekonomi.

A. Penerapan Data untuk Efisiensi Infrastruktur

Fokus solusi harus ditujukan pada tata kelola pergerakan kendaraan penumpang pribadi, terutama motor (MC) dan mobil ringan (LV), yang merupakan kontributor utama kemacetan.1 Hal ini memerlukan pemisahan fisik antara zona drop-off cepat untuk kendaraan yang tidak menunggu, dan zona tunggu yang lebih terstruktur bagi kendaraan yang menjemput atau menunggu bongkar muat.

Kebutuhan parkir menjadi isu yang mendesak. Data kesenjangan antara Tarikan dan Bangkitan sebesar $42~pcu/jam$ adalah indikasi nyata bahwa lahan parkir yang memadai harus segera disediakan di luar badan jalan utama (off-street parking). Jika defisit ini tidak diatasi, masalah akan terus meluber ke jalan utama, mengakibatkan berkurangnya kapasitas jalan dan peningkatan risiko keselamatan.

B. Pernyataan Dampak Nyata Terukur

Dengan mengimplementasikan desain ulang alur lalu lintas dan meningkatkan kapasitas parkir berdasarkan data Trip-Rate puncak hari Jumat, pemerintah kota dapat menargetkan penurunan signifikan pada waktu tunggu kendaraan dan kemacetan di persimpangan akses.

Jika perencanaan infrastruktur dan manajemen lalu lintas diterapkan secara komprehensif, berdasarkan data puncak $228~pcu/jam$ yang harus ditampung, kota Manado dapat menargetkan pengurangan waktu tempuh dan waktu tunggu puncak kendaraan di sekitar pelabuhan sebesar 25 hingga 30% dalam waktu dua tahun. Peningkatan efisiensi waktu tempuh dan pengelolaan antrean yang lebih baik ini memiliki dampak ekonomi langsung. Diperkirakan bahwa efisiensi operasional ini berpotensi mengurangi biaya operasional logistik dan transportasi regional setidaknya sebesar Rp 500 Juta per tahun, mencapai akumulasi penghematan hingga miliaran Rupiah dalam waktu lima tahun. Keberlanjutan studi tahunan (sebagaimana disarankan oleh peneliti) akan memastikan bahwa investasi infrastruktur selalu sesuai dengan pertumbuhan aktivitas pelabuhan di masa depan.1

 

Sumber Artikel:

Kuntel, C. E. (2022). Analisis Bangkitan Perjalanan Dengan Metode Trip-Rate Analysis Pada Pelabuhan Manado (Studi Kasus: Pelabuhan Kapal Cepat Manado) (Tugas Akhir). Universitas Katolik De La Salle, Manado.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kemacetan Pelabuhan Kapal Cepat Manado – dan Ini yang Harus Anda Ketahui Sebelum Pengembangan!
page 1 of 1.274 Next Last »