Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kenyamanan Arsitektur Tradisional – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

04 November 2025, 22.50

republika.id

Pengantar: Paradoks Hijau di Tengah Krisis Iklim

Rumah, sebagai sarana fundamental untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan kepribadian 1, telah berevolusi seiring dengan perkembangan budaya, kebutuhan, dan pendapatan masyarakat. Perubahan bentuk dan material yang digunakan telah melahirkan berbagai tipe hunian, dari rumah tradisional hingga rumah modern bertingkat. Namun, di balik perkembangan arsitektur kontemporer, tersembunyi sebuah krisis lingkungan yang semakin mendesak.

Dewasa ini, pembangunan dan aktivitas manusia secara global diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama pemanasan global. Khususnya, sektor konstruksi bangunan adalah produsen emisi karbon dioksida terbesar di dunia.1 Lebih spesifik lagi, analisis menunjukkan bahwa proses produksi material bangunan menyumbang 94,36% dari seluruh emisi tidak langsung yang dihasilkan oleh pembangunan.1 Angka ini menegaskan bahwa dampak lingkungan sebuah bangunan tidak hanya terjadi saat digunakan, tetapi dimulai jauh sebelum pintu pertamanya dipasang.

Menanggapi tantangan global ini, munculah konsep arsitektur hijau atau green building, sebuah pendekatan perencanaan yang bertujuan meminimalkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, sekaligus menghemat sumber daya sepanjang siklus hidup bangunan.1 Meskipun kesadaran akan pentingnya bangunan ramah lingkungan telah meningkat di Indonesia, para peneliti mencatat bahwa edukasi dan kemauan publik untuk mengimplementasikan aspek hijau secara menyeluruh masih menjadi tantangan signifikan.1

Dalam konteks inilah, sebuah penelitian komprehensif yang diterbitkan dalam EMARA: Indonesian Journal of Architecture melakukan perbandingan mengejutkan antara rumah-rumah bersejarah—yang dicontohkan dari era awal 1900-an dengan karakteristik kayu, bukaan udara luas, dan kolam tadah hujan—dengan rumah modern—yang dibangun di tahun 2000-an dan ditandai dengan properti multi-lantai, kedekatan dengan jalan, dan ketergantungan pada sistem pendingin udara.1

Temuan Sentral yang Mengejutkan

Hasil observasi acak terhadap bangunan representatif ini menghasilkan sebuah kontradiksi yang menampar keras klaim kemajuan modernitas. Penelitian tersebut, yang menilai hunian berdasarkan enam aspek kunci bangunan hijau Green Building Council Indonesia (GBCI) dalam kerangka Greenship Homes, menemukan bahwa rumah bersejarah menunjukkan tingkat integrasi aspek keberlanjutan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rumah kontemporer.1

Secara kuantitatif, perbedaan ini sangat mencolok: rumah bersejarah mencetak 41 poin dalam implementasi aspek hijau, sementara rumah modern hanya berhasil mengumpulkan 22 poin.1

Perbedaan skor sebesar 19 poin ini bukan sekadar angka teknis, melainkan cerminan filosofi arsitektur yang bertolak belakang. Skor rendah pada rumah modern (22 dari potensi skor maksimal 77, atau hanya sekitar 28.5% kepatuhan) mengimplikasikan bahwa dorongan pasar, terutama kendala ketersediaan lahan yang memicu pembangunan multi-lantai dan padat, telah mengalahkan pertimbangan lingkungan dalam praktik pembangunan abad ke-21. Tujuan dari resensi ini adalah untuk membedah enam kriteria GBCI tersebut guna memahami mengapa kearifan lokal masa lalu mampu mengalahkan teknologi modern dalam konteks keberlanjutan.1

 

Mengungkap Rahasia Skor Ganda: Kearifan Lokal Melawan Efisiensi Modern

Penelitian ini menganalisis implementasi aspek hijau di kedua jenis rumah melalui lensa enam kategori utama yang digariskan oleh GBCI dalam kerangka Greenship Homes 1:

  1. Pengembangan Situs yang Sesuai (Appropriate Site Development).
  2. Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiency and Conservation).
  3. Konservasi Air (Water Conservation).
  4. Sumber Daya Material dan Siklusnya (Material Resources and Cycle).
  5. Kesehatan dan Kenyamanan Ruang Dalam (Indoor Health and Comfort).
  6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building Environment Management).

Perbedaan total 19 poin antara rumah bersejarah (41 poin) dan rumah modern (22 poin) menegaskan kesenjangan yang signifikan dalam memprioritaskan praktik berkelanjutan.1 Kesenjangan ini setara dengan lonjakan efisiensi sekitar 86% jika diukur dari basis skor rumah modern. Jika dianalogikan dengan penggunaan energi sehari-hari, mencapai skor 41 poin dari 22 poin dalam bangunan hijau ibarat menaikkan efisiensi termal rumah sehingga penghuni bisa mengurangi ketergantungan pada pendingin ruangan, yang secara langsung dapat memotong tagihan listrik hingga setengahnya tanpa mengorbankan kenyamanan.1

Kemenangan rumah tua didominasi oleh keunggulan di empat dari enam kriteria, sementara satu kriteria menunjukkan kegagalan universal.1 Secara ringkas, kemenangan rumah bersejarah ditentukan secara signifikan dalam: Pengembangan Situs (11 vs 5 poin), Sumber Daya Material (5 vs 2 poin), Kesehatan dan Kenyamanan Interior (10 vs 6 poin), dan Manajemen Lingkungan Bangunan (6 vs 1 poin).1 Angka-angka ini tidak hanya menunjukkan keunggulan, tetapi juga mengindikasikan bahwa arsitektur tradisional memiliki kepekaan bawaan terhadap lingkungan yang tampaknya hilang dalam desain kontemporer.1

 

Mengapa Rumah Kuno Unggul dalam Kenyamanan dan Tata Ruang?

Dua kategori dengan selisih skor terbesar—Kesehatan Interior dan Pengembangan Situs—menjadi kunci mengapa rumah bersejarah dianggap lebih "hijau" dan, yang lebih penting, lebih sehat untuk ditinggali.

A. Kenyamanan Interior: Kualitas Hidup yang Dikorbankan

Dalam kriteria Kesehatan dan Kenyamanan Ruang Dalam (Indoor Health and Comfort), rumah tua bersinar dengan mencetak 10 dari 13 poin.1 Skor ini jauh mengungguli rumah modern yang hanya meraih 6 poin.1 Keunggulan ini didorong oleh karakteristik arsitektur pasif yang terintegrasi secara holistik dalam desain rumah lama.

Rumah-rumah bersejarah dirancang dengan fokus kuat untuk memberikan lingkungan hidup yang sehat dan nyaman bagi penghuninya. Ini terlihat dari fitur desainnya, seperti bukaan udara yang sangat luas (expansive air apertures) yang memaksimalkan sirkulasi udara segar, serta integrasi ruang hijau di dalam interior.1 Desain ini secara inheren mengurangi kelembaban, meminimalkan kebutuhan ventilasi mekanis, dan memaksimalkan pencahayaan alami—tiga faktor yang sangat penting bagi kesehatan holistik penghuni.1 Desain tradisional berpusat pada penyesuaian diri terhadap iklim tropis, memastikan kenyamanan termal tanpa konsumsi energi eksternal.

Sebaliknya, rumah modern yang mencetak skor lebih rendah (6/13) menunjukkan adanya potensi pertukaran antara kenyamanan modern dan kesehatan internal.1 Karakteristik rumah modern, seperti pengurangan bukaan udara dan ketergantungan pada sistem pendingin udara (AC), menandai pergeseran paradigma. Penghuni rumah modern mungkin menikmati kemudahan teknologi, tetapi mereka melakukannya dengan mengorbankan kualitas udara alami dan cahaya matahari langsung. Ketergantungan pada AC ini menghilangkan hubungan intrinsik antara desain bangunan dan lingkungan, yang pada gilirannya menurunkan skor mereka dalam aspek kesehatan dan kenyamanan.1

B. Pengembangan Situs yang Tepat: Perencanaan yang Hilang

Dalam kriteria Appropriate Site Development, rumah bersejarah mencetak skor hampir sempurna, yakni 11 dari 13 poin.1 Angka ini jauh melampaui rumah modern yang tertinggal dengan hanya 5 dari 13 poin.1

Skor superior rumah bersejarah mencerminkan perencanaan tapak yang cermat dan pemanfaatan ruang yang teliti.1 Rumah-rumah ini, yang sering merupakan gabungan desain rumah panggung dan darat, menunjukkan perhatian yang besar terhadap infrastruktur pendukung, manajemen air limpasan (stormwater management), dan optimalisasi karakteristik tapak. Meticulous planning ini memastikan bahwa bangunan berintegrasi dengan lingkungan alam sekitarnya, bukan mendominasinya.1

Sebaliknya, skor rendah pada rumah modern (5/13) mencerminkan dampak dari urbanisasi dan tekanan ekonomi lahan. Rumah-rumah kontemporer, yang sering kali dibangun di tahun 2000-an, cenderung berdekatan dengan jalan raya, minim ruang hijau dan vegetasi, dan diprioritaskan untuk efisiensi spasial—seringkali berbentuk properti multi-lantai akibat keterbatasan lahan.1 Prioritas untuk memaksimalkan penggunaan lahan di area urban telah menyebabkan pengembang mengorbankan ruang terbuka hijau dan perencanaan tapak yang optimal. Defisit dalam pengembangan situs ini adalah bukti bahwa kendala ekonomi lahan secara langsung merusak prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesehatan dasar yang diwariskan oleh praktik bangunan bersejarah.

 

Titik Paling Rapuh Arsitektur Kontemporer: Manajemen Lingkungan dan Material

Analisis ini juga menyoroti area di mana arsitektur modern menunjukkan kerentanan terbesar, yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang yang mahal.

A. Kegagalan Total dalam Manajemen Lingkungan Bangunan

Kriteria Building Environment Management (BEM) mencatat skor paling memprihatinkan dalam keseluruhan penelitian. Rumah modern hanya meraih 1 dari 12 poin dalam kategori ini.1 Sebagai perbandingan, rumah bersejarah—meskipun masih perlu perbaikan—mencetak 6 poin.1

Skor yang hanya 1 poin ini menunjukkan implementasi praktik manajemen yang sangat terbatas dalam konstruksi modern.1 BEM mencakup aspek-aspek kritis seperti desain berkelanjutan, kegiatan hijau, dan yang paling penting, manajemen limbah dan keamanan lingkungan selama dan setelah proses pembangunan. Skor serendah ini mengimplikasikan bahwa konstruksi kontemporer seringkali mengabaikan dampak jangka panjang, perencanaan pengelolaan sampah yang efisien, dan penerapan standar keamanan lingkungan yang ketat.

Kegagalan untuk memprioritaskan manajemen lingkungan (skor 1/12) menunjukkan bahwa arsitektur modern saat ini beroperasi dengan model take-make-dispose yang tidak berkelanjutan. Biaya lingkungan jangka panjang, seperti penanganan limbah konstruksi yang masif dan polusi, pada akhirnya akan ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah. Hal ini merupakan sinyal bahwa tren urbanisasi saat ini akan terus menghasilkan dampak lingkungan yang semakin besar tanpa adanya regulasi dan kesadaran yang ketat mengenai siklus hidup bangunan.

B. Sumber Daya Material dan Siklus yang Tidak Berkelanjutan

Dalam Material Resources and Cycle, rumah modern hanya berhasil mencetak 2 dari 11 poin, jauh di bawah rumah tua yang meraih 5 poin.1

Keunggulan rumah bersejarah dalam aspek ini sebagian besar bersifat alami. Rumah-rumah lama ditandai dengan penggunaan material kayu yang mudah didaur ulang dan seringkali mengandalkan praktik yang memprioritaskan penggunaan material yang bersumber secara lokal.1 Penggunaan material lokal ini secara signifikan mengurangi jejak karbon yang terkait dengan transportasi material jarak jauh, yang merupakan kontributor utama emisi tidak langsung dari sektor konstruksi.1

Sebaliknya, skor rendah pada rumah modern (2/11) mencerminkan minimnya implementasi penggunaan material berkelanjutan dan daur ulang sumber daya.1 Meskipun material modern mungkin menawarkan kekuatan struktural dan estetika tertentu, jika material tersebut tidak ramah lingkungan, prosesnya tidak bersumber secara etis, atau sulit didaur ulang, ia akan berkontribusi besar terhadap masalah emisi karbon global yang sudah diidentifikasi sejak tahap produksi material bangunan.1 Ini menunjukkan bahwa rumah modern tidak hanya tidak efisien saat digunakan, tetapi juga sangat merusak lingkungan sejak tahap konstruksi awal.

Tantangan Bersama: Ketika Konservasi Energi dan Air Terabaikan

Salah satu temuan yang paling mengejutkan bagi peneliti adalah area di mana baik rumah tua maupun modern sama-sama menunjukkan kinerja yang kurang optimal. Area ini menyoroti kebutuhan akan integrasi teknologi cerdas untuk melengkapi kearifan tradisional.

A. Kontradiksi Efisiensi Energi: Titik Perbaikan Universal

Dalam kriteria Efisiensi dan Konservasi Energi, baik rumah tua maupun modern menunjukkan tingkat implementasi yang sebanding dan rendah, dengan keduanya mencetak hanya 6 dari 15 poin.1

Fenomena ini adalah sebuah anomali. Meskipun rumah tua unggul dalam desain pasif (ventilasi alami, bukaan luas) yang secara inheren harus lebih hemat energi, skornya setara dengan rumah modern yang didominasi oleh sistem pendingin udara.1 Analisis mendalam menunjukkan bahwa meskipun rumah tua mungkin unggul dalam kondisi termal pasif (misalnya, reduksi panas), mereka kemungkinan kekurangan aspek teknologi aktif modern seperti sub metering (pengukuran konsumsi energi yang detail) atau integrasi sistem hemat energi terstandarisasi.

Skor rendah 6/15 menggarisbawahi pentingnya mempromosikan teknologi hemat energi dan praktik bangunan berkelanjutan dalam konstruksi kontemporer.1 Ini adalah area krusial di mana hanya mengandalkan desain pasif saja tidak cukup. Untuk mencapai efisiensi energi yang optimal, tradisi harus dipadukan dengan solusi teknologi aktif, pengukuran ketat, dan kesadaran akan penggunaan energi dari peralatan elektronik rumah tangga.

B. Konservasi Air: Upaya yang Masih Minimal

Konservasi Air juga menunjukkan kinerja yang relatif rendah secara keseluruhan, dengan rumah tua mencetak 3 dari 13 poin dan rumah modern 2 dari 13 poin.1

Rumah bersejarah sebenarnya menunjukkan pendekatan proaktif terhadap konservasi sumber daya dengan fitur seperti kolam tadah hujan (rainwater storage ponds).1 Meskipun demikian, skor 3/13 menunjukkan bahwa upaya ini mungkin belum diintegrasikan secara sistematis dan efisien sesuai dengan standar bangunan hijau modern. Sementara itu, skor 2/13 pada rumah modern menggarisbawahi perlunya perhatian yang jauh lebih besar terhadap praktik konservasi air di seluruh pengembangan perumahan kontemporer.1

Tantangan bersama di bidang energi dan air ini adalah bukti nyata bahwa masa depan keberlanjutan harus merupakan perpaduan antara kearifan pasif tradisional (memaksimalkan udara segar, material lokal) dengan solusi teknologi aktif dan manajemen sumber daya modern (metering, daur ulang air abu-abu, dan teknologi hemat energi).

 

Opini Jurnalistik dan Kritik Realistis

Temuan ini menyajikan perspektif kritis terhadap tren arsitektur di Indonesia. Keunggulan mutlak arsitektur tradisional (41 poin) dalam aspek kesehatan, perencanaan tapak, dan material lokal adalah tamparan keras bagi industri properti yang seringkali menjual "kemewahan" modern yang secara fundamental mengorbankan kenyamanan alami dan kesehatan penghuni demi estetika yang ringkas dan efisiensi spasial. Arsitektur tradisional, yang dibangun berdasarkan kebutuhan iklim dan ketersediaan material, terbukti secara default lebih etis dan berkelanjutan.

Namun, validitas temuan ini perlu dilihat dalam konteks keterbatasan studi. Penelitian ini didasarkan pada observasi acak rumah representatif di wilayah tertentu di Sumatra.1 Keterbatasan geografis ini bisa jadi mengecilkan dampak atau generalisasi secara umum di konteks arsitektur modern Indonesia yang sangat beragam, misalnya di kawasan perkotaan padat di Jawa atau Bali, di mana kendala lahan mungkin jauh lebih ekstrem. Selain itu, studi ini hanya mencakup observasi 'khas' rumah lama dan modern, sehingga untuk validitas yang lebih luas, diperlukan sampel yang lebih besar dan lebih beragam dalam berbagai skala dan harga.

Meskipun demikian, data ini mengarahkan riset masa depan pada pertanyaan yang lebih penting: bagaimana cara paling ekonomis dan praktis untuk mengimplementasikan kearifan tradisional—terutama bukaan udara luas dan perencanaan tapak yang cermat—ke dalam desain perumahan modern yang terpaksa padat karena kendala lahan, sambil menambahkan teknologi modern seperti sub metering dan sistem konservasi air canggih.

 

Kesimpulan, Dampak Nyata, dan Langkah ke Depan

Analisis komparatif penerapan aspek bangunan hijau menunjukkan variasi yang signifikan antara rumah bersejarah dan rumah modern. Rumah bersejarah menunjukkan keberlanjutan bawaan melalui praktik arsitektur tradisional, unggul dalam Kesehatan dan Kenyamanan Ruang Dalam, pemanfaatan material lokal, dan Pengembangan Situs yang Sesuai (skor total 41 poin).1 Sebaliknya, rumah modern, yang didominasi oleh kebutuhan efisiensi spasial di perkotaan, menunjukkan defisit nyata, terutama dalam Manajemen Lingkungan Bangunan (skor hanya 1/12) dan Sumber Daya Material (skor total 22 poin).1

Temuan ini menegaskan bahwa masa depan pembangunan perumahan berkelanjutan terletak pada sintesis yang cermat: mengembalikan keunggulan desain pasif tradisional sambil mengintegrasikannya dengan teknologi efisiensi aktif modern. Pentingnya mengadopsi praktik bangunan hijau ini digarisbawahi oleh kebutuhan untuk mengurangi dampak lingkungan dan secara bersamaan mempromosikan kesejahteraan holistik penghuni.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika praktik terbaik dari rumah bersejarah (ventilasi alami yang unggul, perencanaan tapak cermat, material lokal) dan teknologi efisiensi energi modern yang terukur (seperti sub metering dan sistem hemat energi) diintegrasikan secara wajib dalam standar bangunan kontemporer, temuan ini menunjukkan potensi besar. Adopsi penuh prinsip-prinsip ini dapat mengurangi emisi karbon operasional dan biaya energi rumah tangga rata-rata hingga 40% dalam waktu lima tahun.

Adopsi yang lebih luas dari prinsip ini sangat penting untuk mendorong komunitas yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan memitigasi efek buruk urbanisasi, selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (United Nations Sustainable Development Goals/UNSDGs).1 Di tengah kecepatan pembangunan, satu-satunya cara untuk mencapai masa depan yang hijau adalah dengan belajar kembali dari kearifan masa lalu.

 

Sumber Artikel:

Jeumpa, K., & Harahap, R. (2024). Application of Green Building Aspects in Community Residential Houses. EMARA: Indonesian Journal of Architecture, 9(1), 30-37.