Di pinggiran kota-kota besar Indonesia, pemandangan crane yang menjulang, gerbang cluster yang megah, dan spanduk promosi perumahan adalah pemandangan sehari-hari. Kita melihatnya sebagai tanda kemajuan, denyut nadi ekonomi yang tak terbantahkan. Namun, sebuah penelitian komprehensif dari Jurnal Studi Pemerintahan membunyikan alarm yang tidak bisa lagi kita abaikan.1
Penelitian ini melakukan audit mendalam terhadap seluruh kerangka regulasi yang mengatur kawasan perumahan di Indonesia, dari undang-undang di tingkat pusat hingga peraturan daerah. Kesimpulannya, yang disampaikan oleh para peneliti Pitri Yandri, Dominicus Savio Priyarsono, Akhmad Fauzi, dan Arya Hadi Dharmawan, sangat mengejutkan: seluruh regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah, "belum mengadaptasi isu keberlanjutan".1
Dalam bahasa yang lebih lugas, kebijakan kita "maladaptif".
Ini bukan sekadar kritik akademis tentang dokumen yang berdebu. Ini adalah cerita tentang bagaimana kebijakan kita, secara sengaja atau tidak, telah gagal merespons dampak sosial paling serius yang diciptakan oleh pembangunan itu sendiri. Studi ini menyoroti bagaimana pembangunan perumahan yang masif telah terbukti secara empiris memicu "transformasi lahan pertanian," "ketegangan sosial," "marginalisasi kelompok minoritas," "ketidakseimbangan pendapatan," "segregasi hunian," dan "gentrifikasi".1
Ironisnya, para peneliti menemukan bahwa di tingkat konseptual, Indonesia sebenarnya tidak ketinggalan. Para perencana di Bappenas telah mengadopsi visi global seperti Agenda Perkotaan Baru PBB, dengan mimpi mewujudkan kota yang "layak huni, kompetitif, hijau, dan tangguh".1
Namun, penelitian ini mengungkap jurang pemisah yang menganga antara wacana di forum global dan realitas di lapangan. Visi-visi indah tersebut ditemukan "masih belum termaterialisasi menjadi regulasi yang lebih formal".1 Ada kegagalan tata kelola yang sistemik; birokrasi kita mungkin pandai merancang konsep, tetapi gagal total dalam menciptakan kebijakan hukum yang mengikat.
Bom Waktu 'Maladaptif': Membongkar Kegagalan Regulasi di Tingkat Pusat
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "maladaptif"? Ini bukan berarti regulasi kita "kurang baik", tetapi "salah arah". Regulasi yang ada saat ini tidak mampu, atau tidak dirancang untuk, merespons perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang nyata.1
Mari kita bedah payung hukum utamanya. Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah fondasi hukum tertinggi kita di bidang ini. Saat ditelaah oleh para peneliti, ditemukan fakta yang mencengangkan: kata "keberlanjutan" (sustainability) hanya muncul sebanyak tiga kali di seluruh naskah undang-undang tersebut.1
Lebih parah lagi, makna kata "keberlanjutan" di sana disandingkan dengan kata "kelangsungan" (continuity). Penjelasannya pun sangat samar-samar, sebatas "memperhatikan kondisi lingkungan" dan "kebutuhan yang terus meningkat" seiring laju pertumbuhan penduduk.1 Ini adalah definisi yang pasif, yang tidak memberikan mandat hukum yang kuat untuk mencegah dampak sosial atau mengintervensi ketimpangan ekonomi yang sedang terjadi.
Pola yang sama berlanjut ke peraturan pelaksananya. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2016 hanya menyebut "keberlanjutan" dalam konteks "keselarasan kehidupan manusia dengan lingkungan".1 Lagi-lagi, sebuah frasa yang indah namun tidak memiliki kekuatan hukum operasional.
Namun, jantung masalah yang sesungguhnya, menurut temuan studi ini, terletak di tingkat kementerian—khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang seharusnya menjadi garda terdepan isu ini.1
Ketika para peneliti membedah serangkaian Peraturan Menteri (Permen) PUPR yang teknis, mereka menemukan sebuah pola yang konsisten. Para peneliti menemukan bahwa di tingkat teknis inilah makna "keberlanjutan" telah direduksi secara drastis 1:
- Regulasi tentang Bangunan Hijau (Permen PUPR No. 02/PRT/M/2015) memang ada. Tetapi fokusnya secara eksklusif hanya pada "penghematan energi, air, dan sumber daya lain". Ini adalah isu fisik.1
- Regulasi tentang Konstruksi Berkelanjutan (Permen PUPR No. 05/PRT/M/2015) juga hanya berfokus pada "infrastruktur fisik" permukiman.1
- Bahkan, Regulasi tentang Perumahan Berimbang (Permen PUPR No. 07/2013), yang seharusnya paling dekat dengan isu keadilan sosial, mendefinisikan "keseimbangan" hanya sebatas rasio fisik: "komposisi tertentu... antara rumah sederhana, rumah sedang, dan rumah mewah".1
Para peneliti menegaskan bahwa keberlanjutan yang sejati memiliki tiga pilar: sosial, ekonomi, dan lingkungan, yang semuanya ditopang oleh tata kelola (governance) yang baik.1 Apa yang dilakukan oleh regulasi kita di tingkat pusat adalah mengambil konsep global yang kaya ini dan memangkasnya habis-habisan, hanya menyisakan satu aspek: infrastruktur fisik dan efisiensi energi.
Regulasi kita secara sistemik bisu terhadap dimensi sosial dan ekonomi. Tidak ada pasal yang kuat untuk mencegah segregasi. Tidak ada mandat untuk melindungi komunitas yang rentan. Tidak ada aturan main untuk menjamin keadilan ruang.
Kegagalan di tingkat pusat ini, menurut studi tersebut, menciptakan efek domino yang berbahaya. Ia menciptakan kekosongan kebijakan yang kemudian "berdampak pada desain regulasi di daerah".1 Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi ujung tombak adaptasi, dibiarkan tanpa landasan hukum yang kuat, terutama di wilayah-wilayah yang mengalami ledakan pembangunan paling dahsyat.
Studi Kasus: Cerita dari Pinggiran Saat Tangerang Selatan Menjadi Laboratorium 'Demam Emas' Properti
Untuk melihat dampak nyata dari kegagalan ini, para peneliti memilih lokasi yang tidak mungkin lebih tepat: Kota Tangerang Selatan (Tangsel).1
Tangsel adalah episentrum dari 'demam emas' properti di pinggiran Jakarta. Untuk memahami skala pembangunannya, bayangkan sebuah kota di mana lebih dari 61,79% dari total luas lahannya telah dialokasikan untuk perumahan dan permukiman.1 Ini bukan lagi kota yang memiliki perumahan; ini adalah kawasan perumahan raksasa yang berfungsi sebagai kota. Data tahun 2017 mencatat ada 839 kawasan perumahan di area yang relatif kecil ini.1
Pembangunan ini bukan sekadar soal fisik, ini adalah mesin uang. Sektor real estate adalah kontributor terbesar kedua terhadap seluruh kue ekonomi (PDRB) kota, menyumbang 17,5% dari total PDRB tahun 2016.1
Pemerintah daerah pun jelas sangat diuntungkan. 'Demam' transaksi ini terlihat dari data pajak. Pertumbuhan rata-rata Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) melonjak secara fenomenal, mencapai 38,7% per tahun antara 2011 dan 2014.1
Lompatan 38,7% per tahun itu ibarat pendapatan pajak yang tadinya 100 miliar, tahun depan melonjak menjadi 138 miliar, dan 190 miliar di tahun berikutnya. Ini adalah 'demam' yang menempatkan tekanan luar biasa pada tata kelola kota.
Jadi, apa yang dilakukan oleh Pemkot Tangsel dalam menghadapi 'demam emas' ini? Mereka merespons dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman.1
Saat menelaah Perda ini, para peneliti menemukan sesuatu yang sudah bisa diprediksi namun tetap saja mengecewakan. Perda ini "persis sama" dengan UU No. 1/2011 di tingkat pusat.1 Ia hanya menyalin-tempel kelemahan yang ada. Sama seperti induknya di Jakarta, kata "keberlanjutan" di dalam Perda Tangsel ini juga hanya muncul tiga kali.1
Di sinilah letak temuan paling krusial dan mengejutkan dari seluruh studi ini.
Ironi Kebijakan: 'Keberlanjutan' Versi Pemda yang Hanya Berarti Serah Terima PSU
Para peneliti tidak berhenti pada penghitungan kata. Mereka melacak ke mana tiga penyebutan kata "keberlanjutan" itu merujuk dalam naskah hukum Perda Tangsel.1
Jawabannya adalah sebuah ironi kebijakan yang sempurna.
Studi ini menemukan bahwa dalam Perda No. 3 Tahun 2014, makna "keberlanjutan" dirujuk pada Pasal 25. Dan Pasal 25 itu, secara spesifik, mengatur tentang "penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas" (PSU)—seperti jalan, taman, dan saluran air—dari pihak pengembang kepada pemerintah daerah.1
Ini bukan kebetulan. Temuan ini diperkuat oleh Peraturan Walikota No. 16 Tahun 2015, yang juga menyebut prinsip "keberlanjutan" dalam konteks yang sama persis: tata cara penyerahan PSU.1
Jika Anda bertanya apa arti "pembangunan berkelanjutan" bagi pemerintah kota di salah satu wilayah dengan pertumbuhan properti terpesat di Indonesia, jawabannya, menurut regulasi mereka sendiri, sangat birokratis: itu berarti "memastikan aset jalan dan taman dari pengembang diserahkan dengan benar kepada Pemda."
Ini adalah penyempitan, jika bukan pembajakan, makna yang berbahaya.
Konsep "keberlanjutan", yang di tingkat global mencakup pencegahan segregasi sosial, perlindungan lahan pertanian, keadilan bagi minoritas, dan penguatan ruang publik, telah direduksi di tingkat lokal menjadi sekadar administrasi serah terima aset.
Selama PSU diserahkan dengan benar, maka secara regulasi, pembangunan itu dianggap "berkelanjutan"—sekalipun ia menciptakan 'benteng-benteng' eksklusif, menggusur komunitas lama, dan menghancurkan lahan pertanian.1 Fokusnya 100% pada infrastruktur fisik dan legalitas aset Pemda, dan 0% pada dampak sosial-ekonomi.
Mengapa Ini Penting Hari Ini? Dampak Nyata dari Kebijakan yang Gagal
Kegagalan kebijakan ini bukan sekadar dokumen yang berdebu di arsip. Studi ini, sejak awal, mengaitkannya dengan dampak empiris yang nyata di lapangan.1
Kegagalan regulasi untuk mengatur keberlanjutan sosial secara langsung telah memfasilitasi dan memberi lampu hijau bagi dampak-dampak negatif untuk berkembang biak tanpa kendali.
- Menciptakan Segregasi Sosial: Ketika regulasi hanya peduli pada rasio rumah mewah-sederhana dan penyerahan PSU, ia secara efektif mengabaikan terciptanya gated community atau cluster super-eksklusif. Praktik inilah yang menurut literatur yang dikutip studi, secara aktif "membangun segregasi sosial" dan "ketegangan sosial".1
- Mendorong Gentrifikasi: Studi ini secara khusus mengutip penelitian lain (Yandri, 2017) yang memverifikasi adanya gentrifikasi di Tangerang Selatan.1 'Demam emas' properti yang terlihat dari lonjakan pajak BPHTB 38,7% 1 adalah mesin pendorong gentrifikasi, dan kebijakan yang ada tidak melakukan apa-apa untuk melindung penduduk lama.
- Menghilangkan Mata Pencaharian: Alokasi lahan masif untuk perumahan (mencapai 61,79% di Tangsel) 1 adalah "transformasi lahan pertanian" yang diidentifikasi oleh studi.1 Ini bukan hanya isu lingkungan, tetapi isu sosial-ekonomi karena mematikan strategi mata pencaharian penduduk lokal.
- Melemahkan Partisipasi Politik: Model perumahan cluster yang homogen ini juga ditemukan berkorelasi dengan "partisipasi politik yang lebih rendah".1
Kritik ini menjadi semakin tajam ketika para peneliti membandingkan situasi di Indonesia dengan apa yang terjadi di negara lain. Saat Jerman sudah menerapkan sistem sertifikasi yang ketat untuk perumahan berkelanjutan 1, dan saat Australia memiliki prinsip yang jelas seperti "melindungi warisan," "memperkuat fitur budaya," dan "memastikan perencanaan yang adil bagi semua orang" 1, regulasi kita masih terjebak.
Dalam skenario kasus terbaik (di tingkat pusat), kita terjebak pada efisiensi energi. Dalam skenario kasus terburuk (di tingkat lokal), kita terjebak pada administrasi serah terima jalan.
Kesimpulan: Ancaman Nyata di Depan Mata dan Panggilan untuk Revisi Total
Para peneliti menyimpulkan bahwa kegagalan beradaptasi ini adalah "kegagalan tata kelola" (governance failure) yang nyata.1 Ini adalah kegagalan institusional secara keseluruhan—dari pembuat UU di Senayan hingga perencana kota di Tangsel—untuk merespons perubahan.
Konsekuensinya, para peneliti menulis, "ancaman ketidakberlanjutan" (unsustainability threat) untuk kawasan perumahan di pinggiran kota "telah terlihat jelas" (has been in plain sight).1
Kita tidak sedang berjalan menuju krisis; kita sudah berada di dalamnya. Kita sedang aktif membangun kota-kota yang rapuh secara sosial dan ekonomi, dan kita melakukannya dengan 'restu' penuh dari regulasi yang kita ciptakan sendiri.
Studi ini tidak menawarkan solusi tambal sulam. Rekomendasi utamanya radikal dan lugas: merevisi seluruh regulasi yang terkait dengan kawasan perumahan, baik di pusat maupun daerah.1
Revisi ini harus memaksa regulasi untuk "adaptif terhadap isu keberlanjutan" 1—keberlanjutan yang sejati, yang mengembalikan pilar sosial dan ekonomi ke tempatnya, bukan hanya sibuk mengurus infrastruktur fisik.
Jika regulasi 'maladaptif' ini dibiarkan, kita secara sadar sedang menanam bom waktu sosial. Dalam satu dekade ke depan, kita akan menuai kota-kota yang terbelah oleh segregasi, penuh ketegangan, dan rapuh secara ekonomi.
Namun, jika diterapkan, rekomendasi studi untuk merombak total kebijakan ini dapat menjadi fondasi baru. Jika Indonesia mulai mengintegrasikan keadilan sosial, perlindungan komunitas, dan desain inklusif ke dalam UU dan Perda perumahan hari ini, kita bisa mulai mengurangi biaya sosial akibat segregasi dan ketimpangan perkotaan secara nyata dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.