Pendidikan Teknik Bangunan
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 September 2025
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pengembangan bahan ajar di mata kuliah Praktik Batu Beton pada Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ. Survei dilakukan melalui kuesioner daring kepada 45 mahasiswa angkatan 2016, 2017, dan 2018. Temuan utama adalah bahwa 39 mahasiswa menyatakan bahan ajar yang digunakan masih berupa jobsheet tradisional, sedangkan 36 mahasiswa menyatakan bahwa e-modul dengan video tutorial adalah bentuk bahan ajar yang paling sesuai untuk mendukung pembelajaran praktik lebih lanjut, 42 dari 45 responden menyetujui penggunaan e-modul sebagai solusi yang efektif. Temuan ini menunjukkan adanya kebutuhan jelas untuk transisi dari bahan ajar cetak konvensional menuju bahan ajar digital berbasis modul elektronik interaktif, yang mampu mengintegrasikan teks, gambar, dan video tutorial untuk mempermudah proses praktik.
Sorotan Data:
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memperkuat argumen bahwa digitalisasi bahan ajar dalam bentuk e-modul diperlukan dalam praktik kejuruan. Kontribusinya terletak pada penyediaan data kebutuhan riil mahasiswa, sehingga rancangan e-modul tidak sekadar berbasis tren teknologi, melainkan berakar pada masalah nyata yang dihadapi mahasiswa dalam pembelajaran praktik batu beton.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Keterbatasan riset ini adalah analisis berhenti pada tahap kebutuhan, belum sampai pengembangan penuh atau pengujian efektivitas e-modul dalam kelas praktik. Pertanyaan terbuka yang muncul: Bagaimana efektivitas e-modul dengan video tutorial dibanding jobsheet dalam meningkatkan keterampilan praktik? Apakah ada pengaruh signifikan terhadap hasil ujian praktik dan motivasi mahasiswa?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Ajakan Kolaboratif
Kolaborasi dengan Fakultas Teknik UNJ, politeknik teknik bangunan, dan lembaga pelatihan konstruksi sangat diperlukan untuk memperluas uji coba e-modul. Keterlibatan industri konstruksi akan memastikan bahan ajar sesuai standar praktik lapangan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 September 2025
Analisis Kritis dan Jalur Riset Berkelanjutan untuk Manajemen Keselamatan Konstruksi
Pendahuluan: Konteks Ilmiah dan Signifikansi Riset
Di seluruh dunia, industri konstruksi secara konsisten menempati peringkat sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi. Di Malaysia, situasi ini sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan yang disajikan dalam makalah ini, data dari Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (DOSH) menunjukkan bahwa dari tahun 2011 hingga 2013, total 187 pekerja konstruksi meninggal akibat kecelakaan di lokasi kerja.1 Angka yang mengejutkan ini menggarisbawahi urgensi untuk melakukan perombakan menyeluruh terhadap praktik keselamatan yang ada. Laporan Dayang dan Gloria (2011) yang dikutip dalam makalah juga mencatat adanya kecelakaan besar yang terjadi setiap tahun antara 2005 hingga 2008, termasuk insiden tragis di mana kabel lift pekerja putus yang mengakibatkan kematian dua pekerja dan melukai sepuluh lainnya.1 Fakta-fakta ini secara kolektif menempatkan industri konstruksi sebagai sektor kritis yang memerlukan intervensi riset dan praktik yang berkelanjutan.
Dalam konteks inilah, makalah yang diulas ini memiliki relevansi yang substansial. Tujuan utamanya adalah untuk mengkaji praktik keselamatan yang berlaku di lokasi konstruksi Malaysia, mengidentifikasi masalah-masalah terkait, dan merumuskan strategi untuk mengatasinya.1 Untuk mencapai tujuan ini, penelitian ini menggunakan metodologi studi kasus kualitatif, yang melibatkan wawancara semi-terstruktur dengan petugas keselamatan di dua proyek pembangunan bertingkat tinggi di Kuala Lumpur.1 Pemilihan proyek-proyek ini dianggap tepat karena risiko keselamatan yang secara inheren tinggi pada bangunan bertingkat, yang juga menuntut implementasi praktik keselamatan yang ketat untuk melindungi pekerja dan publik di sekitarnya.
Alur Temuan Riset: Analisis Praktik, Masalah, dan Strategi
Praktik Keselamatan yang Diterapkan: Standar vs. Realita di Lapangan
Makalah ini mengawali alur logisnya dengan meninjau praktik-praktik keselamatan yang diakui secara luas dalam literatur ilmiah. Tinjauan ini mencakup praktik-praktik fundamental seperti adanya kebijakan keselamatan, program pendidikan dan pelatihan, inspeksi dan audit rutin, pertemuan keselamatan, dan penggunaan alat pelindung diri (APD).1 Secara teoritis, sistem ini merupakan kerangka kerja yang komprehensif untuk memastikan lingkungan kerja yang aman.
Melalui studi kasus kualitatif, makalah ini menemukan bahwa kedua kontraktor proyek yang diteliti telah menerapkan sebagian besar praktik ini dengan baik dan terstruktur.1 Mereka memiliki kebijakan keselamatan yang jelas, menyelenggarakan berbagai jenis pelatihan seperti pelatihan induksi harian dan pelatihan khusus pekerjaan, serta secara teratur melakukan inspeksi dan audit keselamatan. Pelaksanaan praktik ini terperinci; misalnya, audit dilakukan dua kali setahun oleh perwakilan DOSH dan komite keselamatan, dan pelatihan induksi untuk pekerja baru mencakup orientasi penggunaan APD dan prosedur darurat.1 Namun, terlepas dari keberadaan sistem formal yang tampaknya kokoh ini, makalah ini mengidentifikasi adanya paradoks utama: masalah-masalah substansial masih saja terjadi di lapangan. Keberadaan kebijakan dan jadwal pelatihan tidak secara otomatis menghasilkan budaya keselamatan yang kuat atau kepatuhan yang konsisten di kalangan pekerja. Hal ini menunjukkan kesenjangan kritis antara apa yang ada di atas kertas dan bagaimana hal itu benar-benar diimplementasikan.
Masalah Kunci dan Akar Permasalahannya
Makalah ini berhasil mengidentifikasi sejumlah masalah utama yang menghambat efektivitas praktik keselamatan, yang sebagian besar berpusat pada faktor-faktor non-prosedural. Masalah-masalah yang disorot adalah: ketidakpedulian pekerja terhadap prosedur kerja, kurangnya alokasi dana, kurangnya kesadaran di kalangan pekerja, dan hambatan bahasa antara supervisor dan pekerja.1
Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa masalah-masalah ini bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait. Contohnya, "ketidakpedulian" dan "kurangnya kesadaran" di kalangan pekerja bukanlah sifat bawaan, melainkan hasil dari faktor-faktor kausal yang lebih dalam.1 Wawancara dengan petugas keselamatan mengungkapkan bahwa banyak pekerja yang berfokus untuk "menyelesaikan pekerjaan lebih cepat untuk mendapatkan upah".1 Ini menyoroti adanya konflik insentif: insentif finansial untuk kecepatan sering kali berbenturan dengan insentif keselamatan untuk kepatuhan. Hambatan bahasa juga bukan sekadar masalah komunikasi verbal, tetapi merupakan masalah fundamental dalam akses informasi dan efektivitas pelatihan. Ketika pekerja tidak memahami instruksi atau materi pelatihan, mereka tidak dapat mempraktikkan prosedur keselamatan yang benar, terlepas dari niat baik yang ada.1 Masalah lain yang ditekankan adalah kurangnya alokasi anggaran yang memadai untuk manajemen keselamatan, yang menjadi akar masalah yang mendalam.1 Banyak kontraktor yang menganggap uang lebih baik dialokasikan untuk "kebutuhan" daripada untuk pelatihan keselamatan. Meskipun praktik keselamatan seperti pengadaan APD atau papan buletin memerlukan investasi, makalah ini menemukan bahwa banyak pelaku industri hanya memberikan alokasi yang minim, atau bahkan tidak sama sekali, untuk implementasi keselamatan di lapangan.1
Strategi yang Direkomendasikan: Solusi untuk Kesenjangan Implementasi
Sebagai respons terhadap masalah yang diidentifikasi, makalah ini mengusulkan serangkaian strategi yang logis. Strategi-strategi ini mencakup penyediaan pelatihan yang lebih efektif (misalnya, menggunakan video dan animasi), alokasi anggaran yang memadai, komitmen penuh dari manajemen puncak, dan penyediaan materi keselamatan multibahasa seperti buku saku.1 Makalah ini mengklaim bahwa buku saku multibahasa di salah satu studi kasus "terbukti efektif".1
Meskipun usulan ini relevan, makalah ini tidak menyajikan data kuantitatif yang membuktikan efektivitasnya secara empiris. Klaim mengenai "keefektifan" materi multibahasa, misalnya, didasarkan pada laporan kualitatif dari narasumber, bukan pada metrik terukur seperti penurunan insiden atau peningkatan skor pemahaman. Ketergantungan pada data kualitatif tanpa validasi kuantitatif membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang lebih ketat, yang akan menjadi fondasi untuk rekomendasi yang lebih kuat dan berbasis bukti.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Makalah ini memberikan beberapa kontribusi yang signifikan bagi bidang manajemen keselamatan konstruksi. Pertama, ia memberikan validasi empiris di lingkungan Malaysia untuk praktik-praktik keselamatan yang telah lama dikenal di literatur.1 Ini adalah langkah maju yang penting dari sekadar tinjauan teoretis, menyediakan kasus nyata tentang bagaimana kebijakan dan prosedur diterjemahkan (atau tidak diterjemahkan) di lapangan.
Kontribusi terpentingnya adalah identifikasi kesenjangan kritis antara keberadaan kebijakan keselamatan formal dan efektivitas implementasi praktisnya.1 Alih-alih hanya berfokus pada "apa yang harus dilakukan," makalah ini menyoroti "mengapa yang sudah ada tidak berjalan," yang menggeser fokus riset dari masalah kepatuhan prosedural menjadi masalah budaya dan perilaku. Temuan ini mengarahkan peneliti untuk mempertimbangkan bahwa keselamatan bukanlah semata-mata masalah teknis, melainkan masalah interaksi kompleks antara kebijakan, komitmen manajemen, dan insentif perilaku pekerja. Makalah ini secara implisit menunjukkan adanya hubungan antara faktor-faktor non-teknis ini dengan hasil keselamatan, menggarisbawahi potensi besar untuk objek penelitian baru yang dapat menjembatani kesenjangan tersebut.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya berharga, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis yang harus diakui.
Pertama, cakupannya sangat sempit, didasarkan pada hanya dua studi kasus di Kuala Lumpur.1 Temuan ini, oleh karena itu, tidak dapat digeneralisasi ke seluruh industri konstruksi Malaysia, yang memiliki keragaman yang jauh lebih besar dalam skala dan jenis proyek.
Kedua, penelitian ini memiliki bias subyektif yang signifikan, karena data dikumpulkan secara eksklusif dari perspektif petugas keselamatan. Sudut pandang pekerja, manajemen senior, atau pihak berwenang seperti DOSH tidak dipertimbangkan. Ini menciptakan pandangan yang kemungkinan besar mencerminkan kebijakan resmi perusahaan dan bukan pengalaman atau persepsi nyata dari semua pemangku kepentingan di lokasi kerja.
Ketiga, sifat kualitatifnya, meskipun ideal untuk eksplorasi dan pembentukan hipotesis, tidak memungkinkan untuk membuktikan hubungan kausal atau korelasi statistik. Klaim seperti "buku saku multibahasa efektif" tetap bersifat anekdotal dan tidak didukung oleh data numerik yang dapat membuktikan hubungan sebab-akibat.
Keterbatasan ini meninggalkan banyak pertanyaan riset yang belum terjawab, yang menjadi lahan subur untuk investigasi di masa depan. Sebagai contoh, apakah ada hubungan kuantitatif yang dapat diukur antara alokasi anggaran keselamatan dan tingkat kecelakaan, produktivitas, dan profitabilitas proyek? Bagaimana budaya organisasi memengaruhi perilaku keselamatan di luar kebijakan formal yang ada? Seberapa besar dampak dari sistem penalti dan penghargaan terhadap kepatuhan jangka panjang, dan apakah ada perbedaan dampak pada pekerja lokal dibandingkan dengan pekerja migran?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi dalam makalah ini, lima jalur riset berkelanjutan berikut ini diusulkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset.
Kesimpulan: Sintesis dan Ajakan Kolaboratif
Secara keseluruhan, makalah ini berhasil memberikan pemahaman empiris yang berharga tentang status praktik keselamatan di lokasi konstruksi Malaysia. Kontribusi utamanya adalah mengidentifikasi secara jelas kesenjangan yang ada antara kerangka kerja keselamatan yang ideal dan tantangan implementasi praktisnya, yang sebagian besar disebabkan oleh masalah perilaku, budaya, dan alokasi sumber daya. Dengan mengakui keterbatasan metodologisnya, seperti ruang lingkup yang sempit dan bias subyektif, makalah ini membuka jalan untuk investigasi ilmiah yang lebih ketat dan dapat digeneralisasi.
Kelima rekomendasi riset yang diusulkan—mulai dari studi kuantitatif hingga riset tindakan—menghadirkan jalur yang terperinci untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan terbuka yang belum terjawab. Eksplorasi jalur ini sangat penting untuk memajukan pemahaman kita dari deskriptif menjadi prediktif dan dari preskriptif menjadi transformatif. Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk beralih dari sekadar mendokumentasikan masalah menjadi merancang solusi yang dapat diterapkan secara efektif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi riset terkemuka, departemen pemerintah seperti DOSH, dan asosiasi industri seperti Master Builders Association Malaysia (MBAM) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Hanya melalui kolaborasi multi-pihak, kita dapat menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, dan pada akhirnya, menciptakan lokasi kerja yang benar-benar aman bagi semua pekerja.
Sumber dari Paper: Chin Keng, Tan & Abdul Razak, Nadeera. (2014). Case Studies on the Safety Management at Construction Site. Journal of Sustainability Science and Management. 9. 90-108.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 September 2025
Pengantar dan Intisari Penelitian
Industri konstruksi secara alami bersifat kompleks dan dinamis, sering kali menghadapi tantangan kronis seperti produktivitas yang rendah, tingginya pemborosan, dan fragmentasi di antara para peserta proyek.1 Berbagai faktor disinyalir berkontribusi pada masalah ini, mulai dari pengerjaan yang buruk, kurangnya ketersediaan material, hingga koordinasi yang tidak memadai di antara tim manajemen profesional.1 Di tengah kompleksitas tersebut, konsep kemitraan (partnering) muncul sebagai filosofi manajemen yang diyakini mampu meningkatkan nilai dan kinerja proyek dalam hal biaya, waktu, kualitas, keselamatan, dan lingkungan.1
Namun, penelitian sebelumnya belum sepenuhnya menjelaskan bagaimana kemitraan dapat diterapkan secara efektif dalam proyek konstruksi untuk menghasilkan nilai bagi setiap pemangku kepentingan.1 Temuan-temuan terdahulu cenderung hanya berfokus pada faktor-faktor kemitraan, tingkatan, interaksi, tantangan, atau manfaat spesifik seperti pengurangan limbah dan risiko keuangan.1 Dengan demikian, celah penelitian yang signifikan telah teridentifikasi: kebutuhan akan alat dan teknik praktis untuk mengukur kedalaman dan kematangan kemitraan.1
Paper ini bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan mengembangkan Indikator Kinerja Utama (KPIs) yang berfungsi sebagai alat ukur kuantitatif untuk menilai kematangan kemitraan dalam proyek konstruksi berbasis kemitraan.1 Penelitian ini mengadopsi pendekatan metodologi campuran (mixed method), yang secara sistematis mengintegrasikan analisis kualitatif dan kuantitatif.1 Alur logis penelitian dimulai dengan tinjauan literatur skematis untuk mengidentifikasi indikator-indikator yang relevan.1 Proses ini dilanjutkan dengan validasi dan penyempurnaan indikator melalui tiga putaran Metode Delphi, yang melibatkan panel sembilan ahli yang kompeten dan heterogen dari berbagai peran dalam industri, termasuk pemilik, desainer, kontraktor, dan akademisi.1 Setelah KPI ditetapkan, alat ini kemudian diterapkan dalam simulasi pada enam proyek Design and Build (DB) di Indonesia untuk memvalidasi utilitasnya dalam menilai tingkat kematangan kemitraan.1
Sorotan Data Kuantitatif
Penelitian ini menyajikan temuan kuantitatif yang mengesankan, terutama dalam proses validasi faktor dan analisis kinerja proyek. Pada Putaran 3 metode Delphi, para ahli diminta untuk menilai utilitas dari 26 faktor yang diidentifikasi dari tinjauan literatur.1 Analisis menunjukkan bahwa 24 dari 26 faktor memiliki skor utilitas di atas nilai ambang batas 2.5 pada skala 1-5.1 Hanya dua faktor, yaitu "Pertumbuhan biaya" dan "Kerugian akibat kecelakaan proyek", yang tidak memenuhi konsensus dan tidak digunakan sebagai KPI.1 Konsensus yang kuat ini, di mana deviasi absolut dari respons para ahli kurang dari 5% dari median, mengonfirmasi relevansi dan kegunaan mayoritas faktor yang diidentifikasi oleh para ahli industri.1
Selain itu, analisis deskriptif pada enam proyek Design and Build (DB) menunjukkan hubungan yang jelas antara tingkat kematangan kemitraan dan kinerja proyek.1 Data statistik dari proyek-proyek tersebut menunjukkan variasi kinerja yang signifikan. Proyek DB "A" dan DB "B", yang diklasifikasikan pada tingkat kemitraan Dasar (Basic) berdasarkan wawancara mendalam, menunjukkan kinerja yang kurang optimal.1 Data statistik kinerja pada proyek ini menunjukkan deviasi negatif dari rata-rata (mean) sebesar -0.7% dan -0.3%.1 Temuan ini secara kuat mendukung deskripsi kualitatif bahwa kurangnya kemitraan dalam proyek ini menyebabkan kinerja yang buruk, dengan para pihak yang masih berada dalam posisi "kompetitif" dan saling mengawasi.1
Sebaliknya, proyek DB "C" dan DB "E" mencapai tingkat kematangan Terinstitusionalisasi (Institutionalized), di mana strategi dan pemetaan kemitraan telah menjadi bagian dari budaya organisasi sejak awal proyek.1 Meskipun paper tidak menyajikan data numerik eksplisit untuk perbandingan langsung, simulasi menunjukkan bahwa proyek-proyek ini "memberikan nilai yang lebih baik" dan memiliki implementasi yang lebih matang.1 Korelasi ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan kemitraan, semakin baik pula kinerja proyek yang dapat dicapai.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi yang substansial pada bidang manajemen proyek konstruksi, tidak hanya secara teoretis tetapi juga praktis.1
1. Mengisi Kesenjangan Literatur dengan Alat Ukur Kuantitatif: Kontribusi terpenting adalah pengembangan model KPI yang spesifik untuk mengukur kedalaman kemitraan. Para penulis sendiri mengakui adanya kekosongan dalam penelitian sebelumnya yang hanya berfokus pada faktor dan tantangan kemitraan tanpa menyediakan alat ukur praktis.1 KPI ini, yang disesuaikan untuk setiap fase siklus hidup proyek, memberikan kerangka kerja yang solid dan dapat ditindaklanjuti bagi para praktisi untuk mengevaluasi dan meningkatkan kolaborasi mereka.1
2. Penerapan Metodologi Hibrida yang Kuat: Penelitian ini memadukan tinjauan literatur yang sistematis dengan konsensus ahli (metode Delphi) dan analisis data empiris lapangan dari proyek-proyek nyata.1 Penggunaan Metode Delphi yang melibatkan sembilan ahli heterogen dari berbagai peran dalam industri memastikan bahwa KPI yang dikembangkan tidak hanya kokoh secara teoretis tetapi juga relevan dan praktis di lapangan.1 Pendekatan ini adalah model yang patut dicontoh dalam riset manajemen proyek, menunjukkan bagaimana riset dapat menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik.
3. Strukturisasi Faktor Kemitraan Berdasarkan Siklus Hidup Proyek: Paper ini secara unik memetakan indikator kematangan kemitraan ke dalam setiap fase siklus proyek—inisiasi, desain, konstruksi, dan penutupan.1 Strukturisasi ini memberikan panduan yang terperinci dan dapat ditindaklanjuti bagi organisasi, memungkinkan mereka untuk secara proaktif mengelola kemitraan di setiap tahap kritis, yang merupakan inovasi praktis yang signifikan. Pendekatan ini berbeda dari studi sebelumnya yang cenderung menganggap kemitraan sebagai entitas tunggal yang statis.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan, terdapat beberapa keterbatasan yang diakui oleh penulis dan juga pertanyaan terbuka yang muncul dari analisis terhadap temuan.1
1. Spesifisitas Ruang Lingkup Proyek: Keterbatasan utama yang diakui secara eksplisit oleh penulis adalah bahwa KPI yang dikembangkan dan divalidasi dirancang secara khusus untuk proyek Design and Build (DB).1 Paper ini tidak menguji validitasnya pada sistem pengiriman proyek lainnya, seperti
Design-Bid-Build (DBB) atau Integrated Project Delivery (IPD) yang memiliki dinamika kemitraan, struktur kontrak, dan pembagian risiko yang berbeda.1 Keterbatasan ini membatasi generalisasi temuan pada spektrum yang lebih luas.
2. Generalisasi Temuan Empiris: Analisis kuantitatif didasarkan pada simulasi enam proyek yang berlokasi di Indonesia dengan nilai proyek di atas IDR 100 miliar.1 Pertanyaan terbuka muncul mengenai validitas eksternal temuan ini. Seberapa representatif sampel ini untuk seluruh industri konstruksi Indonesia, atau bahkan untuk industri konstruksi secara global? Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguji generalisasi model ini di berbagai skala proyek, jenis, dan lokasi geografis.
3. Kausalitas dan Variabel Kualitatif Tak Terukur: Meskipun paper ini mengklaim bahwa "proyek dengan kemitraan mendalam mencapai kinerja yang lebih baik" 1 dan mengaitkan tingkat kematangan dengan data statistik proyek, penelitian ini bersifat deskriptif dan korelasional, bukan kausal. Paper ini juga menggarisbawahi pentingnya elemen kualitatif seperti "kepercayaan" dan "budaya organisasi" dalam kemitraan yang mendalam 1, namun tidak menyediakan metodologi yang eksplisit untuk mengukur atau memodelkan pengaruh variabel-variabel tersebut secara kuantitatif. Mekanisme dan proses transisional dari kemitraan dasar ke yang terinstitusionalisasi tidak dijelaskan secara rinci.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan yang disajikan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang dapat memajukan bidang ini:
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, entitas pemerintah, dan kontraktor terkemuka di Indonesia untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam mengadaptasi dan memvalidasi model ini di berbagai konteks proyek. Kolaborasi antar-lembaga seperti Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Tarumanagara, yang telah memiliki jejak rekam riset yang kuat di bidang ini, sangat disarankan.
Baca paper aslinya di sini https://doi.org/10.3390/buildings14061494