Sosiohidrologi

Pendekatan Sosiohidrologi Hadirkan Solusi Adaptif untuk Krisis Air di Pulau Sungai Asia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Masalah air bersih menjadi salah satu tantangan global paling mendesak, terlebih di kawasan pulau-pulau besar di sungai Asia seperti Fraserganj (India), Dakshin Bedkashi (Bangladesh), dan Con Dao (Vietnam). Meski dikelilingi air, masyarakat di wilayah ini justru terjebak dalam kelangkaan air bersih, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial. Studi oleh Pankaj Kumar dan kolega ini menekankan pentingnya pendekatan socio-hydrology—sebuah integrasi antara ilmu hidrologi dan dinamika sosial—dalam mengelola sumber daya air secara adaptif dan inklusif.

Mengapa Sosiohidrologi Dibutuhkan?

Secara global, lebih dari 2,4 miliar orang hidup dalam kondisi kekurangan air, dan jumlah ini diprediksi naik menjadi dua pertiga populasi dunia pada 2025. Di Asia, meski memiliki >35% cadangan air tawar dunia, distribusi air per kapita tetap rendah akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan intrusi air laut.

Pulau sungai menghadapi kombinasi tekanan yang unik:

  • Intrusi salinitas air tanah akibat badai dan naiknya permukaan laut.
  • Penurunan produktivitas pertanian (contoh: 12% penurunan hasil panen padi setiap kenaikan 1 dS/m salinitas).
  • Gangguan mental dan sosial akibat kelangkaan air, dari kecemasan hingga kekerasan rumah tangga.

Tiga Studi Kasus: Fraserganj, Bedkashi, dan Con Dao

Fraserganj, India

Terletak di delta Sundarbans, wilayah ini mengalami:

  • Naiknya salinitas air tanah hingga memicu pertumbuhan alga beracun.
  • Peralihan mata pencaharian dari pertanian ke tambak air payau yang merusak lahan.
  • Proyeksi tahun 2051 menunjukkan lonjakan kebutuhan air dua kali lipat, sedangkan ketersediaan stagnan.

Dakshin Bedkashi, Bangladesh

  • Warga menghadapi banjir, siklon, kekeringan, dan intrusi salin secara reguler.
  • Perempuan menjadi korban paling rentan karena ketimpangan gender dalam distribusi air, nutrisi, dan hak sosial.
  • Air asin menyebabkan kulit kasar dan gelap, yang dalam budaya lokal berujung pada peningkatan biaya mahar pernikahan.

Con Dao, Vietnam

  • Menyediakan air dari 25 sumur bor dengan pasokan 3400 m³/hari.
  • Tingkat air tanah turun 1,19 meter dalam 6 tahun akibat eksploitasi berlebih.
  • Kebutuhan air domestik diprediksi naik tiga kali lipat pada 2030, sedangkan ketersediaan terus menurun.

Temuan Penting dari Studi Lapangan

Penelitian ini melakukan 14 diskusi kelompok (FGD) di Delta GBM. Temuan utama:

  • Salinitas air bukan hanya masalah lingkungan, tetapi pemicu stres psikologis jangka panjang.
  • Munculnya perubahan mata pencaharian, migrasi, konflik sosial, bahkan pembunuhan akibat konflik air.
  • Dua pemicu utama gangguan mental:
    1. Gagal panen dan kehilangan pekerjaan.
    2. Kesulitan akses air minum saat musim kering.

Sosiohidrologi sebagai Solusi Terpadu

Pendekatan sosiohidrologi terdiri dari dua bagian utama:

  1. Siklus Sosiohidrologi
    • Kebutuhan dan ketersediaan air (analisis anggaran air dan proyeksi).
    • Respons sosial-budaya (kearifan lokal, adaptasi pertanian, konsumsi air).
    • Tata kelola dan kebijakan (integrasi top-down dan bottom-up).
    • Kesiapsiagaan bencana (terutama siklon dan banjir).
    • Manajemen produktivitas lahan dan air (konservasi air & pencegahan intrusi salin).
  2. Faktor Normalisasi Makro
    • Ekosistem & layanan lingkungan
    • Regim iklim dan skala perubahan

Tujuan akhirnya adalah mencapai 6 dimensi ketahanan air:

  • Air domestik, ekonomi, kota, lingkungan, bencana, dan lintas batas.

Empat Tahapan Implementasi Sosiohidrologi

  1. Pengumpulan Informasi: Identifikasi pemangku kepentingan dan risiko.
  2. Analisis & Pengambilan Keputusan: Gunakan skenario kuantitatif & data warga.
  3. Implementasi Keputusan: Libatkan warga dalam eksekusi solusi.
  4. Monitoring & Evaluasi: Revisi metode berdasarkan umpan balik komunitas.

Model ini mendorong ko-desain dan ko-delivery antara ilmuwan, warga, dan pembuat kebijakan—bukan sekadar dari atas ke bawah, tapi juga “oleh dan untuk masyarakat.”

Tinjauan Kritis dan Relevansi Global

Artikel ini menyoroti perlunya model integratif untuk menjawab tantangan krisis air secara manusiawi dan ilmiah. Hal ini sangat relevan di negara-negara delta seperti Indonesia yang menghadapi ancaman serupa, seperti di Demak, Indramayu, atau pesisir Kalimantan.

Opini dan saran penulis:

  • Penelitian air jangan hanya fokus teknis, tetapi juga kesehatan mental dan dinamika gender.
  • Penanganan air butuh partisipasi lokal, bukan sekadar proyek teknokratik.
  • Socio-hydrology adalah pendekatan yang fleksibel, kolaboratif, dan berbasis realita sosial.

Kesimpulan

Sosiohidrologi bukan sekadar konsep, tapi pendekatan strategis untuk menghubungkan kebutuhan manusia dengan dinamika air secara berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan sains dan perspektif masyarakat, pendekatan ini menjadi solusi kunci menghadapi krisis air, ketimpangan sosial, dan perubahan iklim secara serentak.

Sumber : Kumar, P., Avtar, R., Dasgupta, R., Johnson, B. A., Mukherjee, A., Ahsan, M. N., Nguyen, D. C. H., Nguyen, H. Q., Shaw, R., & Mishra, B. K. (2020). Socio-hydrology: A key approach for adaptation to water scarcity and achieving human well-being in large riverine islands. Progress in Disaster Science, 8, 100134.

Selengkapnya
Pendekatan Sosiohidrologi Hadirkan Solusi Adaptif untuk Krisis Air di Pulau Sungai Asia

Perubahan Iklim

Merevolusi Infrastruktur Air Perkotaan di Era Perubahan Iklim: Tantangan, Studi Kasus, dan Strategi Adaptasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Infrastruktur air perkotaan (Urban Water Infrastructure/UWI) kini menjadi pusat perhatian dalam diskusi keberlanjutan kota dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). UWI meliputi jaringan pasokan air, pengolahan limbah, sistem drainase, bendungan, dan infrastruktur pendukung lainnya yang menopang kehidupan jutaan penduduk kota. Namun, perubahan iklim global telah menguji ketahanan sistem ini dengan menghadirkan tantangan baru: banjir ekstrem, kekeringan, kenaikan suhu, dan perubahan pola curah hujan. Paper Ahmad Ferdowsi dkk. (2024) memberikan tinjauan kritis terhadap dampak perubahan iklim pada UWI, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta strategi adaptasi yang relevan untuk masa depan kota berkelanjutan.

Infrastruktur Air Perkotaan: Fondasi SDGs dan Kehidupan Kota

UWI berperan vital dalam mewujudkan SDGs, khususnya SDG 6 (air bersih dan sanitasi), SDG 11 (kota dan permukiman berkelanjutan), dan SDG 13 (aksi iklim). Selain itu, UWI juga terkait erat dengan SDG 1 (pengentasan kemiskinan), SDG 2 (ketahanan pangan), SDG 3 (kesehatan), SDG 7 (energi bersih), hingga SDG 9 (infrastruktur industri). Infrastruktur ini tidak hanya menyediakan air minum dan sanitasi, tetapi juga mendukung pertanian urban, energi (hidroelektrik), dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan1.

Namun, banyak infrastruktur air dibangun puluhan tahun lalu tanpa mempertimbangkan variabilitas iklim masa depan. Akibatnya, sistem ini kini menghadapi risiko kegagalan yang tinggi, dengan biaya sosial dan ekonomi yang sangat besar jika terjadi bencana.

Dampak Perubahan Iklim pada Infrastruktur Air Perkotaan

1. Banjir Ekstrem dan Kekeringan

  • Banjir besar dan kekeringan menjadi ancaman utama UWI. Perubahan pola curah hujan dan intensitas hujan ekstrem meningkatkan risiko banjir bandang, meluapnya drainase, serta kegagalan sistem pengendali banjir di kota-kota besar.
  • Studi menunjukkan, 0,5–1% kapasitas penyimpanan bendungan hilang setiap tahun akibat sedimentasi yang diperparah oleh banjir dan erosi tanah. Di Australia, hingga 40% air di waduk bisa hilang setiap tahun karena evaporasi yang meningkat akibat suhu tinggi1.

2. Kenaikan Suhu dan Dampaknya

  • Kenaikan suhu 1,8–3,7°C hingga akhir abad ini diprediksi meningkatkan frekuensi gelombang panas, mempercepat penguapan air, dan memperburuk kualitas air.
  • Evaporasi menyebabkan air menjadi lebih asin dan menurunkan ketersediaan air bersih. Di banyak negara, 25% air yang digunakan di sektor pertanian, industri, dan domestik menguap setiap tahun1.

3. Kualitas Air dan Kesehatan

  • Peningkatan suhu mempercepat degradasi biologis dan kimiawi air, mempercepat peluruhan klorin, dan meningkatkan risiko kontaminasi.
  • Banjir ekstrem dapat menyebabkan meluapnya limbah domestik dan industri ke sungai, mengancam kesehatan masyarakat dan ekosistem.

4. Kerusakan Infrastruktur

  • Jaringan pipa dan saluran bawah tanah rentan terhadap penurunan tanah akibat penurunan muka air tanah dan konsolidasi tanah. Kota-kota seperti Teheran dan Jakarta sudah menghadapi masalah ini, dengan risiko kerusakan jaringan pipa air bersih dan limbah1.
  • Jembatan dan bendungan yang dibangun sebelum era kesadaran perubahan iklim kini menghadapi risiko kegagalan akibat frekuensi banjir dan erosi yang meningkat. Di AS, 52% kegagalan jembatan disebabkan oleh kegagalan hidrolik (banjir dan scouring)1.

5. Studi Kasus: Sistem Drainase dan Pengelolaan Banjir

  • Studi di Fredrikstad, Norwegia, menunjukkan peningkatan jumlah node drainase yang tergenang akibat curah hujan ekstrem.
  • Di beberapa kota di Asia, sistem drainase lama gagal mengantisipasi banjir akibat perubahan pola hujan dan urbanisasi yang memperluas permukaan kedap air.
  • Kenaikan muka laut memperparah risiko banjir rob di kota-kota pesisir seperti Jakarta, Bangkok, dan Ho Chi Minh City.

Strategi Adaptasi: Dari Solusi Fisik hingga Pendekatan Berbasis Alam

1. Adaptasi pada Bendungan dan Waduk

  • Optimalisasi operasi waduk dengan model prediksi berbasis AI dan optimasi real-time untuk mengantisipasi banjir dan kekeringan.
  • Peningkatan kapasitas spillway, pembangunan check dam, dan penerapan sistem waduk berantai (cascade reservoirs) untuk mengurangi risiko banjir.
  • Pengendalian sedimentasi dengan vegetasi, check dam, dan flushing.
  • Evaporasi dapat ditekan hingga 95% dengan teknologi penutup permukaan (shade balls, solar PV cover), meski harus memperhatikan dampak lingkungan lanjutan.

2. Adaptasi pada Sistem Pengolahan Air dan Limbah

  • Peningkatan kapasitas dan fleksibilitas instalasi pengolahan air dan limbah untuk menghadapi fluktuasi debit akibat banjir dan kekeringan.
  • Penggunaan teknologi pengolahan canggih (misal, membran, advanced oxidation) untuk menjaga kualitas air di tengah perubahan suhu dan kontaminasi.
  • Integrasi pengelolaan energi-air: efisiensi energi di instalasi pengolahan air dan limbah menjadi krusial karena kebutuhan energi meningkat saat suhu naik.

3. Adaptasi pada Sistem Distribusi dan Drainase

  • Pengurangan kebocoran pipa dan sistem deteksi dini kerusakan jaringan.
  • Penggunaan material tahan korosi dan perubahan suhu pada pipa dan sambungan.
  • Penerapan sistem drainase berkelanjutan (Sustainable Urban Drainage System/SUDS), seperti permeable pavement, green roofs, dan bio-retention.
  • Pembangunan early warning system dan real-time flood forecasting dengan integrasi data cuaca, hidrologi, dan IoT.

4. Adaptasi pada Infrastruktur Pelindung (Levee, Jembatan, Culvert)

  • Rekayasa ulang desain jembatan, culvert, dan levee dengan mempertimbangkan proyeksi banjir masa depan, menggunakan material dan desain yang adaptif.
  • Penerapan vegetasi alami di tanggul dan tepi sungai untuk mengurangi erosi dan memperkuat struktur.
  • Peningkatan inspeksi dan pemeliharaan berkala, serta pembaruan standar desain sesuai proyeksi iklim terbaru.

5. Solusi Berbasis Alam dan Pendekatan Non-Struktural

  • Restorasi lahan basah, mangrove, dan riparian buffer untuk mengurangi banjir dan memperbaiki kualitas air.
  • Pengelolaan DAS terpadu dan reforestasi untuk mengurangi erosi dan sedimentasi waduk.
  • Edukasi publik, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pembaruan regulasi menjadi fondasi adaptasi non-struktural.

Angka-Angka Kunci dan Studi Banding

  • Evaporasi waduk di Australia mencapai 40% per tahun; penurunan kapasitas bendungan global 0,5–1% per tahun akibat sedimentasi.
  • Biaya pemasangan teknologi penutup evaporasi bisa ditekan dengan penggunaan solar PV yang juga menghasilkan energi.
  • Studi di Beijing menunjukkan perangkat penghemat air rumah tangga mampu menurunkan konsumsi air hingga 15% di tengah krisis iklim.
  • Di beberapa kota Eropa, green infrastructure mampu menurunkan puncak debit banjir hingga 30% dan meningkatkan infiltrasi air tanah.

Keterkaitan dengan Tren Global dan Industri

  • Adaptasi UWI menjadi agenda utama kota-kota megapolitan di dunia, termasuk New York, London, Tokyo, dan Jakarta.
  • Integrasi nature-based solutions, digital twin, dan smart water management menjadi tren baru dalam perencanaan kota tahan iklim.
  • Kolaborasi lintas sektor (air, energi, perumahan, transportasi) dan lintas aktor (pemerintah, swasta, masyarakat) mutlak diperlukan.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Paper Ferdowsi dkk.

  • Memberikan tinjauan komprehensif dan sistematis terhadap seluruh komponen UWI serta keterkaitannya dengan SDGs.
  • Menyajikan strategi adaptasi berbasis bukti, baik fisik, teknologi, maupun berbasis alam.
  • Mengintegrasikan pelajaran dari berbagai studi kasus global, sehingga relevan untuk berbagai konteks kota.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Banyak rekomendasi masih bersifat umum; studi kasus spesifik di negara berkembang masih minim.
  • Belum membahas secara rinci aspek pembiayaan dan hambatan implementasi di kota dengan kapasitas fiskal terbatas.
  • Perlu pengembangan lebih lanjut pada integrasi data spasial, pemodelan prediktif, dan sistem monitoring berbasis IoT.

Rekomendasi Praktis

  • Kota-kota di Indonesia dan Asia Tenggara perlu segera mengaudit ketahanan UWI mereka terhadap proyeksi iklim 2050.
  • Pemerintah daerah harus memperbarui standar desain infrastruktur air dan drainase dengan memasukkan parameter perubahan iklim.
  • Investasi pada solusi berbasis alam dan digitalisasi sistem monitoring harus diprioritaskan.
  • Edukasi dan pelibatan masyarakat sangat penting untuk membangun budaya adaptasi dan kesiapsiagaan.

Penutup: Menuju Kota Tangguh Iklim dengan Infrastruktur Air Adaptif

Perubahan iklim menuntut transformasi mendasar pada infrastruktur air perkotaan. Kota-kota di seluruh dunia harus bergerak dari pendekatan reaktif ke proaktif—mengintegrasikan prediksi iklim, inovasi teknologi, solusi berbasis alam, dan tata kelola kolaboratif dalam perencanaan dan pengelolaan UWI. Paper Ferdowsi dkk. menegaskan bahwa masa depan kota berkelanjutan hanya bisa dicapai jika infrastruktur air mampu beradaptasi, tangguh, dan inklusif menghadapi tantangan iklim yang kian ekstrem.

Sumber asli:
Ahmad Ferdowsi, Farzad Piadeh, Kourosh Behzadian, Sayed-Farhad Mousavi, Mohammad Ehteram. (2024). Urban water infrastructure: A critical review on climate change impacts and adaptation strategies. Urban Climate, 58, 102132.

Selengkapnya
Merevolusi Infrastruktur Air Perkotaan di Era Perubahan Iklim: Tantangan, Studi Kasus, dan Strategi Adaptasi

Sosiohidrologi

Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Community-Based Monitoring (CBM) atau pemantauan berbasis komunitas, telah menjadi strategi yang berkembang pesat dalam upaya pelestarian lingkungan. Artikel ilmiah "Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists" karya Tyler Carlson dan Alice Cohen menyoroti hubungan antara data lingkungan yang dikumpulkan oleh warga dengan penggunaan data tersebut dalam kebijakan pemerintah, khususnya dalam konteks sumber daya air di Kanada.

Mengapa CBM Diperlukan dan Bagaimana Itu Bekerja?

CBM memungkinkan masyarakat lokal baik ilmuwan warga maupun relawan untuk mengukur kualitas air melalui parameter seperti pH, suhu, oksigen terlarut, dan konduktivitas. Pendekatan ini bukan hanya menambah cakupan pemantauan air yang tidak mampu dijangkau oleh pemerintah, tetapi juga meningkatkan literasi ilmiah masyarakat dan keterlibatan publik terhadap isu lingkungan lokal.

Fakta penting:

  • Rata-rata usia program CBM adalah 8,9 tahun, dengan rentang antara kurang dari 1 tahun hingga 47 tahun.
  • Sejak tahun 2000 hingga 2016, jumlah program CBM naik empat kali lipat di Kanada.
  • 78% responden mengikuti protokol pemantauan standar, menunjukkan perbaikan integritas data.

Masalah Utama: Data Tak Diterima Pemerintah

Meski sebagian besar program CBM mengikuti standar ilmiah, hanya 46% responden menyatakan bahwa data mereka digunakan dalam kebijakan pemerintah. Bahkan, 30% menyatakan data mereka diabaikan, dan 24% tidak tahu apakah datanya dimanfaatkan.

Studi kasus menarik:
Program yang menjalin kemitraan dengan pemerintah dan jaringan CBM lainnya memiliki tingkat efektivitas tertinggi (74%) dalam mencapai tujuan awal mereka. Sebaliknya, hanya 29% dari program tanpa kemitraan yang merasa program mereka efektif.

Motivasi Warga Beragam, Tapi Tetap Konsisten

Dari hasil survei terhadap 121 organisasi, lima alasan utama warga melakukan CBM adalah:

  1. Kekhawatiran terhadap ekosistem lokal (52%)
  2. Edukasi & literasi lingkungan (27%)
  3. Kekosongan data dari pemerintah (22%)
  4. Mempengaruhi kebijakan (20%)
  5. Riset jangka panjang (15%)

Ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan bisa berbeda, kebutuhan akan data lingkungan dari warga sangat penting.

Studi Kasus Implementasi di Lapangan

CBM digunakan oleh warga untuk berbagai tujuan lokal seperti:

  • Dampak pertambangan (8 kasus)
  • Pertanian & urbanisasi (14 kasus)
  • Banjir, logging, rekreasi, dan PLTA (10+ kasus)

Namun, keberhasilan CBM dalam memengaruhi kebijakan sangat bergantung pada tiga faktor:

  1. Usia program: Program >15 tahun memiliki tingkat adopsi kebijakan 58%.
  2. Jenis protokol: Protokol pemerintah daerah memiliki tingkat adopsi 50%, dibandingkan protokol federal hanya 25%.
  3. Kemitraan: Program dengan kolaborasi ganda lebih sukses dalam menciptakan perubahan.

Antara Data Berkualitas dan Keterlibatan Warga

Ironisnya, banyak ilmuwan masih meragukan kredibilitas data CBM. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa kesalahan data warga setara dengan ilmuwan profesional, terutama dalam parameter sederhana seperti suhu dan pH. Bahkan, ketika komunitas diberi pelatihan dan alat ukur memadai, mereka dapat menghasilkan data setara kualitas laboratorium.

Masalah utama bukan kualitas data, melainkan akses dan komunikasi antar lembaga. Banyak pemerintah tidak transparan soal apakah dan bagaimana mereka memakai data CBM. Kurangnya umpan balik ini menyebabkan kebingungan dan demoralisasi komunitas.

Menuju Kolaborasi dan Kebijakan yang Lebih Inklusif

Para penulis menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak melihat CBM sebagai alternatif murah dari riset ilmiah resmi. CBM harus dianggap sebagai mitra strategis dalam pengumpulan data jangka panjang, terutama mengingat tantangan fiskal dan geografis yang dihadapi negara seperti Kanada.

Rekomendasi dari penelitian ini:

  • Pemerintah perlu memberikan pendanaan jangka panjang dan pelatihan teknis kepada program CBM.
  • Standarisasi protokol harus fleksibel, agar tidak menghilangkan pendekatan lokal dan kearifan lokal.
  • Harus ada mekanisme umpan balik agar warga tahu bagaimana data mereka digunakan.

Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Meskipun studi ini dilakukan di Kanada, pelajarannya sangat relevan bagi negara-negara lain seperti Indonesia, yang memiliki banyak komunitas lokal yang peduli terhadap sumber daya air namun kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Untuk menjadikan CBM sebagai alat transformasi, diperlukan:

  • Integrasi data CBM ke sistem informasi resmi.
  • Peningkatan kapasitas digital dan teknologi di komunitas lokal.
  • Pendekatan multi-aktor: melibatkan LSM, pemerintah, industri, dan universitas.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan dan potensi CBM sebagai jembatan antara warga dan pembuat kebijakan. Dengan menjembatani kesenjangan antara pengetahuan lokal dan keputusan formal, CBM dapat menjadi pilar utama dalam pengelolaan sumber daya air yang lebih demokratis dan berkelanjutan.

Sumber: Carlson, T., & Cohen, A. (2018). Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists. Journal of Environmental Management, 219, 168–177. DOI: 10.1016/j.jenvman.2018.04.077

Selengkapnya
Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Sumber Daya Air

Model Dinamika Sistem untuk Tata Kelola Air Berkelanjutan: Studi Nexus Air-Pangan-Energi di Khuzestan, Iran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Krisis air, pangan, dan energi kini menjadi tantangan utama pembangunan berkelanjutan, terutama di kawasan yang mengalami pertumbuhan penduduk pesat dan tekanan ekonomi tinggi. Paper “System dynamics model of sustainable water resources management using the Nexus Water-Food-Energy approach” (Keyhanpour, Musavi Jahromi, Ebrahimi, 2021) menawarkan pendekatan baru berbasis model dinamika sistem (system dynamics/SD) untuk mengelola keterkaitan kompleks antara air, pangan, dan energi (Nexus WFE). Studi ini berfokus pada Provinsi Khuzestan, Iran—wilayah strategis yang kaya sumber daya namun rawan krisis air akibat tekanan pertanian, industri, dan pertumbuhan ekonomi.

Resensi ini akan membedah konsep, metodologi, hasil simulasi, serta relevansi kebijakan dari studi tersebut, sekaligus mengaitkannya dengan tren global dan praktik tata kelola sumber daya lintas sektor.

Latar Belakang: Mengapa Pendekatan Nexus Penting?

  • Pertumbuhan penduduk dunia menambah 80 juta jiwa per tahun, konsumsi air global naik 1% per tahun.
  • Jika tren ini berlanjut tanpa kebijakan tepat, hanya 60% kebutuhan air dunia yang akan terpenuhi pada 2030.
  • Untuk memenuhi kebutuhan pangan 2050, produksi pertanian harus naik 60%; konsumsi energi naik 50% hingga 2035.
  • Di Asia, persaingan antar sektor atas sumber daya air, pangan, dan energi kian tajam, memicu risiko krisis multidimensi.

Nexus WFE menekankan pentingnya melihat keterkaitan dan dampak lintas sektor—misal, irigasi pertanian menyedot air dan energi, sementara industri energi juga butuh air dalam jumlah besar. Pendekatan ini menuntut kebijakan lintas sektor, bukan lagi parsial.

Studi Kasus: Khuzestan, Iran—“Jantung Air dan Energi” yang Terancam

Profil Wilayah

  • Khuzestan mencakup bagian dari tiga DAS besar: Karkheh, Grand Karun, dan Zohreh-Jarahi.
  • Menyimpan 17% area Karkheh, 43% Grand Karun, dan 61% Zohreh-Jarahi.
  • 80% minyak dan 16% gas Iran berasal dari Khuzestan, menjadikan wilayah ini pusat ekonomi energi nasional.
  • Memiliki 9 bendungan besar, sungai permanen, dan potensi pertanian tinggi (tiga kali panen/tahun di banyak area).
  • Namun, tekanan pada air permukaan dan tanah meningkat akibat ekspansi pertanian dan industri.

Metodologi: Model Dinamika Sistem Berbasis Nexus WFE

Konsep dan Struktur Model

  • Model dibangun dalam tiga subsistem: air, pangan, dan energi, dengan hubungan sebab-akibat dan umpan balik (feedback loop).
  • Data diambil dari lembaga resmi Iran (2011–2016), simulasi dilakukan untuk horizon 20 tahun.
  • Validasi model menggunakan Root Mean Square Percentage Error (RMSPE) untuk membandingkan hasil simulasi dan data historis.

Variabel Kunci

  • Air: curah hujan, air permukaan, air tanah, konsumsi sektor pertanian, industri, domestik, dan energi.
  • Pangan: produksi pertanian, perikanan, peternakan, konsumsi pangan, efisiensi irigasi, pola tanam.
  • Energi: produksi dan konsumsi energi (fosil, hidro, lainnya), kebutuhan air untuk pembangkit dan industri, polusi air dari sektor energi.

Studi Sensitivitas

  • Analisis sensitivitas (Monte Carlo) untuk mengidentifikasi leverage point: pola tanam, teknologi irigasi, durasi pengembangan pertanian.
  • Hasil: perubahan pada variabel-variabel ini sangat memengaruhi keamanan air, pangan, dan energi.

Hasil Simulasi: Proyeksi dan Evaluasi Kebijakan

Validasi Model

  • RMSPE untuk variabel utama (curah hujan, produksi pangan, konsumsi air pertanian, energi fosil) di bawah 5%, menunjukkan model cukup akurat.
  • Contoh: produksi pangan simulasi 15,9 juta ton (2016), data aktual 15,2 juta ton.

Simulasi Dasar (Tanpa Intervensi)

  • Tren penurunan air tanah dan air permukaan selama 20 tahun.
  • Kenaikan permintaan air dan energi, sementara keamanan air dan pangan menurun jika tidak ada kebijakan baru.

Analisis Kebijakan: Empat Skenario Strategis

1. Manajemen Suplai Air

  • Mengurangi pembangunan pembangkit hidro, meningkatkan air terbarukan di sektor urban, energi, dan industri.
  • Hasil: Kenaikan ketersediaan air, tetapi dampak terbatas jika permintaan tetap tinggi.

2. Manajemen Permintaan Air

  • Fokus pada efisiensi irigasi dan perubahan pola tanam.
  • Pengembangan teknologi irigasi (dari 30% ke 46% lahan irigasi bertekanan) bisa menghemat 16% kebutuhan irigasi.
  • Modifikasi pola tanam (misal, mengurangi padi, meningkatkan tanaman hemat air) potensi efisiensi air hingga 10%.

3. Manajemen Sumber Pangan

  • Mengurangi kehilangan pangan pra dan pasca panen (target penurunan dari 12% jadi 6%).
  • Modifikasi pola konsumsi dan peningkatan produktivitas pertanian (target kenaikan hasil 5%).
  • Hasil: Ketahanan pangan meningkat, tekanan pada air dan energi menurun.

4. Manajemen Permintaan Energi

  • Mengurangi konsumsi air dan energi di industri minyak, pembangkit, dan petrokimia (target efisiensi 5–10%).
  • Mengurangi polusi air dari industri hingga 15%.
  • Hasil: Kebutuhan air untuk energi turun, kualitas air membaik, konsumsi energi lebih efisien.

Kombinasi Kebijakan Terbaik

  • Simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan manajemen permintaan air dan pangan paling efektif meningkatkan keamanan air, pangan, dan energi.
  • Proyeksi 20 tahun: keamanan air dan pangan meningkat signifikan dibanding skenario business as usual.

Angka-Angka Kunci dari Studi

  • Efisiensi irigasi naik 16% → kebutuhan air irigasi turun drastis.
  • Perbaikan pola tanam 10% → konsumsi air sektor pertanian menurun.
  • Penurunan kehilangan pangan 6% → suplai pangan nasional naik tanpa perluasan lahan.
  • Peningkatan hasil pertanian 5% → suplai pangan naik, tekanan air dan energi turun.
  • Efisiensi energi dan pengurangan polusi industri 5–15% → kualitas air dan efisiensi energi membaik.

Studi Kasus: Efisiensi Irigasi dan Pola Tanam di Khuzestan

  • Wheat (gandum): irigasi permukaan efisiensi 40% (5.100 m³/ha); irigasi bertekanan efisiensi 65% (3.825 m³/ha).
  • Tomat: irigasi permukaan 45% (6.000 m³/ha); irigasi bertekanan 85% (3.600 m³/ha).
  • Dates (kurma): irigasi permukaan 48% (17.500 m³/ha); irigasi bertekanan 85% (11.025 m³/ha).
  • Target: konversi ke irigasi bertekanan dan pergeseran ke tanaman hemat air secara signifikan mengurangi kebutuhan air total.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Model

  • Integratif: Mampu mensimulasikan dampak lintas sektor secara dinamis dan interaktif.
  • Berbasis data dan validasi: Model diverifikasi dengan data historis dan masukan ahli.
  • Kebijakan berbasis bukti: Hasil simulasi memberikan dasar kuat untuk perumusan kebijakan lintas sektor.

Keterbatasan

  • Model belum memasukkan variabel air virtual, daur ulang air limbah, dan dampak perubahan iklim secara rinci.
  • Dinamika sosial-politik dan perilaku petani/industri belum dimodelkan secara eksplisit.
  • Studi berbasis pada satu provinsi; aplikasi ke wilayah lain perlu adaptasi variabel lokal.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi serupa di China, Maroko, dan Spanyol juga menunjukkan bahwa efisiensi irigasi dan perubahan pola tanam adalah leverage point utama penghematan air dan energi.
  • Namun, keberhasilan implementasi sangat tergantung pada insentif ekonomi, edukasi petani, dan dukungan kebijakan lintas sektor.

Implikasi untuk Kebijakan dan Industri

  • Pemerintah: Perlu mengintegrasikan kebijakan air, pangan, dan energi secara lintas kementerian; insentif untuk efisiensi irigasi dan pola tanam adaptif sangat krusial.
  • Industri: Sektor energi dan pertanian harus berinvestasi dalam teknologi hemat air dan energi serta pengolahan limbah.
  • Masyarakat: Edukasi publik tentang konsumsi pangan dan air, serta partisipasi dalam program efisiensi, menjadi kunci keberhasilan.

Keterkaitan dengan Tren Global

Pendekatan Nexus WFE kini diadopsi secara luas oleh lembaga internasional (FAO, UNESCAP, World Economic Forum) untuk mendukung SDG 2 (Zero Hunger), SDG 6 (Clean Water), dan SDG 7 (Affordable Energy). Model seperti yang dikembangkan di Khuzestan dapat direplikasi di wilayah lain yang menghadapi tekanan sumber daya serupa, termasuk Indonesia.

Rekomendasi dan Pengembangan Lanjutan

  • Tambahkan variabel air virtual, daur ulang air limbah, dan dampak perubahan iklim pada model.
  • Kembangkan skenario kebijakan berbasis insentif ekonomi dan perubahan perilaku.
  • Lakukan studi komparatif di berbagai provinsi atau negara untuk validasi eksternal.

Penutup: Menuju Tata Kelola Sumber Daya Terintegrasi

Studi Keyhanpour dkk. menunjukkan bahwa solusi krisis air, pangan, dan energi hanya bisa dicapai dengan pendekatan lintas sektor berbasis model dinamis. Efisiensi irigasi, perubahan pola tanam, pengurangan kehilangan pangan, dan efisiensi energi adalah kunci keberlanjutan. Dengan kebijakan terintegrasi dan dukungan teknologi, wilayah kaya sumber daya seperti Khuzestan dapat menjadi model tata kelola Nexus WFE yang sukses untuk dunia.

Sumber asli:
Keyhanpour, Mohammad Javad; Musavi Jahromi, Seyed Habib; Ebrahimi, Hossein. (2021). System dynamics model of sustainable water resources management using the Nexus Water-Food-Energy approach. Ain Shams Engineering Journal, 12(1), 1267–1281.

Selengkapnya
Model Dinamika Sistem untuk Tata Kelola Air Berkelanjutan: Studi Nexus Air-Pangan-Energi di Khuzestan, Iran

Industri Kontruksi

Menjembatani Kesenjangan Kompetensi: Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang penuh tantangan, kompleksitas, dan ketidakpastian. Perubahan regulasi, tuntutan globalisasi, serta kebutuhan akan inovasi membuat industri ini membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan adaptif, kreatif, dan berwawasan luas. Namun, apakah lulusan pendidikan manajemen konstruksi benar-benar siap menghadapi tuntutan dunia kerja? Paper “Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP” oleh H. S. M. Hasan dkk. (2011) mengupas secara sistematis kesenjangan antara kompetensi lulusan dan harapan industri, khususnya di Malaysia, dengan menyoroti hasil survei dan analisis mendalam terhadap pelaku industri dan lulusan.

Artikel ini merangkum temuan utama paper, menyajikan data dan studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren pendidikan dan industri konstruksi global.

Latar Belakang: Kompetensi yang Dibutuhkan Industri Konstruksi

Industri konstruksi menuntut lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu bekerja lintas disiplin, adaptif terhadap perubahan, dan terampil dalam mengelola ketidakpastian. Lulusan manajemen konstruksi diharapkan dapat berkontribusi di berbagai sektor—mulai dari kontraktor, konsultan, pengembang, hingga lembaga publik dan swasta. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan adanya gap antara teori yang dipelajari di kampus dan praktik di dunia kerja.

Metodologi: Survei dan Analisis Persepsi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei pos kepada 420 responden di Klang Valley, Malaysia, terdiri dari 210 karyawan dan 210 pemberi kerja di sektor konstruksi. Tingkat respons mencapai 71,4% (300 kuesioner kembali; 200 karyawan dan 100 pemberi kerja). Survei ini dirancang untuk menggali persepsi tentang:

  • Praktik inovasi dan indikator kinerja utama di industri konstruksi Malaysia,
  • Proses transfer pengetahuan dari pendidikan ke industri,
  • Hubungan dan pendanaan antara institusi pendidikan dan industri,
  • Profil demografi dan posisi responden.

Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan tabulasi frekuensi untuk menangkap pola persepsi dan pengalaman.

Temuan Utama: Kesenjangan Kompetensi dan Persepsi Industri

1. Spesialisasi Berlebihan dan Kurangnya Kolaborasi

Hasil survei menunjukkan bahwa industri terlalu menekankan spesialisasi dalam organisasi, sehingga terjadi kekurangan pertukaran ide antar departemen. Pegawai didorong untuk fokus pada bidang tertentu, yang menyebabkan keterampilan mereka hanya berkembang di area terbatas. Akibatnya, inovasi dan kolaborasi lintas bidang menjadi terhambat.

2. Perbedaan Harapan antara Industri dan Lulusan

Industri mengharapkan lulusan mampu langsung memenuhi target spesifik yang seringkali tidak sesuai dengan kompetensi yang diperoleh dari pendidikan. Sementara itu, lulusan merasa bahwa nilai suatu mata kuliah atau pelatihan sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan nyata di tempat kerja. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kedua belah pihak.

3. Kekurangan Keterampilan Interpersonal dan Inovasi

Banyak pekerja baru dinilai kurang memiliki keterampilan interpersonal dan enggan menerapkan inovasi. Industri juga mengeluhkan minimnya budaya kritik konstruktif terhadap proyek yang gagal, sehingga pembelajaran dari kegagalan kurang optimal.

4. Perspektif Karyawan: Kurangnya Kesempatan Berinovasi

Lulusan sering kali tidak diberi ruang untuk berinovasi di tempat kerja, sehingga mereka cenderung berpindah ke perusahaan konsultan manajemen yang lebih terbuka terhadap ide baru. Universitas dianggap bertugas memperkenalkan pengetahuan baru dan melatih pola pikir kritis, sementara industri lebih fokus pada penerapan praktis.

5. Transfer Pengetahuan Butuh Waktu

Meskipun sebagian besar pengetahuan dan inovasi yang diperoleh di kampus dapat diterapkan di industri, lulusan membutuhkan waktu dan posisi yang cukup senior untuk benar-benar mengimplementasikannya.

Studi Kasus: Survei di Klang Valley, Malaysia

Survei dilakukan di kawasan metropolitan Klang Valley, pusat pertumbuhan ekonomi dan konstruksi di Malaysia. Dari 420 kuesioner yang dikirim, 300 kembali dan dianalisis. Temuan utama dari survei ini antara lain:

  • 71,4% tingkat respons menunjukkan tingginya minat dan relevansi isu ini di kalangan pelaku industri.
  • Mayoritas pemberi kerja menyoroti kekurangan kolaborasi lintas departemen dan kurangnya keterampilan interpersonal sebagai hambatan utama.
  • Karyawan muda merasa kurang diberi peluang untuk berinovasi dan mengembangkan kemampuan manajerial.
  • Hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program formal untuk transfer pengetahuan atau pelatihan lintas bidang.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Paper

  • Menggunakan data primer yang representatif dari kawasan industri utama di Malaysia.
  • Menyoroti perbedaan persepsi antara tiga kelompok kunci: industri, akademisi, dan lulusan.
  • Memberikan rekomendasi praktis untuk memperkuat kolaborasi antara universitas dan industri.

Kelemahan dan Tantangan

  • Survei terbatas pada satu wilayah (Klang Valley), sehingga generalisasi ke seluruh Malaysia atau negara lain perlu kehati-hatian.
  • Tidak membedakan antara sektor konstruksi bangunan dan infrastruktur, padahal kebutuhan kompetensi bisa berbeda.
  • Analisis masih bersifat deskriptif; penelitian lanjutan dengan pendekatan kualitatif atau studi kasus mendalam akan memperkaya pemahaman.

Rekomendasi: Menutup Kesenjangan Kompetensi

Berdasarkan temuan, paper ini merekomendasikan beberapa langkah strategis:

  • Mendorong mobilitas internal: Lulusan sebaiknya diberi kesempatan rotasi antar departemen untuk memperluas wawasan dan keterampilan.
  • Perubahan budaya organisasi: Industri perlu lebih berinvestasi dalam pengembangan SDM dan mendorong kolaborasi lintas disiplin.
  • Kolaborasi kurikulum: Universitas dan industri harus bersama-sama merancang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan nyata, termasuk studi kasus dan magang.
  • Fokus pada efektivitas, bukan hanya efisiensi: Industri perlu mengutamakan pembelajaran dan inovasi, bukan sekadar target jangka pendek.
  • Peningkatan forum dan seminar internal: Organisasi didorong untuk mengadakan diskusi rutin berbagi praktik terbaik dan pembelajaran dari kegagalan.

Perbandingan dengan Tren Global

Kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri bukan hanya masalah di Malaysia. Studi di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa lulusan teknik dan manajemen konstruksi sering kali membutuhkan pelatihan tambahan, terutama dalam soft skills, manajemen proyek, dan adaptasi teknologi baru. Negara-negara maju mulai mengadopsi model kolaborasi tripartit antara universitas, industri, dan asosiasi profesi untuk memperkuat link and match.

Implikasi untuk Industri Konstruksi dan Pendidikan Tinggi

  • Industri konstruksi perlu lebih terbuka pada inovasi, pembelajaran lintas disiplin, dan pengembangan SDM berbasis kompetensi.
  • Pendidikan tinggi harus responsif terhadap perubahan kebutuhan industri, memperbanyak studi kasus, magang, dan kolaborasi riset terapan.
  • Pemerintah dan asosiasi profesi dapat berperan sebagai fasilitator kolaborasi, penyusun standar kompetensi, dan pemberi insentif untuk program pelatihan bersama.

Penutup: Menuju Sinergi Pendidikan dan Industri

Paper Hasan dkk. menegaskan bahwa keberhasilan proyek konstruksi sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM yang mampu menjembatani teori dan praktik. Kesenjangan antara pendidikan dan industri harus diatasi melalui kolaborasi, inovasi kurikulum, dan perubahan budaya organisasi. Dengan langkah strategis dan sinergi lintas sektor, industri konstruksi dapat menghasilkan tenaga kerja yang bukan hanya kompeten, tapi juga siap menghadapi tantangan masa depan.

Sumber asli:
H. S. M. Hasan, H. Ahamad, M. R. Mohamed. (2011). Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP. Procedia Engineering, 20, 291–297.

Selengkapnya
Menjembatani Kesenjangan Kompetensi: Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP

Sosiohidrologi

Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pendahuluan

Dalam dunia yang terus menghadapi tekanan perubahan iklim, urbanisasi, dan degradasi lingkungan, pemantauan hidrologi menjadi fondasi penting untuk memastikan pengelolaan air yang berkelanjutan. Sayangnya, biaya tinggi dan keterbatasan jaringan pemantauan membuat negara-negara berpenghasilan rendah sulit memperoleh data yang memadai. Artikel ilmiah dari Njue et al. (2019) mengusulkan solusi revolusioner: citizen science, yakni keterlibatan masyarakat umum dalam pengumpulan dan analisis data ilmiah, sebagai alternatif yang murah, partisipatif, dan efektif.

Mengapa Citizen Science Relevan untuk Hidrologi?

Pemantauan hidrologi konvensional mahal, memerlukan sensor otomatis, tenaga ahli, dan infrastruktur kompleks. Namun:

  • Banyak wilayah belum dipantau atau memiliki data hidrologi yang tidak memadai.
  • Peristiwa ekstrem seperti banjir atau kekeringan sering terlewat.
  • Negara-negara berpendapatan rendah seperti Kenya, Ethiopia, dan Tanzania mengalami kesenjangan data.

Citizen science menjembatani kesenjangan ini dengan:

  • Mengurangi biaya melalui pengumpulan data oleh sukarelawan.
  • Memperluas jangkauan spasial dan frekuensi pengukuran.
  • Meningkatkan literasi lingkungan masyarakat.

Temuan Kunci dan Angka-Angka dari Studi

  • Review dilakukan terhadap 71 studi dari tahun 2001 hingga 2018.
  • Sekitar 63% proyek citizen science fokus pada kualitas air, meski data tinggi muka air lebih mudah dikumpulkan.
  • 45% proyek berlangsung di Amerika Utara, 20% di Eropa, dan hanya 10% di Afrika serta 9% di Asia—menunjukkan adanya kesenjangan adopsi global.
  • Sebanyak 73% proyek bersifat "contributory", artinya masyarakat hanya berperan dalam pengumpulan data.

Studi Kasus Nyata: Teknologi, Data, dan Partisipasi

1. Kenya – Sondu Catchment

  • Digunakan alat murah seperti tampon detektor deterjen, turbidity tube, dan pengukuran nitrat dengan strip warna.
  • Data dikumpulkan dan dilaporkan melalui SMS oleh warga.
  • Tingkat akurasi pengukuran cukup tinggi dan komparabel dengan sensor otomatis.

2. CoCoRaHS (AS dan Kanada)

  • Jaringan pemantauan curah hujan oleh warga sejak 1998.
  • Lebih dari 20.000 partisipan menghasilkan data berkualitas tinggi.
  • Data digunakan oleh NOAA dan badan pemerintah untuk validasi radar dan peringatan dini.

3. CrowdHydrology (AS)

  • Warga mengirim pembacaan tinggi air melalui pesan teks.
  • Data dikalibrasi dengan sensor tekanan—hasilnya sangat akurat.

4. NetAtmo dan IoT

  • Sensor cuaca pribadi warga tersambung otomatis ke platform daring.
  • Memberikan data suhu, tekanan udara, kelembaban, curah hujan—sangat membantu dalam pemodelan hidrologi perkotaan.

Keunggulan dan Tantangan Citizen Science

Keunggulan:

  • Biaya rendah: proyek dapat dimulai dengan peralatan sederhana.
  • Skalabilitas tinggi: dari lokal hingga global.
  • Kualitas data baik, terutama jika warga mendapat pelatihan dan protokol jelas.
  • Data dapat diunggah secara real-time melalui aplikasi smartphone, SMS, atau web.

Tantangan:

  • Kekhawatiran akan kualitas dan validitas data dari warga biasa.
  • Rendahnya adopsi di negara berkembang karena kurangnya pelatihan, dukungan, dan infrastruktur.
  • Keterbatasan dalam desain partisipatif—mayoritas proyek masih bersifat top-down.

Aplikasi di Media Sosial dan Teknologi Terbuka

Penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial seperti YouTube, Twitter, dan Flickr menjadi sumber data baru:

  • Video banjir, foto aliran air, atau laporan warga secara tidak langsung berkontribusi pada pemodelan banjir dan pemetaan kejadian ekstrem.
  • Studi di Prancis dan Argentina menunjukkan bahwa video warga dapat digunakan untuk mengestimasi debit dan kecepatan aliran.

Rekomendasi untuk Masa Depan

Untuk Peneliti dan Akademisi:

  • Gunakan kombinasi metode tradisional dan partisipatif.
  • Kembangkan aplikasi yang mudah digunakan dan mampu memberi umpan balik otomatis.
  • Bangun proyek co-created agar warga juga terlibat dalam desain dan interpretasi hasil.

Untuk Pemerintah dan Lembaga Lingkungan:

  • Buat kebijakan yang mendukung integrasi data warga ke dalam sistem nasional.
  • Berikan insentif atau sertifikasi kepada warga yang berpartisipasi.

Untuk Platform Pembelajaran dan LSM:

  • Gunakan platform digital untuk pelatihan warga, seperti video daring, gamifikasi, dan aplikasi instruksional.
  • Promosikan konsep citizen scientist sebagai profesi masa depan.

Kesimpulan: Masa Depan Hidrologi Bersama Masyarakat

Artikel ini membuktikan bahwa citizen science mampu menghasilkan data hidrologi yang kredibel, luas, dan hemat biaya. Kuncinya adalah pelatihan, komunikasi dua arah, dan integrasi data ke dalam pengambilan keputusan. Dengan meningkatnya teknologi, smartphone, dan konektivitas internet, potensi untuk memobilisasi warga menjadi pengumpul data sains semakin besar, terutama di negara berkembang.

Citizen science bukan hanya strategi ilmiah, tapi juga gerakan sosial yang memperkuat hak masyarakat atas air, data, dan masa depan yang berkelanjutan.

Sumber : Njue, N., Kroese, J. S., Gräf, J., Jacobs, S. R., Weeser, B., Breuer, L., & Rufino, M. C. (2019). Citizen science in hydrological monitoring and ecosystem services management: State of the art and future prospects. Science of the Total Environment, 693, 133531.

Selengkapnya
Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan
page 1 of 1.101 Next Last »