Menjembatani Kesenjangan Kompetensi: Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

01 Juli 2025, 11.23

pixabay.com

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang penuh tantangan, kompleksitas, dan ketidakpastian. Perubahan regulasi, tuntutan globalisasi, serta kebutuhan akan inovasi membuat industri ini membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan adaptif, kreatif, dan berwawasan luas. Namun, apakah lulusan pendidikan manajemen konstruksi benar-benar siap menghadapi tuntutan dunia kerja? Paper “Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP” oleh H. S. M. Hasan dkk. (2011) mengupas secara sistematis kesenjangan antara kompetensi lulusan dan harapan industri, khususnya di Malaysia, dengan menyoroti hasil survei dan analisis mendalam terhadap pelaku industri dan lulusan.

Artikel ini merangkum temuan utama paper, menyajikan data dan studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren pendidikan dan industri konstruksi global.

Latar Belakang: Kompetensi yang Dibutuhkan Industri Konstruksi

Industri konstruksi menuntut lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu bekerja lintas disiplin, adaptif terhadap perubahan, dan terampil dalam mengelola ketidakpastian. Lulusan manajemen konstruksi diharapkan dapat berkontribusi di berbagai sektor—mulai dari kontraktor, konsultan, pengembang, hingga lembaga publik dan swasta. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan adanya gap antara teori yang dipelajari di kampus dan praktik di dunia kerja.

Metodologi: Survei dan Analisis Persepsi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei pos kepada 420 responden di Klang Valley, Malaysia, terdiri dari 210 karyawan dan 210 pemberi kerja di sektor konstruksi. Tingkat respons mencapai 71,4% (300 kuesioner kembali; 200 karyawan dan 100 pemberi kerja). Survei ini dirancang untuk menggali persepsi tentang:

  • Praktik inovasi dan indikator kinerja utama di industri konstruksi Malaysia,
  • Proses transfer pengetahuan dari pendidikan ke industri,
  • Hubungan dan pendanaan antara institusi pendidikan dan industri,
  • Profil demografi dan posisi responden.

Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan tabulasi frekuensi untuk menangkap pola persepsi dan pengalaman.

Temuan Utama: Kesenjangan Kompetensi dan Persepsi Industri

1. Spesialisasi Berlebihan dan Kurangnya Kolaborasi

Hasil survei menunjukkan bahwa industri terlalu menekankan spesialisasi dalam organisasi, sehingga terjadi kekurangan pertukaran ide antar departemen. Pegawai didorong untuk fokus pada bidang tertentu, yang menyebabkan keterampilan mereka hanya berkembang di area terbatas. Akibatnya, inovasi dan kolaborasi lintas bidang menjadi terhambat.

2. Perbedaan Harapan antara Industri dan Lulusan

Industri mengharapkan lulusan mampu langsung memenuhi target spesifik yang seringkali tidak sesuai dengan kompetensi yang diperoleh dari pendidikan. Sementara itu, lulusan merasa bahwa nilai suatu mata kuliah atau pelatihan sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan nyata di tempat kerja. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kedua belah pihak.

3. Kekurangan Keterampilan Interpersonal dan Inovasi

Banyak pekerja baru dinilai kurang memiliki keterampilan interpersonal dan enggan menerapkan inovasi. Industri juga mengeluhkan minimnya budaya kritik konstruktif terhadap proyek yang gagal, sehingga pembelajaran dari kegagalan kurang optimal.

4. Perspektif Karyawan: Kurangnya Kesempatan Berinovasi

Lulusan sering kali tidak diberi ruang untuk berinovasi di tempat kerja, sehingga mereka cenderung berpindah ke perusahaan konsultan manajemen yang lebih terbuka terhadap ide baru. Universitas dianggap bertugas memperkenalkan pengetahuan baru dan melatih pola pikir kritis, sementara industri lebih fokus pada penerapan praktis.

5. Transfer Pengetahuan Butuh Waktu

Meskipun sebagian besar pengetahuan dan inovasi yang diperoleh di kampus dapat diterapkan di industri, lulusan membutuhkan waktu dan posisi yang cukup senior untuk benar-benar mengimplementasikannya.

Studi Kasus: Survei di Klang Valley, Malaysia

Survei dilakukan di kawasan metropolitan Klang Valley, pusat pertumbuhan ekonomi dan konstruksi di Malaysia. Dari 420 kuesioner yang dikirim, 300 kembali dan dianalisis. Temuan utama dari survei ini antara lain:

  • 71,4% tingkat respons menunjukkan tingginya minat dan relevansi isu ini di kalangan pelaku industri.
  • Mayoritas pemberi kerja menyoroti kekurangan kolaborasi lintas departemen dan kurangnya keterampilan interpersonal sebagai hambatan utama.
  • Karyawan muda merasa kurang diberi peluang untuk berinovasi dan mengembangkan kemampuan manajerial.
  • Hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program formal untuk transfer pengetahuan atau pelatihan lintas bidang.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Paper

  • Menggunakan data primer yang representatif dari kawasan industri utama di Malaysia.
  • Menyoroti perbedaan persepsi antara tiga kelompok kunci: industri, akademisi, dan lulusan.
  • Memberikan rekomendasi praktis untuk memperkuat kolaborasi antara universitas dan industri.

Kelemahan dan Tantangan

  • Survei terbatas pada satu wilayah (Klang Valley), sehingga generalisasi ke seluruh Malaysia atau negara lain perlu kehati-hatian.
  • Tidak membedakan antara sektor konstruksi bangunan dan infrastruktur, padahal kebutuhan kompetensi bisa berbeda.
  • Analisis masih bersifat deskriptif; penelitian lanjutan dengan pendekatan kualitatif atau studi kasus mendalam akan memperkaya pemahaman.

Rekomendasi: Menutup Kesenjangan Kompetensi

Berdasarkan temuan, paper ini merekomendasikan beberapa langkah strategis:

  • Mendorong mobilitas internal: Lulusan sebaiknya diberi kesempatan rotasi antar departemen untuk memperluas wawasan dan keterampilan.
  • Perubahan budaya organisasi: Industri perlu lebih berinvestasi dalam pengembangan SDM dan mendorong kolaborasi lintas disiplin.
  • Kolaborasi kurikulum: Universitas dan industri harus bersama-sama merancang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan nyata, termasuk studi kasus dan magang.
  • Fokus pada efektivitas, bukan hanya efisiensi: Industri perlu mengutamakan pembelajaran dan inovasi, bukan sekadar target jangka pendek.
  • Peningkatan forum dan seminar internal: Organisasi didorong untuk mengadakan diskusi rutin berbagi praktik terbaik dan pembelajaran dari kegagalan.

Perbandingan dengan Tren Global

Kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri bukan hanya masalah di Malaysia. Studi di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa lulusan teknik dan manajemen konstruksi sering kali membutuhkan pelatihan tambahan, terutama dalam soft skills, manajemen proyek, dan adaptasi teknologi baru. Negara-negara maju mulai mengadopsi model kolaborasi tripartit antara universitas, industri, dan asosiasi profesi untuk memperkuat link and match.

Implikasi untuk Industri Konstruksi dan Pendidikan Tinggi

  • Industri konstruksi perlu lebih terbuka pada inovasi, pembelajaran lintas disiplin, dan pengembangan SDM berbasis kompetensi.
  • Pendidikan tinggi harus responsif terhadap perubahan kebutuhan industri, memperbanyak studi kasus, magang, dan kolaborasi riset terapan.
  • Pemerintah dan asosiasi profesi dapat berperan sebagai fasilitator kolaborasi, penyusun standar kompetensi, dan pemberi insentif untuk program pelatihan bersama.

Penutup: Menuju Sinergi Pendidikan dan Industri

Paper Hasan dkk. menegaskan bahwa keberhasilan proyek konstruksi sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM yang mampu menjembatani teori dan praktik. Kesenjangan antara pendidikan dan industri harus diatasi melalui kolaborasi, inovasi kurikulum, dan perubahan budaya organisasi. Dengan langkah strategis dan sinergi lintas sektor, industri konstruksi dapat menghasilkan tenaga kerja yang bukan hanya kompeten, tapi juga siap menghadapi tantangan masa depan.

Sumber asli:
H. S. M. Hasan, H. Ahamad, M. R. Mohamed. (2011). Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP. Procedia Engineering, 20, 291–297.