Sosiohidrologi

Petani Saddang Tergoda Jagung, Sungai Meluap: Maladaptasi di Hulu Picu Banjir di Hilir

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Perubahan iklim tidak hanya membawa bencana, tapi juga keputusan keliru yang memperburuknya. Artikel karya Naufal dkk. (2023) ini mengungkap betapa adaptasi masyarakat terhadap kekeringan di hulu Sungai Saddang, Sulawesi Selatan, justru menjadi pemicu deforestasi, erosi, hingga banjir di hilir. Dengan pendekatan lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS), penelitian ini menelaah bagaimana respons masyarakat di enam desa (baik hulu maupun hilir) terhadap bencana iklim periode 2009–2020, dan bagaimana tindakan itu berujung pada maladaptasi sistemik.

Peralihan Komoditas: Dari Kopi ke Jagung

Pada tahun 2009, kekeringan ekstrem melanda desa-desa hulu seperti Ranga, Bokin, Paku, dan Randan Batu. Ribuan pohon kopi gagal panen dan sungai-sungai mengering. Sebagai respons:

  • Banyak petani beralih ke jagung dan singkong, karena dianggap lebih tahan kekeringan.
  • Pemerintah mendorong program swasembada jagung dengan subsidi benih dan pupuk (target 29 juta ton produksi pada 2014).
  • Hutan dibuka untuk ladang baru, terutama di lahan lereng curam (>45%).

Konversi ini didorong juga oleh pasar yang menjanjikan (jagung untuk pakan ternak), tetapi mengorbankan fungsi ekologis DAS.

Maladaptasi Hulu: Meningkatkan Risiko Bencana

Jagung ditanam secara monokultur, tanpa naungan dan dengan penggunaan pupuk kimia yang intensif. Ini menyebabkan:

  • Erosi berat di lahan miring.
  • Sedimentasi besar yang terbawa hingga ke hilir.

Pada 2020, hujan deras selama tiga hari memicu longsor di Randan Batu yang menewaskan satu warga dan menghancurkan rumah serta ladang.

Efek Domino di Hilir: Sungai Berubah Arah, Banjir Menjalar

Sedimentasi ekstrem menyumbat aliran sungai di Desa Paria. Akibatnya:

  • Sungai menyimpang dan memperbesar arus ke Desa Bababinanga.
  • Pada 2010, terjadi banjir besar yang:
    • Merendam 233 rumah
    • Merusak 600 ha sawah dan 400 ha tambak
    • Mengusir ratusan warga

Adaptasi masyarakat:

  • Petambak berubah jadi nelayan udang rebon.
  • Rumah panggung dipindahkan gotong royong ke lokasi lebih aman.

Namun sayangnya, bendungan pelindung yang dibangun pemerintah pasca-banjir rusak dalam dua tahun, contoh nyata kegagalan teknis dalam adaptasi.

Model Adaptasi Gagal: Perubahan Iklim dan Kebijakan Bertabrakan

Adaptasi petani terhadap kekeringan memicu maladaptasi berlapis:

  • Vulnerability shifting: banjir berpindah dari Paria ke Bababinanga
  • Eroding sustainability: penggunaan pupuk kimia, deforestasi, peningkatan emisi
  • Rebound vulnerability: adaptasi menimbulkan risiko baru, seperti longsor

Program pangan nasional yang seragam di seluruh Indonesia tidak mempertimbangkan topografi DAS Saddang yang curam dan rentan, sehingga memperparah kerusakan.

Dampak Positif? Ada, Tapi Bersyarat

Meskipun didominasi kerugian, beberapa dampak positif muncul:

  • Lahan timbul dari sedimentasi dimanfaatkan untuk pertanian jagung dan pisang.
  • Tradisi lokal mengatur kepemilikan lahan timbul berdasarkan kedekatan tanah.
  • Solidaritas sosial meningkat, seperti gotong royong memindahkan rumah saat banjir.

Namun, peneliti menegaskan: tanpa pengakuan hukum yang jelas dan pengelolaan partisipatif, keuntungan ini bersifat sementara.

Kesimpulan: Pelajaran dari Saddang

DAS bukan hanya jalur air, tapi juga jalur dampak. Apa yang terjadi di hulu akan selalu menular ke hilir. Studi ini menyimpulkan bahwa:

  • Adaptasi tidak boleh simplistik dan seragam.
  • Pendekatan lanskap DAS diperlukan untuk memahami kerentanan sistemik.
  • Program nasional harus disesuaikan dengan karakter lokal dan kapasitas sosial-ekologis desa.

Artikel ini juga merekomendasikan pemanfaatan penginderaan jauh (remote sensing) dan analisis spasial untuk memantau dampak jangka panjang maladaptasi di masa depan.

Sumber : Naufal, N., Mappiasse, M. F., & Nasir, M. I. (2023). Adaptation from maladaptation: A case study of community-based initiatives of the Saddang watershed. Forest and Society, 7(1), 167–183.

Selengkapnya
Petani Saddang Tergoda Jagung, Sungai Meluap: Maladaptasi di Hulu Picu Banjir di Hilir

Sosiohidrologi

Masyarakat Lubuk Beringin Lestarikan Sungai Lewat Adat Lubuk Larangan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pelestarian daerah aliran sungai (DAS) kerap dikaitkan dengan proyek teknokratis atau kebijakan pemerintah pusat. Namun, studi oleh Norsidi (2016) menunjukkan bahwa masyarakat adat mampu menciptakan sistem konservasi efektif dan berkelanjutan melalui mekanisme sosial dan spiritual, sebagaimana diterapkan dalam tradisi Lubuk Larangan di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi.

Apa Itu Lubuk Larangan?

Lubuk Larangan adalah kawasan sungai yang ditetapkan melalui musyawarah adat sebagai wilayah larangan penangkapan ikan. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1960-an, berangkat dari pengalaman bencana:

  • Kemarau ekstrem 1986–1987 yang membuat sungai kering dan warga kesulitan air minum.
  • Banjir besar awal 2000-an yang memusnahkan jembatan dan gagal panen padi.

Berangkat dari krisis tersebut, masyarakat kemudian menyepakati sistem Lubuk Larangan sebagai bentuk proteksi dan kontrol atas ekosistem DAS.

Aturan Adat dan Sanksi Sosial

Lubuk Larangan ditetapkan melalui musyawarah adat yang melibatkan:

  • Kepala desa (Rio)
  • Tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda
  • Pemerintah dusun

Aturan utamanya:

  • Dilarang menangkap ikan sepanjang DAS pemukiman tanpa izin adat.
  • Penangkapan hanya diperbolehkan setahun sekali usai Idul Fitri, dalam acara panen adat.
  • Penangkapan harus dilakukan tanpa racun dan setrum, hanya boleh menggunakan jala, pancing, atau alat ramah lingkungan.

Sanksi adat bagi pelanggar:

  • Membayar 1 kambing, 20 gantang beras, dan 4 kayu kain.
  • Mengucap sumpah adat, yang dipercaya membawa kesialan turun-temurun bagi pelanggar dan keturunannya.

Manfaat Lubuk Larangan: Ekologi, Ekonomi, dan Sosial

1. Ekologis

  • Menjaga populasi ikan lokal dan endemik seperti ikan Semah, Barau, Tilan, dan Belido.
  • Melindungi fungsi hidrologi sebagai sumber air, MCK, irigasi, hingga habitat satwa liar.

2. Ekonomi

  • Panen ikan tahunan menjadi sumber pendapatan kolektif.
  • Warga luar desa yang ikut menangkap ikan dikenai retribusi, menambah kas desa.
  • Potensi dikembangkan menjadi ekowisata berbasis konservasi.

3. Pembangunan
Dana hasil panen digunakan untuk:

  • Renovasi masjid dan madrasah
  • Pembangunan jembatan, kantor desa, dan jalan
  • Penguatan lembaga adat

Studi Sosial: Modal Budaya dan Komunal

Masyarakat Lubuk Beringin menjunjung tinggi prinsip:

  • Gotong-royong
  • Musyawarah untuk mufakat
  • Adat bersendikan syariat Islam

Kebijakan lingkungan seperti Lubuk Larangan hanya bisa bertahan karena kekuatan sosial dan legitimasi adat yang telah tertanam turun-temurun.

Pendekatan Penelitian: Wawancara Kualitatif

Metode penelitian yang digunakan:

  • Wawancara mendalam dengan Kepala Desa, tokoh adat, tokoh agama, dan pengelola.
  • Purposive dan snowball sampling untuk mendapatkan informasi hingga titik jenuh.
  • Lokasi utama penelitian: Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo.

Pelajaran Penting dan Relevansi Nasional

Praktik Lubuk Larangan menunjukkan bahwa:

  • Kearifan lokal dapat menjadi instrumen hukum informal yang efektif.
  • Konservasi tidak harus berbasis proyek mahal, tapi bisa dibangun lewat kepercayaan dan partisipasi.
  • Pelibatan masyarakat adalah kunci pelestarian sumber daya alam jangka panjang.

Bagi banyak daerah di Indonesia, pendekatan serupa bisa diperluas dan difasilitasi oleh negara sebagai bagian dari strategi pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi dan inklusif.

Kesimpulan

Kearifan lokal seperti Lubuk Larangan adalah contoh nyata konservasi berbasis komunitas yang menjembatani antara keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dengan tetap memegang adat dan nilai-nilai Islam, masyarakat Desa Lubuk Beringin telah menunjukkan bahwa pelestarian DAS tidak harus datang dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah—dari masyarakat itu sendiri.

Sistem ini layak dijadikan model kebijakan nasional untuk konservasi DAS, penguatan sosial desa, dan pengembangan ekowisata berbasis tradisi lokal.

Sumber : Norsidi. (2016). Pelestarian Daerah Aliran Sungai Berbasis Kearifan Lokal Lubuk Larangan Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu. Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 3(2), 274–284.

Selengkapnya
Masyarakat Lubuk Beringin Lestarikan Sungai Lewat Adat Lubuk Larangan

Sosiohidrologi

Peneliti Soroti Kesenjangan dan Solusi Air Bersih untuk Penghidupan Pedesaan di Negara Berkembang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Air bersih bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang keadilan sosial, hak atas hidup layak, dan pembangunan berkelanjutan. Artikel ilmiah oleh Sameer H. Shah (2021) ini mengupas secara sistematis bagaimana konsep “keamanan air” diterapkan dan didefinisikan dalam konteks penghidupan pedesaan di negara-negara Global South selama dua dekade terakhir. Dengan meninjau 99 jurnal ilmiah terpublikasi antara 2000–2019, riset ini mengungkap kesenjangan konseptual, geografis, dan pendekatan solusi dalam diskursus keamanan air.

Mengapa Konsep Keamanan Air Masih Terbatas?

Hanya 30,3% artikel yang mendefinisikan dengan jelas istilah "keamanan air". Umumnya, definisi tersebut berhenti pada tingkat “kecukupan” air (misalnya: cukup untuk irigasi, konsumsi, dan sanitasi), namun tidak menyentuh aspek produktivitas, kesejahteraan, atau pemberdayaan. Ini menunjukkan pendekatan yang konservatif, yang hanya berfokus pada penghindaran risiko, bukan pada pembangunan kapasitas atau aspirasi hidup warga pedesaan.

Studi Kasus: Ketimpangan dan Solusi yang Canggung

Studi mencatat bahwa sebagian besar solusi berfokus pada:

  • Penambahan pasokan air (45,5%) seperti bendungan besar dan transfer antar-basin
  • Efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan pemanenan air hujan (38,4%)
  • Manajemen dan tata kelola air (75,8%), namun banyak masih bersifat teknokratis dan tidak menyentuh akar ketimpangan

Sebagai contoh, di Lebanon, petani di Lembah Sungai Litani bersedia membayar lebih demi pemasangan sistem irigasi efisien, menunjukkan ada kemauan kolektif masyarakat bila solusi dirancang inklusif.

Ketimpangan Sosial sebagai Akar Krisis

Riset menemukan bahwa:

  • Ketimpangan sosial, ekonomi, dan gender adalah penyebab mendasar air tidak dapat diakses secara adil
  • Hanya 14% solusi yang menyasar akar ketimpangan, seperti distribusi air untuk kelompok termarjinalkan dan pengakuan hak pengelolaan air oleh komunitas lokal

Contohnya, di beberapa wilayah Afrika dan Asia, komunitas adat dan perempuan sering kali dikecualikan dari pengambilan keputusan pengelolaan air.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Lebih dari 80% artikel mengidentifikasi pemerintah sebagai aktor utama dalam solusi air, namun tanggung jawab juga disematkan kepada:

  • Komunitas lokal (20,2%)
  • Petani dan asosiasi tani (21,2%)
  • Lembaga swadaya masyarakat (9%)

Sayangnya, partisipasi masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan pelengkap, bukan pusat dari perubahan kebijakan.

Ketimpangan Geografis dalam Penelitian

Mayoritas studi berfokus di India (21), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Wilayah seperti Afrika Tengah, Amerika Selatan bagian tengah, dan Afrika Utara nyaris luput, menunjukkan kebutuhan pemetaan ulang fokus geografis dalam riset air.

Rekomendasi Kritis: Arah Masa Depan

1. Ubah Fokus dari “Risiko” ke “Kesejahteraan”
Keamanan air harus diukur dari kemampuan orang untuk hidup bermartabat, bukan sekadar cukup minum.

2. Libatkan Ragam Penghidupan
Riset terlalu terfokus pada pertanian, padahal banyak komunitas hidup dari peternakan, perikanan, dan kerja informal.

3. Gugat Struktur yang Tidak Adil
Alih-alih solusi teknis, diperlukan transformasi sistemik: dari tata kelola, hukum air, hingga kepemilikan sumber daya.

4. Wawasan Skala Global
Dinamika air di satu wilayah dapat memengaruhi kawasan lain. Pendekatan multiskala dan lintas negara menjadi kunci menghadapi perubahan iklim dan pasar global.

Kesimpulan

Konsep keamanan air masih terlalu sempit jika hanya diukur dari jumlah air yang tersedia. Artikel ini menegaskan pentingnya menggeser pendekatan dari "sekadar cukup" menuju "keadilan dan kesejahteraan". Kesenjangan konseptual dan geografis dalam studi air harus segera dijembatani dengan riset interdisipliner, pendekatan hak asasi manusia, dan kebijakan berbasis komunitas.

Tanpa perubahan paradigma, penghidupan pedesaan di negara berkembang akan terus berada dalam lingkaran ketidakamanan air. Solusi sejati haruslah holistik, adil, dan berpihak pada yang selama ini tak bersuara.

Sumber : Shah, S. H. (2021). How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review. Water Policy, 23(5), 1129–1146.

Selengkapnya
Peneliti Soroti Kesenjangan dan Solusi Air Bersih untuk Penghidupan Pedesaan di Negara Berkembang

Sosiohidrologi

Masyarakat Wujudkan Air Bersih Gratis Tanpa Listrik dengan Teknologi Inovatif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Air bersih adalah hak dasar manusia, namun aksesnya masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah pelosok dan miskin infrastruktur. Buku berjudul Air Bersih Gratis (2023) karya Harun Rasidi dkk. mengangkat secara komprehensif berbagai konsep, teknologi, dan strategi penyediaan air bersih tanpa biaya, mulai dari desain filter, standar kualitas, sumber air baku, hingga pemanfaatan teknologi non-listrik.

Dengan pendekatan praktis dan teknis, buku ini menjadi referensi penting bagi akademisi, teknisi, dan komunitas masyarakat untuk mewujudkan kemandirian air bersih yang terjangkau dan berkelanjutan.

Mengapa Air Bersih Masih Jadi Masalah?

Berdasarkan WHO (2019), 2,2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum aman. Di Indonesia, pertumbuhan permukiman tidak sebanding dengan ketersediaan prasarana air. Permasalahan mencakup:

  • Pencemaran sumber air (industri dan domestik)
  • Ketidakseimbangan kebutuhan dan pasokan
  • Biaya listrik dan operasional tinggi
  • Minimnya infrastruktur di daerah terpencil

Filter Minim Perawatan: Solusi Nyata dari Lingkungan

Filter air minim perawatan yang disarankan oleh buku ini mengandalkan media alami:

  • Pasir, kerikil, ijuk, dan arang aktif
  • Alternatif kimia: PAC, tawas, dan kaporit

Filter ini mampu mengubah air baku dari sungai, danau, atau air hujan menjadi air bersih layak MCK, bahkan untuk konsumsi jika dikombinasikan dengan pengolahan lanjutan.

Pompa Air Tanpa Energi Listrik: Teknologi Ramah Lingkungan

Pompa Hidrolik (P.A.T.H.) dikembangkan sebagai solusi pemompaan air tanpa listrik, dengan keunggulan:

  • Biaya rendah
  • Tidak menghasilkan emisi karbon
  • Dapat digunakan di wilayah terpencil
  • Tidak memerlukan bendung besar atau pipa panjang

Studi kasus:
Teknologi ini telah berhasil diterapkan di Temanggung, Magelang, dan Pacitan melalui uji coba oleh Balai Litbang Sungai.

Standar Kualitas Air dan Regulasi

Mengacu pada Permenkes No. 492/2010, air bersih harus:

  • Bebas bau, jernih, tidak berasa
  • Bebas bakteri (E. coli), logam berat, zat kimia berbahaya

Standar kualitas juga mencakup suhu, pH, kekeruhan, dan oksigen terlarut (DO), yang diuji melalui laboratorium.

Sumber Air Baku dan Risiko

Air baku berasal dari:

  • Air permukaan: sungai, danau, air hujan
  • Air tanah: sumur dangkal dan dalam

Masalah utama:
Kualitas fluktuatif karena pencemaran dan perubahan iklim. Oleh karena itu, pemilihan dan pengolahan sumber air sangat krusial.

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan IoT untuk Pengelolaan Air

Buku ini mengulas penerapan Internet of Things (IoT) dan Smart Water Management:

  • Sensor digital mendeteksi kualitas air secara real-time
  • Sistem pengawasan air di tingkat rumah tangga
  • TIK memungkinkan edukasi masyarakat dan monitoring konsumsi

Contoh penerapan internasional:

Di berbagai negara, sensor IoT telah digunakan untuk pemantauan kualitas air muara dan sungai, bahkan hingga ke kran rumah warga.

Deteksi dan Pengendalian Pencemaran Air

Pencemaran air bersih perlu dideteksi sejak dini. Standar WHO dan Permenkes mewajibkan pemantauan terhadap:

  • Bakteri coliform
  • Zat kimia (merkuri, arsenik, nitrat)
  • Mikroplastik dan partikel logam berat

Rekomendasi teknis:
Gunakan metode klorinasi dengan kaporit, filter arang aktif, dan uji laboratorium rutin untuk menjaga kualitas air konsumsi.

Peran Pemerintah dan Kesetaraan Akses

Pemerintah memiliki tanggung jawab memastikan:

  • Regulasi dan standarisasi kualitas
  • Infrastruktur penyediaan air
  • Subsidi air bersih untuk masyarakat rentan

Tanpa peran aktif pemerintah, ketimpangan akses air akan terus memburuk, terutama bagi masyarakat miskin dan daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Air bersih gratis bukan utopia, tetapi keniscayaan teknologi dan kehendak politik. Buku ini membuktikan bahwa:

  • Teknologi tepat guna seperti P.A.T.H. dan filter alami bisa diadopsi di desa-desa
  • Pemanfaatan TIK dan edukasi masyarakat penting untuk pengawasan air
  • Dukungan regulasi dan partisipasi komunitas adalah kunci keberlanjutan

Solusi air bersih yang murah dan ramah lingkungan tidak lagi terbatas pada kota besar atau fasilitas mewah. Melalui kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah, akses air bersih dapat menjadi hak universal, bukan sekadar kebutuhan elit.

Sumber asli : Rasidi, H., Mulyanda, D., Karimuna, S. R., Hamka, M. S., Sumarlin, Ningtyas, R., Paharuddin, Kartina, D., Qomaliyah, E. N., Aini, Gaffar, S., & Kasmi, M. (2023). Air Bersih Gratis. Penerbit Widina Media Utama. ISBN 978-623-459-579-6.

Selengkapnya
Masyarakat Wujudkan Air Bersih Gratis Tanpa Listrik dengan Teknologi Inovatif

Sosiohidrologi

Warga Pesisir Semarang Bangkit Hadapi Iklim Lewat Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Perubahan iklim menjadi tantangan nyata, terutama di kawasan pesisir yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Penelitian berjudul “Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang” oleh Dwi Rahmawati dan Trida Ridho Fariz (2024) memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan lima sumber daya utama untuk bertahan dan pulih dari dampak perubahan iklim: alam, manusia, finansial, sosial, dan fisik.

Latar Belakang: Krisis Iklim dan Pesisir Semarang

Data BNPB menunjukkan bahwa 99,1% dari 1.675 bencana yang terjadi dari Januari hingga Mei 2023 merupakan bencana hidrometeorologi. Kota Semarang, khususnya Kelurahan Tugurejo, menghadapi ancaman multibencana seperti banjir, rob, dan intrusi air laut. Dua wilayah krusial dalam studi ini—RT 06/RW 01 dan RT 07/RW 05—diidentifikasi sebagai lokasi dengan tingkat kerentanan tertinggi.

Metodologi: Pendekatan Holistik dan Partisipatif

Penelitian ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif (mixed method), dengan total responden 85 KK. Pendekatan yang digunakan adalah penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach), yang mencakup:

  • Modal manusia
  • Modal alam
  • Modal sosial
  • Modal finansial
  • Modal fisik

Temuan Utama: Kekuatan Sosial dan Kelemahan Akses Alam

1. Sumber Daya Manusia – Terkuat

  • RT 06/RW 01: skor 3,80/5
  • RT 07/RW 05: skor 4,02/5

Keduanya memiliki tingkat kesehatan masyarakat yang sangat baik, dengan >97% responden tanpa penyakit kronis atau disabilitas. Pendidikan warga RT 07 menunjukkan 27,5% lulusan perguruan tinggi.

2. Sumber Daya Alam – Terlemah

  • RT 06/RW 01: skor 2,07
  • RT 07/RW 05: skor 2,00

Hanya 4,5% masyarakat yang bekerja sebagai petani tambak. Sebagian besar tidak memiliki tambak atau lahan produktif, bahkan beberapa tinggal di tanah milik PT KAI atau KORPRI.

3. Sumber Daya Finansial

Mayoritas penduduk bekerja sebagai buruh industri dengan pendapatan setara UMR. Tabungan dan aset finansial masih terbatas, namun cukup stabil untuk kebutuhan dasar.

4. Sumber Daya Sosial

Adanya Kelompok Wanita Tani (KWT) dan organisasi seperti Karang Taruna memperkuat jaringan sosial warga. Aktivitas seperti urban farming juga mendukung ketahanan pangan lokal.

5. Sumber Daya Fisik

Masyarakat memiliki rumah milik pribadi, namun sebagian berdiri di atas lahan yang bukan milik mereka. Hal ini berdampak pada keamanan jangka panjang dan nilai properti.

Studi Kasus Lokal: Strategi Adaptasi Masyarakat

Contoh nyata dari upaya adaptasi meliputi:

  • Pertanian urban di pekarangan rumah.
  • Pembentukan KWT Sumber Hasil dan KWT Wema Mekar.
  • Pergeseran profesi dari petani tambak menjadi buruh industri akibat pencemaran dan akuisisi lahan oleh perusahaan dan bandara.

Faktor Penentu Konsistensi Skor

Skor antara kedua wilayah relatif homogen karena:

  • Topografi yang seragam (dataran rendah pesisir)
  • Akses fasilitas yang mirip, termasuk layanan kesehatan
  • Kualitas lingkungan fisik yang sebanding

Namun, perbedaan preferensi kerja dan status lahan memengaruhi dinamika ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang di kedua RT.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

Studi ini relevan bagi penyusunan kebijakan adaptasi iklim berbasis lokal, khususnya untuk:

  • RPPLH (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup)
  • Kebijakan pemanfaatan lahan pesisir dan relokasi warga di lahan milik negara
  • Program pemberdayaan sosial berbasis komunitas

Rekomendasi strategis mencakup:

  • Pembobotan indikator dalam penilaian kapasitas untuk evaluasi lebih presisi.
  • Pendekatan komunikasi berbasis budaya lokal agar masyarakat lebih terbuka dalam memberi data dan terlibat aktif.

Kesimpulan

Kapasitas masyarakat menghadapi perubahan iklim bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga daya adaptasi sosial, pengetahuan lokal, dan partisipasi komunitas. Temuan penting menunjukkan bahwa:

  • Kesehatan dan pendidikan adalah fondasi kuat bagi ketahanan warga.
  • Keterbatasan akses lahan dan ketergantungan pada pekerjaan informal menjadi tantangan utama.
  • Kegiatan sosial seperti KWT dan Karang Taruna mampu memperkuat solidaritas dan adaptasi berbasis komunitas.

Studi ini dapat menjadi model praktik baik untuk daerah pesisir lain di Indonesia yang menghadapi ancaman serupa. Dengan pendekatan berbasis aset dan penghidupan berkelanjutan, ketahanan lokal bisa dibangun dari bawah ke atas, dengan memanfaatkan apa yang dimiliki, bukan apa yang tidak dimiliki.

Sumber : Rahmawati, D., & Fariz, T. R. (2024). Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman, 6(2), 150–161.

Selengkapnya
Warga Pesisir Semarang Bangkit Hadapi Iklim Lewat Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan

Sosiohidrologi

Finlandia Bangun Layanan Air dan Sanitasi Berkelanjutan dengan Strategi Jangka Panjang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Layanan air dan sanitasi bukan hanya soal infrastruktur, melainkan tentang visi peradaban. Itulah pelajaran penting yang dapat dipetik dari studi komprehensif “Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond” karya Katko dkk. (2022). Artikel ini mengeksplorasi 160 tahun perkembangan layanan air di Finlandia, dari sistem kayu pedesaan hingga infrastruktur canggih dan tahan krisis, menggunakan kerangka PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Ekologi, Legal).

Konteks Historis: Air, Api, dan Miasma

Layanan air di Finlandia berakar pada kebutuhan dasar: mencegah kebakaran, memenuhi kebutuhan domestik, dan menjaga kebersihan. Kota Helsinki membangun sistem air publik pertama pada 1876, dipicu oleh risiko kebakaran besar dan kepercayaan masa itu terhadap teori miasma (udara kotor penyebab penyakit). Di pedesaan, sistem pipa kayu dari pinus mulai digunakan sejak 1872, digerakkan oleh kebutuhan peternakan sapi perah.

Keputusan Penting yang Meninggalkan Jejak

Beberapa kebijakan strategis memberi dampak panjang, seperti:

  • Menolak penggunaan pipa timah sejak 1880 karena berbahaya bagi kesehatan.
  • Mengadopsi pipa plastik sejak 1950-an untuk menggantikan kayu.
  • Membangun sistem pengelolaan air yang terintegrasi sejak 1953, lebih awal dari banyak negara Eropa.

Finlandia menunjukkan bahwa “path dependence”—atau keputusan masa lalu—tidak harus menjadi beban, tapi bisa jadi dasar kuat pembangunan berkelanjutan.

Transformasi Teknologi dan Lingkungan

Perkembangan teknologi air berjalan seiring perubahan sosial:

  • Penggunaan air per kapita turun drastis sejak 1974, akibat krisis energi dan pemberlakuan tarif air limbah.
  • Sekitar 65% air publik berasal dari air tanah atau rekayasa akuifer (Managed Aquifer Recharge).
  • Pengolahan air limbah mencakup biologis dan kimiawi, dengan rata-rata efisiensi: BOD 98%, fosfor 96,5%, nitrogen 66% (2017).

Tantangan Infrastruktur: Pipa Tua dan Cuaca Ekstrem

Sebagian besar infrastruktur air Finlandia dibangun pasca-Perang Dunia II. Kini, usia pipa dan jaringan mulai menua, menuntut investasi besar dalam peremajaan. Di wilayah utara, masalah seperti tanah beku dan curah hujan tinggi menambah tantangan teknis.

Finlandia menggunakan teknik no-dig untuk rehabilitasi jaringan, memanfaatkan teknologi pengawasan jarak jauh, dan sistem pemompaan cerdas. Namun, kebutuhan akan pendanaan dan inovasi kelembagaan tetap mendesak.

Keberhasilan Pengendalian Polusi Air

Sejak UU Air 1962, Finlandia mewajibkan industri dan kota memperoleh izin pembuangan limbah. Hanya dalam dua dekade, seluruh negara telah memiliki instalasi pengolahan limbah modern.

Industri pulp dan kertas, sempat menjadi penyumbang utama pencemaran, akhirnya tunduk pada tekanan sosial dan regulasi:

  • Konsumsi air per ton pulp turun dari 250 m³ (1970) menjadi 5–15 m³ (2020).
  • Limbah organik dan padat berkurang drastis sejak 1980-an.

Ragam Kelembagaan: Dari Koperasi ke Jaringan Supra-Municipal

Finlandia memiliki model kelembagaan majemuk, termasuk:

  • 1.400 koperasi air di daerah terpencil.
  • Utilitas kota dan antar kota, baik besar maupun kecil.
  • Mekanisme pendanaan berbasis tarif pelanggan, bukan subsidi besar pemerintah.

Sebagai catatan, pada 2021, Parlemen Finlandia melarang privatisasi utilitas air dan mengesahkan inisiatif rakyat secara bulat—sebuah preseden politik penting di Eropa.

PESTEL: Pilar Analitik Layanan Air di Finlandia

  1. Politik: Kestabilan politik dan kepercayaan publik mendukung konsistensi kebijakan.
  2. Ekonomi: Biaya layanan air <1% dari pengeluaran rumah tangga, namun tantangan pembiayaan renovasi terus meningkat.
  3. Sosial: Fokus pada keadilan akses dan pelibatan komunitas lokal.
  4. Teknologi: Beralih dari sistem kayu ke plastik, lalu ke MAR, serta teknologi digital untuk pengawasan jaringan.
  5. Ekologi: Dari eutrofikasi dan pencemaran menjadi pemulihan sungai dan danau.
  6. Legal: Legislasi progresif, fleksibel, dan adaptif sejak 1902 hingga kini.

Relevansi Global: Apa yang Bisa Dipelajari?

Bagi negara berkembang, kisah Finlandia memberi pelajaran:

  • Infrastruktur air butuh visi 100 tahun, bukan proyek jangka pendek.
  • Kebijakan harus berdasarkan ilmu, partisipasi publik, dan adaptasi lokal.
  • Diversitas kelembagaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan.

Kesimpulan

Layanan air bukan sekadar pipa dan pompa, tapi refleksi dari visi sosial dan komitmen politik jangka panjang. Studi ini membuktikan bahwa dengan pendekatan integratif—teknologi, regulasi, dan partisipasi—sebuah negara kecil seperti Finlandia dapat menjadi contoh dunia dalam mewujudkan akses air bersih dan sanitasi universal yang berkelanjutan.

Sumber : Katko, T. S., Juuti, P. S., Juuti, R. P., & Nealer, E. J. (2022). Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond. Earth, 3(2), 590–613.

Selengkapnya
Finlandia Bangun Layanan Air dan Sanitasi Berkelanjutan dengan Strategi Jangka Panjang
page 1 of 1.103 Next Last »