Risiko Banjir

Menyelamatkan Langsa: Strategi Mitigasi Banjir yang Adaptif dan Berbasis Data

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Banjir, Bencana Tahunan yang Tak Pernah Selesai

Kota Langsa di Aceh menghadapi ancaman tahunan yang semakin kompleks: banjir. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas dan dampaknya meningkat drastis, terutama di kawasan seperti Desa Seulalah dan Gampong Jawa. Ironisnya, di tengah geliat pembangunan, kawasan ini justru semakin rentan.

Artikel ini merefleksikan dan mengkritisi strategi mitigasi bencana berdasarkan studi ilmiah oleh Ayu Sekar Ningrum dan Kronika Br. Ginting. Penelitian mereka membuka tabir bagaimana pendekatan kuantitatif dan spasial bisa menjadi kebijakan yang efektif.

Potret Risiko: Ketika Alam dan Manusia Berseteru

Fakta Lapangan

Banjir yang melanda Langsa terjadi karena kombinasi antara curah hujan tinggi di kawasan hulu DAS Krueng Langsa dan buruknya tata ruang di kawasan hilir. Pada tahun 2020, banjir melumpuhkan aktivitas ribuan warga dengan ketinggian udara mencapai 50 cm di Desa Jawa Belakang dan Seulalah. Meski terlihat 'biasa', banjir ini mencerminkan akumulasi masalah struktural dan sosial.

Analisis Risiko: Metode dan Indikator

Penelitian ini menggunakan pendekatan overlay berbasis GIS untuk memetakan tiga aspek utama:

  1. Tingkat Bahaya : Dinilai dari kemiringan lereng, curah hujan, vegetasi, dan elevasi.
  2. Kerentanan : Dibagi ke dalam empat dimensi — sosial (kepadatan penduduk, kelompok rentan), ekonomi (nilai lahan produktif), fisik (bangunan dan infrastruktur), serta ekologi (kondisi tutupan lahan).
  3. Risiko : Merupakan produk dari bahaya × kerentanan, menghasilkan peta kawasan dengan risiko rendah, sedang, hingga tinggi.

Hasil overlay menunjukkan bahwa Desa Seulalah dan Gampong Jawa termasuk dalam klasifikasi risiko tinggi. Penduduk hidup turut serta dengan bahaya.

Strategi Mitigasi: Struktural dan Non-Struktural

Mitigasi Struktural

Mitigasi ini bersifat fisik dan teknis, ditujukan untuk menahan atau mengalihkan udara:

  • Tanggul dan Bendungan : kejadian luapan sungai langsung ke pemukiman.
  • Drainase dan Drop Structure : Sistem saluran udara terintegrasi untuk menghindari genangan.
  • Sudetan Sungai : Jalur alternatif untuk mengurangi tekanan pada aliran utama.

Namun perlu dicatat, pendekatan struktural bersifat mahal dan jangka panjang. Efektivitasnya juga tergantung pada pemeliharaan yang konsisten.

Mitigasi Non-Struktural

Pendekatan ini menyasar perubahan perilaku dan kesiapsiagaan masyarakat:

  • Pelatihan dan Simulasi : Warga dilatih menghadapi banjir, mulai dari mengeluarkan hingga penanganan darurat.
  • Pemetaan dan Sistem Informasi : Data spasial dimanfaatkan untuk prediksi dan deteksi dini.
  • Evaluasi Tata Ruang : Meninjau kembali kebijakan zonasi agar tidak membiarkan pemukiman tumbuh di zona merah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mitigasi non-struktural, meski murah, tetap membutuhkan intervensi berkelanjutan, edukasi publik, dan komitmen lintas sektor.

Kritik dan Catatan Penting: Dari Peta ke Tindakan

1. Kebijakan Integrasi Lemahnya

Meskipun strategi mitigasi telah dirumuskan, implementasinya di lapangan kerap terhambat oleh fragmentasi birokrasi. Koordinasi antara dinas lingkungan hidup, perumahan, dan infrastruktur masih rendah.

2. Data Belum Real-Time

Studi ini bergantung pada data sekunder dan survei terbatas. Untuk strategi mitigasi yang lebih presisi, perlu integrasi data real-time seperti curah hujan harian, tingkat sedimentasi, hingga data sosial-ekonomi dinamis.

3. Tantangan Relokasi

Salah satu rekomendasi utama adalah relokasi warga dari zona merah banjir ke tempat yang lebih aman. Namun, relokasi bukan hanya soal lokasi baru, melainkan juga soal pekerjaan, akses pendidikan, dan penerimaan sosial.

4. Tren Industri & Solusi Berbasis Alam

Mengaitkan temuan ini dengan tren global, pendekatan solusi berbasis alam kini banyak dikembangkan. Hutan kota, lahan basah buatan, hingga pengembalian fungsi rawa menjadi solusi alami yang terbukti efektif mengurangi limpasan udara.

Langsa bisa belajar dari Jakarta dengan pembangunan kolam retensi dan normalisasi sungai, meski tetap harus melibatkan partisipasi publik.

Dampak Jangka Panjang: Investasi dalam Ketahanan

Mitigasi bukan hanya soal menghindari banjir. Ini soal:

  • Menyelamatkan ekonomi lokal dari stagnasi karena bencana tahunan.
  • Meningkatkan kualitas hidup warga di kawasan rentan.
  • Menarik investasi yang berbasis keingintahuan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek.

Pemerintah daerah harus berani mengalokasikan anggaran untuk program pencegahan, bukan hanya pencegahan. Sebab, setiap rupiah yang diinvestasikan dalam mitigasi bisa menghemat hingga tujuh kali lipat biaya kerugian pasca bencana (UNDRR, 2019).

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Kota Tahan Banjir

Penelitian ini memberikan kontribusi nyata terhadap pengetahuan mitigasi banjir berbasis data spasial. Kota Langsa membutuhkan strategi adaptif yang menggabungkan pendekatan teknis, sosial, dan ekologis.

Namun, keberhasilannya tidak akan datang hanya dari peta dan data. Ia lahir dari kolaborasi—antara pemerintah, masyarakat, sejarawan, dan sektor swasta. Kota tahan banjir bukan mitos, jaminan adanya kemauan politik, kepemimpinan berbasis ilmu, dan partisipasi warga.

Sumber:

Ningrum, AS, & Ginting, KB (2020). Strategi Penanganan Banjir Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Rawan Bencana Banjir di Daerah Aliran Sungai Seulalah Kota Langsa . Jurnal Pendidikan Sains Geografi (GEOSEE), 1(1), 6–13.

Selengkapnya
Menyelamatkan Langsa: Strategi Mitigasi Banjir yang Adaptif dan Berbasis Data
page 1 of 1