Mengintegrasikan Pengurangan Risiko Banjir dan Kekeringan: Urgensi, Tantangan, dan Solusi untuk Manajemen Risiko Bencana Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

02 Juli 2025, 10.26

pixabay.com

Mengapa Integrasi Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Semakin Mendesak?

Banjir dan kekeringan adalah dua ekstrem dari siklus hidrologi yang sama, namun selama ini sering dikelola secara terpisah—baik dalam kebijakan, penelitian, maupun praktik lapangan. Padahal, kedua bencana ini telah berdampak pada sekitar 2,3 miliar orang (banjir) dan 1,1 miliar orang (kekeringan) antara 1995–2015, dan dampaknya terus meningkat akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi ekonomi12. Paper Philip J. Ward dkk. (2020) menjadi salah satu referensi utama yang menyoroti pentingnya integrasi strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) untuk banjir dan kekeringan, serta memberikan analisis kritis tentang interaksi, trade-off, dan dampak tidak terduga dari berbagai intervensi DRR.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengulas studi kasus global, angka-angka kunci, serta membandingkannya dengan tren, tantangan, dan rekomendasi kebijakan mutakhir.

Banjir dan Kekeringan: Dua Ekstrem, Satu Siklus Hidrologi

Dampak Global dan Tren Masa Depan

  • Banjir dan kekeringan bersama-sama telah menyebabkan kematian lebih dari 166 ribu orang dan kerugian ratusan miliar dolar antara 2000–20202.
  • Dampak keduanya diproyeksikan meningkat akibat perubahan iklim yang memperbesar variabilitas curah hujan, perubahan tutupan lahan, dan pertumbuhan populasi.
  • Contoh nyata: Setelah kekeringan lima tahun (2012–2017), California dilanda hujan ekstrem yang merusak spillway Bendungan Oroville, memaksa evakuasi hampir 200.000 orang. Demikian pula, Drought Millennium di Australia (1997–2009) diakhiri oleh banjir besar yang menyebabkan kegagalan tanggul di Sungai Murray1.

Interaksi Kompleks: Trade-off dan Efek Tak Terduga

  • Langkah DRR untuk satu bahaya bisa memperbesar risiko bahaya lain. Misal, bendungan yang dioptimalkan untuk penanggulangan banjir (menyimpan air rendah) bisa memperburuk risiko kekeringan, sedangkan jika dioptimalkan untuk kekeringan (menyimpan air tinggi) justru memperbesar risiko banjir jika terjadi hujan ekstrem1.
  • Dampak kebijakan juga sering tidak terduga: Pembangunan tanggul dan levee memangkas risiko banjir lokal, tapi menurunkan infiltrasi dan recharge air tanah, sehingga memperparah kekeringan. Sebaliknya, pengurasan bendungan untuk antisipasi banjir bisa menyebabkan kekurangan air saat musim kering13.

Studi Kasus Global: Ilustrasi Interaksi Banjir-Kekeringan

1. Infrastruktur Fisik: Tanggul, Bendungan, dan Subsurface Storage

  • Tanggul dan Levee: Di Belanda, 5% kegagalan tanggul antara 1134–2006 dipicu kekeringan, seperti kegagalan tanggul Wilnis 2003 yang menyebabkan 600 rumah terendam dan 2.000 orang dievakuasi. Kekeringan membuat tanah gambut menyusut, menurunkan bobot tanggul, sehingga mudah tergelincir saat debit sungai naik1.
  • Bendungan: Di California, 40% kapasitas Folsom Reservoir harus disisihkan untuk pengendalian banjir, yang berarti cadangan air untuk kekeringan berkurang. Di India, kekeringan pasca-banjir Kerala 2018 diperparah karena bendungan sudah dikuras untuk antisipasi banjir1.
  • Subsurface Storage: Di Thailand, recharge air banjir ke akuifer (Managed Aquifer Recharge/MAR) menjadi solusi ganda untuk banjir dan kekeringan, namun jika over-pumping terjadi saat kekeringan, bisa memicu penurunan tanah dan memperbesar risiko banjir saat hujan deras13.

2. Praktik Pertanian dan Pengelolaan Lahan

  • Dams mikro di Brasil: Lebih dari 3.000 dam kecil dibangun 2001–2009, meningkatkan kelembaban tanah, memperbaiki vegetasi, dan menurunkan risiko kekeringan. Namun, jika tidak dikelola baik, bisa meningkatkan sedimentasi dan risiko banjir lokal1.
  • Reforestasi: Di Jerman dan Fiji, reforestasi terbukti meningkatkan infiltrasi dan menurunkan risiko banjir, tapi di musim kering justru mengurangi aliran air dasar (baseflow), memperparah kekeringan1.
  • Teknologi irigasi hemat air: Penggantian irigasi banjir dengan drip irrigation menurunkan risiko kekeringan, namun bisa meningkatkan risiko banjir karena berkurangnya evaporasi dan meningkatnya limpasan saat hujan ekstrem3.

3. Migrasi dan Urbanisasi

  • Relokasi pasca-banjir di Mozambik: Lebih dari 40.000 keluarga dipindahkan dari zona banjir ke upland yang lebih rawan kekeringan. Produktivitas pertanian menurun, sehingga banyak yang kembali ke dataran rendah dan terpapar banjir ulang1.
  • Urbanisasi Dakar, Senegal: 40% migran baru antara 1998–2008 menempati zona rawan banjir. Urbanisasi memperbesar limpasan permukaan, memperparah risiko banjir, dan meningkatkan tekanan air bersih1.

4. Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan

  • Early Warning System (EWS): Salah input pada EWS banjir bisa menyebabkan pengurasan air bendungan yang tidak perlu, memperparah kekeringan jika hujan tidak datang. Sebaliknya, EWS kekeringan yang gagal bisa membuat petani gagal menanam atau panen saat musim hujan tiba-tiba datang1.

Tantangan Pengetahuan dan Kebijakan

1. Fragmentasi Penanganan

Sebagian besar kebijakan dan riset masih fokus pada satu bahaya saja, dengan institusi, regulasi, dan sistem data yang terpisah untuk banjir dan kekeringan. Padahal, trade-off, sinergi, dan efek tak terduga antar dua bahaya ini sangat nyata14.

2. Skala dan Kompleksitas

Perbedaan skala spasial dan temporal antara banjir (kejadian cepat, lokal) dan kekeringan (proses lambat, meluas) membuat integrasi pengelolaan menjadi rumit. Banyak teknologi (misal, stormwater control) hanya efektif di skala lokal, sementara efeknya bisa berdampak ke hilir atau kawasan lain15.

3. Data dan Monitoring

Kurangnya data terintegrasi tentang curah hujan, debit sungai, status bendungan, dan penggunaan air tanah menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti. Banyak data operasi bendungan tidak terbuka untuk publik atau peneliti15.

4. Dinamika Sosial dan Ekonomi

Keputusan masyarakat (misal, migrasi, perubahan pola tanam) sangat dipengaruhi persepsi risiko, pengalaman masa lalu, dan insentif ekonomi. Namun, model risiko bencana masih jarang memasukkan dinamika perilaku manusia secara dinamis1.

Best Practices dan Rekomendasi Global

1. Pendekatan Holistik dan Multi-Risiko

  • Integrated Flood Management (IFM) dan Integrated Drought Management (IDM) menjadi kerangka utama yang direkomendasikan UNESCO dan lembaga internasional. IFM menuntut pengelolaan siklus air secara utuh, integrasi lahan-air, manajemen risiko & ketidakpastian, serta partisipasi multi-aktor52.
  • EPIC Response Framework menekankan pentingnya tata kelola lintas sektor, perencanaan multi-level (dari DAS hingga komunitas), investasi pada infrastruktur dan ekosistem, serta pengendalian penggunaan lahan dan air5.

2. Investasi pada Solusi Ganda

  • Room for the River (Belanda): Mengembalikan ruang sungai untuk banjir, sekaligus meningkatkan recharge air tanah dan konservasi ekosistem13.
  • Managed Aquifer Recharge (Thailand, California): Menyimpan air banjir di akuifer untuk digunakan saat kekeringan, mengurangi risiko keduanya secara bersamaan1.
  • Stormwater Control Measures (SCM): Green infrastructure seperti taman resapan, green roof, dan rain garden bisa menahan air saat banjir dan menyimpan air untuk musim kering13.

3. Tata Kelola dan Kelembagaan

  • Harmonisasi kebijakan lintas sektor dan negara sangat penting, terutama di DAS lintas negara seperti Volta Basin di Afrika Barat yang mengembangkan strategi bersama untuk banjir dan kekeringan4.
  • Partisipasi masyarakat dan multi-aktor: Semua pihak—pemerintah, swasta, LSM, komunitas—harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi52.

4. Monitoring, Early Warning, dan Data Terbuka

  • Sistem monitoring dan peringatan dini harus terintegrasi untuk banjir dan kekeringan, dengan data real-time dan akses terbuka bagi semua pemangku kepentingan52.
  • Pengumpulan paired-event case studies (banjir dan kekeringan berurutan di satu wilayah) sangat penting untuk pembelajaran dan evaluasi efektivitas kebijakan1.

Studi Banding dan Angka-Angka Kunci

  • Afghanistan (2017–2019): Kekeringan multi-tahun menyebabkan 9,8 juta orang rawan pangan. Hujan deras dan snowmelt tiba-tiba pada 2019 menyebabkan banjir besar, 65 korban jiwa, dan 200.000 terdampak1.
  • Corigliano-Rossano, Italia (2015): Banjir pluvial dengan curah hujan return period >100 tahun, terjadi saat puncak musim wisata, menyebabkan kerugian ekonomi besar karena eksposur tinggi6.
  • North Carolina, AS (2007–2009): Kekeringan ekstrem 27 bulan menyebabkan kerugian pertanian €535 juta, meski sistem peringatan dini berhasil mengurangi kerentanan dibanding periode 2000–20036.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Paper Ward dkk.

  • Menyajikan analisis interaksi banjir-kekeringan dengan contoh nyata lintas benua.
  • Memberikan kerangka konseptual dan tabel ringkasan dampak intervensi DRR pada kedua bahaya.
  • Menyoroti pentingnya integrasi data, tata kelola, dan partisipasi multi-aktor.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Banyak solusi masih bersifat “best practice” dan belum teruji di semua konteks, terutama di negara berkembang dengan kapasitas terbatas.
  • Perlu riset lebih lanjut tentang efektivitas jangka panjang solusi ganda, serta dampak sosial-ekonomi dari trade-off kebijakan.

Rekomendasi Praktis

  • Integrasikan DRR banjir dan kekeringan dalam perencanaan nasional dan lokal: Hindari silo kebijakan dan pastikan satu intervensi tidak memperparah risiko lain.
  • Kembangkan sistem monitoring dan data terbuka untuk mendukung pengambilan keputusan adaptif.
  • Dorong inovasi teknologi dan solusi berbasis alam yang memberikan manfaat ganda.
  • Libatkan masyarakat dan sektor swasta dalam perencanaan dan implementasi, serta perkuat edukasi risiko lintas bahaya.

Penutup: Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Terintegrasi dan Adaptif

Studi Ward dkk. menegaskan bahwa pengelolaan banjir dan kekeringan yang terpisah sudah tidak relevan di era perubahan iklim. Integrasi strategi, kebijakan, dan praktik DRR untuk kedua bahaya ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi juga syarat mutlak untuk mencapai ketahanan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan kolaboratif, risiko bencana air di masa depan dapat dikelola lebih efektif dan adil.

Sumber asli:
Philip J. Ward, Marleen C. de Ruiter, Johanna Mård, Kai Schröter, Anne Van Loon, Ted Veldkamp, Nina von Uexkull, Niko Wanders, Amir AghaKouchak, Karsten Arnbjerg-Nielsen, Lucinda Capewell, Maria Carmen Llasat, Rosie Day, Benjamin Dewals, Giuliano Di Baldassarre, Laurie S. Huning, Heidi Kreibich, Maurizio Mazzoleni, Elisa Savelli, Claudia Teutschbein, Harmen van den Berg, Anne van der Heijden, Jelle M.R. Vincken, Maarten J. Waterloo, Marthe Wens. (2020). The need to integrate flood and drought disaster risk reduction strategies. Water Security, 11, 100070.